Askara mengajak seluruh temannya yang lain ke dekat dinding tebing."Jadi? Apa yang akan kita lakukan? Memanjat tebing ini menggunakan teknik Napak hawa?" tanya Yudhara."Tidak," bantah Askara. "Kita hanya perlu merenung dulu di sini sebelum kita kembali ke atas menemui Sepuh Rakata.""Apa yang akan kita renungkan?" tanya Gading."Aku punya petunjuk, sepertinya mata biru akan bertahan lama jika kita mengalirkan energi ke sekitar mata. Jujur, aku belum pernah mencoba hal ini selain mengalirkannya ke anggota tubuh," ujar Askara.Yang lainnya mengangguk, mereka sadar jika pelatihan selama menjadi pendekar Adiwira memang sering melibatkan kaki dan tangan."Ada benarnya juga," gumam Ajisena."Maka dari itu, kita harus mencobanya." Askara yakin, dengan cara itu mereka akan berhasil.Semua orang mulai mengajukan satu persatu usulan mereka. Tentang bagaimana sebaiknya hal yang perlu dilakukan sebelum mengalirkan energi pada mata.Barulah ditengah perbincangan, Kai dan Sanggapati datang dan la
Melupakan perdebatan tadi yang disebabkan karena beda ajaran, kini ke delapan orang itu berusaha untuk mencari cara mengalirkan beban tenaga ke area mata tanpa menyebabkan kebutaan."Bagaimana jika kita coba apa yang sempat Cindala lakukan? Melepaskan sekaligus menghambat energi di kaki, lalu berjalan Napak banyu di atas danau ini. Jika kita bisa, maka tak menutup kemungkinan jika pengaliran energi di mata nanti juga bisa," usul Gading lagi."Nah, itu juga yang sempat aku pikirkan sejak tadi." Sanggapati menjentikkan jarinya."Baiklah, jadi kalian semua hendak mencobanya? Jika mau, kita coba bersama-sama," ujar Ajisena."Kau bisa menunjukkannya pada kami, Cindala?" tanya Askara."Oh tentu, kalian bisa memperhatikanku lebih dulu," titah Cindala sambil membuka alas kakinya.Lantas gadis itu menarik kipas yang menggantung di lingkar ikat pinggangnya, Cindala juga terlihat membuka kipas dan mengibaskan benda itu ke punggung kakinya.Seketika kulit Cindala terlihat sobek, kipas itu berhasi
Askara pun melangkah lebih dulu."Tim delapan!" teriaknya.Semuanya yang semula terdiam, sontak menyahut, "Ya!""Bersiaplah ...." bisik Askara.Gra ... Gra ... Gra ...Cindaku tiruan buatan Sepuh Rakata ternyata bisa bersuara juga, layaknya cindaku asli.Askara menggenggam erat kujangnya. "SERANGGG!!!"Teriakan ke delapan anak itu pun bergaung, bersatu dan bercampur dengan auman cindaku tiruan. Seketika lembah itu pun berisik akan suara perkelahian.Askara maju paling cepat, dia terlihat memimpin. Lantas dia hunuskan kujang itu hingga menyabit kloning cindaku itu."Arggh!"Byur!Replika cindaku itu pun meletus, namun beberapa detik kemudian kembali berwujud seperti semula. Askara tidak menyerah, dia terus menerus menghantam replika air itu lewat tebasan kujangnya itu.Sanggapati dan Vitaloka saling bersampingan, keduanya kompak melesatkan anak panahnya. Namun nihil sekali, anak panah mereka tak ada satupun yang mempan bahkan tembus melesat.Mereka lupa jika replika cindaku itu terbuat
"Aska!" seru teman-temannya yang lain.Setelah lima menit berlalu, Askara muncul ke permukaan. Dia kembali naik dan menapak di atas air. Lantas dia menghunuskan kujangnya dan menyabet segerombolan kloning air cindaku itu.Yudhara, Kai, Ajisena dan Gading hendak membantu. Namun tiba-tiba air danau bergelombang dan naik membentuk dinding."Sial! Kenapa ini?!" gerutu Gading saat bentangan air berdiri menyerupai tembok seakan menghalangi mereka kembali ke tengah danau."Sepuh Rakata?" Kai mendongak, ternyata sang sepuh sama sekali tidak mengizinkan siapapun untuk membantu Askara."Biarkan, kita jangan bantu Aska," tutur Kai lagi."Kenapa? Dia membutuhkan bantuan kita," pungkas Yudhara."Ini keinginan Sepuh Rakata," balas Kai.Tak ada pilihan lain, keempat pemuda itu lebih memilih menunggu Askara hingga berhasil melewati sekumpulan kloning buatan Rakata itu.Askara tertatih-tatih, sesekali dia menceburkan diri ke dalam air guna menghindari serangan kloning itu. Membuat teknik penghambatan-
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany