Sesampainya Askara, Kai dan Sanggapati di tengah aula padepokan kalong, keduanya disuguhkan dengan beberapa kumpulan pendekar adiwira muda. Mereka tengah sibuk berbincang dengan satu sama lain.Ketiganya berjalan ke arah tengah, membuntuti jejak Kai yang berjalan paling depan."Ya ampun. Terlalu banyak orang di sini. Kemana tujuan kita, Kai?" tanya Askara kisruh dari belakang."Yang jelas jangan menghalangi jalan," jawabnya tanpa menoleh. Lantas setelah itu, Kai menemukan tempat yang tak terlihat cukup longgar. Maka ketiganya memutuskan untuk berdiam di salah satu sudut aula."Kepalaku pusing, apa aku mabuk lagi?" keluh Sanggapati."Makanlah pisang lagi!" Askara segera memberikan bekal pisang yang sempat dibawanya tadi. Ia khawatir jika Sanggapati akan kembali bertingkah gila."Sebenarnya aku pusing kepala karena faktor banyak orang di sini. Tapi ya sudahlah, jika kau memberiku pisang, aku tak akan menolaknya," kekeh Sanggapati langsung menyambar pisang Askara."Jangan main-main, Sang
Sebubarnya mereka dari aula, para adiwira muda berpencar ke segala arah. Mereka beristirahat sebelum akhirnya pembagian tim dimulai. Sebelum ujian di pegunungan Cimungkal, mereka akan dibagi menjadi beberapa tim terlebih dahulu. Mereka juga akan dilatih beberapa hal yang belum sempat dipelajari. "Menurut kalian, apa ujian pegunungan Cimungkal ini merupakan simulasi yang asli saat kita ujian di bukit pasir nagog?" tanya Askara. "Sepertinya begitu," balas Kai sambil meminum air kelapa yang dibagikan para Sepuh padepokan. "Ah, ini akan lebih sulit," sahut Sanggapati. "Jangan khawatir, sebelum ujian akhir itu diadakan kita akan dilatih beberapa hal. Aku sangat berharap ada latihan untuk menguatkan fisik. Kalian tahu sendiri bukan, fisik kita terlalu lemah. Membangkitkan mata biru saja bisa berakhir pingsan," dengus Kai lagi. "Bukannya semua pendekar adiwira juga seperti itu? Penggunaan mata biru memang menguras tenaga?" tanya Askara. Sebelum Kai menjawab, ada orang lain yang menyahu
Sesuai dengan dugaan mereka, ke enam remaja itu berakhir dengan tim yang sama. Angka dalam batok kelapa itu memang menunjukkan jika mereka tergabung dalam tim delapan."Jumlah kita baru enam, adakah kemungkinan kita menambah anggota lagi? Tim delapan berarti delapan orang bukan?" tanya Ajisena usai pembagian tim."Aku harap ada adiwira perempuan yang masuk ke dalam tim kita," kekeh Sanggapati.Mendengar hal itu, Kai langsung menjitak Sanggapati dengan keras. "Ini latihan menjadi ksatria, bukan latihan mencari cinta," ketusnya lagi.Sanggapati hanya tertawa usil menanggapinya."Ngomong-ngomong, kita akan dilatih oleh salah satu Sepuh di sini ya?" tanya Askara."Sepertinya begitu," jawab Yudhara. "Tidak mungkin kita dibiarkan latihan sendiri, kita bahkan belum tahu bagaimana jenis latihan level dua bukan?"Askara mengangguk, perkataan teman barunya itu ada benarnya juga.Tak lama kemudian Sanggapati izin mengambil air minum pada yang lainnya. Namun sebenarnya bukan hanya itu, dia hendak
"Kemana Sanggapati? Kenapa dia belum kunjung datang?" tanya Askara, sudah lebih dari dua puluh menit Sanggapati meninggalkan tim. Harusnya dua sudah kembali sebelum pelatihan adiwira level dua dimulai.Tak lama kemudian, Sanggapati datang tampang yang agak berbeda."Akhirnya kau datang juga. Kenapa lama sekali?" Kedatangan Sanggapati langsung disambut dengan sederet pertanyaan dari Askara."Ehm. Tidak apa-apa. Aku tadi ... yah, ada masalah sedikit," jawab Sanggapati."Masalah apa yang kau temui saat mengambil air minum, sobat?" tanya Gading kemudian."Yah, begitulah .... jangan dibahas." Sanggapati menekankan perkataannya. Anggota yang lainnya pun mengerti, topik pembicaraan pun beralih."O ya teman-teman, menurut informasi yang kudapatkan, dua orang yang akan mengisi tim delapan adalah perempuan," ucap Yudhara."Bagaimana kau tau?" tanya Kai lagi."Jangan lupa kalau dia adalah cicak di dinding, alias si penguping yang handal." Lantas Ajisena tertawa setelahnya."Hei ...." ketus Yudha
"Baiklah, kali ini aku yang akan membimbing tim delapan untuk pelatihan level dua kali ini. Mohon kerjasamanya."Namanya Sepuh Rakata, perawakannya jauh lebih muda dibanding Baduga ataupun Dwara. Dialah yang akan melatih tim delapan kali ini. Mereka mempersiapkan diri untuk beradaptasi dengan cara pelatihan Sepuh Rakata nanti. Tidak menutup kemungkinan, akan ada perbedaan cara belajar antara Sepuh yang mengajari mereka pertama kali dengan Sepuh kali ini."Baiklah, aku minta kalian berdiri untuk melakukan pelepasan energi. Lalu perkuatlah tangan dan kaki kalian."Askara dan yang lainnya menurut, mereka mengambil posisi berderet satu baris ke samping. Lalu mereka mengikuti perintah Sepuh Rakata."Setelah ini bagaimana, Sepuh?" tanya Yudhara."Kita hanya akan bermain permainan, siapa yang jatuh berarti dia kalah," balas sang sepuh."Bermain permainan?" Mereka saling menoleh satu sama lain."Sederhana saja, aku akan mendorong kalian. Dan sebisa mungkin kalian tahan badan kalian jangan sam
Askara kembali terbangun di dunia alam bawah sadarnya. Jika dia masuk gerbang itu, berarti di dunia asli dia dalam keadaan tidak sadarkan diri.Askara ingat, dia sempat terdorong dari sisi tebing kemudian jatuh ke dasar danau."Ah, pasti aku tidak sadarkan diri karena tenggelam," keluh Askara.Tiba-tiba kepala seorang pria menyembul dari atasnya. Secara mendadak dan mengagetkan, wajah itu mendadak muncul di atas pandangan Askara."Yoo Aska, apa kabar?" sapa Abiseka."Gusti! Paman Abiseka ...?" Pemuda itu terperanjat dan bangun dari posisi berbaring."Aku baik-baik saja Paman, sekarang aku sedang menjalankan pelatihan Level dua.""Wah, bagus sekali. Ternyata kau sudah sejauh itu ya?" kekek Abiseka lagi. "Ngomong-ngomong, pelatihan level dua yang dilakukanmu itu, ada pengaruhnya juga untuk mata jingga milikmu.""Benarkah?""Kan dulu sudah kubilang, mata jingga dan mata biru hanya berbeda soal fungsinya dan cara membangkitkannya saja. Selebihnya sama," jawab Abiseka."Jadi kira-kira? Man
Askara membuka matanya.Lantas dia terperanjat bangun. "Paman Abiseka?" gumamnya.Dia terbangun dengan kondisi di sekelilingnya tampak pemandangan tak biasa. Di depan ada sebuah danau, sedangkan dirinya terbaring di pinggirnya yang penuh dengan rerumputan.Pakaiannya basah semua.Askara pun ingat, jika dia dan tim delapan semuanya jatuh ke jurang sampai tercebur di danau saat menjalani pelatihan dari sepuh Rakata."Teman-teman?!" pekik Askara seraya celingukan mencari yang lainnya.Di saat yang sama pula, Sanggapati terbaring di sisi lain pinggir danau. Pemuda itu membuka matanya sedikit demi sedikit, seketika pemandangan buram pun mulai jelas secara perlahan.Ada wajah perempuannya yang tengah tidur di sana. Tepatnya di samping kiri dirinya. Sanggapati tak percaya akan berkah yang menimpanya itu.'Ada bidadari di sampingku. Ternyata dia sedang menemani tidurku,' batinnya seraya berimajinasi tinggi.'Sepertinya aku sudah mati. Dan kini aku berada di surgawi ...' pikirnya lagi."Cantik
Sanggapati dan Askara akhirnya menemukan Gading, Yudhara dan Ajisena. Ketiganya tampak pingsan di belahan lain pinggir danau.Ajisena berhasil bangun lebih dulu. "Aska? Sangga?""Sena, kau baik-baik saja kan?" Askara membantu pemuda itu untuk bangun.Ajisena terlihat mengembuskan napasnya. "Hidungku terlalu banyak kemasukan air, tapi sekarang sudah tidak."Pemuda itu lantas celingukan. "Gading? Yudhara?""Mereka masih ping–" Perkataan Askara terhenti saat Sanggapati malah ikut berbaring di tengah-tengah Gading dan Yudhara yang sedang tak sadarkan diri."Hei Sangga!" Askara melempar batu pada Sanggapati yang malah tidur-tiduran."Diam, Aska. Kepalaku sakit," katanya sambil berguling dan tengkurap."Biarkan saja dia," kekeh Ajisena. "Yah, pada akhirnya kita kalah.""Kita coba lagi. Kita masih belum kalah!" Askara yakin, bahwa kali ini mereka pasti bisa menguasai pelatihan level dua. Dia sudah diberitahu hal ini oleh Abiseka sebelumnya."Bagaimana caranya? Sepuh Rakata bahkan mampu mendo
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam