Musim gugur datang seperti semilir angin yang tiba-tiba merubah warna daun-daun perlahan-lahan jadi jingga dan kecoklatan. Rasa gerah dan keringat yang bercucuran hanya karena bernapas diganti dengan baju hangat. Beberapa gerai kopi mulai menjual kopi dan kue-kue dengan rasa dan hiasan labu kuning dan rempah kayu manis dan kapulaga.
Akhirnya ayahku mengetahui dari Stacey kalau hari itu rumahku hampir kebakaran. Ayahku jadi lebih jarang mampir ke sanatorium di hari kerja dan memilih kesana hari Jumat dan akhir pekan bersamaku meski seringkali aku hanya menunggu. Rasanya merindukan seseorang tetapi sulit bertemu mereka adalah nyeri yang tidak bisa diungkapkan. Seperti lebam yang tidak selalu berdenyut ngilu hingga kau lupa ada luka disitu. Suatu saat luka itu akan terantuk dan membuatmu menjerit, dan tahu-tahu lebam itu menjadi ungu lagi. Begitulah rasanya.
Suatu hari saat mengunjungi Ibu, seperti biasa aku duduk di satu sudut taman. Dari sini aku bisa melihat air mancur di tengah. Tamannya sangat cantik dan menenangkan, dipenuhi pohon-pohon bougenville berbagai warna dan semak bunga peony yang mulai mengering. Dari tempatku duduk aku bisa melihat ayahku bersama Ibu duduk di bangku taman di sisi lain. Kami terhalang air mancur dan aku sangat berhati-hati hanya untuk memandangi mereka dari jauh.
Aku membuatnya jadi kebiasaan, sejak dua tahun lalu aku belajar membuat kue kering dari Stacey. Aku membuatkan ibuku biskuit badam dan menitipkannya pada Ayah. Kadang aku melihat langsung ibuku memakan biskuit-biskuit itu dengan lahap. Kadang, biskuit itu harus disimpan perawat untuk dikonsumsi dalam pengawasan. Kadang kalau aku tidak ikut, ayahku kembali dengan tempat makan kosong.
Aku sedang menatap mereka yang seperti sedang kembali ke masa pacaran, sungguh ironis. Lalu tiba-tiba sebuah rambut hitam pekat menghalangi pandanganku. Aku kaget bukan main.
Rambut itu lalu terurai, menyingkapkan sebuah wajah yang sedang melirik kebawahku. Kusadari, wanita itu sedang menunduk dari belakang memandangiku. Seorang pasien kah? Atau halusinasiku lagi?
"Kau cuma akan menatap dari jauh?" bisiknya.
"Tolong permisi," gumamku. Manusia atau setan, aku tidak mau diganggu seperti ini.
Ia buru-buru berdiri dan merapikan diri, gaun pasien.
"Aku sering melihatmu disini. Memandang kedua orangtuamu dengan tatapan memelas. Kenapa kau tidak disana? Apa kamu yang sudah menyakiti Ibumu?"
Aku menghela napas. Pertanyaannya tiba-tiba membuatku kesal dan lemas.
"Apa aku harus menjawab itu? Kita tidak saling kenal."
"Aku pasien disini. Sudah hampir satu tahun. Tidak ada yang menjengukku lagi." katanya sambil tersenyum simpul. Ia juga memerhatikan Ayah dan ibuku. "Ah, tapi kelihatannya Ibumu ya yang menyakitimu, ya?
"Ibumu kelihatannya lebih baik disini. Lebih baik kalau dia tidak pulang. Tak ada gunanya juga kau kesini. Kalian hanya akan membuat satu sama lain sakit."
Aku tersentak dan berdiri, merasa tersinggung dengan komentar seorang asing.
"Maksudmu apa bilang begitu?"
Dia nampak benar-benar bingung dan ikut berdiri, "Tentu. Dunia di luar sana lebih pelik. Kau tidak tahu siapa musuhmu. Bayanganmu sendiripun bisa jadi hantu. Tidak ada yang tahu niat ibumu." katanya sambil menepuk bahuku, seperti mau berlalu.
"Kau siapa?"
"Aku pasien disini, sudah hampir satu tahun" katanya. Lalu wajahnya seperti linglung dan ia menggaruk belakang telinganya. Ada tanda Pemburu di atas nadinya.
Seorang pasien laki-laki separuh baya, datang dan menepuk bahuku juga. "Sudah, tidak usah ladeni dia. Dia suka berbicara dan membuat kerabat pasien yang datang kebingungan. Ayo sini, Jade, yang lain sudah menunggumu di ruang rekreasi." ia menggiring perempuan itu pergi dan memberiku senyuman lelah, meninggalkanku yang beku akibat racauan perempuan bernama Jade.
***
"Ibumu sangat responsif tadi!" seru ayahku semangat saat kami berjalan ke parkiran mobil. "Hampir seperti saat ia sehat dulu. Ia mengingat ulang tahunmu sebentar lagi dan titip salam untukmu, Kat." katanya sambil tersenyum lega."Aku ikut senang, Yah. Apakah Ibu menghabiskan biskuit badamnya kali ini?"
"Sampai remah-remahnya! Dia bilang dia bangga padamu. Dia tampak sedikit sendu, sepertinya kecewa karena mesti melewatkan banyak sekali tahapan hidupmu."
Tanpa bisa dipungkiri, hatiku pun terasa nyeri mendengar itu.
Ayahku mulai menyetir, menuruni jalan karena Sanatorium ini terletak di atas bukit. Dahulu saat dibangun, pendirinya percaya tempat yang tenang dan udara bersih akan membantu pemulihan kondisi mental pasiennya. Aku menyetujui itu, perjalanan dari dan ke Sanatorium memang sangat menenangkan. Jalan tol kesini tidak terlalu ramai dan di dekat daerah sini banyak sekali pohon-pohon rimbun dan anginnya sangat sejuk. Saat mau masuk ke daerah yang lebih padat, aku baru mau menutup jendela ketika aku melihat sesuatu di kaca spion.
Awalnya aku melihat bayangan di kursi belakang yang seolah ditutupi tirai renda. Lama kelamaan saat mataku terbiasa, yang nampak adalah perempuan berbaju renda putih yang kusam dengan wajah penuh luka itu. Aku bisa merasakan mataku membelalak dan nafasku jadi tersengal-sengal. Senyum jahat terukir di bibirnya dan tangannya yang lentik, penuh noda tanah dan sesuatu yang nampak kehitaman datang dari perlahan dengan sarat ancaman, seolah akan mencekikku.
Aku berusaha mengelak, terpaku rasa takut seakan-akan aku akan menjalani lagi mimpi terburukku hampir tiga tahun lalu. Tiba-tiba aku terbangun.
"Kau bermimpi?" tanya ayahku, wajahnya terlihat kuatir.
"Apakah aku tidur dari tadi, Yah?"
Ayahku mengangkat bahu, "Ya. Tak lama setelah Ayah menyetir. Kita hampir sampai."
Aku terbengong. Perjalanan menghabiskan hampir 1,5 jam satu arah. Alangkah ganjilnya, bermimpi sesingkat dan semenyeramkan itu ternyata menghabiskan waktu lama di realita. Meski tak ingin, pikiranku reflek memutar ulang mimpiku berkali-kali.
"Katrina?" panggil ayahku.
"Iya, Yah? Maaf aku masih sedikit mengantuk." ujarku berpura-pura menggeliat. Sejujurnya aku bahkan tidak ingat aku tertidur.
Kulirik ayahku, Ayah tersenyum mengerti. Kulihat di depan kami akan memasuki exit jalan tol yang baru kami lalui 15 menit yang lalu.
Aku menegakkan badan sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Apakah otakku benar-benar sedang korslet karena baru tidur?
"Kau bermimpi?" tanya ayahku lagi, wajahnya terlihat kuatir.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, memandangnya bingung. "Apakah aku salah dengar?"
Ayahku mengangkat bahu, "Kita hampir sampai."
Aku memandang ke luar jendela dengan heran. Kami memasuki lagi exit jalan tol yang baru kami lalui tadi. Seketika aku merinding. Ini jelas bukan efek baru bangun.
"Kenapa, Kat?" katanya dengan suara terhibur yang samar-samar.
"Tidak, Yah." Entah kenapa enggan menatap wajahnya. "Aku pikir kita baru lewat sini tadi, mungkin aku masih sedikit pusing."
"Kau bermimpi?" tanya ayahku.
Seketika aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya.
Tiba-tiba, Ayah tertawa. Tawa yang bergemuruh dari dalam. Tawa yang dingin dan sangat puas. Aku melihat kami melewati exit tol yang sama lagi dan aku baru menyadari sepanjang jalan tidak ada apa-apa. Tidak ada manusia maupun kendaraan lain. Aku merasa perutku tegang.
"Ayah?" tanyaku takut-takut.
"Apalah hidup ini kalau bukan labirin, Kat? Kita semua tersesat di dalamnya dan Tuhan cuma tertawa." ucap Ayah seolah-olah benar-benar terhibur dengan pikirannya.
Aku berusaha memerhatikan Ayah baik-baik, selain dari ini tidak ada hal lain yang aneh darinya. Apakah ini halusinasi? Mimpi?
"Oh, Kat!" seru ayahku. "Jangan terlalu serius, sebentar lagi kau ulang tahun kan? Bersenang-senanglah sedikit." katanya, masih terbahak-bahak meskipun tidak ada yang lucu. Sementara itu, Ayah menginjak pedal gas semakin kuat, kami melaju seperti angin.
"Ayah tolong, pelankan laju mobilnya. Aku takut."
"Bagaimana perasaanmu, Nak? How would you feel if the whole world is your birthday cake?" Tawa itu terganti dengan senyum sinis yang sangat lebar.
"Tolong..." pintaku lirih.
"Don't frown." pungkas Ayah, menoleh padaku dari arah setir meskipun kami melaju semakin kencang. Senyumnya semakin lebar "You should be very happy now." suaranya bercampur suara perempuan yang sumbang. Lalu sebuah guncangan hebat terjadi dan aku bisa merasakan sekelilingku seperti meledak.
"Tidaaaaaaaaaak!!" teriakku.
Mobil kami terguncang dan berguling beberapa kali. Saat aku sadar, Ayah sudah dikelilingi api, dari balik jilatan api masih ada suara tawa yang janggal. Mobil kami seketika dilahap api, yang kurasakan adalah rasa panas paling murni berbeda dari panas apapun yang pernah aku rasakan. Tidak ada hawa sepanas dibakar hidup-hidup.
Aku tersedak nafasku sendiri.
"Kat?"
Aku terbatuk-batuk, lidahku tergigit. Kupandangi sekeliling. Ayahku masih menyetir, kecepatan 80km/jam, langit biru dengan kemacetan sedang. Baru kali ini aku sangat lega melihat jalanan ramai.
"Kau tak apa? Kau kelihatan butuh minum." ujar Ayah sambil mengambil botol minum untukku.
Kupandangi botol minum itu di tangannya.
"Cepat, Ayah sedang menyetir."
"Terima kasih, Yah." gumamku.
"Kau yakin tidak apa-apa?"
"Tidak apa, Yah. Cuma mimpi buruk."
Terima kasih untuk pembaca yang sudah mampir ke Chain of Destiny!
Ulang tahunku datang berbarengan dengan perayaan Halloween. Semakin dekat dengan hari itu, tanda di atas nadiku semakin pedih meskipun belum benar-benar nyata. Hantu perempuan itu masih membuntutiku, seperti bayangan di sudut mata. Terkadang ia nampak di cermin, membuatku terkejut dengan wajahnya yang rusak.Pada malam hari di kamarku, kadang aku bisa mendengarnya bernapas. Menghidu baunya yang seperti dupa dan arang. Melihatnya duduk di ujung ranjangku dan mengamatiku. Anehnya, semakin lama aku bersamanya ia kelihatan semakin pudar. Mimpi buruk tetap ada sekali-kali, tetapi setidaknya aku tidak lagi merasakan jari-jemarinya yang bernoda hitam merayap naik ke leherku, atau bagaimana ia membuatku nyaris celaka di rumahku sendiri.Besok adalah hari ulang tahunku dan Ayah berjanji akan mengambil pesanan kuenya ke toko kue langganan kami. K
Tanganku bergetar. Keheningan yang sinis seakan menyelimutiku dan aku ingin melangkah keluar, tetapi seluruh tubuhku tertahan sebuah kekuatan tak kasat mata."Oh, anak malang. Jahat benar kau, Stacey. Dia sampai menangis." ejek Newt."Cepat bunuh dia atau ambil darahnya. Perasaanku tidak enak." gumam laki-laki yang satu lagi."Tahan sebentar, Grimm." kata Stacey. "Kita harus berhati-hati karena kita tidak tahu bentuk sihir anak ini." ucapannya membuat Pemburu di belakangnya bergumam setuju dan bergerak tidak nyaman.Saat itu juga, Stacey melakukan hal yang janggal. Ia mengambil pisau dari dapur lalu menorehkan telapak tangannya. Darah merembes keluar dari lukanya lalu dengan darah itu ia membuat lingkaran di bawah tubuhku dengan tulis
Kraztavh adalah tempat yang dikenal sebagaisleepy townatau kota yang terlampau tenang tanpa atraksi atau kegiatan menarik. Kota yang muram, membosankan, tapi istimewa. Berbeda dengan Ibukota Ogham yang sibuk atau Uruz, dataran tinggi tempat Sanatorium terletak yang dikelilingi desa-desa kecil, peternakan, dan perkebunan. Kraztavh adalah tempat yang dikelilingi hutan lebat dengan hujan hampir sepanjang tahun. Penghuninya biasanya pasangan usia pasca-produktif yang mencari ketenangan atau pasangan dan keluarga yang ingin memiliki rumah liburan di tengah cuaca yang cocok untuk berselimut.Aku memasuki gerbong kereta. Lama perjalanan dari jalan setapak di belakang rumah itu hanya memakan kurang dari 15 menit berjalan kaki hingga ke stasiun yang sibuk. Tetapi sesuai dugaan, penumpang ke arah Kraztavh tidak banyak. Koridor-koridor kosong melompong, ada banyak kursi kosong.
Sinar matahari yang sudah lama tak kurasakan datang menerobos kamarku – kamar rumah sakit tepatnya. Entah sudah berapa lama aku terbaring disini. Aku tidak dapat mengingat banyak hal. Aku berusaha menggali kejadian-kejadian sebelum aku berakhir disini. Tiba-tiba bahuku terasa panas, segera kuintip gaun pasienku dan cuma ada luka yang sudah berubah menjadi abu-abu disitu.Seketika, rentetan ingatanku melimpah keluar seperti isian botol toples yang berserakan. Kepalaku sakit. Sekujur tubuhku sakit. Yah, setidaknya aku masih bisa merasakan nikmatnya disinari matahari dari jendela bangsal ini. Setelah bisa mengendalikan diri, kuulurkan tanganku ke arah cahaya. Akibat terlalu lama di dalam ruangan, kulitku
Kata dokter, aku tertidur selama hampir 2 bulan. Katanya trauma psikologisku mungkin sangat besar sampai aku sempatshut downbegitu saja. Aku tetap terbangun pada pagi hari dengan teratur tetapi tidak responsif terhadap apapun, lalu malamnya aku akan tidur seperti biasa. Tetapi karena kondisi vitalku baik dan perlahan-lahan aku menunjukkan respons sosial, maka mereka membiarkan aku pulih dengan sendirinya.Kudengar respons traumatisku itu sah-sah saja mengingat kota kami sedang berantakan. Para Pemburu dan Secondary sedang membuat kerusuhan sebagai upaya pemberontakan. Mereka membencistatus quoyang
Tanda yang diwariskan di atas nadi kami sama halnya dengan keturunan yang bersifat genetik. Jika kedua orangtuamu memiliki warna mata berbeda, misalnya. Ia cenderung akan mengikuti orangtua yang lebih dominan atau pada kasus tertentu, seperti lotre. Tanda peran yang akan kami jalani sepanjang hidup biasanya muncul saat kami beranjak remaja, diiringi ciri-ciri pubertas pada umumnya.Seorang dengan keturunan campur dengan ibu seorang Penyihir dan ayah seorang Murni, biasanya akan menjadi Secondary. Tetapi saat ulang tahunku yang ke-15 kemarin, gurat hangus yang mulai nampak di atas nadiku adalah tanda seorang Penyihir. Alih-alih merasa senan
Aku pingsan saat kejadian itu. Ayahku datang tepat waktu untuk menyelamatkan aku dengan dibantu keluarga van Kelley yang langsung sigap mengantar ibuku ke sanatarium. Layaknya sebagian besar Murni, ayahku dan ayah Wolfram adalah dokter. Orang Murni kebanyakan menjadi dokter, guru, peneliti, penasehat pemerintah, orang hukum, dan jenis-jenis pekerjaan lainnya yang memerlukan penyerapan informasi yang tinggi.Ayahku dan Robert kenal siapa yang akan merawat ibu dan bagaimana ibuku akan ditangani setelah kejadian malam itu.
Tanpa Ibu di rumah, kami berdua menjadi lebih murung. Ayahku berusaha keras mencairkan suasana dengandaddy jokesyang garing dan basi jika kami bersama, tapi seringkali ia seperti menyesapi rasa sepi dan kerinduannya terhadap ibu. Akupun menjadi lebih diam di sekolah sementara teman-temanku sudah beranjak puber dan mulai menikmati berdandan, jalan-jalan di akhir pekan, dan menggoda lawan jenis.Sebentar lagi para Pemburu muda akan memamerkan kelihaian mereka di lapangan olahraga atau diindoor hall.Biasanya para laki-laki akan adu jago dan bertaruh. Para Penyihir muda akan berbisik, menceritakan karu
Kraztavh adalah tempat yang dikenal sebagaisleepy townatau kota yang terlampau tenang tanpa atraksi atau kegiatan menarik. Kota yang muram, membosankan, tapi istimewa. Berbeda dengan Ibukota Ogham yang sibuk atau Uruz, dataran tinggi tempat Sanatorium terletak yang dikelilingi desa-desa kecil, peternakan, dan perkebunan. Kraztavh adalah tempat yang dikelilingi hutan lebat dengan hujan hampir sepanjang tahun. Penghuninya biasanya pasangan usia pasca-produktif yang mencari ketenangan atau pasangan dan keluarga yang ingin memiliki rumah liburan di tengah cuaca yang cocok untuk berselimut.Aku memasuki gerbong kereta. Lama perjalanan dari jalan setapak di belakang rumah itu hanya memakan kurang dari 15 menit berjalan kaki hingga ke stasiun yang sibuk. Tetapi sesuai dugaan, penumpang ke arah Kraztavh tidak banyak. Koridor-koridor kosong melompong, ada banyak kursi kosong.
Tanganku bergetar. Keheningan yang sinis seakan menyelimutiku dan aku ingin melangkah keluar, tetapi seluruh tubuhku tertahan sebuah kekuatan tak kasat mata."Oh, anak malang. Jahat benar kau, Stacey. Dia sampai menangis." ejek Newt."Cepat bunuh dia atau ambil darahnya. Perasaanku tidak enak." gumam laki-laki yang satu lagi."Tahan sebentar, Grimm." kata Stacey. "Kita harus berhati-hati karena kita tidak tahu bentuk sihir anak ini." ucapannya membuat Pemburu di belakangnya bergumam setuju dan bergerak tidak nyaman.Saat itu juga, Stacey melakukan hal yang janggal. Ia mengambil pisau dari dapur lalu menorehkan telapak tangannya. Darah merembes keluar dari lukanya lalu dengan darah itu ia membuat lingkaran di bawah tubuhku dengan tulis
Ulang tahunku datang berbarengan dengan perayaan Halloween. Semakin dekat dengan hari itu, tanda di atas nadiku semakin pedih meskipun belum benar-benar nyata. Hantu perempuan itu masih membuntutiku, seperti bayangan di sudut mata. Terkadang ia nampak di cermin, membuatku terkejut dengan wajahnya yang rusak.Pada malam hari di kamarku, kadang aku bisa mendengarnya bernapas. Menghidu baunya yang seperti dupa dan arang. Melihatnya duduk di ujung ranjangku dan mengamatiku. Anehnya, semakin lama aku bersamanya ia kelihatan semakin pudar. Mimpi buruk tetap ada sekali-kali, tetapi setidaknya aku tidak lagi merasakan jari-jemarinya yang bernoda hitam merayap naik ke leherku, atau bagaimana ia membuatku nyaris celaka di rumahku sendiri.Besok adalah hari ulang tahunku dan Ayah berjanji akan mengambil pesanan kuenya ke toko kue langganan kami. K
Musim gugur datang seperti semilir angin yang tiba-tiba merubah warna daun-daun perlahan-lahan jadi jingga dan kecoklatan. Rasa gerah dan keringat yang bercucuran hanya karena bernapas diganti dengan baju hangat. Beberapa gerai kopi mulai menjual kopi dan kue-kue dengan rasa dan hiasan labu kuning dan rempah kayu manis dan kapulaga. Akhirnya ayahku mengetahui dari Stacey kalau hari itu rumahku hampir kebakaran. Ayahku jadi lebih jarang mampir ke sanatorium di hari kerja dan memilih kesana hari Jumat dan akhir pekan bersamaku meski seringkali aku hanya menunggu. Rasanya merindukan seseorang tetapi sulit bertemu mereka adalah nyeri yang tidak bisa diungkapkan. Seperti lebam yang tidak selalu berdenyut ngilu hingga kau lupa ada luka disitu. Suatu saat luka itu akan terantuk dan membuatmu menjerit, dan tahu-tahu lebam itu menjadi ungu lagi. Begitulah rasanya. Suatu hari saat mengunjungi Ibu, seperti biasa aku duduk di satu sudut taman. Dari sini aku bisa melihat air manc
Ketika suasana mulai tenang dan Stacey selesai membereskan makan malam yang ia bawa untukku, aku berterima kasih dan ia kembali ke rumahnya. Karena takut, aku menyalakan lampu di setiap ruangan. Entah kenapa sudut gelap membuatku grogi seakan-akan ada sepasang mata tak kasat mata yang memerhatikanku dari ketiadaan. Aku sudah memeriksa tempat-tempat yang kira-kira bisa menjadi tempat ular atau laba-laba bersembunyi. Tidak ada jejak hewan sama sekali. Meskipun aku cemas, aku tidak ingin menelepon Ayah karena takut mendistraksi beliau dan menambah beban pikiran. Dengan perasaan campur aduk, aku mondar-mandir di depan ruang tamu. Kusetel TV, tapi tak benar-benar kuperhatikan. Volumenya kubesarkan sebagai suara di belakang layar. Aku lapar tetapi tidak berselera, jadi aku menyumpal roti tawar ke mulutku dan mengunyahnya asal-asalan. Sekitar pukul sepuluh malam, suara mobil ayah terdengar dari depan halaman rumah. Perasaan lega membanjiriku dan aku segera berlari m
Tanpa Ibu di rumah, kami berdua menjadi lebih murung. Ayahku berusaha keras mencairkan suasana dengandaddy jokesyang garing dan basi jika kami bersama, tapi seringkali ia seperti menyesapi rasa sepi dan kerinduannya terhadap ibu. Akupun menjadi lebih diam di sekolah sementara teman-temanku sudah beranjak puber dan mulai menikmati berdandan, jalan-jalan di akhir pekan, dan menggoda lawan jenis.Sebentar lagi para Pemburu muda akan memamerkan kelihaian mereka di lapangan olahraga atau diindoor hall.Biasanya para laki-laki akan adu jago dan bertaruh. Para Penyihir muda akan berbisik, menceritakan karu
Aku pingsan saat kejadian itu. Ayahku datang tepat waktu untuk menyelamatkan aku dengan dibantu keluarga van Kelley yang langsung sigap mengantar ibuku ke sanatarium. Layaknya sebagian besar Murni, ayahku dan ayah Wolfram adalah dokter. Orang Murni kebanyakan menjadi dokter, guru, peneliti, penasehat pemerintah, orang hukum, dan jenis-jenis pekerjaan lainnya yang memerlukan penyerapan informasi yang tinggi.Ayahku dan Robert kenal siapa yang akan merawat ibu dan bagaimana ibuku akan ditangani setelah kejadian malam itu.
Tanda yang diwariskan di atas nadi kami sama halnya dengan keturunan yang bersifat genetik. Jika kedua orangtuamu memiliki warna mata berbeda, misalnya. Ia cenderung akan mengikuti orangtua yang lebih dominan atau pada kasus tertentu, seperti lotre. Tanda peran yang akan kami jalani sepanjang hidup biasanya muncul saat kami beranjak remaja, diiringi ciri-ciri pubertas pada umumnya.Seorang dengan keturunan campur dengan ibu seorang Penyihir dan ayah seorang Murni, biasanya akan menjadi Secondary. Tetapi saat ulang tahunku yang ke-15 kemarin, gurat hangus yang mulai nampak di atas nadiku adalah tanda seorang Penyihir. Alih-alih merasa senan
Kata dokter, aku tertidur selama hampir 2 bulan. Katanya trauma psikologisku mungkin sangat besar sampai aku sempatshut downbegitu saja. Aku tetap terbangun pada pagi hari dengan teratur tetapi tidak responsif terhadap apapun, lalu malamnya aku akan tidur seperti biasa. Tetapi karena kondisi vitalku baik dan perlahan-lahan aku menunjukkan respons sosial, maka mereka membiarkan aku pulih dengan sendirinya.Kudengar respons traumatisku itu sah-sah saja mengingat kota kami sedang berantakan. Para Pemburu dan Secondary sedang membuat kerusuhan sebagai upaya pemberontakan. Mereka membencistatus quoyang