Tanpa Ibu di rumah, kami berdua menjadi lebih murung. Ayahku berusaha keras mencairkan suasana dengan daddy jokes yang garing dan basi jika kami bersama, tapi seringkali ia seperti menyesapi rasa sepi dan kerinduannya terhadap ibu. Akupun menjadi lebih diam di sekolah sementara teman-temanku sudah beranjak puber dan mulai menikmati berdandan, jalan-jalan di akhir pekan, dan menggoda lawan jenis.
Sebentar lagi para Pemburu muda akan memamerkan kelihaian mereka di lapangan olahraga atau di indoor hall. Biasanya para laki-laki akan adu jago dan bertaruh. Para Penyihir muda akan berbisik, menceritakan karunia sihir mereka untuk adu keren. Sementara aku? Aku merasa seperti tinggal di Limbo. Setiap di sekolah aku hanya ingin pulang, saat di rumah aku ingin cepat-cepat keluar rumah. Saat melakukan kegiatan aku hanya ingin segera tidur, dan saat mulai tertidur aku tidak ingin bangun lagi.
Aku jadi kurang merawat diri. Rambutku yang tadinya lurus seperti Ibu, merah berkilau menjadi ikal tidak beraturan. Aku tidak lagi memedulikan harus memakai baju apa dan harus berpenampilan seperti apa selama aku sopan dan tidak menarik perhatian. Lambat laun kusadari, teman-temanku mulai menjauh.
Hari itu adalah hari-hari terakhir musim semi sebelum ke musim panas. Suatu hari saat hendak pulang sekolah, dengan kepala tertunduk tahu-tahu aku menabrak Wolfram yang sedang mengambil bola untuk bermain bersama teman-temannya. Sekarang aku kelas tiga sekolah menengah dan Wolfram sudah SMA. Kami sudah tidak bersekolah di satu gedung tapi masih bersebelahan. Aku akan segera menyusul Wolfram, tetapi aku tidak bersemangat berlibur ataupun lulus SMP.
"Ow!" gerutuku pelan saat merasakan hidungku bertubrukan dengan dadanya yang keras.
"Ah, astaga! Maaf, Kat." katanya dengan suara yang sangat dalam. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya memanggilku. Apakah memang sudah lama? Ah, ya. Mula-mula kami masih sesekali berangkat atau pulang sekolah bersama. Hal itu semakin jarang sejak ibuku dirawat di sanatarium dan Wolfram beranjak SMA. Ia semakin larut dengan kesibukannya, aku semakin tenggelam dalam duniaku.
Aku menghitung-hitung di dalam benakku. Seharusnya Wolfram sudah puber. Seperti apa ya, tandanya? Aku tahu semua tanda Secondary sama, seperti ranting pohon. Tetapi mungkin rasanya akan berbeda kalau aku bisa melihatnya langsung di atas nadi Wolfram. Aku melirik, Ia memakai jersey sekolah berlengan panjang. Aku mengurungkan niatku.
"Apa ada yang ingin kau katakan?" tanyanya.
Serta-merta aku mengangkat kepala dan menatapnya. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa malu karena memikirkan detil intim itu. Wajahku terasa semakin panas setelah lebih menyadari bahwa sekarang aku cuma setinggi pundaknya.
Wajah Wolfram nampak bingung sekaligus menunggu. Gantian aku yang memandangnya bingung.
"Tidak. Apakah kau perlu sesuatu?"
Wolfram tampak ingin berkata sesuatu, mulutnya sudah terbuka separuh jalan.
"Wolfram!" seru seorang laki-laki dari belakangku yang terdengar buru-buru menghampirinya.
Melihat ada yang datang, ia menggeleng dan menarik ucapannya. Sejak kapan kami jadi sejauh ini? Tapi kalau dipikir-pikir, aku yang telah mendorong orang-orang menjauh dan aku memang tidak berusaha.
"Hi, Kat! Ingat aku?" sapa Renault Vazynsky. Anak kedua dari keluarga Vazynsky yang dulu tinggal di perumahan kami. Entah kapan persisnya, mereka pindah. Aku tersenyum singkat sambil mengangguk kepadanya dan menangkap tanda Pemburu yang menyerupai panah rumit di atas nadinya. "Kau sudah besar sekali! Dulu kau cuma segini dan selalu menempel dengan Wolfram." katanya berlebihan sambil menakar lututnya.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Renault masih seonar dan selucu dulu. "Sudah." ujar Wolfram dengan nada mengingatkan sambil menyikut Renault.
Akhirnya ia menepuk bahuku, "kami duluan. Jangan melamun dan jangan sampai jatuh sakit." katanya sambil berlalu.
"Senang bertemu denganmu lagi, Kat!"
Kata-kata dari Wolfram, sesingkat itu tetapi membuat hatiku terasa lebih ringan.
* * *
Kebanyakan hari-hari yang kulalui, Stacey akan datang ke rumah dan mengantarkan makanan. Terkadang ia akan mengundangku - undangan yang sayangnya tidak selalu kupenuhi - untuk makan malam di rumahnya karena ayahku sering absen sebab ia mampir terlebih dahulu ke sanatarium selepas kerja. Aku tidak keberatan, karena akupun sedih melihat ayahku seperti seorang yang hilang arah terpisah dengan Ibu. Jika bertemu hampir setiap hari dapat mengobati rindunya, aku tidak apa.
Suatu hari, aku pulang menemukan Stacey sedang masak di dapurku. Aneh sekali, dia hampir tidak pernah memakai perabot di rumah kami maupun masuk ke rumah ini saat tidak ada orang.
"Stacey?" panggilku ke sosok itu. Saat kuhampiri sosok itu sedang bersenandung, dengan senandung yang sama persis seperti yang biasa dinyanyikan ibuku.
"Ibu?" Aku meragukan pertanyaanku sendiri saat mengutarakannya. Perempuan di hadapanku jelas-jelas Stacey. Rambut gelapnya yang panjang dikepang satu, mengenakan terusan berlengan lonceng dengan motif bohemia. Aku hendak menepuk bahunya saat tiba-tiba ia berbalik.
Betapa ngerinya aku ketika wajahnya tidak dapat kukenali. Wajah itu dipenuhi dengan sayatan dan koreng. Ada kesan seolah aku berhadapan dengan ibuku, sekaligus juga dengan Stacey. Sebuah aroma menyelimutiku. Sebuah bau hangus bercampur bau gas dan bau busuk. Aku bisa merasakan tubuhku memanas seolah-olah aku sedang terbakar.
"Siapa kau?" tanyaku susah payah. Ada rasa pahit yang pekat, merayap naik ke kekeronganku. Tangan wanita itu terasa lengket saat ia memegang pipiku erat-erat. Wajahnya mendekat lalu ia tertawa sangat nyaring. Mulutnya membesar dan semakin lebar. Dan aku sempat mengira sebagian wajahnya akan hilang karena ukuran mulutnya yang menjadi semakin tak wajar. Lalu aku mendengar suara pintu dibanting dengan sangat keras.
"Katrina!" panggil Stacey dari pintu depan. Aku membelalakan mata dan kembali memandang sosok di depanku. Betapa kagetnya aku, tidak ada siapa-siapa disana. Aku terjatuh lemas sambil terbatuk-batuk dan tersengal-sengal. Mau muntah rasanya. Bau itu masih menggantung di udara.
"Kenapa kau melakukan ini? Tidak tahukah kamu ini sangat berbahaya?!" seru Stacey galak. Aku sangat kaget sampai gemetar karena aku tidak tahu apa yang Stacey maksud.
Wajah Stacey melunak, pastilah karena melihat kebingunganku. "Oh, anak manis. Zaman sekarang kau bisa menggunakan ketel listrik. Kau tidak bisa sembrono kalau sedang menyalakan kompor."
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dengan cepat, seolah hal itu akan memudahkanku mengerti apa yang sedang terjadi. Aku baru menyadari sekelilingku pekat dengan asap.
"Kau sedang merebus air di panci. Kau saja sampai lupa. Airnya sudah benar-benar surut dan dasar pancimu hangus. Kalau aku tidak mencium baunya, kebakaran bisa benar-benar terjadi." suaranya lembut. Ia menghampiriku yang masih setengah bersandar di lantai, lalu ikut duduk di lantai.
Tiba-tiba ada bunyi nyaring dari arah pintu. Vas bunga yang terletak di atas lemari jatuh dan pecah. Dari dalamnya keluar seekor ular kobra. Seketika aku merasa seolah darah surut dari tubuhku, sebab teringat sihir ibuku saat ia sakit. Aku dan Stacey, tanpa sadar saling menggenggam tangan satu sama lain dan terpaku.
"Jangan membuat gerakan mendadak," bisiknya sambil mematung. "Hidupmu masih panjang, Nak."
"Mengerti." Jawabku.
Kami berdua berdiri mematung seperti itu, bernafas pun rasanya mesti berhati-hati sekali. Ular itu memandangi kami, ada aura dingin yang bisa kejam maupun tak acuh. Anehnya, sorot mata ular itu cerdas sekali. Seperti benar-benar sedang mencermati kami yang sedang berusaha tidak memprovokasinya.
Setelah beberapa waktu adu pandang, setiba-tiba munculnya, ular itu merayap keluar dari rumah. Tubuhku yang sedari tadi tegang, langsung rileks.
Aku terkesiap, "Ibu!"
Stacey juga langsung merubah posisi, menarik tanganku kembali. "Kau mau kemana?"
Ditanya begitu aku juga tidak tahu. Yang jelas, ada yang salah di rumah ini. Aku jelas tidak menyentuh peralatan dapur. Aku tidak sedang memasak air dan yang paling penting, siapa wanita yang kulihat tadi? Kalau dia halusinasi, pastilah kompor itu tidak ikut menyala. Bulu kudukku meremang.
Apalagi kalau bukan sihir?
Ketika suasana mulai tenang dan Stacey selesai membereskan makan malam yang ia bawa untukku, aku berterima kasih dan ia kembali ke rumahnya. Karena takut, aku menyalakan lampu di setiap ruangan. Entah kenapa sudut gelap membuatku grogi seakan-akan ada sepasang mata tak kasat mata yang memerhatikanku dari ketiadaan. Aku sudah memeriksa tempat-tempat yang kira-kira bisa menjadi tempat ular atau laba-laba bersembunyi. Tidak ada jejak hewan sama sekali. Meskipun aku cemas, aku tidak ingin menelepon Ayah karena takut mendistraksi beliau dan menambah beban pikiran. Dengan perasaan campur aduk, aku mondar-mandir di depan ruang tamu. Kusetel TV, tapi tak benar-benar kuperhatikan. Volumenya kubesarkan sebagai suara di belakang layar. Aku lapar tetapi tidak berselera, jadi aku menyumpal roti tawar ke mulutku dan mengunyahnya asal-asalan. Sekitar pukul sepuluh malam, suara mobil ayah terdengar dari depan halaman rumah. Perasaan lega membanjiriku dan aku segera berlari m
Musim gugur datang seperti semilir angin yang tiba-tiba merubah warna daun-daun perlahan-lahan jadi jingga dan kecoklatan. Rasa gerah dan keringat yang bercucuran hanya karena bernapas diganti dengan baju hangat. Beberapa gerai kopi mulai menjual kopi dan kue-kue dengan rasa dan hiasan labu kuning dan rempah kayu manis dan kapulaga. Akhirnya ayahku mengetahui dari Stacey kalau hari itu rumahku hampir kebakaran. Ayahku jadi lebih jarang mampir ke sanatorium di hari kerja dan memilih kesana hari Jumat dan akhir pekan bersamaku meski seringkali aku hanya menunggu. Rasanya merindukan seseorang tetapi sulit bertemu mereka adalah nyeri yang tidak bisa diungkapkan. Seperti lebam yang tidak selalu berdenyut ngilu hingga kau lupa ada luka disitu. Suatu saat luka itu akan terantuk dan membuatmu menjerit, dan tahu-tahu lebam itu menjadi ungu lagi. Begitulah rasanya. Suatu hari saat mengunjungi Ibu, seperti biasa aku duduk di satu sudut taman. Dari sini aku bisa melihat air manc
Ulang tahunku datang berbarengan dengan perayaan Halloween. Semakin dekat dengan hari itu, tanda di atas nadiku semakin pedih meskipun belum benar-benar nyata. Hantu perempuan itu masih membuntutiku, seperti bayangan di sudut mata. Terkadang ia nampak di cermin, membuatku terkejut dengan wajahnya yang rusak.Pada malam hari di kamarku, kadang aku bisa mendengarnya bernapas. Menghidu baunya yang seperti dupa dan arang. Melihatnya duduk di ujung ranjangku dan mengamatiku. Anehnya, semakin lama aku bersamanya ia kelihatan semakin pudar. Mimpi buruk tetap ada sekali-kali, tetapi setidaknya aku tidak lagi merasakan jari-jemarinya yang bernoda hitam merayap naik ke leherku, atau bagaimana ia membuatku nyaris celaka di rumahku sendiri.Besok adalah hari ulang tahunku dan Ayah berjanji akan mengambil pesanan kuenya ke toko kue langganan kami. K
Tanganku bergetar. Keheningan yang sinis seakan menyelimutiku dan aku ingin melangkah keluar, tetapi seluruh tubuhku tertahan sebuah kekuatan tak kasat mata."Oh, anak malang. Jahat benar kau, Stacey. Dia sampai menangis." ejek Newt."Cepat bunuh dia atau ambil darahnya. Perasaanku tidak enak." gumam laki-laki yang satu lagi."Tahan sebentar, Grimm." kata Stacey. "Kita harus berhati-hati karena kita tidak tahu bentuk sihir anak ini." ucapannya membuat Pemburu di belakangnya bergumam setuju dan bergerak tidak nyaman.Saat itu juga, Stacey melakukan hal yang janggal. Ia mengambil pisau dari dapur lalu menorehkan telapak tangannya. Darah merembes keluar dari lukanya lalu dengan darah itu ia membuat lingkaran di bawah tubuhku dengan tulis
Kraztavh adalah tempat yang dikenal sebagaisleepy townatau kota yang terlampau tenang tanpa atraksi atau kegiatan menarik. Kota yang muram, membosankan, tapi istimewa. Berbeda dengan Ibukota Ogham yang sibuk atau Uruz, dataran tinggi tempat Sanatorium terletak yang dikelilingi desa-desa kecil, peternakan, dan perkebunan. Kraztavh adalah tempat yang dikelilingi hutan lebat dengan hujan hampir sepanjang tahun. Penghuninya biasanya pasangan usia pasca-produktif yang mencari ketenangan atau pasangan dan keluarga yang ingin memiliki rumah liburan di tengah cuaca yang cocok untuk berselimut.Aku memasuki gerbong kereta. Lama perjalanan dari jalan setapak di belakang rumah itu hanya memakan kurang dari 15 menit berjalan kaki hingga ke stasiun yang sibuk. Tetapi sesuai dugaan, penumpang ke arah Kraztavh tidak banyak. Koridor-koridor kosong melompong, ada banyak kursi kosong.
Sinar matahari yang sudah lama tak kurasakan datang menerobos kamarku – kamar rumah sakit tepatnya. Entah sudah berapa lama aku terbaring disini. Aku tidak dapat mengingat banyak hal. Aku berusaha menggali kejadian-kejadian sebelum aku berakhir disini. Tiba-tiba bahuku terasa panas, segera kuintip gaun pasienku dan cuma ada luka yang sudah berubah menjadi abu-abu disitu.Seketika, rentetan ingatanku melimpah keluar seperti isian botol toples yang berserakan. Kepalaku sakit. Sekujur tubuhku sakit. Yah, setidaknya aku masih bisa merasakan nikmatnya disinari matahari dari jendela bangsal ini. Setelah bisa mengendalikan diri, kuulurkan tanganku ke arah cahaya. Akibat terlalu lama di dalam ruangan, kulitku
Kata dokter, aku tertidur selama hampir 2 bulan. Katanya trauma psikologisku mungkin sangat besar sampai aku sempatshut downbegitu saja. Aku tetap terbangun pada pagi hari dengan teratur tetapi tidak responsif terhadap apapun, lalu malamnya aku akan tidur seperti biasa. Tetapi karena kondisi vitalku baik dan perlahan-lahan aku menunjukkan respons sosial, maka mereka membiarkan aku pulih dengan sendirinya.Kudengar respons traumatisku itu sah-sah saja mengingat kota kami sedang berantakan. Para Pemburu dan Secondary sedang membuat kerusuhan sebagai upaya pemberontakan. Mereka membencistatus quoyang
Tanda yang diwariskan di atas nadi kami sama halnya dengan keturunan yang bersifat genetik. Jika kedua orangtuamu memiliki warna mata berbeda, misalnya. Ia cenderung akan mengikuti orangtua yang lebih dominan atau pada kasus tertentu, seperti lotre. Tanda peran yang akan kami jalani sepanjang hidup biasanya muncul saat kami beranjak remaja, diiringi ciri-ciri pubertas pada umumnya.Seorang dengan keturunan campur dengan ibu seorang Penyihir dan ayah seorang Murni, biasanya akan menjadi Secondary. Tetapi saat ulang tahunku yang ke-15 kemarin, gurat hangus yang mulai nampak di atas nadiku adalah tanda seorang Penyihir. Alih-alih merasa senan
Kraztavh adalah tempat yang dikenal sebagaisleepy townatau kota yang terlampau tenang tanpa atraksi atau kegiatan menarik. Kota yang muram, membosankan, tapi istimewa. Berbeda dengan Ibukota Ogham yang sibuk atau Uruz, dataran tinggi tempat Sanatorium terletak yang dikelilingi desa-desa kecil, peternakan, dan perkebunan. Kraztavh adalah tempat yang dikelilingi hutan lebat dengan hujan hampir sepanjang tahun. Penghuninya biasanya pasangan usia pasca-produktif yang mencari ketenangan atau pasangan dan keluarga yang ingin memiliki rumah liburan di tengah cuaca yang cocok untuk berselimut.Aku memasuki gerbong kereta. Lama perjalanan dari jalan setapak di belakang rumah itu hanya memakan kurang dari 15 menit berjalan kaki hingga ke stasiun yang sibuk. Tetapi sesuai dugaan, penumpang ke arah Kraztavh tidak banyak. Koridor-koridor kosong melompong, ada banyak kursi kosong.
Tanganku bergetar. Keheningan yang sinis seakan menyelimutiku dan aku ingin melangkah keluar, tetapi seluruh tubuhku tertahan sebuah kekuatan tak kasat mata."Oh, anak malang. Jahat benar kau, Stacey. Dia sampai menangis." ejek Newt."Cepat bunuh dia atau ambil darahnya. Perasaanku tidak enak." gumam laki-laki yang satu lagi."Tahan sebentar, Grimm." kata Stacey. "Kita harus berhati-hati karena kita tidak tahu bentuk sihir anak ini." ucapannya membuat Pemburu di belakangnya bergumam setuju dan bergerak tidak nyaman.Saat itu juga, Stacey melakukan hal yang janggal. Ia mengambil pisau dari dapur lalu menorehkan telapak tangannya. Darah merembes keluar dari lukanya lalu dengan darah itu ia membuat lingkaran di bawah tubuhku dengan tulis
Ulang tahunku datang berbarengan dengan perayaan Halloween. Semakin dekat dengan hari itu, tanda di atas nadiku semakin pedih meskipun belum benar-benar nyata. Hantu perempuan itu masih membuntutiku, seperti bayangan di sudut mata. Terkadang ia nampak di cermin, membuatku terkejut dengan wajahnya yang rusak.Pada malam hari di kamarku, kadang aku bisa mendengarnya bernapas. Menghidu baunya yang seperti dupa dan arang. Melihatnya duduk di ujung ranjangku dan mengamatiku. Anehnya, semakin lama aku bersamanya ia kelihatan semakin pudar. Mimpi buruk tetap ada sekali-kali, tetapi setidaknya aku tidak lagi merasakan jari-jemarinya yang bernoda hitam merayap naik ke leherku, atau bagaimana ia membuatku nyaris celaka di rumahku sendiri.Besok adalah hari ulang tahunku dan Ayah berjanji akan mengambil pesanan kuenya ke toko kue langganan kami. K
Musim gugur datang seperti semilir angin yang tiba-tiba merubah warna daun-daun perlahan-lahan jadi jingga dan kecoklatan. Rasa gerah dan keringat yang bercucuran hanya karena bernapas diganti dengan baju hangat. Beberapa gerai kopi mulai menjual kopi dan kue-kue dengan rasa dan hiasan labu kuning dan rempah kayu manis dan kapulaga. Akhirnya ayahku mengetahui dari Stacey kalau hari itu rumahku hampir kebakaran. Ayahku jadi lebih jarang mampir ke sanatorium di hari kerja dan memilih kesana hari Jumat dan akhir pekan bersamaku meski seringkali aku hanya menunggu. Rasanya merindukan seseorang tetapi sulit bertemu mereka adalah nyeri yang tidak bisa diungkapkan. Seperti lebam yang tidak selalu berdenyut ngilu hingga kau lupa ada luka disitu. Suatu saat luka itu akan terantuk dan membuatmu menjerit, dan tahu-tahu lebam itu menjadi ungu lagi. Begitulah rasanya. Suatu hari saat mengunjungi Ibu, seperti biasa aku duduk di satu sudut taman. Dari sini aku bisa melihat air manc
Ketika suasana mulai tenang dan Stacey selesai membereskan makan malam yang ia bawa untukku, aku berterima kasih dan ia kembali ke rumahnya. Karena takut, aku menyalakan lampu di setiap ruangan. Entah kenapa sudut gelap membuatku grogi seakan-akan ada sepasang mata tak kasat mata yang memerhatikanku dari ketiadaan. Aku sudah memeriksa tempat-tempat yang kira-kira bisa menjadi tempat ular atau laba-laba bersembunyi. Tidak ada jejak hewan sama sekali. Meskipun aku cemas, aku tidak ingin menelepon Ayah karena takut mendistraksi beliau dan menambah beban pikiran. Dengan perasaan campur aduk, aku mondar-mandir di depan ruang tamu. Kusetel TV, tapi tak benar-benar kuperhatikan. Volumenya kubesarkan sebagai suara di belakang layar. Aku lapar tetapi tidak berselera, jadi aku menyumpal roti tawar ke mulutku dan mengunyahnya asal-asalan. Sekitar pukul sepuluh malam, suara mobil ayah terdengar dari depan halaman rumah. Perasaan lega membanjiriku dan aku segera berlari m
Tanpa Ibu di rumah, kami berdua menjadi lebih murung. Ayahku berusaha keras mencairkan suasana dengandaddy jokesyang garing dan basi jika kami bersama, tapi seringkali ia seperti menyesapi rasa sepi dan kerinduannya terhadap ibu. Akupun menjadi lebih diam di sekolah sementara teman-temanku sudah beranjak puber dan mulai menikmati berdandan, jalan-jalan di akhir pekan, dan menggoda lawan jenis.Sebentar lagi para Pemburu muda akan memamerkan kelihaian mereka di lapangan olahraga atau diindoor hall.Biasanya para laki-laki akan adu jago dan bertaruh. Para Penyihir muda akan berbisik, menceritakan karu
Aku pingsan saat kejadian itu. Ayahku datang tepat waktu untuk menyelamatkan aku dengan dibantu keluarga van Kelley yang langsung sigap mengantar ibuku ke sanatarium. Layaknya sebagian besar Murni, ayahku dan ayah Wolfram adalah dokter. Orang Murni kebanyakan menjadi dokter, guru, peneliti, penasehat pemerintah, orang hukum, dan jenis-jenis pekerjaan lainnya yang memerlukan penyerapan informasi yang tinggi.Ayahku dan Robert kenal siapa yang akan merawat ibu dan bagaimana ibuku akan ditangani setelah kejadian malam itu.
Tanda yang diwariskan di atas nadi kami sama halnya dengan keturunan yang bersifat genetik. Jika kedua orangtuamu memiliki warna mata berbeda, misalnya. Ia cenderung akan mengikuti orangtua yang lebih dominan atau pada kasus tertentu, seperti lotre. Tanda peran yang akan kami jalani sepanjang hidup biasanya muncul saat kami beranjak remaja, diiringi ciri-ciri pubertas pada umumnya.Seorang dengan keturunan campur dengan ibu seorang Penyihir dan ayah seorang Murni, biasanya akan menjadi Secondary. Tetapi saat ulang tahunku yang ke-15 kemarin, gurat hangus yang mulai nampak di atas nadiku adalah tanda seorang Penyihir. Alih-alih merasa senan
Kata dokter, aku tertidur selama hampir 2 bulan. Katanya trauma psikologisku mungkin sangat besar sampai aku sempatshut downbegitu saja. Aku tetap terbangun pada pagi hari dengan teratur tetapi tidak responsif terhadap apapun, lalu malamnya aku akan tidur seperti biasa. Tetapi karena kondisi vitalku baik dan perlahan-lahan aku menunjukkan respons sosial, maka mereka membiarkan aku pulih dengan sendirinya.Kudengar respons traumatisku itu sah-sah saja mengingat kota kami sedang berantakan. Para Pemburu dan Secondary sedang membuat kerusuhan sebagai upaya pemberontakan. Mereka membencistatus quoyang