แชร์

BAB 167: IDENTITAS SEJATI DYAH SULASTRI

ผู้เขียน: Arjuna Wiraguna
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-16 02:00:24
Di ruang perawatan istana, cahaya pagi yang lembut menembus celah-celah jendela kayu ukir. Udara di dalam ruangan terasa hangat namun penuh ketegangan. Dyah Sulastri, yang selama ini terbaring lemah dalam koma setelah menyelamatkan Raka dari serangan penyihir gelap, akhirnya membuka matanya. Napasnya pelan, tetapi tatapannya tajam dan penuh kesadaran.

Raka, yang duduk di sisi ranjangnya dengan wajah pucat karena kelelahan dan rasa bersalah, langsung bangkit ketika melihat Dyah bergerak. "Dyah..." panggilnya dengan suara bergetar, tak percaya bahwa wanita yang ia cintai akhirnya sadar.

Dyah Sulastri tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih pucat. "Aku... baik-baik saja," katanya dengan suara pelan namun tegas. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—seolah-olah ia telah melihat lebih dari sekadar mimpi selama koma.

Angin malam berdesir pelan, membawa aroma bunga kenanga yang menyelimuti ruangan. Naga Niskala muncul di sungai suci yang mengalir di bawah istana, matanya bersin
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 168: ARYA KERTAJAYA MENGAMBIL KEPUTUSAN AKHIR

    Di tepi hutan lebat yang mengelilingi istana Gilingwesi, Arya Kertajaya berdiri sendirian di bawah cahaya bulan purnama. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Api unggun kecil yang ia nyalakan di dekatnya berkedip-kedip lemah, menciptakan bayangan panjang di wajahnya yang muram. Matanya menatap jauh ke arah istana, tempat Dyah Sulastri—wanita yang selama ini ia cintai diam-diam—berada.Arya Kertajaya telah menyadari sesuatu yang sulit diterima oleh hatinya: cintanya pada Dyah Sulastri tidak akan pernah terbalas. Ia tahu bahwa hati Dyah sudah dimiliki oleh Raka, seorang pria dari masa depan yang menjadi bagian penting dalam takdir kerajaan ini. Namun, lebih dari itu, ia juga menyadari bahwa posisinya sebagai panglima perang tidak lagi memiliki makna bagi dirinya. Keputusan besar harus diambil, dan ia tahu bahwa saatnya telah tiba.Ia menunduk, tangannya mencengkeram gagang pedangnya dengan erat. "Apakah aku benar-benar bisa melanjutkan hidup

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 169: KI JAGABAYA MELARIKAN DIRI LAGI

    Di penjara bawah tanah istana Gilingwesi, suasana mencekam menyelimuti ruangan yang lembap dan dingin. Cahaya lilin yang berkedip-kedip lemah hanya cukup untuk menyoroti wajah muram para tahanan. Di salah satu sel paling dalam, Ki Jagabaya duduk dengan tenang, tangannya terikat rantai besi tebal yang dipercaya bisa menahan kekuatan gaib. Namun, matanya bersinar seperti bara api, mencerminkan tekadnya yang tak pernah padam.Penjaga-penjaga kerajaan berjaga di luar sel, waspada terhadap gerakan apa pun dari pria misterius itu. Mereka tahu bahwa Ki Jagabaya bukan musuh biasa—ia adalah pemimpin pasukan bayangan yang memiliki hubungan erat dengan dunia gaib. Meskipun begitu, mereka merasa aman karena artefak spiritual telah digunakan untuk memperkuat sel ini, membuatnya sulit bagi siapa pun untuk melarikan diri.Namun, di balik ketenangannya, Ki Jagabaya tersenyum tipis. Ia tahu bahwa penjara ini tidak akan bisa menahannya selamanya. Dunia gaib selalu mendengarkan panggilannya, dan ia sudah

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 170: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Di aula utama istana Gilingwesi, suasana tegang menyelimuti ruangan yang dipenuhi lilin-lilin berkedip lemah. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tampak lelah namun penuh tekad. Di hadapannya, Raka berdiri dengan ekspresi bingung dan cemas. Cahaya bulan purnama yang menembus jendela ukir menciptakan pola bayangan yang bergerak pelan di lantai marmer, menambah nuansa magis dan dramatis.Angin malam berdesir pelan, membawa aroma dupa yang semakin kuat. Suara gemericik air dari sungai suci di bawah istana terdengar samar-samar, seolah mengiringi ketegangan yang memuncak di ruangan itu. Resi Agung Darmaja berdiri di sudut ruangan, matanya tertutup rapat, seolah tenggelam dalam meditasi mendalam."Aku telah memutuskan sesuatu yang penting," kata Rakai Wisesa dengan suara dalam namun lembut. "Dan aku ingin kau mendengarnya langsung dari mulutku."Raka menatap Rakai Wisesa dengan mata melebar. "Apa maksudmu, Yang Mulia?"Rakai Wisesa menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 171: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Di tepi sungai suci yang mengalir di bawah istana Gilingwesi, suasana malam terasa magis dan penuh misteri. Bulan purnama memantulkan cahayanya di permukaan air yang tenang, menciptakan kilauan seperti emas cair. Udara dingin membawa aroma tanah basah dan dupa yang menyelimuti seluruh area, seolah-olah alam sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.Raka berdiri di tepi sungai, hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketegangan setelah menerima tahta dari Rakai Wisesa. Di sampingnya, Dyah Sulastri menatap air dengan ekspresi khawatir, seolah ia tahu bahwa sesuatu yang penting akan terjadi malam ini. Tiba-tiba, air sungai mulai bergolak meskipun tidak ada angin atau hujan. Permukaan air terbelah pelan-pelan, dan dari dalamnya muncul Naga Niskala—makhluk mistis yang telah menjadi penjaga kerajaan selama berabad-abad.Matanya bersinar seperti emas cair, dan suaranya bergema lembut namun menggetarkan jiwa. "Kalian telah sampai pada titik akhir perjalanan kalian," katanya dengan nada yang menda

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 172: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di ruang bawah tanah istana Gilingwesi, tempat artefak perunggu disimpan dalam sebuah kotak kayu berukir kuno, suasana dipenuhi oleh ketegangan. Cahaya lilin yang redup memantul di permukaan artefak, menciptakan bayangan aneh di dinding batu. Udara dingin membawa aroma belerang yang semakin kuat, seolah-olah alam sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.Raka berdiri di depan artefak itu, tangannya gemetar saat ia menggenggamnya. Ia tahu bahwa ini adalah momen penting—momen yang akan menentukan takdirnya dan kerajaan ini. Dyah Sulastri berdiri di pintu masuk, matanya penuh kekhawatiran. "Apakah kau yakin dengan ini, Raka?" tanyanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah kesunyian malam.Raka mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa ragu. "Ini satu-satunya cara," katanya, suaranya mantap namun bergetar. "Jika aku bisa membuka portal waktu permanen, mungkin ada harapan untuk menyelamatkan kerajaan ini."Namun, sebelum ia melanjutkan, artefak itu mulai bergetar lemah di ta

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 173: DYAH SULASTRI MENGHADAPI TAKDIRNYA

    Matahari pagi mulai terbit di cakrawala, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti istana Gilingwesi. Namun, suasana di dalam istana jauh dari damai. Udara dipenuhi oleh ketegangan dan kecemasan. Ritual besar yang akan menentukan nasib kerajaan ini hanya tinggal beberapa jam lagi.Dyah Sulastri berdiri di tepi sungai suci, airnya yang tenang mencerminkan wajahnya yang penuh konflik batin. Ia tahu bahwa hari ini adalah akhir dari perjalanan panjangnya—akhir dari semua harapan dan impian yang ia bangun bersama Raka. Tangannya gemetar saat ia meraih liontin kecil yang selalu ia kenakan, sebuah simbol hubungannya dengan dunia gaib sejak lahir.Raka mendekatinya dari belakang, langkah kakinya hampir tidak terdengar di atas rerumputan basah. "Kau tidak harus melakukannya," katanya pelan, suaranya penuh emosi. "Ada cara lain untuk menyelamatkan kerajaan ini."Dyah Sulastri menoleh, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. "Tidak ada cara lain, Raka. Ini adalah takdirku—sejak aku dilahirkan, a

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 174: ARYA KERTAJAYA MENGUCAPKAN SELAMAT TINGGAL

    Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang redup. Udara terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah alam pun menahan napasnya untuk menyaksikan momen perpisahan ini. Arya Kertajaya berdiri di tepi halaman istana, mengenakan jubah perang lusuhnya yang kini tampak lebih pudar daripada dulu. Wajahnya penuh kerutan—bukan hanya karena usia, tetapi juga beban emosional yang ia tanggung selama bertahun-tahun.Raka dan Dyah Sulastri mendekatinya bersama-sama, langkah mereka pelan namun pasti. Ada kesedihan dalam setiap gerakan tubuh mereka, meskipun mereka mencoba untuk tetap tegar. Arya Kertajaya memandang mereka bergantian, matanya penuh dengan rasa hormat, rindu, dan penyesalan."Aku tidak akan melupakan apa yang telah kita lalui bersama," kata Arya Kertajaya, suaranya rendah namun mantap. "Tapi aku tahu bahwa tempatku bukan lagi di sini."Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa kehadirannya t

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 175: PENGORBANAN DI TEPI TAKDIR

    Matahari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan langit malam yang gelap dengan bintang-bintang berkilauan seperti mata gaib yang mengamati. Udara dingin menyelimuti istana Gilingwesi, membawa aroma dupa dan tanah basah yang memperkuat suasana mistis. Di tepi sungai suci, portal waktu terbuka lebar, memancarkan cahaya biru kehijauan yang berdenyut seperti detak jantung. Portal itu adalah gerbang menuju masa depan Raka—tempat ia bisa kembali ke dunianya sendiri. Namun, di sisi lain, itu juga merupakan garis batas antara dua dunia, dua takdir, dan dua pilihan yang tidak mungkin dipertemukan.Raka dan Dyah Sulastri berdiri di depan portal itu, saling berpegangan tangan erat. Wajah mereka mencerminkan keteguhan hati, meskipun bayangan keraguan masih tersirat di kedalaman mata mereka. Mereka tahu bahwa ini adalah momen penentuan—akhir dari perjalanan panjang yang penuh konflik, pengorbanan, dan cinta terlarang."Kita sudah sampai di sini," kata Raka pelan, suaranya terdengar hampir seperti

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17

บทล่าสุด

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status