Di aula utama istana Gilingwesi, suasana tegang menyelimuti ruangan yang dipenuhi lilin-lilin berkedip lemah. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tampak lelah namun penuh tekad. Di hadapannya, Raka berdiri dengan ekspresi bingung dan cemas. Cahaya bulan purnama yang menembus jendela ukir menciptakan pola bayangan yang bergerak pelan di lantai marmer, menambah nuansa magis dan dramatis.Angin malam berdesir pelan, membawa aroma dupa yang semakin kuat. Suara gemericik air dari sungai suci di bawah istana terdengar samar-samar, seolah mengiringi ketegangan yang memuncak di ruangan itu. Resi Agung Darmaja berdiri di sudut ruangan, matanya tertutup rapat, seolah tenggelam dalam meditasi mendalam."Aku telah memutuskan sesuatu yang penting," kata Rakai Wisesa dengan suara dalam namun lembut. "Dan aku ingin kau mendengarnya langsung dari mulutku."Raka menatap Rakai Wisesa dengan mata melebar. "Apa maksudmu, Yang Mulia?"Rakai Wisesa menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku
Di tepi sungai suci yang mengalir di bawah istana Gilingwesi, suasana malam terasa magis dan penuh misteri. Bulan purnama memantulkan cahayanya di permukaan air yang tenang, menciptakan kilauan seperti emas cair. Udara dingin membawa aroma tanah basah dan dupa yang menyelimuti seluruh area, seolah-olah alam sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.Raka berdiri di tepi sungai, hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketegangan setelah menerima tahta dari Rakai Wisesa. Di sampingnya, Dyah Sulastri menatap air dengan ekspresi khawatir, seolah ia tahu bahwa sesuatu yang penting akan terjadi malam ini. Tiba-tiba, air sungai mulai bergolak meskipun tidak ada angin atau hujan. Permukaan air terbelah pelan-pelan, dan dari dalamnya muncul Naga Niskala—makhluk mistis yang telah menjadi penjaga kerajaan selama berabad-abad.Matanya bersinar seperti emas cair, dan suaranya bergema lembut namun menggetarkan jiwa. "Kalian telah sampai pada titik akhir perjalanan kalian," katanya dengan nada yang menda
Di ruang bawah tanah istana Gilingwesi, tempat artefak perunggu disimpan dalam sebuah kotak kayu berukir kuno, suasana dipenuhi oleh ketegangan. Cahaya lilin yang redup memantul di permukaan artefak, menciptakan bayangan aneh di dinding batu. Udara dingin membawa aroma belerang yang semakin kuat, seolah-olah alam sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.Raka berdiri di depan artefak itu, tangannya gemetar saat ia menggenggamnya. Ia tahu bahwa ini adalah momen penting—momen yang akan menentukan takdirnya dan kerajaan ini. Dyah Sulastri berdiri di pintu masuk, matanya penuh kekhawatiran. "Apakah kau yakin dengan ini, Raka?" tanyanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah kesunyian malam.Raka mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa ragu. "Ini satu-satunya cara," katanya, suaranya mantap namun bergetar. "Jika aku bisa membuka portal waktu permanen, mungkin ada harapan untuk menyelamatkan kerajaan ini."Namun, sebelum ia melanjutkan, artefak itu mulai bergetar lemah di ta
Matahari pagi mulai terbit di cakrawala, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti istana Gilingwesi. Namun, suasana di dalam istana jauh dari damai. Udara dipenuhi oleh ketegangan dan kecemasan. Ritual besar yang akan menentukan nasib kerajaan ini hanya tinggal beberapa jam lagi.Dyah Sulastri berdiri di tepi sungai suci, airnya yang tenang mencerminkan wajahnya yang penuh konflik batin. Ia tahu bahwa hari ini adalah akhir dari perjalanan panjangnya—akhir dari semua harapan dan impian yang ia bangun bersama Raka. Tangannya gemetar saat ia meraih liontin kecil yang selalu ia kenakan, sebuah simbol hubungannya dengan dunia gaib sejak lahir.Raka mendekatinya dari belakang, langkah kakinya hampir tidak terdengar di atas rerumputan basah. "Kau tidak harus melakukannya," katanya pelan, suaranya penuh emosi. "Ada cara lain untuk menyelamatkan kerajaan ini."Dyah Sulastri menoleh, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. "Tidak ada cara lain, Raka. Ini adalah takdirku—sejak aku dilahirkan, a
Matahari mulai tenggelam di cakrawala, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang redup. Udara terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah alam pun menahan napasnya untuk menyaksikan momen perpisahan ini. Arya Kertajaya berdiri di tepi halaman istana, mengenakan jubah perang lusuhnya yang kini tampak lebih pudar daripada dulu. Wajahnya penuh kerutan—bukan hanya karena usia, tetapi juga beban emosional yang ia tanggung selama bertahun-tahun.Raka dan Dyah Sulastri mendekatinya bersama-sama, langkah mereka pelan namun pasti. Ada kesedihan dalam setiap gerakan tubuh mereka, meskipun mereka mencoba untuk tetap tegar. Arya Kertajaya memandang mereka bergantian, matanya penuh dengan rasa hormat, rindu, dan penyesalan."Aku tidak akan melupakan apa yang telah kita lalui bersama," kata Arya Kertajaya, suaranya rendah namun mantap. "Tapi aku tahu bahwa tempatku bukan lagi di sini."Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa kehadirannya t
Matahari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan langit malam yang gelap dengan bintang-bintang berkilauan seperti mata gaib yang mengamati. Udara dingin menyelimuti istana Gilingwesi, membawa aroma dupa dan tanah basah yang memperkuat suasana mistis. Di tepi sungai suci, portal waktu terbuka lebar, memancarkan cahaya biru kehijauan yang berdenyut seperti detak jantung. Portal itu adalah gerbang menuju masa depan Raka—tempat ia bisa kembali ke dunianya sendiri. Namun, di sisi lain, itu juga merupakan garis batas antara dua dunia, dua takdir, dan dua pilihan yang tidak mungkin dipertemukan.Raka dan Dyah Sulastri berdiri di depan portal itu, saling berpegangan tangan erat. Wajah mereka mencerminkan keteguhan hati, meskipun bayangan keraguan masih tersirat di kedalaman mata mereka. Mereka tahu bahwa ini adalah momen penentuan—akhir dari perjalanan panjang yang penuh konflik, pengorbanan, dan cinta terlarang."Kita sudah sampai di sini," kata Raka pelan, suaranya terdengar hampir seperti
Malam semakin larut, dan udara di tepi sungai suci terasa semakin dingin. Portal waktu masih terbuka lebar, memancarkan cahaya biru kehijauan yang berdenyut seperti detak jantung. Raka berdiri sendirian di depan portal itu, tubuhnya tampak kaku namun pikirannya penuh dengan gejolak. Ia tidak lagi memegang tangan Dyah Sulastri—ia memilih untuk memberikan dirinya waktu sejenak untuk merenung, untuk mencoba memahami semua yang telah terjadi sejak ia pertama kali menemukan cermin perunggu di gua purba.Angin malam berdesir pelan, membawa aroma dupa dan tanah basah yang selalu mengingatkannya pada dunia mistis ini. Suara aliran sungai terdengar samar-samar, seolah-olah alam sedang berbisik padanya. Namun, dalam keheningan itu, pikiran Raka dipenuhi oleh serangkaian pertanyaan yang tak kunjung terjawab.Raka menatap portal waktu dengan mata kosong, seolah-olah ia sedang melihat bayangan masa lalunya sendiri di dalam cahaya biru itu. Pikirannya kembali ke hari-hari awal ketika ia pertama kali
Matahari mulai terbit di cakrawala, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, di balik keindahan pagi itu, atmosfer masih dipenuhi oleh ketegangan dan rasa tidak pasti. Raka duduk sendirian di tepi sungai suci, menatap air yang mengalir tenang. Portal waktu sudah tertutup, dan ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di masa lalu adalah langkah tanpa jalan kembali. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar mendekat. Raka menoleh dan melihat Resi Agung Darmaja berjalan perlahan ke arahnya. Pendeta tua itu tampak lebih misterius dari biasanya, dengan jubah putihnya yang berkibar lembut ditiup angin. Matanya yang tajam namun penuh kebijaksanaan menatap Raka dengan intensitas yang membuat pemuda itu merasakan sesuatu yang tidak nyaman—seolah-olah Resi Agung Darmaja bisa membaca pikirannya."Kau telah membuat keputusan besar," kata Resi Agung Darmaja pelan, su
Setelah pertempuran besar yang menghancurkan, pasukan asing akhirnya mundur. Penyihir gelap telah dikalahkan oleh kekuatan spiritual Raka, dan pasukan loyalis berhasil menekan sisa-sisa pasukan bayangan Ki Jagabaya. Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa harga mahal. Kerajaan Gilingwesi terlihat seperti reruntuhan—istana utama hancur sebagian, desa-desa di sekitarnya luluh lantak, dan banyak korban jiwa berjatuhan.Angin dingin berembus di medan perang, membawa aroma darah dan abu yang masih menyelimuti udara. Asap tebal mengepul dari bangunan-bangunan yang terbakar, menciptakan suasana kelabu yang suram. Prajurit loyalis berkumpul di lapangan istana, wajah mereka lelah namun penuh rasa syukur atas kemenangan yang diraih dengan susah payah.Namun, bagi Raka, kemenangan ini terasa kosong. Ia berdiri di tengah-tengah kerumunan prajurit, tetapi pikirannya jauh dari perayaan. Matanya tertuju pada reruntu
Pertempuran besar di luar istana mulai mereda setelah kekalahan penyihir gelap. Pasukan loyalis berhasil menekan pasukan bayangan Ki Jagabaya, yang kini tercerai-berai tanpa pemimpin mereka yang menghilang bersama penyihir gelap. Namun, Arya Kertajaya tidak puas dengan hasil ini. Ia tahu bahwa Ki Jagabaya adalah otak di balik serangan mematikan terhadap kerajaan, dan ia bertekad untuk menangkap pria itu sebelum ia melarikan diri. Di tengah kekacauan medan perang, Arya Kertajaya memimpin pasukan kecil menuju lokasi rahasia di hutan lebat tempat Ki Jagabaya diketahui bersembunyi. Ia telah mendengar desas-desus dari beberapa prajurit bayangan yang tertangkap bahwa Ki Jagabaya sedang mempersiapkan langkah selanjutnya—rencana yang lebih berbahaya daripada serangan pertama. Setelah berjam-jam mencari, Arya Kertajaya dan pasukannya akhirnya menemukan Ki Jagabaya di sebuah gua tersembunyi di tepi sungai suci.
Setelah Dyah Sulastri jatuh ke dalam koma, medan perang terasa semakin sunyi bagi Raka. Tubuhnya masih gemetar karena kelelahan dan emosi yang memuncak. Ia berlutut di tanah, memegang tubuh tak berdaya sang putri dengan erat, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa harus seperti ini?" gumamnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah dan kemarahan. "Kenapa aku tidak bisa melindungimu?"Pasukan loyalis mencoba mendekat untuk membawa Dyah Sulastri ke tempat aman, tetapi Raka menolak mereka dengan gerakan tangan yang tegas. Matanya kosong, namun di dalam dirinya, api kemarahan mulai menyala. Ia merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Angin dingin berdesir, membawa aroma belerang yang semakin kuat. Penyihir gelap muncul kembali, tertawa dingin di tengah kabut hitam yang menyelimuti medan perang. "Lihatlah dirimu, Raka," ejeknya. "Kau
Pertempuran besar di luar istana mencapai puncaknya. Suara senjata yang beradu, teriakan prajurit, dan raungan makhluk gaib menggema di udara malam. Api melahap beberapa sudut benteng, sementara asap hitam membumbung tinggi ke langit, menyelimuti medan perang dalam kabut pekat. Pasukan bayangan Ki Jagabaya dan sekutunya dari dunia gaib terus menyerang tanpa henti, memanfaatkan setiap celah dalam pertahanan kerajaan.Di tengah medan perang yang kacau, Raka berdiri di garis depan, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Meskipun ia berhasil menahan serangan-serangan awal, kekuatannya mulai terasa melemah. Ia merasakan energinya terkuras habis dengan cepat, membuat tubuhnya semakin goyah.Penyihir gelap muncul di tengah medan perang, dikelilingi oleh kabut hitam yang pekat. Matanya bersinar seperti bara ap
Medan perang yang sudah penuh dengan kekacauan semakin memanas saat penyihir gelap muncul di tengah-tengah pertempuran. Tubuhnya dikelilingi oleh energi hitam pekat yang mengintimidasi, dan matanya berkilat merah seperti bara api. Ia melangkah maju dengan gerakan anggun namun menakutkan, seolah-olah seluruh dunia ada dalam kendalinya."Kalian semua telah bermain cukup lama," katanya dengan suara dingin yang menusuk. "Sekarang, saatnya kalian membayar harga atas perlawanan kalian."Penyihir itu mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran energi hitam besar di udara. Pusaran itu mulai melepaskan serangan sihir yang menghantam barisan pasukan loyalis, menyebabkan banyak prajurit terpental dan jatuh tak bernyawa. Para makhluk gaib yang setia kepada kerajaan pun terlihat kesulitan menghadapi kekuatan gelap ini.
Langit di atas medan perang mulai menghitam, tertutup awan tebal yang menandakan kemarahan alam. Angin dingin berhembus kencang, membawa aroma darah dan belerang yang menebal seiring dengan intensitas pertempuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya terus melancarkan serangan brutal, sementara makhluk gaib dari kedua pihak saling bertarung tanpa ampun.Di tengah kekacauan, Raka masih mencoba mengatur napasnya setelah menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Namun, energinya hampir habis, dan ia merasa dirinya tidak lagi mampu melawan jika serangan baru datang. Dyah Sulastri berdiri di sampingnya, mata hijaunya penuh dengan kekhawatiran."Kau harus istirahat," bisik Dyah pelan. "Kekuatanmu sudah mencapai batasnya."Raka menggeleng lemah. "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika aku berhenti, kita semua akan mati."Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, sebuah suara raungan keras memenuhi udara. Sebuah Genderuwo raksasa muncul dari
Pertempuran di luar istana telah berubah menjadi badai kehancuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya yang dipersenjatai dengan senjata mistis dan sihir hitam terus menggempur pertahanan kerajaan. Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga turut berperang, masing-masing memilih pihak mereka. Di tengah kekacauan itu, Raka berdiri di garis depan, masih mencoba memahami situasi yang semakin tak terkendali. Angin malam membawa aroma belerang yang menusuk, sementara cahaya bulan redup tertutup awan kelabu. Suara gema tombak dan pedang bergesekan dengan energi spiritual memenuhi udara. Raka merasakan tubuhnya bergetar hebat. Dalam beberapa hari terakhir, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi padanya. Sejak ritual gaib yang dipimpin Dyah Sulastri di bab sebelumnya, ia merasakan aliran energi aneh di dalam dirinya—seperti gelombang panas yang melingkupi seluruh tubuhnya. Awalnya, ia mengabaikannya sebagai efek sam
Fajar baru saja menyingsing, namun langit di atas istana Gilingwesi sudah dipenuhi oleh awan kelabu yang bergulung-gulung bak ombak lautan. Udara terasa berat, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas. Di luar dinding istana, pasukan loyalis dan makhluk gaib telah berkumpul dalam formasi rapi, siap untuk menghadapi ancaman besar yang kini bergerak mendekat. Dari kejauhan, gema langkah kaki pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing mulai terdengar. Mereka bergerak cepat seperti badai yang tak terbendung, membawa aura gelap yang mencekam. Mata mereka berkilau merah dalam cahaya pagi yang temaram, sementara senjata mereka berkilau tajam, memantulkan sinar matahari yang lemah. Raka berdiri di garis depan bersama Dyah Sulastri dan Arya Kertajaya, meskipun kondisi Arya masih lemah setelah luka parah yang ia alami. Wajah Raka penuh tekad, matanya bersinar biru kehijauan, mencerminkan kekuatan spirit
Pagi mulai menyingsing, dan cahaya matahari yang lembut menembus kabut tipis di sekitar istana Gilingwesi. Di luar dinding istana, pasukan loyalis berkumpul dalam formasi yang rapi, bersiap untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang. Para prajurit memeriksa senjata mereka, sementara para tabib dan dukun spiritual mempersiapkan ramuan serta mantra untuk mendukung pasukan. Namun, bukan hanya manusia yang hadir di medan perang ini. Makhluk-makhluk gaib juga turut berkumpul, masing-masing dengan kekuatan unik mereka. Banaspati, roh api yang melindungi kerajaan, berdiri di barisan depan dengan tubuhnya yang bercahaya merah menyala. Buto Ijo, penjaga candi yang perkasa, berdiri tegak di sisi lain, siap untuk melindungi tanah kerajaan dari musuh-musuh yang mencoba menyerang. Genderuwo, makhluk bayangan yang biasanya menghindari manusia, kini bergerak di antara pasukan, menggunakan kemampuannya untuk menyusup ke barisan musuh.