Seketika Marsella menunduk lalu mengendap-endap demi menyembunyikan diri di balik rak display di dekatnya. Ia menggigit bibir bawahnya cemas."Kenapa orang itu ada di sini?!" Marsella mengomel lirih dan menekuk wajahnya.Saat mendengar langkah kaki yang menjauh, Marsella mulai mengintip dari sela-sela rak yang kosong. Tampak Ida, yang ia kenal sebagai mantan mertua Guna, berada di mini market yang sama.Kalau dipikir-pikir, swalayan ini memang terbilang cukup dekat jika ditempuh dari rumah Guna maupun rumah Nayra. Marsella merengut. Bisa-bisanya dunia sekecil ini, ditambah rumah mereka justru berdekatan.Marsella mengamati Ida yang mulai membuka showcase minuman dan mengambilnya satu. Ia bahkan sampai menahan napas agar wanita tersebut tak mengetahui keberadaannya. Bagaimana tidak, sewaktu kasusnya mencuat ke publik, Ida terlihat membenci dirinya dan Guna.Marsella ingat, Ida bahkan berteriak emosi lalu melontarkan kata-kata buruk seperti lont*, pel*cur, dan lain sebagainya kepada dir
Sontak Nayra terkesiap dan secara reflek menjauhkan tubuhnya satu langkah dari brankar. Nayra bergerak tak nyaman, apalagi Arvin masih belum masuk juga."Maaf, Pak." Nayra kelimpungan. "Saya hanya ingin menjenguk Anda dan meminta maaf secara langsung."Aldo lekas bangkit dari posisi rebahnya. Wajahnya masih merah padam. Ia sangat tidak suka jika ada wanita lain yang datang diam-diam saat dirinya sedang tertidur."Berani-beraninya kamu datang sendiri," sembur Aldo tajam. Kini alis tebalnya saling tertaut satu sama lain.Nayra buru-buru menggeleng. "Maaf. Tidak, Pa—"Saat itu juga, Arvin mendorong pintu dan berderap masuk. Melihat air muka keduanya, serta atmosfer ruangan yang tak begitu mengenakan membuat Arvin mengerutkan dahi."Ada apa, Pak Aldo?" tanyanya langsung."Kamu yang membawa dia kesini?!"Sejenak Arvin mencuri pandang ke arah Nayra dengan ragu."Hmm, iya, Pak. Memangnya ada masalah?" Arvin terlihat innocent.Aldo mendengus kasar. Ia merasa terganggu oleh kehadiran Nayra. Ha
Bukan hanya Nayra saja yang terkejut setengah mati. Pupil Aldo kini melebar saat pandangannya tertumbuk ke arah Nayra. Bahkan Aldo dapat merasakan hembusan napas hangat wanita tersebut menyentuh permukaan kulitnya.Cantik. Kedua netra Aldo justru terhanyut dan memandangi wajah Nayra tepat di depannya. Mata cokelat bersinar, bibir tipis ranum, juga kulit sehat yang bening.Tunggu. Semakin ia mengamati paras Nayra, semakin dirinya teringat oleh anak perempuan beberapa tahun silam. Ini aneh, namun Aldo yakin bahwa memang ada kemiripan di antara keduanya.Dipandangi secara detail seperti itu membuat Nayra salah tingkah. Sontak ia segera menarik tubuhnya dan menjauh dari Aldo. Nayra langsung menunduk beberapa kali untuk meminta maaf."Pak Aldo, maafkan saya. Saya tidak sengaja. Saya—""Jangan meminta maaf untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan," deham Aldo sembari menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi duduknya."Tapi, Pak. Tadi—""Cukup. Kembali ke tempatmu sekarang." potong Aldo cepat.
Wanita dengan rambut panjang bergelombang warna keemasan itu menoleh. Sekilas kedua mata wanita tersebut tampak melebar, lalu bersinar terang."Hei, what are you doing? Ayo, sini, duduklah," cetusnya semangat.Aldo menarik napas sembari memalingkan wajahnya singkat. Ia terpaksa berderap mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan wanita tadi tanpa ingin membuang waktu.Aldo melirik sekilas wanita di depannya. Wanita tersebut kini mengulas senyum manis, bertopang dagu mengamati keharmonisan komposisi paras Aldo. Bahkan kedua mata hitam itu seakan tak mau lepas dari Aldo.Aldo segera mengalihkan perhatian pada arlojinya. Sepertinya siang ini waktu akan berjalan lambat baginya. Aldo mende*sah berat sambil memperbaiki jas yang ia kenakan. Ini hal pertama yang selalu mengganggunya, yaitu para wanita menunjukkan ketertarikannya lebih dulu. Membuat Aldo sangat bosan."Hei, kamu Aldo kan? Alfredo Atmajaya?"Aldo melihat wanita itu masih dalam ekspresi yang sama, terlebih tanpa mengedipkan ma
"Ayah nggak sakit kan?" tanya Nayra cemas.Tangan Nayra segera terulur demi menyentuh dahi Budi. "Kayaknya Ayah perlu minum paracetamol. Aku ambilkan dulu ya."Nayra berdiri, berderap menuju kotak obat yang berada di dekat televisi. Setelah menemukan obat yang ia cari, ia kembali ke tempatnya semula.Suapan berikutnya masih berlanjut. Usai suapan terakhir Nayra menuju dapur dan menggerus obat tadi agar Budi dapat meminumnya dengan baik.Sementara di tempat lain, Aldo baru saja memarkirkan mobilnya di garasi. Pria itu menghela napas panjang tepat sebelum dirinya melepas sabuk pengaman.Kedua kakinya akhirnya menapak dengan enggan. Ia berjalan sembari menguraikan dasi agar kerah kemejanya tak terasa begitu mencekik.Ia lalu melihat Rianty sudah menungguinya di depan televisi. Tapi televisi itu tak menyala seperti biasa. Bahkan Nugroho yang merupakan penggila acara TV di jam-jam segini tak tampak batang hidungnya juga.Rianty mengawasi Aldo lamat-lamat. Ia berdeham dan menepuk dudukan ko
Nayra berdiri canggung. Dengan bahu yang turun dan senyuman simpul penuh rasa bersalah, ia membungkukkan badan berkali-kali."Mohon maaf semuanya. Mohon maaf telah mengganggu jalannya rapat dengan kelatahan saya barusan." Ia lalu menoleh secara hati-hati, memandang Aldo segan. "Mohon maaf, Pak Aldo."Kemudian tiba-tiba suara tawa renyah dari seluruh peserta memenuhi ruangan. Bukannya marah, mereka justru merasa terhibur. Toh, kejadian tadi memang tidak Nayra sengaja. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa sikap Nayra barusan sebagai ice breaker sehingga jalannya rapat tak melulu serius dan membuat kantuk.Aldo terkejut terhadap reaksi orang-orang. Seketika bahu tegangnya mengendur. Ia menghela napas sembari memandang ke sekitarnya. Mendadak seulas senyuman muncul dari bibirnya yang tipis. Aldo mengusap tengkuk lehernya dengan masih mempertahankan senyum. Ia melirik Nayra singkat."Ada-ada saja…"Ditertawakan oleh seluruh peserta rapat pagi ini membuat Nayra bergerak kikuk. Ia segera mend
"Iya dong, Sayang. Helmnya dipakai, terus kita cabut," jawab Guna sambil menyunggingkan senyum.Menyaksikan senyuman manis yang menghiasi bibir tebal Guna membuat Ida langsung terpesona. Ia terpukau dengan wajah Guna yang memiliki daya tarik tersendiri baginya. Rasanya jiwa muda miliknya yang telah lama padam mulai tersulut dan berkobar lagi.Ida menurut. Memakai helm yang sengaja dibawa Guna untuknya, lantas naik ke motor yang dulu biasanya membonceng tubuh Nayra di sana.Guna mulai tancap gas, melewati beberapa tikungan kecil perkampungan dengan lincah. Ida mengulas senyumnya girang. Akhirnya ia dapat menyenangkan dirinya sendiri. Kembali menikmati angin malam yang sedekat kulit jangat dan sanggup menerobos pori-porinya. Lalu hingga menyejukkan dadanya.Tak lama kemudian, motor Guna memasuki sebuah bangunan mewah. Mereka memarkir motor di tengah-tengah kendaraan yang kebanyakan beroda empat. Keduanya lalu menggiring kaki masuk ke dalam sana.♡♡♡Kelamnya malam kemudian tergantikan o
Nayra langsung menutup mulutnya. Air matanya menguar deras begitu saja dari pelupuk. Ia tergugu, tak sanggup melanjutkan percakapannya di telepon. Tangannya yang sedari tadi meletakkan ponsel di telinga terkulai lemas dan perlahan turun menyusuri pipinya yang telah basah.Empati Aldo langsung tersentuh saat menyaksikannya. Ia segera berdiri lalu menangkap ponsel Nayra sebelum wanita itu menjatuhkannya ke lantai.Aldo dengan sigap meneruskan telepon Nayra. "Halo? Maaf, apa yang terjadi?"Mendengar jawaban di seberang telepon, lantas membuatnya menautkan kedua alis tebalnya. "Di rumah sakit mana? Tunggu. Kami akan segera ke sana."Aldo lekas memutus sambungan telepon itu, kemudian memandang Nayra yang bahunya tengah bergetar hebat. Ia lalu meraih lengan Nayra dan menariknya keluar."Ayo, akan kuantar ke rumah sakit," tegasnya. Nayra menurut, tapi enggan menjawab dan menunjukkan wajahnya yang sembap.Sebelum menghilang dari pintu, Aldo menoleh dan mengatakannya dengan cepat. "Vin, aku ti