Aldo menekuk dahi dan menghunuskan tatapannya yang tajam. "Kenapa? Kamu tidak mau?""Tidak. Bukan begitu, Pak. Maaf.""Terus kenapa?!" Rahang Aldo mula-mula mengeras karena Nayra tak juga terus terang.Seketika nyali Nayra menciut. Ia menelan salivanya kemudian berusaha untuk menjelaskan."Saya belum pernah berhadapan dengan orang penting, Pak." Nayra menunduk lesu.Arvin menatapnya dengan iba. Tak berbanding lurus dengan Aldo yang kini mendes*ah kasar."Kamu itu bukan anak TK lagi! Urus saja, cuma bahas masalah stok," ujar Aldo dingin lalu berpaling pergi.Nayra terperangah. Pimpinannya tak mau tahu. Tetapi setengahnya Nayra juga sadar diri, bagaimanapun ia memang bekerja untuk Aldo.Sebelum melewati Nayra, Arvin berhenti. "Sebelum menemui mereka, Mbak minta dulu stock opname sambal yang ada di pabrik. Mbak Nayra nanti cukup laporan ke mereka, untuk selanjutnya coba diskusikan dengan mereka mau mengirim berapa ton. Mereka sudah pengalaman kok Mbak," sarannya kepada Nayra."Terima kas
Nayra mengalihkan pandang dari Ida ke Budi yang sudah meringis kesakitan. Wajah beliau tampak merah padam."Nggak tahu tuh, tiba-tiba Bapakmu sudah nyusruk di depan kamarku! Dibilangi nggak usah kemana-mana kok ngeyel! Kalau begini kan jadi ngerepotin!" pekik wanita itu lagi. Kedua matanya melotot ke arah Budi seperti sedang memarahi anak-anak yang tidak patuh.Nayra semakin tidak tega melihat kondisi ayahnya. Bukannya membantu berdiri, Ida justru banyak mengomel hingga membuat telinga Nayra sakit sendiri."Ya sudah, Bu. Kita dudukkan Ayah ke kursi roda lagi. Mungkin Ayah melakukannya secara tidak sengaja."Ida hanya mencibir. Ida tahu benar, kejadian tadi bukanlah hal yang tak sengaja."Gendong aja sendiri, aku capek sama bapakmu. Dibilangi nggak nurut!" Ida memalingkan wajah lantas berderap masuk menuju kamarnya.Nayra terpegun. Ida begitu tega meninggalkan Nayra dan Budi dalam keadaan seperti ini. Apalagi saat wanita itu menutup pintu secara keras di hadapannya.Nayra menekuk wajah
Arvin memasuki ruang Aldo seperti biasa pagi itu. Pria berkacamata tersebut baru saja menemui presdir dari perusahaan lain demi mengadakan kerja sama dalam beberapa waktu sesuai kontrak.Arvin berjalan gontai lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa tamu di ruangan itu. Ia mengamati Aldo yang masih sibuk mencatat dan memperhatikan layar laptop di hadapannya.Arvin kemudian mengedarkan pandang ke sekitarnya. Ia mengernyit sewaktu tak mendapati Nayra di tempatnya."Pak, Mbak Nayra dimana? Kok tidak ada." Arvin akhirnya melempar pertanyaan ke Aldo.Aldo tak menghentikan gerakan tangannya sewaktu menjawab dengan mimik tak acuh. "Masih kusuruh.""Kemana?""Kenapa kamu peduli?"Arvin menegakkan tubuh sambil melipat dahi. "Bukannya selama ini saya selalu tanya keberadaan Mbak Nayra, Pak? Pak Aldo yang aneh," decaknya disertai gelengan kepala beberapa kali.Aldo mendongak, lantas menatap Arvin tajam. "Kamu bisa diam tidak?""Ampun, Pak. Ampun. Saya cuma bercanda." Arvin langsung menyatukan kedua t
Mendengar Aldo memanggilnya, Nayra terkejut. Ia sedang mengunyah makanan dan harus menelannya saat itu juga demi memenuhi panggilan Aldo.Nayra buru-buru menghampiri Aldo di tempatnya. Saat menatap mata Aldo yang penuh amarah, Nayra langsung kebingungan."Maaf, ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan takut.Tanpa mengatakan apapun, Aldo melempar box nasi ke hadapan Nayra. Nayra tersentak kemudian menyaksikan isi kotak tersebut yang sudah berserakan. Arvin juga kaget saat Aldo melakukan hal itu. Ia mendongak sementara isi kepalanya bertanya-tanya."Sudah kerja selama sebulan lebih di sini kenapa tetap bodoh, hah?!"Nayra bungkam. Masih berpikir keras dimana letak kesalahannya sekarang. Lalu kedua matanya melebar tatkala menangkap sambal yang ada di dalam box tersebut bukanlah sambal matah."Sekarang cek makanan di depanmu itu!"Dengan tangan yang gemetar, Nayra menyingkap kotak itu agar dapat memeriksa isi di dalamnya lebih jelas. Sambal bawang yang seharusnya sambal matah, beberapa irisan t
Sontak Nayra berdiri. Ia menyingkir, kemudian menggeleng pasrah. Ekspresinya langsung membeku. "Maaf, Bu. Bukan begitu. Saya benar-benar tidak senga—""Pergi kamu! Jangan ke sini lagi! Aku tidak sudi melihat wajahmu!" bentak Rianty sambil mengacungkan telunjuknya kaku. Rahangnya sudah tampak mengeras.Rianty lalu mengalihkan perhatiannya kepada Aldo yang masih terbaring lemah. Ia langsung menuntun langkahnya mendekat dan menggeser posisi Nayra."Do… ayo cepat sadar, Do." Beberapa kali Rianty menepuk lengan Aldo yang terbenam selang infus.Tak ada jawaban. Aldo memang belum sadarkan diri. Rianty semakin gelisah dan sesekali berdecak kesal. Ia lalu melihat Nayra yang belum juga beranjak dari tempatnya."Tunggu apa lagi?! Cepat pergi!" murkanya dengan mata melotot.Arvin yang berada di antara mereka merasa tak enak. Rianty kemari bukan karena ketidaksengajaan. Arvinlah yang mengabari wanita itu jika Aldo jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit ini. Lalu ia memutuskan untuk menggandeng tan
Arvin menggaruk kepalanya sekilas. Sementara Nayra menunggu jawaban dari pria itu dengan gugup."—karena saya barusan disuruh Pak Aldo untuk menggantikan posisinya sementara, Mbak. Dan Mbak Nayra juga harus mulai bekerja lagi.""Bukannya ada Pak Nugroho yang bisa menggantikan Pak Aldo?"Nayra tergelitik dengan pertanyaannya sendiri. Apalagi pertanyaan yang keluar dari mulutnya itu seakan meragukan kinerja Arvin. Namun percuma, pertanyaan tersebut sudah tidak bisa ditarik kembali."Kan kondisi kesehatan Pak Nugroho juga kurang stabil, Mbak, akhir-akhir ini. Yah… kita doakan saja kondisi kesehatan keduanya mulai membaik." Lalu Arvin mencondong tubuhnya, berbisik. "Sebenernya saya juga tidak mau, Mbak, kalau menggantikan posisi Pak Aldo lama-lama."Nayra menaikkan salah satu alisnya tak mengerti. "Kenapa?""Tidak enak, otak saya pusing. Tapi salary tetap. Tidak sebanding lah pokoknya."Nayra nyaris terkikik oleh karena pernyataan jujur yang dilontarkan oleh pria berkacamata di depannya.
Mata Nayra tetap melotot. Ia memandangi kaos warna merah marun itu tak percaya. Tangannya meremas bahan kain kaos tersebut dengan kesal.Bukannya kaos ini yang dipakai wanita di sisi Guna saat di rumah makan waktu itu?!Nayra cepat-cepat menyelesaikan kegiatan menjemurnya, kemudian beranjak ke dalam rumah demi mencari Ida."Bu! Ibu!" panggilnya keras memenuhi ruangan. Sementara kedua kakinya berlari lincah agar segera bertemu wanita tersebut.Namun sia-sia. Ia tak juga mendapati sosok itu. Tapi jika Nayra ingat, ia memang belum bertemu Ida dari kepulangannya tadi. Sekarang hanya ada Budi yang masih menyalakan televisi di ruang tamu. Tatapan sendu menghiasi wajah Budi yang sedang bertanya-tanya kenapa Nayra mencari Ida."Ibu mana, Yah?" Akhirnya pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Nayra saking menyerahnya.Budi hanya menggeleng pasrah. Nayra pun berdecak kesal, sedang napasnya sudah memburu. Ia ingin sekali mengejar fakta mengenai kejadian siang itu. Kenyataan bahwa ibunya masih b
Seketika Marsella menunduk lalu mengendap-endap demi menyembunyikan diri di balik rak display di dekatnya. Ia menggigit bibir bawahnya cemas."Kenapa orang itu ada di sini?!" Marsella mengomel lirih dan menekuk wajahnya.Saat mendengar langkah kaki yang menjauh, Marsella mulai mengintip dari sela-sela rak yang kosong. Tampak Ida, yang ia kenal sebagai mantan mertua Guna, berada di mini market yang sama.Kalau dipikir-pikir, swalayan ini memang terbilang cukup dekat jika ditempuh dari rumah Guna maupun rumah Nayra. Marsella merengut. Bisa-bisanya dunia sekecil ini, ditambah rumah mereka justru berdekatan.Marsella mengamati Ida yang mulai membuka showcase minuman dan mengambilnya satu. Ia bahkan sampai menahan napas agar wanita tersebut tak mengetahui keberadaannya. Bagaimana tidak, sewaktu kasusnya mencuat ke publik, Ida terlihat membenci dirinya dan Guna.Marsella ingat, Ida bahkan berteriak emosi lalu melontarkan kata-kata buruk seperti lont*, pel*cur, dan lain sebagainya kepada dir