Mendengar Aldo memanggilnya, Nayra terkejut. Ia sedang mengunyah makanan dan harus menelannya saat itu juga demi memenuhi panggilan Aldo.Nayra buru-buru menghampiri Aldo di tempatnya. Saat menatap mata Aldo yang penuh amarah, Nayra langsung kebingungan."Maaf, ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan takut.Tanpa mengatakan apapun, Aldo melempar box nasi ke hadapan Nayra. Nayra tersentak kemudian menyaksikan isi kotak tersebut yang sudah berserakan. Arvin juga kaget saat Aldo melakukan hal itu. Ia mendongak sementara isi kepalanya bertanya-tanya."Sudah kerja selama sebulan lebih di sini kenapa tetap bodoh, hah?!"Nayra bungkam. Masih berpikir keras dimana letak kesalahannya sekarang. Lalu kedua matanya melebar tatkala menangkap sambal yang ada di dalam box tersebut bukanlah sambal matah."Sekarang cek makanan di depanmu itu!"Dengan tangan yang gemetar, Nayra menyingkap kotak itu agar dapat memeriksa isi di dalamnya lebih jelas. Sambal bawang yang seharusnya sambal matah, beberapa irisan t
Sontak Nayra berdiri. Ia menyingkir, kemudian menggeleng pasrah. Ekspresinya langsung membeku. "Maaf, Bu. Bukan begitu. Saya benar-benar tidak senga—""Pergi kamu! Jangan ke sini lagi! Aku tidak sudi melihat wajahmu!" bentak Rianty sambil mengacungkan telunjuknya kaku. Rahangnya sudah tampak mengeras.Rianty lalu mengalihkan perhatiannya kepada Aldo yang masih terbaring lemah. Ia langsung menuntun langkahnya mendekat dan menggeser posisi Nayra."Do… ayo cepat sadar, Do." Beberapa kali Rianty menepuk lengan Aldo yang terbenam selang infus.Tak ada jawaban. Aldo memang belum sadarkan diri. Rianty semakin gelisah dan sesekali berdecak kesal. Ia lalu melihat Nayra yang belum juga beranjak dari tempatnya."Tunggu apa lagi?! Cepat pergi!" murkanya dengan mata melotot.Arvin yang berada di antara mereka merasa tak enak. Rianty kemari bukan karena ketidaksengajaan. Arvinlah yang mengabari wanita itu jika Aldo jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit ini. Lalu ia memutuskan untuk menggandeng tan
Arvin menggaruk kepalanya sekilas. Sementara Nayra menunggu jawaban dari pria itu dengan gugup."—karena saya barusan disuruh Pak Aldo untuk menggantikan posisinya sementara, Mbak. Dan Mbak Nayra juga harus mulai bekerja lagi.""Bukannya ada Pak Nugroho yang bisa menggantikan Pak Aldo?"Nayra tergelitik dengan pertanyaannya sendiri. Apalagi pertanyaan yang keluar dari mulutnya itu seakan meragukan kinerja Arvin. Namun percuma, pertanyaan tersebut sudah tidak bisa ditarik kembali."Kan kondisi kesehatan Pak Nugroho juga kurang stabil, Mbak, akhir-akhir ini. Yah… kita doakan saja kondisi kesehatan keduanya mulai membaik." Lalu Arvin mencondong tubuhnya, berbisik. "Sebenernya saya juga tidak mau, Mbak, kalau menggantikan posisi Pak Aldo lama-lama."Nayra menaikkan salah satu alisnya tak mengerti. "Kenapa?""Tidak enak, otak saya pusing. Tapi salary tetap. Tidak sebanding lah pokoknya."Nayra nyaris terkikik oleh karena pernyataan jujur yang dilontarkan oleh pria berkacamata di depannya.
Mata Nayra tetap melotot. Ia memandangi kaos warna merah marun itu tak percaya. Tangannya meremas bahan kain kaos tersebut dengan kesal.Bukannya kaos ini yang dipakai wanita di sisi Guna saat di rumah makan waktu itu?!Nayra cepat-cepat menyelesaikan kegiatan menjemurnya, kemudian beranjak ke dalam rumah demi mencari Ida."Bu! Ibu!" panggilnya keras memenuhi ruangan. Sementara kedua kakinya berlari lincah agar segera bertemu wanita tersebut.Namun sia-sia. Ia tak juga mendapati sosok itu. Tapi jika Nayra ingat, ia memang belum bertemu Ida dari kepulangannya tadi. Sekarang hanya ada Budi yang masih menyalakan televisi di ruang tamu. Tatapan sendu menghiasi wajah Budi yang sedang bertanya-tanya kenapa Nayra mencari Ida."Ibu mana, Yah?" Akhirnya pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Nayra saking menyerahnya.Budi hanya menggeleng pasrah. Nayra pun berdecak kesal, sedang napasnya sudah memburu. Ia ingin sekali mengejar fakta mengenai kejadian siang itu. Kenyataan bahwa ibunya masih b
Seketika Marsella menunduk lalu mengendap-endap demi menyembunyikan diri di balik rak display di dekatnya. Ia menggigit bibir bawahnya cemas."Kenapa orang itu ada di sini?!" Marsella mengomel lirih dan menekuk wajahnya.Saat mendengar langkah kaki yang menjauh, Marsella mulai mengintip dari sela-sela rak yang kosong. Tampak Ida, yang ia kenal sebagai mantan mertua Guna, berada di mini market yang sama.Kalau dipikir-pikir, swalayan ini memang terbilang cukup dekat jika ditempuh dari rumah Guna maupun rumah Nayra. Marsella merengut. Bisa-bisanya dunia sekecil ini, ditambah rumah mereka justru berdekatan.Marsella mengamati Ida yang mulai membuka showcase minuman dan mengambilnya satu. Ia bahkan sampai menahan napas agar wanita tersebut tak mengetahui keberadaannya. Bagaimana tidak, sewaktu kasusnya mencuat ke publik, Ida terlihat membenci dirinya dan Guna.Marsella ingat, Ida bahkan berteriak emosi lalu melontarkan kata-kata buruk seperti lont*, pel*cur, dan lain sebagainya kepada dir
Sontak Nayra terkesiap dan secara reflek menjauhkan tubuhnya satu langkah dari brankar. Nayra bergerak tak nyaman, apalagi Arvin masih belum masuk juga."Maaf, Pak." Nayra kelimpungan. "Saya hanya ingin menjenguk Anda dan meminta maaf secara langsung."Aldo lekas bangkit dari posisi rebahnya. Wajahnya masih merah padam. Ia sangat tidak suka jika ada wanita lain yang datang diam-diam saat dirinya sedang tertidur."Berani-beraninya kamu datang sendiri," sembur Aldo tajam. Kini alis tebalnya saling tertaut satu sama lain.Nayra buru-buru menggeleng. "Maaf. Tidak, Pa—"Saat itu juga, Arvin mendorong pintu dan berderap masuk. Melihat air muka keduanya, serta atmosfer ruangan yang tak begitu mengenakan membuat Arvin mengerutkan dahi."Ada apa, Pak Aldo?" tanyanya langsung."Kamu yang membawa dia kesini?!"Sejenak Arvin mencuri pandang ke arah Nayra dengan ragu."Hmm, iya, Pak. Memangnya ada masalah?" Arvin terlihat innocent.Aldo mendengus kasar. Ia merasa terganggu oleh kehadiran Nayra. Ha
Bukan hanya Nayra saja yang terkejut setengah mati. Pupil Aldo kini melebar saat pandangannya tertumbuk ke arah Nayra. Bahkan Aldo dapat merasakan hembusan napas hangat wanita tersebut menyentuh permukaan kulitnya.Cantik. Kedua netra Aldo justru terhanyut dan memandangi wajah Nayra tepat di depannya. Mata cokelat bersinar, bibir tipis ranum, juga kulit sehat yang bening.Tunggu. Semakin ia mengamati paras Nayra, semakin dirinya teringat oleh anak perempuan beberapa tahun silam. Ini aneh, namun Aldo yakin bahwa memang ada kemiripan di antara keduanya.Dipandangi secara detail seperti itu membuat Nayra salah tingkah. Sontak ia segera menarik tubuhnya dan menjauh dari Aldo. Nayra langsung menunduk beberapa kali untuk meminta maaf."Pak Aldo, maafkan saya. Saya tidak sengaja. Saya—""Jangan meminta maaf untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan," deham Aldo sembari menegakkan tubuh serta memperbaiki posisi duduknya."Tapi, Pak. Tadi—""Cukup. Kembali ke tempatmu sekarang." potong Aldo cepat.
Wanita dengan rambut panjang bergelombang warna keemasan itu menoleh. Sekilas kedua mata wanita tersebut tampak melebar, lalu bersinar terang."Hei, what are you doing? Ayo, sini, duduklah," cetusnya semangat.Aldo menarik napas sembari memalingkan wajahnya singkat. Ia terpaksa berderap mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan wanita tadi tanpa ingin membuang waktu.Aldo melirik sekilas wanita di depannya. Wanita tersebut kini mengulas senyum manis, bertopang dagu mengamati keharmonisan komposisi paras Aldo. Bahkan kedua mata hitam itu seakan tak mau lepas dari Aldo.Aldo segera mengalihkan perhatian pada arlojinya. Sepertinya siang ini waktu akan berjalan lambat baginya. Aldo mende*sah berat sambil memperbaiki jas yang ia kenakan. Ini hal pertama yang selalu mengganggunya, yaitu para wanita menunjukkan ketertarikannya lebih dulu. Membuat Aldo sangat bosan."Hei, kamu Aldo kan? Alfredo Atmajaya?"Aldo melihat wanita itu masih dalam ekspresi yang sama, terlebih tanpa mengedipkan ma
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar