Lalu tatapan Aldo semakin menajam. Pria itu memilih memutus kontak dari pandangan Nayra, kemudian berdiri tak acuh.Tangannya tiba-tiba melempar sebuah kartu ATM dari dompet kulit hitamnya, mengarah ke Arvin."Bayarkan, Vin," ucap singkat Aldo kemudian berderap pergi dari sana.Nayra hanya menatap punggung Aldo dengan ekspresi tercengang. Lalu pandangannya terseret ke arah kartu warna hitam yang langsung membuatnya terpukau.Sementara itu Arvin menelan ludah. Sepertinya ia sudah terlalu banyak bicara siang ini.Setelah selesai dan membayar bill di kasir, Arvin dan Nayra menggiring kaki menuju tempat parkir. Tampak Aldo sudah menunggu mereka di dalam. Pria dingin tersebut masih berkutat sibuk pada tabletnya.Mobil kemudian mulai dijalankan Arvin. Mobil mewah dengan warna hitam kilat itu meluncur mulus membelai jalanan ibu kota yang tampak menguap saking panasnya.Kini sudah satu jam setengah mereka terjebak oleh macet. Sesekali Aldo terlihat gelisah dan mulai memeriksa arloji yang bert
Nayra langsung tergagap lalu terpaksa mendongak demi menerima panggilan dari Aldo."Iya, Pak?""Kemari." Tanpa memandang Nayra, Aldo sibuk mencari dan menyusun sejumlah dokumen yang ada di depan mejanya.Nayra melangkah ragu menuju meja Aldo. Setengahnya ia berpikir tentang apa yang sedang dilakukan oleh pria itu.Aldo melempar setumpuk dokumen tadi tepat di hadapan Nayra. Saking kerasnya lemparan Aldo, hingga membuat rambut cokelat Nayra tersibak dengan kedua mata yang terpejam kaget."Antar ini ke ruang staf keuangan."Dua tangan Nayra meraih beberapa dokumen tersebut pelan. Setelah berhasil ia susun di depan dadanya, tumpukan dokumen itu menjadi tinggi sampai wajahnya tertutupi.Nayra memutar tubuhnya 90 derajat demi menjawab perintah Aldo sebelum dirinya memutuskan untuk melangkah pergi."Baik, Pak." Lalu kedua kaki itu pun menggiringnya keluar dari ruangan Aldo.Aldo menghela napas panjang. Ia lega dapat menyingkirkan Nayra untuk sementara waktu. Aldo segera menarik kursinya agar
Suara Nayra yang menyerbu telinga Aldo seketika menyadarkannya. Aldo mendongak kemudian mengerjap cepat."Maksudku, teh," dehamnya pelan dengan suara yang tetap dingin dan maskulin.Arvin yang berada agak jauh dari mereka mengerutkan hidung. Setengahnya, ia juga hampir tertawa karena baru kali ini dirinya melihat Aldo melakukan kesalahan yang konyol."Baik, Pak." Nayra mengangguk samar kemudian menyeret kedua kakinya keluar ruangan.Arvin yang melirik Aldo langsung menutup muka singkat seakan rasa malu yang dirasakan Aldo sampai kepada dirinya."Pak Aldo, jangan sampai salah menyebutkan kopi lagi. Penyakit Anda tidak main-main lho." Arvin menyarankan dengan sedikit menggoda.Aldo mendes*ah berat sebagai jawaban. Ia terlalu pening untuk menanggapi ocehan tak penting Arvin. Ia sendiri heran, kenapa hari ini ia sering salah sebut. Apa yang di pikiran dan mulutnya tak sinkron.Seperti tadi, Aldo sebenarnya memikirkan nama Rully. Namun yang nyata keluar dari bibirnya justru Budi. Lalu baru
Dengan samar Ida mendelik singkat. Lalu segera mengubah air mukanya."Pergi ketemu teman SMA sebentar," jawabnya singkat.Nayra tampak meneliti tampilan Ida di depannya secara menyeluruh. Blouse mewah, celana baru dan tas yang bahkan belum pernah Nayra lihat juga.Ida merasa tak nyaman dipandangi Nayra yang menurutnya terasa seperti sedang menyudutkan, serta menghakimi dirinya."Kenapa, Nay?" ketus Ida kemudian. Kedua matanya membalas tatapan Nayra dengan lebih menantang.Nayra buru-buru menggeleng. "Nggak, Bu. Emang Ibu sudah makan?""Makan di luar." Lalu Ida ingin segera menyudahi pembicaraannya. "Ya sudah aku berangkat dulu, sudah ditungguin."Ida melengos. Sambil mengeratkan pegangan tasnya, ia melangkahkan kaki cepat. Meninggalkan Nayra dengan tanda tanya besar di kepalanya.Nayra kemudian berderap demi meletakkan tasnya, lantas menuju ke belakang untuk mencuci tangan. Ketika kembali, ia sempat memeriksa makanan di meja dapur karena rasa lapar yang sudah mulai menyambutnya.Begit
"Apa yang kamu lakukan?!"Suara Aldo yang ketus menikam ulu hati Nayra. Hingga berhasil membunyikan alarm bahaya dari tubuh Nayra secara alami.Nayra berjingkat. Ia segera menjauh dari Aldo. Wajahnya tampak pucat pasi saking takutnya."Ma-maaf, Pak. Saya beneran tidak ada maksud apa-apa." Nayra langsung menunduk merasa bersalah. Dalam hatinya menggerutu karena kebodohan sekaligus kecerobohannya.Meski tanpa melihatnya, Nayra dapat mendengar hembusan napas kasar dari Aldo. Begitu juga gerakannya yang grusah-grusuh.Aldo tiba-tiba berdiri, lalu melempar selimut tadi ke arah Nayra. Beruntung Nayra cekatan menangkapnya dengan dua tangan.Bersamaan dengan itu, Nugroho masuk. Pria paruh baya tersebut sempat terdiam saat menyaksikan rona wajah keduanya. Tampak di matanya Aldo menghunjamkan tatapan serius ke arah Nayra yang memucat."Ada apa ini?" tanyanya.Aldo kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Nugroho. Ekspresinya masih marah. Ia lalu merapikan jasnya singkat dan berderap menuju aya
Saat itu Mama mengajakku belanja di mall untuk keperluan tahun baru. Membeli beberapa bahan makanan seperti daging, ikan segar, sayur juga bumbu grill yang siap pakai.Aku tetap berjalan di dekat Mama meskipun bosan. Hari ini sekolah libur karena bersekolah di swasta yang dikelola yayasan elit Protestan memang diuntungkan di liburan panjang akhir tahun. Libur Natal dan tahun baru selalu digabung menjadi satu.Seharusnya hari ini aku dapat bersantai di rumah. Menonton film Home Alone kesekian yang tayang atau bermain game sambil tiduran. Tetapi yang terjadi Mama malah mengajakku ke mall saat siang dan matahari sedang terik-teriknya.Sesekali aku mendengus bosan ketika menyaksikan Mama sibuk mengambil buah-buahan dan lain sebagainya. Padahal bahan makanan yang diperlukan untuk malam tahun baru sudah membludak di troli yang Mama dorong.Tidak ada yang menarik, aku bersedekap kesal karena Mama tidak peka juga untuk segera mengajakku keliling atau bermain di timezone saja. Sedangkan sampai
Nayra langsung tercekat. Kedua kakinya lalu berjalan menghampiri pria dengan wajah buncah di sana."Pak Arvin? Bukannya saya belum mengabari Anda?" tanya Nayra bingung.Dari mana Pak Arvin tahu kalau Pak Aldo sakit dan dibawa ke sini? Sedang ponsel Nayra saja masih tertinggal di ruangannya.Sekilas Arvin menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Saya barusan ke ruangan Pak Aldo, Mbak. Terus karena kalian tidak ada ya saya langsung keluar lagi, nyari. Eh, kemudian tidak sengaja ketemu Mbak perawat tadi.""Oh…" Nayra mengangguk beberapa kali."Terus dimana Pak Aldo sekarang?""Oh iya." Nayra menepuk dahi. "Pak Aldo sudah kembali ke ruangannya, Pak.""Baik, saya langsung ke sana saja. Mbak Nayra juga kan?""Iya, setelah ini saya kembali, Pak. Nunggu obatnya Pak Aldo dulu.""Oh, kalau begitu saya duluan ya." Arvin melambaikan tangan singkat yang langsung dibalas oleh anggukan kepala Nayra lagi.Nayra duduk di kursi dekat brankar. Mungkin kursi tersebut yang biasa perawat duduki karena di atas
"Sayang—" Guna tak bisa menahan tawa. Ia lalu meraup udara sebanyak-banyaknya."Kenapa? Kok malah ketawa?!" Marsella merengut. "Emang ada yang lucu dari omonganku?""Bukan. Nggak gitu. Maksudnya aku juga harus cari modal dulu dong. Masa nikahin kamu tapi nggak punya dana.""Tapi kan kalau kamu berhasil membujuk Mama Papa, biaya buat nikah gampang." Marsella mendes*ah, gemas sendiri melihat sikap Guna."Atau seharusnya kamu mulai nabung," tambahnya. Ia melipat tangan dan menaikkan dagu saat menatap Guna.Guna hanya menggaruk kepala singkat. "Ya… maunya gitu, Sayang. Tapi aku juga perlu waktu. Usia kita juga masih agak muda juga kan. Kamu masih 19 tahun, aku 24 tahun. Seumpama menikah tiga tahun lagi nggak bakal telat juga.""Loh, terus kenapa dulu nikah sama Nayra bisa? Apa bedanya? Seharusnya mulai dari sekarang kamu menabung dong ah." Marsella mendengus kemudian membuang muka."Looo, sayangku marah lagi." Guna menghela napas dengan berat. Ia lalu meraih kedua tangan Marsella."Sudah