"Apa yang kamu lakukan?!"Suara Aldo yang ketus menikam ulu hati Nayra. Hingga berhasil membunyikan alarm bahaya dari tubuh Nayra secara alami.Nayra berjingkat. Ia segera menjauh dari Aldo. Wajahnya tampak pucat pasi saking takutnya."Ma-maaf, Pak. Saya beneran tidak ada maksud apa-apa." Nayra langsung menunduk merasa bersalah. Dalam hatinya menggerutu karena kebodohan sekaligus kecerobohannya.Meski tanpa melihatnya, Nayra dapat mendengar hembusan napas kasar dari Aldo. Begitu juga gerakannya yang grusah-grusuh.Aldo tiba-tiba berdiri, lalu melempar selimut tadi ke arah Nayra. Beruntung Nayra cekatan menangkapnya dengan dua tangan.Bersamaan dengan itu, Nugroho masuk. Pria paruh baya tersebut sempat terdiam saat menyaksikan rona wajah keduanya. Tampak di matanya Aldo menghunjamkan tatapan serius ke arah Nayra yang memucat."Ada apa ini?" tanyanya.Aldo kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Nugroho. Ekspresinya masih marah. Ia lalu merapikan jasnya singkat dan berderap menuju aya
Saat itu Mama mengajakku belanja di mall untuk keperluan tahun baru. Membeli beberapa bahan makanan seperti daging, ikan segar, sayur juga bumbu grill yang siap pakai.Aku tetap berjalan di dekat Mama meskipun bosan. Hari ini sekolah libur karena bersekolah di swasta yang dikelola yayasan elit Protestan memang diuntungkan di liburan panjang akhir tahun. Libur Natal dan tahun baru selalu digabung menjadi satu.Seharusnya hari ini aku dapat bersantai di rumah. Menonton film Home Alone kesekian yang tayang atau bermain game sambil tiduran. Tetapi yang terjadi Mama malah mengajakku ke mall saat siang dan matahari sedang terik-teriknya.Sesekali aku mendengus bosan ketika menyaksikan Mama sibuk mengambil buah-buahan dan lain sebagainya. Padahal bahan makanan yang diperlukan untuk malam tahun baru sudah membludak di troli yang Mama dorong.Tidak ada yang menarik, aku bersedekap kesal karena Mama tidak peka juga untuk segera mengajakku keliling atau bermain di timezone saja. Sedangkan sampai
Nayra langsung tercekat. Kedua kakinya lalu berjalan menghampiri pria dengan wajah buncah di sana."Pak Arvin? Bukannya saya belum mengabari Anda?" tanya Nayra bingung.Dari mana Pak Arvin tahu kalau Pak Aldo sakit dan dibawa ke sini? Sedang ponsel Nayra saja masih tertinggal di ruangannya.Sekilas Arvin menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Saya barusan ke ruangan Pak Aldo, Mbak. Terus karena kalian tidak ada ya saya langsung keluar lagi, nyari. Eh, kemudian tidak sengaja ketemu Mbak perawat tadi.""Oh…" Nayra mengangguk beberapa kali."Terus dimana Pak Aldo sekarang?""Oh iya." Nayra menepuk dahi. "Pak Aldo sudah kembali ke ruangannya, Pak.""Baik, saya langsung ke sana saja. Mbak Nayra juga kan?""Iya, setelah ini saya kembali, Pak. Nunggu obatnya Pak Aldo dulu.""Oh, kalau begitu saya duluan ya." Arvin melambaikan tangan singkat yang langsung dibalas oleh anggukan kepala Nayra lagi.Nayra duduk di kursi dekat brankar. Mungkin kursi tersebut yang biasa perawat duduki karena di atas
"Sayang—" Guna tak bisa menahan tawa. Ia lalu meraup udara sebanyak-banyaknya."Kenapa? Kok malah ketawa?!" Marsella merengut. "Emang ada yang lucu dari omonganku?""Bukan. Nggak gitu. Maksudnya aku juga harus cari modal dulu dong. Masa nikahin kamu tapi nggak punya dana.""Tapi kan kalau kamu berhasil membujuk Mama Papa, biaya buat nikah gampang." Marsella mendes*ah, gemas sendiri melihat sikap Guna."Atau seharusnya kamu mulai nabung," tambahnya. Ia melipat tangan dan menaikkan dagu saat menatap Guna.Guna hanya menggaruk kepala singkat. "Ya… maunya gitu, Sayang. Tapi aku juga perlu waktu. Usia kita juga masih agak muda juga kan. Kamu masih 19 tahun, aku 24 tahun. Seumpama menikah tiga tahun lagi nggak bakal telat juga.""Loh, terus kenapa dulu nikah sama Nayra bisa? Apa bedanya? Seharusnya mulai dari sekarang kamu menabung dong ah." Marsella mendengus kemudian membuang muka."Looo, sayangku marah lagi." Guna menghela napas dengan berat. Ia lalu meraih kedua tangan Marsella."Sudah
Aldo menekuk dahi dan menghunuskan tatapannya yang tajam. "Kenapa? Kamu tidak mau?""Tidak. Bukan begitu, Pak. Maaf.""Terus kenapa?!" Rahang Aldo mula-mula mengeras karena Nayra tak juga terus terang.Seketika nyali Nayra menciut. Ia menelan salivanya kemudian berusaha untuk menjelaskan."Saya belum pernah berhadapan dengan orang penting, Pak." Nayra menunduk lesu.Arvin menatapnya dengan iba. Tak berbanding lurus dengan Aldo yang kini mendes*ah kasar."Kamu itu bukan anak TK lagi! Urus saja, cuma bahas masalah stok," ujar Aldo dingin lalu berpaling pergi.Nayra terperangah. Pimpinannya tak mau tahu. Tetapi setengahnya Nayra juga sadar diri, bagaimanapun ia memang bekerja untuk Aldo.Sebelum melewati Nayra, Arvin berhenti. "Sebelum menemui mereka, Mbak minta dulu stock opname sambal yang ada di pabrik. Mbak Nayra nanti cukup laporan ke mereka, untuk selanjutnya coba diskusikan dengan mereka mau mengirim berapa ton. Mereka sudah pengalaman kok Mbak," sarannya kepada Nayra."Terima kas
Nayra mengalihkan pandang dari Ida ke Budi yang sudah meringis kesakitan. Wajah beliau tampak merah padam."Nggak tahu tuh, tiba-tiba Bapakmu sudah nyusruk di depan kamarku! Dibilangi nggak usah kemana-mana kok ngeyel! Kalau begini kan jadi ngerepotin!" pekik wanita itu lagi. Kedua matanya melotot ke arah Budi seperti sedang memarahi anak-anak yang tidak patuh.Nayra semakin tidak tega melihat kondisi ayahnya. Bukannya membantu berdiri, Ida justru banyak mengomel hingga membuat telinga Nayra sakit sendiri."Ya sudah, Bu. Kita dudukkan Ayah ke kursi roda lagi. Mungkin Ayah melakukannya secara tidak sengaja."Ida hanya mencibir. Ida tahu benar, kejadian tadi bukanlah hal yang tak sengaja."Gendong aja sendiri, aku capek sama bapakmu. Dibilangi nggak nurut!" Ida memalingkan wajah lantas berderap masuk menuju kamarnya.Nayra terpegun. Ida begitu tega meninggalkan Nayra dan Budi dalam keadaan seperti ini. Apalagi saat wanita itu menutup pintu secara keras di hadapannya.Nayra menekuk wajah
Arvin memasuki ruang Aldo seperti biasa pagi itu. Pria berkacamata tersebut baru saja menemui presdir dari perusahaan lain demi mengadakan kerja sama dalam beberapa waktu sesuai kontrak.Arvin berjalan gontai lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa tamu di ruangan itu. Ia mengamati Aldo yang masih sibuk mencatat dan memperhatikan layar laptop di hadapannya.Arvin kemudian mengedarkan pandang ke sekitarnya. Ia mengernyit sewaktu tak mendapati Nayra di tempatnya."Pak, Mbak Nayra dimana? Kok tidak ada." Arvin akhirnya melempar pertanyaan ke Aldo.Aldo tak menghentikan gerakan tangannya sewaktu menjawab dengan mimik tak acuh. "Masih kusuruh.""Kemana?""Kenapa kamu peduli?"Arvin menegakkan tubuh sambil melipat dahi. "Bukannya selama ini saya selalu tanya keberadaan Mbak Nayra, Pak? Pak Aldo yang aneh," decaknya disertai gelengan kepala beberapa kali.Aldo mendongak, lantas menatap Arvin tajam. "Kamu bisa diam tidak?""Ampun, Pak. Ampun. Saya cuma bercanda." Arvin langsung menyatukan kedua t
Mendengar Aldo memanggilnya, Nayra terkejut. Ia sedang mengunyah makanan dan harus menelannya saat itu juga demi memenuhi panggilan Aldo.Nayra buru-buru menghampiri Aldo di tempatnya. Saat menatap mata Aldo yang penuh amarah, Nayra langsung kebingungan."Maaf, ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan takut.Tanpa mengatakan apapun, Aldo melempar box nasi ke hadapan Nayra. Nayra tersentak kemudian menyaksikan isi kotak tersebut yang sudah berserakan. Arvin juga kaget saat Aldo melakukan hal itu. Ia mendongak sementara isi kepalanya bertanya-tanya."Sudah kerja selama sebulan lebih di sini kenapa tetap bodoh, hah?!"Nayra bungkam. Masih berpikir keras dimana letak kesalahannya sekarang. Lalu kedua matanya melebar tatkala menangkap sambal yang ada di dalam box tersebut bukanlah sambal matah."Sekarang cek makanan di depanmu itu!"Dengan tangan yang gemetar, Nayra menyingkap kotak itu agar dapat memeriksa isi di dalamnya lebih jelas. Sambal bawang yang seharusnya sambal matah, beberapa irisan t
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar