Sontak Ida membulatkan kedua mata. Sementara lawan bicaranya di seberang telepon terdengar menjelaskan kondisinya. "Satu juta setengah ya tadi? Aduh, banyak banget—" "Iya, iya. Kamu tenang aja. Nanti bisa aku usahakan. Aku bujuk Nayra dulu," ralatnya kemudian. Ida mengerjap cepat setelah menutup teleponnya. Ia sendiri juga bingung. Bagaimana merengek ke Nayra agar anaknya memberikan uang satu juta setengah lagi. Mengabaikan bayangannya di depan cermin, Ida menggigit jarinya. Ia sedang memikirkan apa alasan yang harus ia keluarkan agar Nayra percaya. Bagaimanapun Ida harus bisa mendapat uang tersebut. ♡♡♡ Nayra meletakkan cangkir di depan meja Aldo dengan takut-takut. Bahkan tangannya ikut bergetar hebat. Aldo yang sedang menatap layar monitor sedikit melirik ke arah tangan Nayra yang sedang gugup. "Kamu coba dulu." Nayra yang tengah mengelap kedua telapak tangannya yang basah oleh keringat di roknya terpegun. "Apa?" "Kamu coba dulu. Biar tahu sudah pas atau belum," ujar Aldo
"Apa yang Ibu lakukan?!" Kedua mata Nayra melotot tak percaya menangkap kelakuan Ida di hadapannya.Sambil merapikan pakaiannya, Ida berdiri. Lalu menatap Nayra dengan amarah yang belum reda."Ini bapakmu disuapin malah nggak mau makan! Kurang sabar gimana aku ngurus dia!"Nayra menyambar kantong plastiknya kembali lantas berderap cepat menuju posisi keduanya. Ia mengamati Budi yang menangis sambil menggeleng. Nayra lalu menyeret pandangannya ke arah Ida dengan tatapan menuntut."Ibu nyuapin Ayah atau nyiksa? Kalau Ayah sudah nggak mau makan, biarin saja lah, Bu," ujar Nayra nelangsa."Lo, kamu ya nggak tahu diri! Kita sudah miskin, makanan ya harus dihabiskan! Anak sama bapak kok sama aja ngelesnya!"Sekilas Nayra terdiam dan menggelengkan kepala. Bibirnya terkatup rapat menahan emosi."Ibu kan bisa mengambilkan nasinya sedikit dulu. Nanti kalau Ayah kurang, bisa nambah."Ida langsung menekuk wajahnya kesal. Tanpa banyak bicara, Ida mendekati Nayra dan mendorong piring yang semula ia
Arvin terperanjat, begitu juga Nayra. Kini dahi wanita tersebut berkerut samar.Apa yang sedang dimaksud Arvin dan Pak Nugroho? Kenapa harus menyangkut dirinya? Batin Nayra bertanya-tanya.Arvin enggan melihat Nayra di belakangnya. Ia berdeham pelan kemudian memberanikan diri untuk bertanya agar Nugroho lebih jelas mengatakannya."Maksud Pak Nugroho apa ya?" tanyanya bingung.Tawa Nugroho pecah lagi. Pria itu terbahak-bahak seakan tak memedulikan bagaimana kebingungan Arvin maupun Nayra yang sudah membuncah."Vin, Arvin. Kamu masih muda tapi sudah pelupa. Kalah sama Bapak. Umur kamu berapa memang, ha?" Nugroho sedikit mengangkat kepala, menunggu lawan bicaranya menjawab pertanyaannya.Sambil memperbaiki kacamata yang bertengger di hidung, Arvin menyahutnya dengan ragu."Saya sudah dua puluh tiga tahun, Pak."Oh iya, Pak Arvin kan memang seumuran denganku. Nayra masih memperhatikan pembicaraan keduanya."Lha iya, itu masih muda sekali, Vin. Begitu saja lupa," gelak Nugroho lagi.Dengan
Arvin tersentak. Begitu ia hendak menyuapkan mie ke dalam mulutnya, ia menyaksikan Aldo berdiri dan segera berlari keluar."Pak, mau kemana?" Sontak pandangan Arvin mengikuti arah kemana Aldo pergi.Jujur Arvin tak pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. Apalagi di wajah Aldo yang dingin.Arvin berdecak lidah, ia sangat khawatir terhadap pria tersebut. Meskipun sempat ragu karena menggagalkan suapan mienya, namun Arvin akhirnya tetap beranjak pergi demi menyusul Aldo.Tiba-tiba dada Aldo merasa sesak. Bertemu dengan seseorang dari masa lalu itu, sejujurnya ia belum siap. Tetapi ada satu hal yang ingin ia luruskan dengan wanita tersebut. Maka, hal itu yang membuat Aldo terus mengejar sosok di depannya.Aldo melangkah cepat. Kedua matanya lurus menatap bahu wanita berambut pendek itu dengan napas yang berpacu.Wanita tersebut juga terlihat berderap cepat. Hingga Aldo harus mengeluarkan suara demi menghentikan langkah kaki perempuan itu."Fanny!""Stefanny!"Aldo tak putus asa meskipun y
"Terus nanti kamu pulang jam berapa?"Marsella menautkan kedua alis. Ia tengah menajamkan pendengarannya untuk suara di seberang teleponnya."Kamu lagi sendirian, Mas? Kok hening begitu? Kerja apa sih?"[Sssttt, jangan banyak tanya. Nanti aja aku ceritakan pas di rumah. Sudah ya, aku tutup dulu.]Marsella menarik ponsel dari telinganya dengan dengusan kasar. Guna tidak memberitahunya tentang pekerjaan baru pria tersebut. Ditambah lagi, pria itu terkesan terburu-buru sewaktu menerima panggilannya barusan."Nyebelin!" gumam Marsella kesal.Ia lalu memutuskan untuk mengotak-atik ponselnya di sana. Meskipun sudah larut malam, Marsella tak ingin pulang. Toh kedua orangtuanya yang sedang pergi ke luar kota tidak akan peduli. Apalagi sampai mencarinya.Dua jam kemudian—tepat pukul satu dini hari, Guna kembali ke rumah kontrakan dengan berjalan sempoyongan.Guna berhenti di depan pintu kemudian merogoh kunci dari dalam saku celana. Ia bahkan tidak ingat jika Marsella sudah membuka pintu itu.
Nayra terkesiap. Rasanya seperti mimpi saat tubuhnya terjungkal ke depan. Nayra jelas tak menginginkan kejadian ini, apalagi kini tubuhnya justru mengarah ke Aldo.Nayra memejamkan kedua matanya rapat. Tetapi begitu merasakan tubuhnya ditopang oleh sepasang tangan, seketika ia membuka mata.Ia tercekat, jarak wajah Aldo dan dirinya begitu dekat. Ternyata pria itu yang telah menolongnya sehingga badannya tak sampai jatuh ke lantai.Nayra mengerjapkan mata. Ia menyadari paras Aldo yang sangat tampan. Apalagi ketika wajah tersebut diterpa oleh cahaya keemasan matahari yang menyilaukan.Hal yang sama menimpa Aldo. Ia tercengang saat sepasang tangannya bekerja begitu saja demi menopang tubuh mungil milik Nayra.Namun yang lebih mengejutkan bukan hanya itu. Kedua netra Nayra yang berwarna cokelat membuatnya termenung sesaat. Sepasang mata Nayra telah mengingatkannya kepada seorang gadis kecil yang pernah ia cari sejak tujuh belas tahun lalu.Dan harus Aldo akui, ini adalah pertama kalinya i
Kedua mata Nayra terbelalak lebar. Ternyata yang ia lihat tadi memang benar. Pria itu adalah Guna. Dan sekarang senyum Guna justru bertebaran di depan matanya.Lalu, dimana wanita yang ia sangka ibunya berada?Nayra kemudian memilih mengabaikan ucapan Guna. Ia justru memutar tubuh dan menghamburkan pandangan ke berbagai arah di sekitarnya.Guna yang merasa tak diacuhkan sontak memusnahkan senyum di bibir tebalnya. Pria itu mengenyit menyaksikan Nayra yang seakan masih mencari seseorang di sana."Kamu cari apa sih, Nay?"Nayra langsung menumbukkan kedua mata ke arah Guna dengan tajam."Ibu. Kamu ke sini sama Ibu kan?" tuduh Nayra seketika."Dimana Ibu?!" tekannya sembari mencari-cari lagi.Melihat kebingungan yang ada di raut wajah Nayra membuat Guna tertawa. Nayra pun mendengus kesal dibuatnya. Rasanya percuma bertanya kepada pria tersebut.Karena tak menemukan jawaban pada Guna, ia lalu lekas melangkahkan kaki hendak pergi. Namun sebuah sambaran pada lengannya berhasil mengurungkan n
Lalu tatapan Aldo semakin menajam. Pria itu memilih memutus kontak dari pandangan Nayra, kemudian berdiri tak acuh.Tangannya tiba-tiba melempar sebuah kartu ATM dari dompet kulit hitamnya, mengarah ke Arvin."Bayarkan, Vin," ucap singkat Aldo kemudian berderap pergi dari sana.Nayra hanya menatap punggung Aldo dengan ekspresi tercengang. Lalu pandangannya terseret ke arah kartu warna hitam yang langsung membuatnya terpukau.Sementara itu Arvin menelan ludah. Sepertinya ia sudah terlalu banyak bicara siang ini.Setelah selesai dan membayar bill di kasir, Arvin dan Nayra menggiring kaki menuju tempat parkir. Tampak Aldo sudah menunggu mereka di dalam. Pria dingin tersebut masih berkutat sibuk pada tabletnya.Mobil kemudian mulai dijalankan Arvin. Mobil mewah dengan warna hitam kilat itu meluncur mulus membelai jalanan ibu kota yang tampak menguap saking panasnya.Kini sudah satu jam setengah mereka terjebak oleh macet. Sesekali Aldo terlihat gelisah dan mulai memeriksa arloji yang bert