Meracik secangkir teh panas untuk sang ayah menjadi sebuah kewajiban bagi Wulan di kala sore menjelang.
Menghabiskan waktu ditemani sebuah kipas yang terbuat dari anyaman bambu tipis dalam genggaman tangan kanannya, pak Bandi tersenyum menatap ke depan, dimana sawah hijau luas teebentang. Sawah milik keluarga yang turun temurun di wariskan kepada anak cucu mereka.
Pak Bandi sebagai keturunan ketiga dari kakek buyutnya berhasil menjadikan sawah meluas dari yang hanya sehektar, kini beliau memiliki 3 hektar. Sukses dengan bisnis padinya, Pak Bandi tak pernah hidup berfoya-foya. Selalu mengajarkan putri-putrinya untuk delalu hidup sederhana. Dan pengajaran itu menjadikan kedua putrinya sebagai pribadi-pribadi yang matang.
Santi dan Wulan. Dua putri Pak Bandi. Perempuan-perempuan cantik yang berwawasan dewasa.
Santi, seorang wanita dewasa berusia 25 tahun, bekerja sebagai guru muda di salah satu sekolah menengah pertama kota kecil itu. Cantik, putih dan berpawakan tinggi. Santi menjadi kebanggaan pak Bandi, karena satu-satunya putri yang bekerja di bawah lembaga pemerintahan.
Di kota kecil itu, pekerjaan sebagai seorang guru, sangat dihormati dan disegani.
Wulan, perempuan mungil yang manis dan berpawakan kecil, putri bungsu Pak Bandi berusia selisih 5 tahun dengan saudara perempuannya. Gadis manis itu tidak bekerja di sebuah lembaga maupun kantor. Tapi sebagai pendiri usaha kecil yang memiliki keterampilan khusus dalam merangkai kain dan pernak perniknya menjadi sebuah hasil karya yang cantik dan memiliki nilai jual.
Pak Bandi tak pernah keberatan dengan apapun yang menjadi cita-cita kedua putrinya. Membebaskan mereka untuk memilih jalur masa depan masing-masing. Memberikan kebebasan semenjak mereka duduk di kelas menengah atas dan mengambil jurusan kuliah. Hanya mendukung mereka melalui finansial dan semangat.
Wulan menatap ayahnya yang tersenyum menatap ke depan ke hantaran sawah yang menghijau ikut tersenyum. Meletakkan secangkir teh dan tak lupa sepiring pisang goreng menemani. Pak Bandi yang menyadari kehadiran Wulan tersenyum semakin lebar melihat camilan kesukaannya.
"Ah.. Pisang goreng. Kesukaan ayah ini." Celetuk Pak Bandi sembari mengambil satu buahpisang goreng dan menggigitnya.
Wulan tersenyum lalu mengambil duduk di samping ayahnya. "Dari budhe yah..."
Pak Bandi menoleh, "oh ya? Kapan budhemu datang? Ayah tidak melihat kedatangannya."
"Tadi sewaktu ayah di kamar mandi. Budhe datang membawa pisang goreng kesukaan ayah, kebetulan pisang di belakang rumah budhe sudah matang jadi digoreng sekalian."
Wulan menyandarkan punggungnya ke belakang. Punggung kursi yang empuk sedikit membantu mengurangi rasa pegal karena seharian mengajari anak-anak yang kursus membuat pernak pernik kain. Melelahkan tapi menyenangkan.
Pak Bandi menghentikan kunyahannya lalu menoleh ke arah Wulan dan bertanya, "tadi budhemu ada bilang sesuatu?"
Wulan menoleh sambil menggeleng, "nggak ada yah."
Terlihat memikirkan sesuatu, Pak Bandi menggelengkan kepalanya. "Ah, tidak ada. Nanti juga kamu tahu kok."
"Ada apa sih yah? Hal pentingkah?"
Meneruskan kunyahannya dengan perlahan, Pak Bandi tetap menggelengkan kepalanya. "Nanti saja."
Mendengus perlahan, Wulan memperlihatkan cemberutnya. Kesal karena menyadari ayahnya memiliki sebuah rahasia. Tapi bukan Wulan namanya jika tidak bisa membuka tabir yang disembunyikan.
"Ayah bisa saja. Bicara nanti ataupun sekarang kan sama saja. Sama anak sendiri pakai rahasia-rahasiaan. Gak asik ayah ah. Wulan masuk aja kalo gitu." Gerutu Wulan.
Pak Bandi tergelak melihat putri bungsunya menunjukkan rasa tak suka karena dirinya merahasiakan sesuatu. Dan dia selalu luluh ketika putri-putrinya menunjukkan cemberut di wajah. Karena semakin menambah kegemasan sehingga tak sanggup menutupi apapun dari mereka.
"Sudah-sudah. Sudah umur berapa kamu masih main cemberutan gitu." Gelak tawa Pak Bandi terdengar sambil menepuk kepala Wulan. Wulan yang mendengarnya seketika tersenyum lebar. Berhasil!
"Jadi... Kemarin budhemu bicara ke ayah waktu mengantar nasi ke sawah. Dia bilang kalo ada yang mau melamar mbakyumu."
Binar mata Wulan terlihat, bahagia karena mendengar ada yang ingin melamar kakaknya. Pernikahan adalah kebahagiaan.
"Oh ya? Siapa yah? Wulan ikut senang. Eh, tapi tunggu, ayah harus melihat dulu calon suami mbak Santi itu gimana. Jangan asal diterima ya yah... "
Pak Bandi menggelengkan kepalanya perlahan, "ayah tahu siapa laki-laki itu. Jangan khawatir. Dia laki-laki yang baik dan masa depannya cerah. Ayah yakin kalo mbakyumu menikah dengan laki-laki ini pasti merasakan kebahagiaan."
"Wah.. Bagus dong yah. Siapa yah? Terus mbak Santi udah tau belum kalo ada yang mau melamar?" Antusias Wulan membuat Pak Bandi tergelak.
"Sudah. Tadi malam ayah sudah bicara sama mbakyumu perihal rencana lamaran itu. Tapi mbakyumu masih belum memberikan jawaban. Ayah bilang akan memberikan waktu untuknya memikirkan hal besar ini."
Wulan mengangguk mengerti. Tapi rasa penasarannya masih juga belum hilang.
"Tapi yah... Siapa laki-laki yang mau melamar mbak Santi?"
Menghabiskan gigitan terakhir dan menyeruput tehnya yang mulai menghangat, Pak Bandi menatap putrinya.
"Langit. Putra pak Priyadi yang kerja di bank itu."
Rasa penasaran yang semula menggelayuti benaknya kini berubah menjadi petir yang menggelegar di tengah hari. Tanpa hujan, tak ada mendung. Tapi petir menyambar mengagetkan insan yang mendengarnya. Serupa petasan yang dibakar di tengah malam dan mengagetkan setiap orang yang tengah tertidur pulas.
Wulan tak bisa membayangkan sepucat apa wajahnya saat mendengar nama yang keluar dari bibir ayahnya. Langit. Langit Nusantara.
"Langit?" Desisnya.
Pak Bandi yang kemudian menatap sawahnya tak menyadari sepucat apa wajah putrinya saat ini. Hanya menganggukkan kepalanya perlahan dan senyuman terkembang di wajahnya.
"Iya. Ayah sangat setuju kalo mbakyumu menikah dengan laki-laki itu. Langit adalah pria yang baik selain wajahnya yang tampan. Pekerjaannya juga bagus. Ayah merasa dia sangat cocok untuk mbakyumu. Dan ayah juga sangat yakin kalo dia bisa membahagiakan mbakyumu nanti."
"Kamu... Juga ikut bahagia dan senang mendengarnya kan Wul? Kalo menurut kamu, Langit cocok apa gak buat mbakyumu?" Tanya pak Bandi tanpa menoleh sedikitpun ke arah Wulan.
Wulan menatap nanar wajah ayahnya yang terlihat bahagia. Setitik bening meluncur dari bola matanya yang indah. Ketika menyadarinya, Wulan segera menyeka dan menundukkan kepalanya menyembunyikan sedih dan kecewa yang teramat sangat sakit di hatinya.
"Cocok. Mereka sangat serasi yah. Wulan bahagia kalo ayah juga bahagia dengan pernikahan mereka."
"Ayah tau.. Kamu pasti juga memiliki perasaan yang sama dengan ayah."
Wulan menganggukkan kepalanya cepat lalu berdiri dari tempatnya, "maaf yah, Wulan ke dalam dulu. Lupa mematikan air."
Pak Bandi menganggukkan kepala sambil masih menatap ke depan. Hamparan hijau di sana terlihat lebih hijau dari sebelumnya. Entah karena memang matahari menyinarinya dengan baik sehingga menjadikan warna daunnya terlihat cantik atau karena hatinya yang merekah bahagia karena baru saja menceritakan kabar baik mengenai putri sulungnya.
Hatinya membuncah gembira mendengar penuturan putri bungsunya yang memiliki pendapat sama mengenai calon menantunya. Kini hanya tinggal mendengar keputusan putri sulungnya yang ia yakini tak akan jauh dari yang ia percayai.
Sementara di balik pintu kamarnya, Wulan menutup bibirnya erat-erat sehingga suara tangisan yang menyayat tak terdengar hingga ke telinga ayahnya. Cukup ia sendiri yang mendengar teriakan hati kecilnya yang meratap sakit.
Wulan membasuh tubuhnya dengan air yang sebenarnya segar namun terasa dingin di tubuhnya. Sangat dingin hingga membuat dirinya menggigil. Meriang. Sepertinya Wulan merasa tubuhnya sedikit meriang. Cepat-cepat menyelesaikan kegiatan mandi sorenya yang sedikit terlambat, Wulan segera memakai pakaian ganti yang tadi dibawanya. Kurang hangat, masih terasa dingin. Batinnya. Menyampirkan handuk berbulu halus warna merah tua di samping kamar mandi, Wulan segera meninggalkan tempat itu dan bergegas memasuki kamarnya. Melihat sekeliling sembara berjalan, masih sepi. Tatapannya tertuju keluar dimana sang ayah masih setia duduk menikmati sorenya yang bahagia, hati Wulan meratap. Tak memedulikan apapun, Wulan bergegas memasuki kamar dan membuka selimut tebalnya. Meringkuk di bawah selimut sambil memejamkan mata. Terasa semakin dingin. Teringat bagaimana ia menghabiskan sorenya dengan tangis. Mata berurai air yang mengalir deras tanpa bisa dicegah. Wulan semakin mem
Siang itu Wulan mematut dirinya didepan cermin berkali-kali. Menunjukkan pandangan tak puas atas penampilannya. Berkali-kali berputar, menarik dan menghembuskan nafas keras. Sebuah ketidakpuasan terlihat di wajahnya. Tyas yang setiap harinya menemani Wulan di Rumah Hias tempat gadis itu menyalurkan bakat, mengernyitkan dahi. Tidak seperti kebiasaan Wulan. Gadis manis itu sangat jarang bersolek. Tapi siang ini, ada perubahan yang sangat kentara. "Mau kemana Lan? Tumben amat." Wulan melirik Tyas sesaat lalu kembali mematut dan menyempurnakan riasan. Sedikit pemerah bibir untuk bibirnya yang sudah merah. Memberikan sentuhan glossy sehingga bibirnya terlihat bercahaya. "Gimana Yas? Udah pantas belum sih keluar begini?" Tanya Wulan yang masih meragukan penampilannya. Harus sempurna, batinnya. "Maksudnya Lan? Apanya yang pantas dan gak pantas?" Tyas masih belum mengerti ke arah mana pertanyaan Wulan. "Ya pantas apa gak penampilan
"Bu Santi, minta tolong cetakkan data-data murid yang menerima bantuan kemarin." Ucap seseorang dengan seragam abu memasuki ruangan dimana Santi berada. Kantor ruangan guru. "Baik bu, segera saya cetakkan." Jawab Santi singkat dan segera membuka file dalam laptop yang terbuka di depannya. Santi Wardani, putri pertama pak Bandi. Seorang guru muda cantik yang menjadi salah satu staf di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai putri pertama, ia merasa mendapatkan sebuah kewajiban untuk memberikan yang terbaik atas dirinya untuk keluarganya. Ia tahu bahwa sang ayah tak pernah meminta apalagi menuntutnya. Tapi pemikiran itu sudah terpatri di benaknya semenjak ia beranjak dewasa. Bahwa arti posisi anak pertama adalah posisi rentan, dimana ia harus menjadi sebuah tauladan dan memikul kewajiban sebagai pemangku nama keluarga untuk dijaga sebaik-baiknya. Tak pernah keluar dari jalurnya sebagai anak pertama yang pantas dibanggakan. Tak pernah membantah semua petu
Wulan tak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Air mata terus mengalir dan membanjiri bantal yang saat ini tengah didekapnya. Ingin pergi keluar menemui sahabatnya tapi jalan akses keluar hanya satu. Dan ia akan melewati dua orang yang saat ini tengah berbincang di teras depan. Sehingga tak mungkin bagi dirinya menyembunyikan sembab di wajah. Menyalahkan diri sendiri karena tak mampu menyembunyikan sakit di hatinya. Menyalahkan diri sendiri karena harus memiliki rasa untuk pria yang bukan miliknya. Menyalahkan diri sendiri karena bukan dirinya yang mendapatkan kesempatan berharga itu. Dan menyalahkan dirinya yang memiliki hati yang tak baik sehingga tak ikut merasakan bahagia untuk kakak semata wayangnya. Bukan adik yang baik sehingga tak mampu merayakan berita bahagia bersama sang kakak. Mulai membenci dirinya sendiri. Mulai mengutuk dirinya sendiri. 'Tok.tok.tok." Wulan menghentikan tangisnya saat memdengar suara pintu kamar di ketuk.
Wulan berdiri mematung di depan jalan menuju ke rumahnya. Hatinya gamang saat akan melangkahkan kaki. Terbayang di benaknya pertemuan kedua keluarga. Santi dan Langit duduk berdampingan seolah raja dan ratu sehari. Sesak merayapi. Menelan ludah dengan susah payah, Wulan memejamkan mata dan bertekad menguatkan hati demi kakak tercinta. Sebesar apapun rasa cinta yang ia miliki untuk pri yang akhirnya bukan miliknya sangat tak sepadan dengan cinta yang dimiliki kakak perempuannya. Menguatkan hati, Wulan melangkah dengan hati berdebar. Semakin dekat dengan tujuan, hati Wulan semakin berdebar tak menentu. 'Tuhan kuatkan aku.' Bisiknya. Terlihat dari jauh sebuah kendaraan yang sangat dikenalnya. Kendaraan roda empat milik Langit yang pernah ia tumpangi. Tangannya mengepal erat, tubuhnya terasa dingin. Wulan merasa hawa malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kakinya menapak ke anak tangga satu persatu. Telinganya menangkap percakapa
Wulan terdiam, tak bersuara. Berdiri mematung menatap Langit yang kini menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Langit bergerak, berjalan perlahan mendekati Wulan. berhenti tepat di depan gadis itu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Menunggu. Memandangnya tajam, ada rasa tak senang saat mengingat gadis mungil di depannya tak mengakui hubungan bahwa mereka telah saling mengenal. Wulan memutar otak, mencari alasan yang masuk dalam logika. Menundukkan kepala sambil memilin jari jemarinya. "Ak-aku hanya tidak merasa nyaman kalau mbak Santi tahu kita sudah saling mengenal sebelumnya." kata Wulan lirih. "Lagipula, kita baru bertemu dua kali. Dan itu tidak bisa dibilang kita berteman kan? Dan saat kita bertemu juga selalu secara kebetulan." lanjut Wulan membela diri. "Ralat, 3 kali kalau-kalau kamu melupakan saat kita makan siang bersama." Langit menegaskan. Wulan tersentak, lupa. Bukan, dia hanya salah menghitung.
Menaikkan satu tungkai kakinya untuk bertumpuk ke kaki lainnya, Langit menyandarkan tubuh pada punggung sofa yang lembut. Menatap Wulan dengan pandangan datar, ia melipat kedua lengan di depan dadanya. “Kenapa tidak mungkin?” tanyanya datar. Wulan masih tidak bisa mempercayai pernyataan Langit, kini ia disodori sebuah pertanyaan yang membuatnya dilema. “Tidak mungkin. Ya tidak mungkin… Begitulah.” jawab Wulan lirih menundukkan kepala. “Kenapa tidak m
"Cak, udah siap semua yang harus kamu bawa nanti?" Tanya pak Daud, direktur utama tempat Cakra ditugaskan. Pak Daud baru saja mengisi kembali cangkir kopinya di dapur umum yang disediakan perusahaan. Berhenti ketika dilihatnya Cakra sedang duduk di balik meja kerjanya.Cakra menoleh dan menganggukkan kepala."Sudah pak. Sudah selesai. Perkiraan saya sampai di kota yang dituju besok sore. Karena paginya saya harus mengantarkan pesanan bude saya di Depok pak."Menyesap kopinya dengan santai, Pak Daud berjalan perlahan mendekati anak buahnya yang sedang fokus menyelesaikan dokumen terakhir."Oke, besok kalau sudah sampai segera hubungi tim lapangan. Eh, kamu kan ke tempat Bayu. Konfirmasi aja deh ke Bayu gimana baiknya. Kalau sudah siap semua, yang lain bisa segera menyusul.""Baik pak, siap." Cakra tersenyum.Pak Daud menatap dalam-dalam pemuda tampan yang usianya siap untuk menikah. Mengawasi setiap hal yang dilakukan pemuda itu dengan pandang kagum.
"Apa yang kau lakukan?!" jerit tertahan Wulan terdengar. Dengan kuat mendorong tubuh Langit yang mengukungnya. Terkejut mendapatkan perlakuan yang kelewat batas dari Langit. Gemetar, seluruh tubuh Wulan bergetar. Menahan marah dari kejutan yang tak terduga dari laki-laki yang telah mengisi hatinya.Langit menatap datar. Menatap bagaimana Wulan menutupi bibirnya dengan erat. "Kau yang membuatku melakukan itu," ucapnya datar."Ap-apa salahku?" Getar dalam suara Wulan terdengar. Debar jantungnya bertalu dan tak bisa menutupi gugup yang ia rasakan saat ini. Ciuman menggebu itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bagaimana bisa itu menjadi salahnya? Dimana salahnya?Langit mendekati Wulan perlahan, spontan Wulan beringsut menjauh. Membawa tubuhnya hingga terpojok di sudut ranjang. Langit semakin mendekat."Jangan mendekat! Ja-jangan mendekat. At-atau aku berteriak agar semua orang tahu kelakuanmu padaku," ancam Wulan dengan suara mengecil. Dirinya tak bisa
“Cak, Pak Abdul telpon. Kita harus kembali ke proyek.”Bayu memasuki ruangan setelah baru saja menerima panggilan dari ponselnya.Cakra mengangguk menatap Bayu. Mengerti.Berpamitan pada Wulan, Bayu mendahului Cakra meninggalkan ruangan itu.“Aku pergi dulu, nanti aku jemput. Kita pulang bersama,” kata Cakra menatap Wulan sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.“Tunggu, kita baru hanya akan saling mengenal bukan jadian. Jadi bukan tugasmu menjemputku,” panggil Wulan saat Cakra hampir mencapai pintu.Cakra berhenti lalu menoleh. Menatap Wulan yang menatapnya tak suka.“Aku tahu. Bagiku bukan tugas, tapi salah satu jalan untukku lebih mengenalmu. Kamu keberatan? Seingatku, kamu yang menanyakan kehadiranku lebih dulu pada keluargamu saat pertama kali membuka mata setelah kecelakaan. Lalu, ketika mereka menyadari kalau kamu pulang sendirian tanpa aku, bagaimana tanggapan mereka menurutmu? Apalagi, kondisimu dalam
Semuanya terdiam.Budhe Sri dan Dirga bertatapan.Santi membulatkan mata hingga menutup mulut saking terkejutnya.Dan Langit, menatap tajam. Wulan memandangi satu persatu kehadiran orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun terhenti tepat lurus tepat di belakang Santi. Dimana Langit berdiri. Keduanya bertatapan cukup lama namun tak ada yang menyadari karena mereka sibuk dengan pikiran masing. "Cakra?" Tanya Dirga membuka keheningan, tak lupa kerutan dahinya menyertai. Santi menoleh ke arah Dirga. Menganggukkan kepala skeptis, seolah mereka salah mendengar. Wulan menoleh ke arah Dirga dan mengangguk khitmad. "Cakra.""Kenapa Cakra? Ada hubungan apa dengannya?" Tanya Budhe Sri perlahan. Bingung.Menelan ludah, jantung berdegup kencang. Kebohongan pertama kali yang ia ungkapkan, membuat sekujur tubuhnya mendingin. Menundukkan kepala dan mengucap lirih, "emm … kami … mencoba … untuk … saling … me … ngenal lebih … dekat." Wulan memejamkan
“Aku gak papa. Wul … “ ucap Tyas serak dan terkadang terdengar batuk kecil dari seberang telepon.Wulan menghembuskan napas kesal. Susah sekali bicara dengan sahabatnya itu. Pagi itu saat mendapati Rumah Hias belum terbuka, Wulan menghubungi Tyas. Biasanya gadis itu yang lebih dulu datang. Dan karena kemarin lusa Tyas berencana pergi membeli beberapa kain untuk dikerjakan hari ini, Wulan berpikir bahwa gadis itu masih berada di toko langganan mereka. Dan jika itu benar, maka Wulan akan menyusulnya.Dan sekarang di temukan jawaban kenapa Tyas belum datang. Bukan karena tengah memilih kain maupun masih di perjalanan, melainkan karena gadis itu masih meringkuk di atas ranjangnya dan mengatakan bahwa ia bangun kesiangan.Dari suaranya yang diselingi dengan batuk kecil sudah membuktikan bahwa Tyas sedang tidak enak badan. “Sudah, ndak usah membantah lagi. Kamu istirahat saja hari ini, biar aku yang mencari kainnya. Harus
Fiuh … Wulan bernapas lega.Memandang kepergian Langit dan Bayu dengan perasaan yang bermacam-macam rasanya.Khawatir, cemas, takut dan hal-hal yang membuatnya was-was.Bagaimana jika Bayu tidak percaya dengan keterangan Langit?Bagaimana jika Bayu mencurigai keduanya karena berbicara di tengah suasana yang suram?Apakah Bayu sempat mendengar percakapan antara dirinya dan Langit?Wulan merasakan kekalutan yang amat sangat. Dadanya terasa berat dan sesak. Wulan ingin melepaskan diri dari keras kepala Langit yang terus mengejar dirinya. Karena sangat menyakitkan jika ia harus bersaing dengan kakak kandungnya sendiri.Kakak kandung yang sudah seperti ibu baginya.Mendongakkan kepala dan memandang ke arah Bulan yang malam itu bersinar terang.Berharap semuanya akan baik–baik saja.Plok! Plok! Plok!Suara tepukan tangan terdengar keras.Sontak Wulan memutar kepala dan mencari
Santi merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan keras. Perlahan menyusurkan tangannya menyentuh dadanya yang berdetak keras. Menunduk malu karena debar jantungnya tak mampu ia sembunyikan dengan baik. Harapnya hanya satu, si lawan bicara tak mendengarnya. Karena itu memalukan. Langit dan Santi duduk di halaman belakang. Dimana di sana terdapat dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar. Di depan mereka ada taman kecil yang dimana beberapa tanaman bunga ditanam dalam pot yang ditata dan disusun melingkar. Santi tersenyum malu menundukkan kepalanya. Karena baru pertama kalinya Langit mengajaknya bicara. Bahkan Langit dengan berani meminta ijin bapaknya hanya untuk mengajak Santi bicara. Santi merasa tersanjung karenanya."Ehem, San … ada yang ingin aku bicarakan," Langit membuka kalimatnya.Ia menoleh menatap Santi yang menganggukkan kepala kecil sembari menunduk malu. Bahkan Langit bisa melihat senyum malu gadis itu. Memejamkan
Acara tasyakuran selesai. Do'a puji syukur atas rahmat Sang Kuasa telah dipanjatkan agar kelancaran dalam proyek terbesar Bayu dan timnya berhasil tanpa kendala. Selesai acara keluarga Priyadi mengajak keluarga calon besan duduk di ruang tamu yang ukuran ruangannya lebih besar dibanding ruangan lain.Mereka duduk melingkar di dalam ruang tamu yang telah ditata sedemikian rupa sehingga bisa menampung 10 orang dewasa untuk duduk bersama. Pak Priyadi duduk bersama Pak Bandi.Bu Priyadi duduk bersama Budhe Sri.Santi duduk bertiga bersama Wulan dan Dirga.Sementara yang lain duduk di kursi single. Dari acara ini akhirnya Wulan tahu kalau Bayu dan Cakra adalah teman kerja. Dan proyek besar yang dikatakan oleh bu Priyadi kemarin adalah proyek pembangunan mall. Jika saja Wulan tahu, ia pasti bersikeras tidak akan datang. Bagaimana bisa ia makan senang di atas penderitaan yang dirasakan bapaknya. Tidak. Wulan tidak bisa. Maka
"Elu di jodohin mas?"Tanya Bayu pagi ini saat dilihatnya Langit sedang menikmati makan pagi sebelum ia berangkat kerja.Ehem!Terdengar deham dari ibunya, Bayu menoleh ke belakang. Terlihat ibunya membulatkan mata menatap Bayu. Bayu mencibir melihatnya. Langit mereguk teh hangat yang sudah disiapkan ibunya, menghapus noda dari bibirnya dengan tisu makan. Menatap adiknya yang asyik mencomot dadar jagung kesukaannya dari piring hidang. Bayu yang asyik mengunyah mengangkat kepala dan menaikkan alisnya beberapa kali ke arah Langit. "Bapak yang cerita?" Bayu mengangguk."Iya. Kenapa? Kamu mau dijodohkan juga?" "Hish! Amit-amit dah.""Kenapa? Gak percaya sama pilihan bapak?" Langit menyunggingkan senyum miring. Menyandarkan punggungnya, Langit menatap adiknya yang terus berbicara. "Gak paham lagi dah gue sama bapak, masih sempet-sempetnya aja nyariin elu jodoh. Kayak gak laku aja
Brak! Brak!"Copot! Copot! Copot! Jantungku copot!"Budhe Sri berteriak terkejut karena tiba-tiba terdengar suara keras yang datangnya bersamaan dengan kedatangan keponakannya, Wulan. Tangannya memegang dada yang saat ini berdebar kencang. Saat ini Budhe Sri sedang membantu Wulan melipat baju-baju keluarganya yang sudah mengering terkena sinar matahari.Berdiri dengan tergopoh-gopoh, Budhe Sri melihat Wulan sedang menutup pintu kamarnya dengan bersungut-sungut. Mengerutkan dahi, Budhe Sri meletakkan baju yang tadi ia pegang dan bergegas menyusul Wulan.Tok! Tok! Tok!"Ada apa nduk? Kamu kok kayak orang kesurupan gitu. Masuk rumah gak pake salam malah pake acara banting pintu.Itu di dalam kamar lagi ngapain? Jangan di obrak abrik loh kamarnya. Eman-eman nduk," Seru Budhe Sri di depan pintu kamar Wulan mengajak keponakannya bicara. Takut kenapa-kenapa di dalam sana.Tak lama kemudian pin