Wulan membasuh tubuhnya dengan air yang sebenarnya segar namun terasa dingin di tubuhnya. Sangat dingin hingga membuat dirinya menggigil. Meriang. Sepertinya Wulan merasa tubuhnya sedikit meriang.
Cepat-cepat menyelesaikan kegiatan mandi sorenya yang sedikit terlambat, Wulan segera memakai pakaian ganti yang tadi dibawanya. Kurang hangat, masih terasa dingin. Batinnya.
Menyampirkan handuk berbulu halus warna merah tua di samping kamar mandi, Wulan segera meninggalkan tempat itu dan bergegas memasuki kamarnya. Melihat sekeliling sembara berjalan, masih sepi. Tatapannya tertuju keluar dimana sang ayah masih setia duduk menikmati sorenya yang bahagia, hati Wulan meratap.
Tak memedulikan apapun, Wulan bergegas memasuki kamar dan membuka selimut tebalnya. Meringkuk di bawah selimut sambil memejamkan mata. Terasa semakin dingin. Teringat bagaimana ia menghabiskan sorenya dengan tangis. Mata berurai air yang mengalir deras tanpa bisa dicegah. Wulan semakin membenamkan wajahnya hingga tak terlihat dari luar dan berusaha memejamkan mata semakin erat. Berharap segera tertidur dan melupakan sakit yang semakin terasa melilit lalu terbangun dan melupakan segalanya. Seolah hanya mimpi buruk.
Dalam tidurnya yang dalam, Wulan terbayang sosok seseorang yang membuat hatinya menghangat. Langit.
Pertemuan pertama dengan laki-laki itu begitu membekas. Di hari keduanya bertemu dan berkenalan, di saat itulah Wulan merasakan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Semudah itu? Iya, semudah itu. Karena Langit adalah sosok pria yang sangat mudah dicintai.
Tutur bicaranya yang lembut, senyuman yang semakin memancarkan aura ketampanan dirinya dan laku sopan yang terlihat membuat Wulan jatuh ketika laki-laki itu mengulurkan tangan dan menyebut namanya, Langit. Langit Nusantara.
Tanpa sadar Wulan mengurai senyum dalam tidurnya yang dalam.
Siang itu Wulan mengantarkan seorang murid kursusnya yang tiba-tiba sakit dalam kelas. Saat akan membelokkan sepeda matic, tanpa sengaja Wulan menabrak seseorang. "Astaga!" Pekiknya.
Gadis kecil yang diboncengnya terkejut dan hampir jatuh kalau saja kecepatan Wulan sedikit kencang. Tapi karena memang jalan yang dilalui keduanya cukup kecil, sehingga Wulan pun melajukan sepeda maticnya dengan perlahan. Dan tanpa sengaja Wulan menabrak seseorang yang sedang berjalan tepat di tikungan tajam, dimana titik pandang terhalang oleh dinding.
"Kakak, kakak tidak apa-apa?" Tanya gadis kecil itu melihat Wulan yang bersusah payah menahan sepeda motornya agar tak terguling. Wulan yang terkejut segera menoleh ke belakang, melihat keadaan anak didiknya. Gadis kecil itu sedang sakit dan akan bertambah sakit kalo dibiarkan terjatuh.
"Kamu... Kamu tidak apa-apa?" Tanya Wulan terengah dan menatapi seluruh tubuh gadis kecil dibelakangnya. Gadis itu menggeleng lalu perlahan menuruni sepeda. Wulan panik dan bergegas menyangga sepeda dengan kedu kaki lalu saat dilihatnya gadis kecil itu turun dengan baik, ia pun segera turun dari sepeda dan menyangganya.
"Kak, aku turun disini saja, itu rumahku." Kata gadis kecil itu sambil menunjuk rumah kecil berpagar hijau tepat didepan keduanya. Sudah dekat, pikir Wulan. Wulan mengangguk beberapa kali.
"Ya sudah, sepeda kakak biar diparkir disini saja, ayo kakak antar pulang." Ujar Wulan sambil menggandeng tangan mungilnya.
Gadis kecil itu bergeming, Wulan menaikkan alisnya, "kenapa? Ada yang sakit Lela?" Tanyanya kemudian.
Dengan jemarinya yang kecil, gadis kecil itu, Lela menunjuk ke depan. Dimana seorang pria tengah berusaha memunguti kertas yang bertebaran disekitarnya. Seketika sadar, Wulan teringat dengan orang yang ditabraknya. Membelalakkan mata, Wulan menyadari kesalahannya.
"Ya ampun! Maaf... Maaf... Ya ampun jadi berserakan gini. Maaf ya mas... Maaf..." Seru Wulan sambil membantu kertas yang berserakan itu. Lela ditempatnya tertawa geli melihat gurunya yang tengah panik.
Pria itu menatap sepintas ke arah Wulan dan melanjutkan kegiatannya. Wulan membantunya merapikan kertas-kertas yang terlihat seperti data-data seseorang.
"Maaf mas, tadi gak sengaja. Bener-bener gak lihat kalo ada orang didepan saya. Mas nya ada yang sakit gak? Tunggu saya ya, saya mau ngantar anak didik saya dulu pulang ke rumahnya terus ngantar mas nya ke rumah sakit." Cerocos Wulan tanoa melihat pria yang kini tengah berdiri menatapnya menunggu Wulan merapikan kertas-kertas kerja miliknya. Gadis itu bahkan tak menatap ke arah wajahnya saat menanyakan keadaan dirinya. Dan entah kenapa, segala bentuk tingkah laku Wulan terlihat menggemaskan di matanya. Dia hanya tertawa kecil melihat Wulan yang panik tapi berbicara tanpa menatap lawan bicaranya.
"Mas... Masnya gak papa kan? Duh, mas nya kok diem saja sih? Mas nya sakit gi...gi?" Dan ketika kata terakhir itu terucap, saat itulah Wulan mengangkat wajah dan menatap ke arah pria didepannya. Tanpa kata, tanpa suara. Wulan terpesona. Pria itu tersenyum melihat dirinya, sementara Wulan ternganga. Tampan. Batinnya menjerit.
"Saya tidak apa-apa." Jawab singkat pria itu. Suaranya lembut. Wulan meleleh.
"Terima kasih atas perhatiannya, tapi tidak apa-apa kok. Kecuali kertas yang berserakan itu, keadaan saya baik-baik saja." Lanjut pria itu. Wulan semakin tenggelam didalam suaranya yang lemah lembut.
"Kak... Kak... Kertasnya.." Wulan merasakan sesuatu mengguncang hati dan tubuhnya. Gerakan kasar semakin terasa dan menyadarkan Wulan yang terpesona hingga tak mampu berkata-kata. Dengan masih tanpa sadar, Wulan menoleh ke samping. Dimana ada Lela tengah menarik-narik ujung bajunya dan menunjuk ke arah sesuatu yang ada dalam genggamannya. Wulan mengikuti arah tunjuk Lela dan menyadari kalo kertas-kertas yang tadi dipungutnya masih berada di dalam genggamannya. Sementara pria didepannya tengah mengulurkan tangan meminta kertas-kertas itu. Ya ampun! Malu!
"Eh oh, iya iya. Ini mas kertas-kertasnya. Ma-maaf ya, saya benar-benar gak sengaja tadi. I-ini kertasnya. Tolong dicek dulu takutnya ada yang tertinggal." Malu merayapi hati Wulan. Menundukkan wajah sambil mengulurkan kertas untuk menutupi merah merona di kedua pipi.
Pria itu tersenyum, senang melihat merah merayapi wajah gadis manis didepannya. Malu itu membuat gadis manis ini semakin terlihat menggemaskan.
Setelah mengambil kertas data dalam genggaman Wulan, pria itu mengulurkan tangan tak mau kehilangan kesempatan.
"Langit."
Wulan menatap uluran tangan pria didepannya dan mengerjap tak mengerti. Lalu mengangkat wajah dan menunjukkan raut muka bertanya.
"Nama saya Langit. Kalo mbaknya takut ada apa-apa sama saya, mbaknya bisa tanya di satpam kantor bank BSA depan sana. Atau langsung mencari saya untuk tahu keadaan saya." Wulan mencoba mencerna kata-kata pria didepannya. Tapi kemudian menyadari dan menyambut uluran tangan pria tampan itu.
"Wulan, nama saya Wulan. Pasti. Saya pasti mencari mas Langit untuk mengetahui keadaan karena biasanya pas kejadian emang gak terasa apa-apa, tapi setelah kejadian baru terasa sakitnya dimana."
Langit mengembangkan senyumnya lebar.
"Baik, saya tunggu besok pas jam makan siang di depan kantor saya. Maaf, saya harus segera kembali ke kantor karena sudah agak terlambat. Saya tunggu besok mbak Wulan." Langit melepaskan tangan halus di genggamannya dengan berat hati. Tapi kesempatan tak hanya berhenti disini. Besok ia akan bertemu kembali.
Wulan menatap kepergian Langit dengan pandangan tak mengerti. Besok? Makan siang? Janjian?! Seketika wajah Wulan terasa seperti terbakar.
Wulan yang masih termangu ditempatnya berdiri merasakan goncangan di tubuhnya dan melihat Lela yang berdiri disampingnya tengah menunggu.
"Eh ya ampun, kakak sampai lupa. Ayo kakak antarkan pulang." Celetuk Wulan dan bergegas mengantarkan anak didiknya pulang.
Pertemuan singkat itu membuat debar Wulan tak menentu. Hingga malam tiba, ia tak mampu tertidur pulas karena teringat paras tampan pria yang siang tadi dikenalnya.
Siang itu Wulan mematut dirinya didepan cermin berkali-kali. Menunjukkan pandangan tak puas atas penampilannya. Berkali-kali berputar, menarik dan menghembuskan nafas keras. Sebuah ketidakpuasan terlihat di wajahnya. Tyas yang setiap harinya menemani Wulan di Rumah Hias tempat gadis itu menyalurkan bakat, mengernyitkan dahi. Tidak seperti kebiasaan Wulan. Gadis manis itu sangat jarang bersolek. Tapi siang ini, ada perubahan yang sangat kentara. "Mau kemana Lan? Tumben amat." Wulan melirik Tyas sesaat lalu kembali mematut dan menyempurnakan riasan. Sedikit pemerah bibir untuk bibirnya yang sudah merah. Memberikan sentuhan glossy sehingga bibirnya terlihat bercahaya. "Gimana Yas? Udah pantas belum sih keluar begini?" Tanya Wulan yang masih meragukan penampilannya. Harus sempurna, batinnya. "Maksudnya Lan? Apanya yang pantas dan gak pantas?" Tyas masih belum mengerti ke arah mana pertanyaan Wulan. "Ya pantas apa gak penampilan
"Bu Santi, minta tolong cetakkan data-data murid yang menerima bantuan kemarin." Ucap seseorang dengan seragam abu memasuki ruangan dimana Santi berada. Kantor ruangan guru. "Baik bu, segera saya cetakkan." Jawab Santi singkat dan segera membuka file dalam laptop yang terbuka di depannya. Santi Wardani, putri pertama pak Bandi. Seorang guru muda cantik yang menjadi salah satu staf di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai putri pertama, ia merasa mendapatkan sebuah kewajiban untuk memberikan yang terbaik atas dirinya untuk keluarganya. Ia tahu bahwa sang ayah tak pernah meminta apalagi menuntutnya. Tapi pemikiran itu sudah terpatri di benaknya semenjak ia beranjak dewasa. Bahwa arti posisi anak pertama adalah posisi rentan, dimana ia harus menjadi sebuah tauladan dan memikul kewajiban sebagai pemangku nama keluarga untuk dijaga sebaik-baiknya. Tak pernah keluar dari jalurnya sebagai anak pertama yang pantas dibanggakan. Tak pernah membantah semua petu
Wulan tak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Air mata terus mengalir dan membanjiri bantal yang saat ini tengah didekapnya. Ingin pergi keluar menemui sahabatnya tapi jalan akses keluar hanya satu. Dan ia akan melewati dua orang yang saat ini tengah berbincang di teras depan. Sehingga tak mungkin bagi dirinya menyembunyikan sembab di wajah. Menyalahkan diri sendiri karena tak mampu menyembunyikan sakit di hatinya. Menyalahkan diri sendiri karena harus memiliki rasa untuk pria yang bukan miliknya. Menyalahkan diri sendiri karena bukan dirinya yang mendapatkan kesempatan berharga itu. Dan menyalahkan dirinya yang memiliki hati yang tak baik sehingga tak ikut merasakan bahagia untuk kakak semata wayangnya. Bukan adik yang baik sehingga tak mampu merayakan berita bahagia bersama sang kakak. Mulai membenci dirinya sendiri. Mulai mengutuk dirinya sendiri. 'Tok.tok.tok." Wulan menghentikan tangisnya saat memdengar suara pintu kamar di ketuk.
Wulan berdiri mematung di depan jalan menuju ke rumahnya. Hatinya gamang saat akan melangkahkan kaki. Terbayang di benaknya pertemuan kedua keluarga. Santi dan Langit duduk berdampingan seolah raja dan ratu sehari. Sesak merayapi. Menelan ludah dengan susah payah, Wulan memejamkan mata dan bertekad menguatkan hati demi kakak tercinta. Sebesar apapun rasa cinta yang ia miliki untuk pri yang akhirnya bukan miliknya sangat tak sepadan dengan cinta yang dimiliki kakak perempuannya. Menguatkan hati, Wulan melangkah dengan hati berdebar. Semakin dekat dengan tujuan, hati Wulan semakin berdebar tak menentu. 'Tuhan kuatkan aku.' Bisiknya. Terlihat dari jauh sebuah kendaraan yang sangat dikenalnya. Kendaraan roda empat milik Langit yang pernah ia tumpangi. Tangannya mengepal erat, tubuhnya terasa dingin. Wulan merasa hawa malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kakinya menapak ke anak tangga satu persatu. Telinganya menangkap percakapa
Wulan terdiam, tak bersuara. Berdiri mematung menatap Langit yang kini menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Langit bergerak, berjalan perlahan mendekati Wulan. berhenti tepat di depan gadis itu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Menunggu. Memandangnya tajam, ada rasa tak senang saat mengingat gadis mungil di depannya tak mengakui hubungan bahwa mereka telah saling mengenal. Wulan memutar otak, mencari alasan yang masuk dalam logika. Menundukkan kepala sambil memilin jari jemarinya. "Ak-aku hanya tidak merasa nyaman kalau mbak Santi tahu kita sudah saling mengenal sebelumnya." kata Wulan lirih. "Lagipula, kita baru bertemu dua kali. Dan itu tidak bisa dibilang kita berteman kan? Dan saat kita bertemu juga selalu secara kebetulan." lanjut Wulan membela diri. "Ralat, 3 kali kalau-kalau kamu melupakan saat kita makan siang bersama." Langit menegaskan. Wulan tersentak, lupa. Bukan, dia hanya salah menghitung.
Menaikkan satu tungkai kakinya untuk bertumpuk ke kaki lainnya, Langit menyandarkan tubuh pada punggung sofa yang lembut. Menatap Wulan dengan pandangan datar, ia melipat kedua lengan di depan dadanya. “Kenapa tidak mungkin?” tanyanya datar. Wulan masih tidak bisa mempercayai pernyataan Langit, kini ia disodori sebuah pertanyaan yang membuatnya dilema. “Tidak mungkin. Ya tidak mungkin… Begitulah.” jawab Wulan lirih menundukkan kepala. “Kenapa tidak m
"Cak, udah siap semua yang harus kamu bawa nanti?" Tanya pak Daud, direktur utama tempat Cakra ditugaskan. Pak Daud baru saja mengisi kembali cangkir kopinya di dapur umum yang disediakan perusahaan. Berhenti ketika dilihatnya Cakra sedang duduk di balik meja kerjanya.Cakra menoleh dan menganggukkan kepala."Sudah pak. Sudah selesai. Perkiraan saya sampai di kota yang dituju besok sore. Karena paginya saya harus mengantarkan pesanan bude saya di Depok pak."Menyesap kopinya dengan santai, Pak Daud berjalan perlahan mendekati anak buahnya yang sedang fokus menyelesaikan dokumen terakhir."Oke, besok kalau sudah sampai segera hubungi tim lapangan. Eh, kamu kan ke tempat Bayu. Konfirmasi aja deh ke Bayu gimana baiknya. Kalau sudah siap semua, yang lain bisa segera menyusul.""Baik pak, siap." Cakra tersenyum.Pak Daud menatap dalam-dalam pemuda tampan yang usianya siap untuk menikah. Mengawasi setiap hal yang dilakukan pemuda itu dengan pandang kagum.
Semenjak kecil Wulan diasuh kakak semata wayangnya sebagai pengganti ibu. Santi selalu mendahulukan kepentingan Wulan diatas segalanya. Bagi Santi, Wulan sudah seperti anaknya sendiri bukan hanya sekedar adik kandung.Wulan tak pernah kekurangan kasih sayang. Kasih sayanh seorang ibu yang selalu diagung-agungkan semua teman-temannya, tak membuat Wulan berkecil hati. Karena Wulan memiliki Santi.Setelah Wulan beranjak dewasa, dia mulai menggantikan pekerjaan Santi di dalam rumah mereka. Membiarkan Santi menggapai cita-citanya dan tidak pernah membiarkan hal-hal yang merepotkan di dalam rumah mereka menjadi sandungan Santi dalam menimba ilmu.Semua hal, mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan kebutuhan bapaknya bahkan mengirim bekal untuk bapaknya di sawah. Walaupun waktu yang dimilikinya sangat sedikit. Wulan tidak membiarkan itu sebagai beban.Seperti halnya siang ini. Wulan mengantarkan bekal makan siang bapaknya ke sawah. Sepanj
"Apa yang kau lakukan?!" jerit tertahan Wulan terdengar. Dengan kuat mendorong tubuh Langit yang mengukungnya. Terkejut mendapatkan perlakuan yang kelewat batas dari Langit. Gemetar, seluruh tubuh Wulan bergetar. Menahan marah dari kejutan yang tak terduga dari laki-laki yang telah mengisi hatinya.Langit menatap datar. Menatap bagaimana Wulan menutupi bibirnya dengan erat. "Kau yang membuatku melakukan itu," ucapnya datar."Ap-apa salahku?" Getar dalam suara Wulan terdengar. Debar jantungnya bertalu dan tak bisa menutupi gugup yang ia rasakan saat ini. Ciuman menggebu itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bagaimana bisa itu menjadi salahnya? Dimana salahnya?Langit mendekati Wulan perlahan, spontan Wulan beringsut menjauh. Membawa tubuhnya hingga terpojok di sudut ranjang. Langit semakin mendekat."Jangan mendekat! Ja-jangan mendekat. At-atau aku berteriak agar semua orang tahu kelakuanmu padaku," ancam Wulan dengan suara mengecil. Dirinya tak bisa
“Cak, Pak Abdul telpon. Kita harus kembali ke proyek.”Bayu memasuki ruangan setelah baru saja menerima panggilan dari ponselnya.Cakra mengangguk menatap Bayu. Mengerti.Berpamitan pada Wulan, Bayu mendahului Cakra meninggalkan ruangan itu.“Aku pergi dulu, nanti aku jemput. Kita pulang bersama,” kata Cakra menatap Wulan sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.“Tunggu, kita baru hanya akan saling mengenal bukan jadian. Jadi bukan tugasmu menjemputku,” panggil Wulan saat Cakra hampir mencapai pintu.Cakra berhenti lalu menoleh. Menatap Wulan yang menatapnya tak suka.“Aku tahu. Bagiku bukan tugas, tapi salah satu jalan untukku lebih mengenalmu. Kamu keberatan? Seingatku, kamu yang menanyakan kehadiranku lebih dulu pada keluargamu saat pertama kali membuka mata setelah kecelakaan. Lalu, ketika mereka menyadari kalau kamu pulang sendirian tanpa aku, bagaimana tanggapan mereka menurutmu? Apalagi, kondisimu dalam
Semuanya terdiam.Budhe Sri dan Dirga bertatapan.Santi membulatkan mata hingga menutup mulut saking terkejutnya.Dan Langit, menatap tajam. Wulan memandangi satu persatu kehadiran orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun terhenti tepat lurus tepat di belakang Santi. Dimana Langit berdiri. Keduanya bertatapan cukup lama namun tak ada yang menyadari karena mereka sibuk dengan pikiran masing. "Cakra?" Tanya Dirga membuka keheningan, tak lupa kerutan dahinya menyertai. Santi menoleh ke arah Dirga. Menganggukkan kepala skeptis, seolah mereka salah mendengar. Wulan menoleh ke arah Dirga dan mengangguk khitmad. "Cakra.""Kenapa Cakra? Ada hubungan apa dengannya?" Tanya Budhe Sri perlahan. Bingung.Menelan ludah, jantung berdegup kencang. Kebohongan pertama kali yang ia ungkapkan, membuat sekujur tubuhnya mendingin. Menundukkan kepala dan mengucap lirih, "emm … kami … mencoba … untuk … saling … me … ngenal lebih … dekat." Wulan memejamkan
“Aku gak papa. Wul … “ ucap Tyas serak dan terkadang terdengar batuk kecil dari seberang telepon.Wulan menghembuskan napas kesal. Susah sekali bicara dengan sahabatnya itu. Pagi itu saat mendapati Rumah Hias belum terbuka, Wulan menghubungi Tyas. Biasanya gadis itu yang lebih dulu datang. Dan karena kemarin lusa Tyas berencana pergi membeli beberapa kain untuk dikerjakan hari ini, Wulan berpikir bahwa gadis itu masih berada di toko langganan mereka. Dan jika itu benar, maka Wulan akan menyusulnya.Dan sekarang di temukan jawaban kenapa Tyas belum datang. Bukan karena tengah memilih kain maupun masih di perjalanan, melainkan karena gadis itu masih meringkuk di atas ranjangnya dan mengatakan bahwa ia bangun kesiangan.Dari suaranya yang diselingi dengan batuk kecil sudah membuktikan bahwa Tyas sedang tidak enak badan. “Sudah, ndak usah membantah lagi. Kamu istirahat saja hari ini, biar aku yang mencari kainnya. Harus
Fiuh … Wulan bernapas lega.Memandang kepergian Langit dan Bayu dengan perasaan yang bermacam-macam rasanya.Khawatir, cemas, takut dan hal-hal yang membuatnya was-was.Bagaimana jika Bayu tidak percaya dengan keterangan Langit?Bagaimana jika Bayu mencurigai keduanya karena berbicara di tengah suasana yang suram?Apakah Bayu sempat mendengar percakapan antara dirinya dan Langit?Wulan merasakan kekalutan yang amat sangat. Dadanya terasa berat dan sesak. Wulan ingin melepaskan diri dari keras kepala Langit yang terus mengejar dirinya. Karena sangat menyakitkan jika ia harus bersaing dengan kakak kandungnya sendiri.Kakak kandung yang sudah seperti ibu baginya.Mendongakkan kepala dan memandang ke arah Bulan yang malam itu bersinar terang.Berharap semuanya akan baik–baik saja.Plok! Plok! Plok!Suara tepukan tangan terdengar keras.Sontak Wulan memutar kepala dan mencari
Santi merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan keras. Perlahan menyusurkan tangannya menyentuh dadanya yang berdetak keras. Menunduk malu karena debar jantungnya tak mampu ia sembunyikan dengan baik. Harapnya hanya satu, si lawan bicara tak mendengarnya. Karena itu memalukan. Langit dan Santi duduk di halaman belakang. Dimana di sana terdapat dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar. Di depan mereka ada taman kecil yang dimana beberapa tanaman bunga ditanam dalam pot yang ditata dan disusun melingkar. Santi tersenyum malu menundukkan kepalanya. Karena baru pertama kalinya Langit mengajaknya bicara. Bahkan Langit dengan berani meminta ijin bapaknya hanya untuk mengajak Santi bicara. Santi merasa tersanjung karenanya."Ehem, San … ada yang ingin aku bicarakan," Langit membuka kalimatnya.Ia menoleh menatap Santi yang menganggukkan kepala kecil sembari menunduk malu. Bahkan Langit bisa melihat senyum malu gadis itu. Memejamkan
Acara tasyakuran selesai. Do'a puji syukur atas rahmat Sang Kuasa telah dipanjatkan agar kelancaran dalam proyek terbesar Bayu dan timnya berhasil tanpa kendala. Selesai acara keluarga Priyadi mengajak keluarga calon besan duduk di ruang tamu yang ukuran ruangannya lebih besar dibanding ruangan lain.Mereka duduk melingkar di dalam ruang tamu yang telah ditata sedemikian rupa sehingga bisa menampung 10 orang dewasa untuk duduk bersama. Pak Priyadi duduk bersama Pak Bandi.Bu Priyadi duduk bersama Budhe Sri.Santi duduk bertiga bersama Wulan dan Dirga.Sementara yang lain duduk di kursi single. Dari acara ini akhirnya Wulan tahu kalau Bayu dan Cakra adalah teman kerja. Dan proyek besar yang dikatakan oleh bu Priyadi kemarin adalah proyek pembangunan mall. Jika saja Wulan tahu, ia pasti bersikeras tidak akan datang. Bagaimana bisa ia makan senang di atas penderitaan yang dirasakan bapaknya. Tidak. Wulan tidak bisa. Maka
"Elu di jodohin mas?"Tanya Bayu pagi ini saat dilihatnya Langit sedang menikmati makan pagi sebelum ia berangkat kerja.Ehem!Terdengar deham dari ibunya, Bayu menoleh ke belakang. Terlihat ibunya membulatkan mata menatap Bayu. Bayu mencibir melihatnya. Langit mereguk teh hangat yang sudah disiapkan ibunya, menghapus noda dari bibirnya dengan tisu makan. Menatap adiknya yang asyik mencomot dadar jagung kesukaannya dari piring hidang. Bayu yang asyik mengunyah mengangkat kepala dan menaikkan alisnya beberapa kali ke arah Langit. "Bapak yang cerita?" Bayu mengangguk."Iya. Kenapa? Kamu mau dijodohkan juga?" "Hish! Amit-amit dah.""Kenapa? Gak percaya sama pilihan bapak?" Langit menyunggingkan senyum miring. Menyandarkan punggungnya, Langit menatap adiknya yang terus berbicara. "Gak paham lagi dah gue sama bapak, masih sempet-sempetnya aja nyariin elu jodoh. Kayak gak laku aja
Brak! Brak!"Copot! Copot! Copot! Jantungku copot!"Budhe Sri berteriak terkejut karena tiba-tiba terdengar suara keras yang datangnya bersamaan dengan kedatangan keponakannya, Wulan. Tangannya memegang dada yang saat ini berdebar kencang. Saat ini Budhe Sri sedang membantu Wulan melipat baju-baju keluarganya yang sudah mengering terkena sinar matahari.Berdiri dengan tergopoh-gopoh, Budhe Sri melihat Wulan sedang menutup pintu kamarnya dengan bersungut-sungut. Mengerutkan dahi, Budhe Sri meletakkan baju yang tadi ia pegang dan bergegas menyusul Wulan.Tok! Tok! Tok!"Ada apa nduk? Kamu kok kayak orang kesurupan gitu. Masuk rumah gak pake salam malah pake acara banting pintu.Itu di dalam kamar lagi ngapain? Jangan di obrak abrik loh kamarnya. Eman-eman nduk," Seru Budhe Sri di depan pintu kamar Wulan mengajak keponakannya bicara. Takut kenapa-kenapa di dalam sana.Tak lama kemudian pin