Share

3. Pertemuan Kedua.

last update Last Updated: 2021-11-21 19:45:25

Siang itu Wulan mematut dirinya didepan cermin berkali-kali. Menunjukkan pandangan tak puas atas penampilannya. Berkali-kali berputar, menarik dan menghembuskan nafas keras. Sebuah ketidakpuasan terlihat di wajahnya.

Tyas yang setiap harinya menemani Wulan di Rumah Hias tempat gadis itu menyalurkan bakat, mengernyitkan dahi. Tidak seperti kebiasaan Wulan. Gadis manis itu sangat jarang bersolek. Tapi siang ini, ada perubahan yang sangat kentara.

"Mau kemana Lan? Tumben amat."

Wulan melirik Tyas sesaat lalu kembali mematut dan menyempurnakan riasan. Sedikit pemerah bibir untuk bibirnya yang sudah merah. Memberikan sentuhan glossy sehingga bibirnya terlihat bercahaya. 

"Gimana Yas? Udah pantas belum sih keluar begini?" Tanya Wulan yang masih meragukan penampilannya. Harus sempurna, batinnya.

"Maksudnya Lan? Apanya yang pantas dan gak pantas?" Tyas masih belum mengerti ke arah mana pertanyaan Wulan. 

"Ya pantas apa gak penampilan aku kek gini? Gitu aja masak gak paham sih?" Gerutu Wulan. 

"Maksudku, emangnya mau kemana kok pake acara pantas atau gaknya? Kamu tuh ya, udah cantik. Mau pake apapun juga bagus, pantas, cantik. Kan aku juga heran nanyanya kamu kek gitu? Emang mau kemana sih Lan?" Tyas berjalan mendekat ke arah Wulan yang sedang menyisir rambutnya yang panjang. Memandangi gadis didepannya dari atas ke bawah dan sebaliknya. 

Wulan terhenti, menatap Tyas dari pantulan kaca. Wajahnya merona.

Tyas melototkan mata dan berdecak, "ish! Ni anak. Ditanyain malah diem aja. Pake acara malu-malu lagi. Mau kencan ya?"

Wulan tak menjawab, memilin ujung rambutnya, ia tersenyum malu. "Mau ketemu orang."

"Hah?! Siapa? Cowok ya. Ganteng gak? Kenalin dong kalo ganteng jangan disimpen sendiri." Tyas mencekal lengan Wulan lembut dan mengayunkannya, seolah anak kecil yang sedang meminta mainan keapda orangtuanya. Dengan tatapan berbinar, Tyas berharap jawaban positif dari Wulan. 

"Hush! Apanya yang dikenalin? Aku tuh mau lihat kondisi orang yang kemarin aku tabrak. Masak iya aku lepas tanggungjawab gitu. Kalo keadaannya ternyata sebaik kemarin, ya syukur. Tapi kalo ada apa-apa, amit-amit, mudah-mudahan gak sih. Ya aku harus tanggung jawab. Setidaknya aku kasih kompensasi atas kesalahan aku kemarin."

Tyas memanyunkan bibirnya, kecewa. 

"Ya udah deh, sana pergi. Tapi, kalo lihat kamu dandan begini cantiknya, pasti cowok ya yang kamu tabrak kemarin?" Selidik Tyas mengecilkan pandangannya.

Wulan tersenyum menerawang membayangkan wajah tampan Langit dan menganggukkan kepala. 

"Tuh kan. Pasti ganteng deh. Aku ikut dong." Tyas kembali merajuk.

Wulan melepaskan genggaman tangan Tyas dan menggelengkan kepalanya. 

"Gak bisa dong Yas. Ntar kalo bu Hesti datang ambil pesanan, gak ada orang di sini."

"Ya kan bisa sekalian berangkat diantar ke tempat bu Hesti Lan. Ikut ya.." 

Wulan menggelengkan kepala sekali lagi. "Gak bisa. Udah ah gak usah merajuk gitu, gak cocok buat kamu yang udah umur 20 tahun lebih. Ntar aja merajuknya ke cowok kamu."

Berdecak sembari melepaskan tangan dari lingkaran lengan Wulan, Tyas menggerutu. "Pelit ih si Wulan. Ya udah sana berangkat."

Wulan tersenyum lebar melihat sikap kekanakan sahabatnya dan menggelengkan kepala karena geli. Berjalan menuju tas ransel kecil yang tergeletak di atas sofa, Wulan mengambilnya dan meraih kontak sepeda motor yang terletak di saku samping. Melambaikan tangan, Wulan melangkah pergi meninggalkan Rumah Hiasnya. 

Melaju dengan kecepatan sedang, Wulan merasakan debaran yang cukup kencang. Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin cepat pula ritme debar jantungnya. Membuat Wulan menjadi semakin gugup. Menelan ludah, Wulan berdo'a dalam hati, semoga penampilannya hari ini tidak memalukan. 

Tibalah ia di kantor bank yang ditujunya. Memarkir sepeda matic tepat di jajaran parkiran yang tersedia, Wulan mendekati pos satpam yang dekat dari tempatnya berhenti. Dengan senyum canggungnya, Wulan menanyakan sosok Langit pada pak satpam. Pak Satpam pun mengerti dan mengantar Wulan ke tempat Langit berada. 

Tok.tok.tok

Pintu sebuah ruangan didalam kantor yang terlihat sedikit lengang itu diketuk oleh pak satpam. Terdengar suara dari dalam dan pak satpam pun membukanya. Sementara Wulan masih setia berdiri di belakang.

"Silakan mbak, disuruh masuk sama pak Langit." Ucap pak satpam mempersilakan Wulan untuk memasuki ruangan. Wulan tersenyum dan mengangguk.

Berhenti sebentar tepat di depan pintu, Wulan berusaha menormalkan debar jantungnya yang terus bertalu. Tak lama kemudian, Wulan pun memutar gagang pintu dan melihat sosok Langit yang tengah duduk di balik meja sedang melakukan sesuatu dengan tumpukan kertas tepat didepannya.

Langit mendongak seketika saat mendengar pintu ruangannya dibuka dan tersenyum lebar kala melihat sosok Wulan tepat berada di depannya. 

"Hai, masuk. Tunggu sebentar, aku merapikan ini dulu. Setelah itu kita keluar."

Wulan tersenyum dan mengangguk. Melangkah perlahan memasuki ruangan seolah takut menimbulkan suara yang mengganggu.

Ia duduk di sofa yang tersedia sambil menunggu Langit menyelesaikan pekerjaannya. Terlihat begitu mempesona. Wulan terpana. Langit dengan sebingkai kacamata yang bertengger di atas hidungnya, membuat pria itu terlihat semakin dewasa dan berwibawa. 

"Akhirnya... Yuk, kita keluar makan." Kata Langit sambil melepas kacamatanya dan menyimpannya dalam sebuah kotak persegi.

Wulan tersenyum mengangguk, berdiri dan melangkah mengikuti.

Langit melangkah dengan tegap dan Wulan merasa kerdil karenanya. Ia berjalan sedikit ke belakang tak berani menyamai dan menjajari langkah Langit yang begitu tegas. Ditambah setiap kali seseorang melintas, tak lupa menyapa. Wulan menduga bahwa Langit adalah seorang atasan.

"Kamu mau kemana?" Tanya Langit saat melihat Wulan hendak berbelok ke kanan.

Wulan menunjuk lokasi parkir. Langit tertawa kecil. 

"Kamu mau naik sepeda motormu dan aku naik mobilku? Gitu?"

"Hah? Eh, gimana..." 

"Wulan, kita berangkat sama-sama ya, kita naik mobilku. Sepeda motormu ditinggal disini saja." 

Wulan menatap Langit dan tersenyum malu, baru mengerti dengan maksud Langit.

'Ya ampun, kenapa jadi kikuk begini.' Batinnya.

"Ah iya, oke." Jawab Wulan pendek.

"Mau makan apa?" Tanya Langit saat keduanya telah berada di dalam mobil.

Wulan menoleh ke arah Langit dan menerawang, tapi sama sekali tak ada bayangan makanan yang ingin ia makan saat ini. Entahlah, dia tidak tau. 

"Kalau kamu, ingin makan apa?" Tanya Wulan.

Langit tergelak, pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan.

"Eemm... Apa ya, aku ingin makan... Nasi padang?" Tanya Langit mengambang.

Wulan menganggukkan kepalanya, "boleh. Ayo."

Langit menatap Wulan dengan keraguan, "gak papa? Makan nasi padang? Nasi?" 

Wulan mengangguk lagi dan kali ini lebih pasti. "Iya. Ayo."

Langit tertawa kecil melihat kemantapan di jawaban Wulan. "Oke, ayo."

Entah apa yang dipikirkan Langit. Tapi sepertinya laki-laki itu hanya asal saja menyebut nama makanannya tadi. Seperti bukan yang memang ia inginkan. Tak mau memikirkan lebih lanjut lagi, Wulan mengedikkan bahunya. Acuh.

Langit menatap Wulan penuh pesona. Melihat bagaimana gadis itu memakan makanannya tanpa sungkan bahkan terlihat bertambah kelezatan makanan yang sedang disantapnya. Membuat air liur Langit pun mengalir.

Wulan yang menyadari tatapan Langit pun menghentikan kegiatannya. Meneguk es teh tawar dan membersihkan sisa makanan di bibirnya, Wulan memulai pembicaraan.

"Kenapa? Ada yang aneh?"

Langit tersenyum lalu menyuap sesendok nasi dan memotong daging diatas piringnya. Menyantapnya seolah itu adalah makanan terlezat baginya. Padahal nasi padang sudah hampir menjadi menu kesehariannya. Tapi entah kenapa hari ini, terasa lebih lezat dari sebelumnya. Aneh.

"Nggak ada. Cuma... Gak nyangka aja kalo kamu mau diajak makan nasi padang. Biasanya..."

"Biasanya? Siapa yang kamu maksud? Ada gitu yang bisa nolak nasi padang selezat ini?" Tanya Wulan polos. 

Langit semakin tertawa melihat sikap Wulan.

"Maksud aku, biasanya cewek tuh kalo diajak makan yang berbau nasi-nasian apalagi nasi padang suka nolak. Mereka lebih memilih makanan yang sedikit ringan, apalagi kalo pergi makannya sama cowok." 

Wulan mulai paham. Langit sedang membandingkan dirinya dengan cewek lain yang entah siapa. 

"Oh.. Begitu. Tapi maaf, sepertinya itu tidak berlaku untukku. Aku sangat menghargai makanan, apapun itu. Tidak akan menolak. Apalagi harus milih-milih. Karena ayahku mengajarkan, apapun yang diberikan orang pada kita apalagi berupa makanan ya harus diterima. Karena makanan itu rejeki. Gak boleh nolak rejeki. Pamali."

Langit mengerti dan semakin kagum dengan pendirian kuat Wulan. Memang beda dengan perempuan yang selama ini bersamanya. Setiap kali diajak makan, pilihan mereka kalo bukan salad ya steak. Sementara, itu tidak berlaku bagi perempuan manis didepannya. 

"Kalo gitu, kapan-kapan kita makan siang bareng lagi ya. Gak papa kan?" Tanya Langit penuh harap. 

Wulan mengangguk dan tersenyum lebar, "boleh."

Setelah hari itu, keduanya tak pernah bersua. Janji makan siang bersama pun terlupakan. Langit sibuk dengan pekerjaannya, sementara Wulan sibuk membagi waktu antara mengajar kursus dan mengerjakan pesanan. 

Sampai suatu hari Wulan mengetahui bahwa Langit sebenarnya adalah tetangga desanya sendiri. Mereka tinggal berdekatan. Wulan semakin bahagia. Kesempatan untuk keduanya bertemu semakin lebar. Tapi saat itu ketika terakhir kali mereka bertemu secara tak sengaja, keduanya melupakan satu hal. Tidak bertukar nomor ponsel. Tapi Wulan meyakini, walopun keduanya tak saling memiliki nomor ponsel masing-masing, jika berjodoh mereka pasti bertemu. 

Perasaan Wulan berkembang semakin cepat. Cinta pada pandangan pertamanya kala itu digenggamnya erat. Wulan selalu yakin, bahwa Langit adalah pria yang diciptakan untuknya. 

Hingga hari ini, kepercayaan itupun pecah terbelah tak terbentuk. Langit bukan untuknya.

Related chapters

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   4. Keputusan Santi.

    "Bu Santi, minta tolong cetakkan data-data murid yang menerima bantuan kemarin." Ucap seseorang dengan seragam abu memasuki ruangan dimana Santi berada. Kantor ruangan guru. "Baik bu, segera saya cetakkan." Jawab Santi singkat dan segera membuka file dalam laptop yang terbuka di depannya. Santi Wardani, putri pertama pak Bandi. Seorang guru muda cantik yang menjadi salah satu staf di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai putri pertama, ia merasa mendapatkan sebuah kewajiban untuk memberikan yang terbaik atas dirinya untuk keluarganya. Ia tahu bahwa sang ayah tak pernah meminta apalagi menuntutnya. Tapi pemikiran itu sudah terpatri di benaknya semenjak ia beranjak dewasa. Bahwa arti posisi anak pertama adalah posisi rentan, dimana ia harus menjadi sebuah tauladan dan memikul kewajiban sebagai pemangku nama keluarga untuk dijaga sebaik-baiknya. Tak pernah keluar dari jalurnya sebagai anak pertama yang pantas dibanggakan. Tak pernah membantah semua petu

    Last Updated : 2021-11-24
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   5. Pertemuan Keluarga.

    Wulan tak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Air mata terus mengalir dan membanjiri bantal yang saat ini tengah didekapnya. Ingin pergi keluar menemui sahabatnya tapi jalan akses keluar hanya satu. Dan ia akan melewati dua orang yang saat ini tengah berbincang di teras depan. Sehingga tak mungkin bagi dirinya menyembunyikan sembab di wajah. Menyalahkan diri sendiri karena tak mampu menyembunyikan sakit di hatinya. Menyalahkan diri sendiri karena harus memiliki rasa untuk pria yang bukan miliknya. Menyalahkan diri sendiri karena bukan dirinya yang mendapatkan kesempatan berharga itu. Dan menyalahkan dirinya yang memiliki hati yang tak baik sehingga tak ikut merasakan bahagia untuk kakak semata wayangnya. Bukan adik yang baik sehingga tak mampu merayakan berita bahagia bersama sang kakak. Mulai membenci dirinya sendiri. Mulai mengutuk dirinya sendiri. 'Tok.tok.tok." Wulan menghentikan tangisnya saat memdengar suara pintu kamar di ketuk.

    Last Updated : 2021-11-24
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   6. Bertemu.

    Wulan berdiri mematung di depan jalan menuju ke rumahnya. Hatinya gamang saat akan melangkahkan kaki. Terbayang di benaknya pertemuan kedua keluarga. Santi dan Langit duduk berdampingan seolah raja dan ratu sehari. Sesak merayapi. Menelan ludah dengan susah payah, Wulan memejamkan mata dan bertekad menguatkan hati demi kakak tercinta. Sebesar apapun rasa cinta yang ia miliki untuk pri yang akhirnya bukan miliknya sangat tak sepadan dengan cinta yang dimiliki kakak perempuannya. Menguatkan hati, Wulan melangkah dengan hati berdebar. Semakin dekat dengan tujuan, hati Wulan semakin berdebar tak menentu. 'Tuhan kuatkan aku.' Bisiknya. Terlihat dari jauh sebuah kendaraan yang sangat dikenalnya. Kendaraan roda empat milik Langit yang pernah ia tumpangi. Tangannya mengepal erat, tubuhnya terasa dingin. Wulan merasa hawa malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kakinya menapak ke anak tangga satu persatu. Telinganya menangkap percakapa

    Last Updated : 2021-11-25
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   7. Pernyataan Langit

    Wulan terdiam, tak bersuara. Berdiri mematung menatap Langit yang kini menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Langit bergerak, berjalan perlahan mendekati Wulan. berhenti tepat di depan gadis itu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Menunggu. Memandangnya tajam, ada rasa tak senang saat mengingat gadis mungil di depannya tak mengakui hubungan bahwa mereka telah saling mengenal. Wulan memutar otak, mencari alasan yang masuk dalam logika. Menundukkan kepala sambil memilin jari jemarinya. "Ak-aku hanya tidak merasa nyaman kalau mbak Santi tahu kita sudah saling mengenal sebelumnya." kata Wulan lirih. "Lagipula, kita baru bertemu dua kali. Dan itu tidak bisa dibilang kita berteman kan? Dan saat kita bertemu juga selalu secara kebetulan." lanjut Wulan membela diri. "Ralat, 3 kali kalau-kalau kamu melupakan saat kita makan siang bersama." Langit menegaskan. Wulan tersentak, lupa. Bukan, dia hanya salah menghitung.

    Last Updated : 2021-11-26
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   8. Langit.

    Menaikkan satu tungkai kakinya untuk bertumpuk ke kaki lainnya, Langit menyandarkan tubuh pada punggung sofa yang lembut. Menatap Wulan dengan pandangan datar, ia melipat kedua lengan di depan dadanya. “Kenapa tidak mungkin?” tanyanya datar. Wulan masih tidak bisa mempercayai pernyataan Langit, kini ia disodori sebuah pertanyaan yang membuatnya dilema. “Tidak mungkin. Ya tidak mungkin… Begitulah.” jawab Wulan lirih menundukkan kepala. “Kenapa tidak m

    Last Updated : 2021-11-28
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   9. Cakrabuana

    "Cak, udah siap semua yang harus kamu bawa nanti?" Tanya pak Daud, direktur utama tempat Cakra ditugaskan. Pak Daud baru saja mengisi kembali cangkir kopinya di dapur umum yang disediakan perusahaan. Berhenti ketika dilihatnya Cakra sedang duduk di balik meja kerjanya.Cakra menoleh dan menganggukkan kepala."Sudah pak. Sudah selesai. Perkiraan saya sampai di kota yang dituju besok sore. Karena paginya saya harus mengantarkan pesanan bude saya di Depok pak."Menyesap kopinya dengan santai, Pak Daud berjalan perlahan mendekati anak buahnya yang sedang fokus menyelesaikan dokumen terakhir."Oke, besok kalau sudah sampai segera hubungi tim lapangan. Eh, kamu kan ke tempat Bayu. Konfirmasi aja deh ke Bayu gimana baiknya. Kalau sudah siap semua, yang lain bisa segera menyusul.""Baik pak, siap." Cakra tersenyum.Pak Daud menatap dalam-dalam pemuda tampan yang usianya siap untuk menikah. Mengawasi setiap hal yang dilakukan pemuda itu dengan pandang kagum.

    Last Updated : 2022-02-24
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   10. Bertemu Cakra

    Semenjak kecil Wulan diasuh kakak semata wayangnya sebagai pengganti ibu. Santi selalu mendahulukan kepentingan Wulan diatas segalanya. Bagi Santi, Wulan sudah seperti anaknya sendiri bukan hanya sekedar adik kandung.Wulan tak pernah kekurangan kasih sayang. Kasih sayanh seorang ibu yang selalu diagung-agungkan semua teman-temannya, tak membuat Wulan berkecil hati. Karena Wulan memiliki Santi.Setelah Wulan beranjak dewasa, dia mulai menggantikan pekerjaan Santi di dalam rumah mereka. Membiarkan Santi menggapai cita-citanya dan tidak pernah membiarkan hal-hal yang merepotkan di dalam rumah mereka menjadi sandungan Santi dalam menimba ilmu.Semua hal, mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan kebutuhan bapaknya bahkan mengirim bekal untuk bapaknya di sawah. Walaupun waktu yang dimilikinya sangat sedikit. Wulan tidak membiarkan itu sebagai beban.Seperti halnya siang ini. Wulan mengantarkan bekal makan siang bapaknya ke sawah. Sepanj

    Last Updated : 2022-02-25
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   11. Kekesalan Wulan

    Tak peduli bagaimana baik dan ramahnya Pak Bandi memperlakukan Cakra sebagai seorang tamu, Wulan tetap merasa marah dan kesal melihatnya. Bapaknya adalah orang baik. Tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun yang telah melukai dan menyakiti perasaannya. Sawah itu peninggalan satu-satunya yang diwariskan bapaknya Pak Bandi  alias eyangnya Wulan. Wulan masih ingat bagaimana eyangnya berpesan pada bapaknya untuk tidak pernah menjual sawah itu. Karena dari sawah itu mereka bisa hidup. Maka Pak Bandi senantiasa memegang janjinya pada sang bapak. Tapi kini sawah itu sudah berpindah tangan. Wulan tidak bisa membayangkan betapa hancur hati bapaknya. Menatap Cakra dan mendengar suaranya membuat Wulan semakin kesal. "Ehem, pak, Wulan pulang dulu ya. Sudah ditunggu Tyas."Pak Bandi dan Cakra menoleh bersaman ke arah Wulan yang sedang berkemas. "Ah iya, sudah siang ya. Bapak sampai lupa saking enaknya ngobrol sama nak Cakra," Sel

    Last Updated : 2022-02-28

Latest chapter

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   Keputusan Wulan

    "Apa yang kau lakukan?!" jerit tertahan Wulan terdengar. Dengan kuat mendorong tubuh Langit yang mengukungnya. Terkejut mendapatkan perlakuan yang kelewat batas dari Langit. Gemetar, seluruh tubuh Wulan bergetar. Menahan marah dari kejutan yang tak terduga dari laki-laki yang telah mengisi hatinya.Langit menatap datar. Menatap bagaimana Wulan menutupi bibirnya dengan erat. "Kau yang membuatku melakukan itu," ucapnya datar."Ap-apa salahku?" Getar dalam suara Wulan terdengar. Debar jantungnya bertalu dan tak bisa menutupi gugup yang ia rasakan saat ini. Ciuman menggebu itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bagaimana bisa itu menjadi salahnya? Dimana salahnya?Langit mendekati Wulan perlahan, spontan Wulan beringsut menjauh. Membawa tubuhnya hingga terpojok di sudut ranjang. Langit semakin mendekat."Jangan mendekat! Ja-jangan mendekat. At-atau aku berteriak agar semua orang tahu kelakuanmu padaku," ancam Wulan dengan suara mengecil. Dirinya tak bisa

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   19. Amarah Langit

    “Cak, Pak Abdul telpon. Kita harus kembali ke proyek.”Bayu memasuki ruangan setelah baru saja menerima panggilan dari ponselnya.Cakra mengangguk menatap Bayu. Mengerti.Berpamitan pada Wulan, Bayu mendahului Cakra meninggalkan ruangan itu.“Aku pergi dulu, nanti aku jemput. Kita pulang bersama,” kata Cakra menatap Wulan sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.“Tunggu, kita baru hanya akan saling mengenal bukan jadian. Jadi bukan tugasmu menjemputku,” panggil Wulan saat Cakra hampir mencapai pintu.Cakra berhenti lalu menoleh. Menatap Wulan yang menatapnya tak suka.“Aku tahu. Bagiku bukan tugas, tapi salah satu jalan untukku lebih mengenalmu. Kamu keberatan? Seingatku, kamu yang menanyakan kehadiranku lebih dulu pada keluargamu saat pertama kali membuka mata setelah kecelakaan. Lalu, ketika mereka menyadari kalau kamu pulang sendirian tanpa aku, bagaimana tanggapan mereka menurutmu? Apalagi, kondisimu dalam

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   18. Kebohongan Wulan

    Semuanya terdiam.Budhe Sri dan Dirga bertatapan.Santi membulatkan mata hingga menutup mulut saking terkejutnya.Dan Langit, menatap tajam. Wulan memandangi satu persatu kehadiran orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun terhenti tepat lurus tepat di belakang Santi. Dimana Langit berdiri. Keduanya bertatapan cukup lama namun tak ada yang menyadari karena mereka sibuk dengan pikiran masing. "Cakra?" Tanya Dirga membuka keheningan, tak lupa kerutan dahinya menyertai. Santi menoleh ke arah Dirga. Menganggukkan kepala skeptis, seolah mereka salah mendengar. Wulan menoleh ke arah Dirga dan mengangguk khitmad. "Cakra.""Kenapa Cakra? Ada hubungan apa dengannya?" Tanya Budhe Sri perlahan. Bingung.Menelan ludah, jantung berdegup kencang. Kebohongan pertama kali yang ia ungkapkan, membuat sekujur tubuhnya mendingin. Menundukkan kepala dan mengucap lirih, "emm … kami … mencoba … untuk … saling … me … ngenal lebih … dekat." Wulan memejamkan

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   17. Kejutan Wulan

    “Aku gak papa. Wul … “ ucap Tyas serak dan terkadang terdengar batuk kecil dari seberang telepon.Wulan menghembuskan napas kesal. Susah sekali bicara dengan sahabatnya itu. Pagi itu saat mendapati Rumah Hias belum terbuka, Wulan menghubungi Tyas. Biasanya gadis itu yang lebih dulu datang. Dan karena kemarin lusa Tyas berencana pergi membeli beberapa kain untuk dikerjakan hari ini, Wulan berpikir bahwa gadis itu masih berada di toko langganan mereka. Dan jika itu benar, maka Wulan akan menyusulnya.Dan sekarang di temukan jawaban kenapa Tyas belum datang. Bukan karena tengah memilih kain maupun masih di perjalanan, melainkan karena gadis itu masih meringkuk di atas ranjangnya dan mengatakan bahwa ia bangun kesiangan.Dari suaranya yang diselingi dengan batuk kecil sudah membuktikan bahwa Tyas sedang tidak enak badan. “Sudah, ndak usah membantah lagi. Kamu istirahat saja hari ini, biar aku yang mencari kainnya. Harus

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   16. Ketahuan

    Fiuh … Wulan bernapas lega.Memandang kepergian Langit dan Bayu dengan perasaan yang bermacam-macam rasanya.Khawatir, cemas, takut dan hal-hal yang membuatnya was-was.Bagaimana jika Bayu tidak percaya dengan keterangan Langit?Bagaimana jika Bayu mencurigai keduanya karena berbicara di tengah suasana yang suram?Apakah Bayu sempat mendengar percakapan antara dirinya dan Langit?Wulan merasakan kekalutan yang amat sangat. Dadanya terasa berat dan sesak. Wulan ingin melepaskan diri dari keras kepala Langit yang terus mengejar dirinya. Karena sangat menyakitkan jika ia harus bersaing dengan kakak kandungnya sendiri.Kakak kandung yang sudah seperti ibu baginya.Mendongakkan kepala dan memandang ke arah Bulan yang malam itu bersinar terang.Berharap semuanya akan baik–baik saja.Plok! Plok! Plok!Suara tepukan tangan terdengar keras.Sontak Wulan memutar kepala dan mencari

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   15. Kecurigaan Bayu

    Santi merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan keras. Perlahan menyusurkan tangannya menyentuh dadanya yang berdetak keras. Menunduk malu karena debar jantungnya tak mampu ia sembunyikan dengan baik. Harapnya hanya satu, si lawan bicara tak mendengarnya. Karena itu memalukan. Langit dan Santi duduk di halaman belakang. Dimana di sana terdapat dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar. Di depan mereka ada taman kecil yang dimana beberapa tanaman bunga ditanam dalam pot yang ditata dan disusun melingkar. Santi tersenyum malu menundukkan kepalanya. Karena baru pertama kalinya Langit mengajaknya bicara. Bahkan Langit dengan berani meminta ijin bapaknya hanya untuk mengajak Santi bicara. Santi merasa tersanjung karenanya."Ehem, San … ada yang ingin aku bicarakan," Langit membuka kalimatnya.Ia menoleh menatap Santi yang menganggukkan kepala kecil sembari menunduk malu. Bahkan Langit bisa melihat senyum malu gadis itu. Memejamkan

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   pengakuan Bayu

    Acara tasyakuran selesai. Do'a puji syukur atas rahmat Sang Kuasa telah dipanjatkan agar kelancaran dalam proyek terbesar Bayu dan timnya berhasil tanpa kendala. Selesai acara keluarga Priyadi mengajak keluarga calon besan duduk di ruang tamu yang ukuran ruangannya lebih besar dibanding ruangan lain.Mereka duduk melingkar di dalam ruang tamu yang telah ditata sedemikian rupa sehingga bisa menampung 10 orang dewasa untuk duduk bersama. Pak Priyadi duduk bersama Pak Bandi.Bu Priyadi duduk bersama Budhe Sri.Santi duduk bertiga bersama Wulan dan Dirga.Sementara yang lain duduk di kursi single. Dari acara ini akhirnya Wulan tahu kalau Bayu dan Cakra adalah teman kerja. Dan proyek besar yang dikatakan oleh bu Priyadi kemarin adalah proyek pembangunan mall. Jika saja Wulan tahu, ia pasti bersikeras tidak akan datang. Bagaimana bisa ia makan senang di atas penderitaan yang dirasakan bapaknya. Tidak. Wulan tidak bisa. Maka

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   13. pertemuan keluarga

    "Elu di jodohin mas?"Tanya Bayu pagi ini saat dilihatnya Langit sedang menikmati makan pagi sebelum ia berangkat kerja.Ehem!Terdengar deham dari ibunya, Bayu menoleh ke belakang. Terlihat ibunya membulatkan mata menatap Bayu. Bayu mencibir melihatnya. Langit mereguk teh hangat yang sudah disiapkan ibunya, menghapus noda dari bibirnya dengan tisu makan. Menatap adiknya yang asyik mencomot dadar jagung kesukaannya dari piring hidang. Bayu yang asyik mengunyah mengangkat kepala dan menaikkan alisnya beberapa kali ke arah Langit. "Bapak yang cerita?" Bayu mengangguk."Iya. Kenapa? Kamu mau dijodohkan juga?" "Hish! Amit-amit dah.""Kenapa? Gak percaya sama pilihan bapak?" Langit menyunggingkan senyum miring. Menyandarkan punggungnya, Langit menatap adiknya yang terus berbicara. "Gak paham lagi dah gue sama bapak, masih sempet-sempetnya aja nyariin elu jodoh. Kayak gak laku aja

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   12. Perselisihan keluarga Priyadi

    Brak! Brak!"Copot! Copot! Copot! Jantungku copot!"Budhe Sri berteriak terkejut karena tiba-tiba terdengar suara keras yang datangnya bersamaan dengan kedatangan keponakannya, Wulan. Tangannya memegang dada yang saat ini berdebar kencang. Saat ini Budhe Sri sedang membantu Wulan melipat baju-baju keluarganya yang sudah mengering terkena sinar matahari.Berdiri dengan tergopoh-gopoh, Budhe Sri melihat Wulan sedang menutup pintu kamarnya dengan bersungut-sungut. Mengerutkan dahi, Budhe Sri meletakkan baju yang tadi ia pegang dan bergegas menyusul Wulan.Tok! Tok! Tok!"Ada apa nduk? Kamu kok kayak orang kesurupan gitu. Masuk rumah gak pake salam malah pake acara banting pintu.Itu di dalam kamar lagi ngapain? Jangan di obrak abrik loh kamarnya. Eman-eman nduk," Seru Budhe Sri di depan pintu kamar Wulan mengajak keponakannya bicara. Takut kenapa-kenapa di dalam sana.Tak lama kemudian pin

DMCA.com Protection Status