Share

4. Keputusan Santi.

last update Last Updated: 2021-11-24 15:53:06

"Bu Santi, minta tolong cetakkan data-data murid yang menerima bantuan kemarin." Ucap seseorang dengan seragam abu memasuki ruangan dimana Santi berada. Kantor ruangan guru. 

"Baik bu, segera saya cetakkan." Jawab Santi singkat dan segera membuka file dalam laptop yang terbuka di depannya.

Santi Wardani, putri pertama pak Bandi. Seorang guru muda cantik yang menjadi salah satu staf di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai putri pertama, ia merasa mendapatkan sebuah kewajiban untuk memberikan yang terbaik atas dirinya untuk keluarganya. Ia tahu bahwa sang ayah tak pernah meminta apalagi menuntutnya. Tapi pemikiran itu sudah terpatri di benaknya semenjak ia beranjak dewasa. Bahwa arti posisi anak pertama adalah posisi rentan, dimana ia harus menjadi sebuah tauladan dan memikul kewajiban sebagai pemangku nama keluarga untuk dijaga sebaik-baiknya.

Tak pernah keluar dari jalurnya sebagai anak pertama yang pantas dibanggakan. Tak pernah membantah semua petuah dari sang ayah. Sang ibu yang lebih dulu meninggalkan mereka ketika dirinya masih berusia 12 tahun, tidak lagi bisa memberikan nasehat kepada dirinya. Dan sebagai gantinya, dirinya lah yang saat itu masih begitu muda merawat sang adik bersama dengan sang ayah.

Santi ingin seperti ibunya. Karier yang diambilnya saat ini adalah karier sang ibu sebelum beliau meninggal. 

Ibunya yang cantik, ibunya yang bijaksana, ibunya yang selalu disegani oleh masyarakat sekitar. Santi ingin sepertinya. Dan berhasil.

Santi memperhatikan sekitarnya saat sebuah suara ketukan terdengar. Sepi, sudah pergi semua untuk mengajar kelas masing-masing. Dengan cepat merapikan berkas-berkas dan menghampiri pintu yang setengah terbuka. 

"Ya... " Jawab Santi saat mendengar lagi ketukan itu. 

Dan ketika Santi membuka lebar pintu, ia mendapati seorang pria muda tengah membelakangi dirinya. Dari belakang terlihat gagah dengan punggung yang kokoh. 

"Siapa ya..." Tanya Santi memanggil tamunya. Sosok pria itu memalingkan tubuhnya dan tersenyum saat mendapati Santi berdiri di depannya. 

"Selamat pagi, saya mengantarkan surat ijin keponakan saya yang kebetulan mulai hari ini hingga tiga hari ke depan tidak bisa masuk karena ada kepentingan keluarga."

Santi terpana. Santi terpesona. Pria itu berdiri menjulang tinggi di depannya. Tampan. Sangat tampan. Suaranya yang lembut dan senyumnya yang meneduhkan. Santi terjatuh, berkali-kali. Gugup seketika melanda hatinya. Namun tak cukup membuatnya malu berhadapan. 

"Ah iya, a-atas nama siapa ya?" Tanya Santi gugup. Pria itu tetap mempertahankan senyumnya yang tampan dan menjawab dengan lemah lembut.

"Atas nama Genta Wicaksana kelas 8A."

"Oh, Genta. Kebetulan saya wali kelasnya." Ucap Santi sambil menerima iluran amplop putih didepannya. 

"Oh ya, kebetulan sekali. Perkenalkan saya paman Genta, Langit."

***

Santi menerawang tanpa sadar senyuman tak jua lekang dari bibirnya yang merah. 

Langit. Calon suami yang dipilihkan budhenya, kakak dari ibunya.

Bagaimana tidak bisa Santi terus tersenyum bahagia. Karena laksana sebuah takdir, ia akan berdampingan hidup dengan seorang pria yang pertama kalinya membuat jantungnya berdetak hebat hingga tak mampu membuatnya tidur nyenyak saat malam tiba.

1minggu setelah pertemuan singkat itu, saat malam hari dan ketika dirinya tengah membuat tugas bagi murid-muridnya, sang ayah mendatangi dirinya didalam kamar. Mengatakan perihal rencana lamaran atas dirinya dari keluarga pak Priyadi, juragan keramik desa sebelah. 

Kata ayahnya, pak Priyadi sedang mencarikan calon istri untuk putra sulungnya yang hingga umur 27 tahun tak juga menemukan pendamping hidup.

Pak Priyadi yang notabene adalah teman sekolah budhe Santi mendatangi wanita itu dan meminta tolong untuk dikenalkan kepada wanita-wanita muda pilihan untuk dijadikan istri bagi putranya. Sang budhe, Tatik segera teringat kepada kedua keponakannya yang adalah wanita-wanita pilihan. Lahir dari keluarga berkecukuptap menjunjung tinggi kesederhanaan. Santi dan Wulan. Pilihan pak Priyadi jatuh pada Santi. Selain karena ia putri pertama namun juga seorang guru muda. Status yang dibanggakan oleh setiap orangtua. Beda dengan adiknya yang hanya seorang pengusaha kecil dan tak mampu dipandang tinggi masa depannya. Pak Priyadi menginginkan Santi sebagai calon menantu. 

Budhe Tatik pun menyetujui rencana pak Priyadi. Dan mengatakan berita baik ini kepada pak Bandi. Pak Bandi pun meneruskan hal ini kepada yang bersangkutan. Santi belum memutuskan akan menerima atau tidak karena kegugupannya. Dan meminta waktu untuk memikirkan jawabannya. 

Ayahnya menyanggupi dan memberikan Santi waktu. Beliau juga berpesan bahwa jika ada yang ingin ditanyakan, menyuruhnya untuk menemui sang budhe.

Dan disinilah ia berada, Santi duduk dihadapan budhenya dan menanyakan perihal Langit. Karena bagaimana pun ia ingin mengetahui latar belakang Langit sebagai calon suami. 

"Putra pak Priyadi itu kerja di bank Santi. Masa depannya cerah. Anaknya juga ganteng dan sholeh. Cocok buat kamu. Budhe gak akan mungkin mengenalkan pria gak jelas buat keponakan tersayang budhe." Kata budhe Tatik kepada Santi. 

Santi mendengarkannya dengan seksama. Sebuah pemahaman muncul di benaknya. Bekerja di lingkungan bank yang pastinya menuntut para stafnya untuk berpenampilan menarik. Pantas saja kalau Langit terlihat begitu menjaga kebersihan wajah dan penampilannya yang rapi. Santi menganggukkan kepala mengerti. 

"Apalagi bapaknya itu juragan keramik. Wes tho, terjamin nanti masa depanmu San. Budhe yakin itu. Gak usah ragu karena budhe sudah memilihkan pria pilihan untuk menjadi suamimu."

"Dia... Tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan lain kan budhe? Maksud Santi..."

"Punya pacar maksudmu? Nggak. Yakin budhe kalau Langit gak punya pacar. Kan bapaknya sendiri yang mencarikan. Masak iya bapaknya nggak tau kalo putranya punya pacar. Kalaupun misal Langit menjalin hubungan dengan perempuan lain, pasti juga bukan untuk diseriusi. La buktinya, bapaknya sendiri nggak tau."

Santi mengiyakan dan menyetujui kata-kata wanita dewasa pengganti ibu baginya. Budhe Tatik adalah wanita baik. Selalu menemani saat dirinya beranjak remaja. Sebagai budhe yang baik, Tatik selalu memberikan waktunya untuk mberikan perhatian yang cukup bagi kedua putri adikknya yang telah meninggal lebih dulu. Kasihan dan memang menyayangi kedua keponakan yang menurutnya sangat penurut sekali kepada orangtua. Maka memberikan jodoh yang baik untuk keponakannya adalah hasil dari menjadi anak baik selama ini.

"Masih ragu? Masih mau tanya-tanya apalagi? Atau... Kamu mau ketemu sama calon suamimu dulu sebelum memutuskan biar makin yakin sama pilihan budhemu? Kamu gak percaya kalau yang nanya Langit itu ganteng?" Tanya budhe Tatik beruntun.

Santi menggelengkan kepalanya. Ia percaya dan yakin atas penilaian budhenya karena ia sendiri pernah bertemu dengan lelaki itu. Dan Santi sadar betul dengan pesona yang dimiliki calon suaminya. 

"Emm.. Kalau begitu Santi pulamg dulu ya budhe. Santi mau mandi. Udah sore banget."

"Lah terus jawaban kamu gimana?" Tanya budhe Tatik berdiri menyusul keponakannya yang berkemas dan mealngkah menuju keluar rumah. 

Santi memakai sepatu dan menatap ke arah budhenya, "nanti Santi ngomong ke ayah dulu ya budhe. Biar ayah menjadi yang pertama yang mendengar jawaban Santi. Besok ayah bisa menemui budhe untuk mengatakan jawaban Santi." Terang Santi dan kemudian meminta tangan sang budhe untuk dicium. Sebuah kebiasaan keluarga saat pamit kepada orang yang lebih tua. Budhenya mengangguk dan tersenyum lebar mengantar keponakannya pergi. 

Malam itu Santi menemui sang ayah yang saat itu sedang duduk di halaman menikmati suasana cerah setelah mereka makan malam bersama.

"Ayah... Santi mau bicara." 

Pak Bandi mendongak dan menatap putrinya. Menganggukkan kepala dan mempersilakan Santi duduk disampingnya. Karena tahu bahwa sang putri akan membicarakan perihal apa.

"Bagaimana? Apa yang mau kamu bicarakan?"

Santi menundukkan kepala dan memainkan jarinya bergantian. Gugup.

"Eemm.. Tadi siang Santi menemui budhe yah..."

"Iya, ayah sudah menduganya. Terus menurut kamu gimana? Sudah lega dengan jawaban budhemu atau belum?"

Santi menganggukkan kepala, "sudah."

"Dan jawaban kamu?"

Semakin dalam menundukkan kepala, Santi berucap lirih serta gugup. 

"Santi mau yah. Santi mau menikah dengan mas Langit." 

Pak Bandi tersenyum lebar mendengar jawaban Santi. Sementara di balik pintu ada Wulan yang tengah berlinang air mata.

Related chapters

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   5. Pertemuan Keluarga.

    Wulan tak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Air mata terus mengalir dan membanjiri bantal yang saat ini tengah didekapnya. Ingin pergi keluar menemui sahabatnya tapi jalan akses keluar hanya satu. Dan ia akan melewati dua orang yang saat ini tengah berbincang di teras depan. Sehingga tak mungkin bagi dirinya menyembunyikan sembab di wajah. Menyalahkan diri sendiri karena tak mampu menyembunyikan sakit di hatinya. Menyalahkan diri sendiri karena harus memiliki rasa untuk pria yang bukan miliknya. Menyalahkan diri sendiri karena bukan dirinya yang mendapatkan kesempatan berharga itu. Dan menyalahkan dirinya yang memiliki hati yang tak baik sehingga tak ikut merasakan bahagia untuk kakak semata wayangnya. Bukan adik yang baik sehingga tak mampu merayakan berita bahagia bersama sang kakak. Mulai membenci dirinya sendiri. Mulai mengutuk dirinya sendiri. 'Tok.tok.tok." Wulan menghentikan tangisnya saat memdengar suara pintu kamar di ketuk.

    Last Updated : 2021-11-24
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   6. Bertemu.

    Wulan berdiri mematung di depan jalan menuju ke rumahnya. Hatinya gamang saat akan melangkahkan kaki. Terbayang di benaknya pertemuan kedua keluarga. Santi dan Langit duduk berdampingan seolah raja dan ratu sehari. Sesak merayapi. Menelan ludah dengan susah payah, Wulan memejamkan mata dan bertekad menguatkan hati demi kakak tercinta. Sebesar apapun rasa cinta yang ia miliki untuk pri yang akhirnya bukan miliknya sangat tak sepadan dengan cinta yang dimiliki kakak perempuannya. Menguatkan hati, Wulan melangkah dengan hati berdebar. Semakin dekat dengan tujuan, hati Wulan semakin berdebar tak menentu. 'Tuhan kuatkan aku.' Bisiknya. Terlihat dari jauh sebuah kendaraan yang sangat dikenalnya. Kendaraan roda empat milik Langit yang pernah ia tumpangi. Tangannya mengepal erat, tubuhnya terasa dingin. Wulan merasa hawa malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kakinya menapak ke anak tangga satu persatu. Telinganya menangkap percakapa

    Last Updated : 2021-11-25
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   7. Pernyataan Langit

    Wulan terdiam, tak bersuara. Berdiri mematung menatap Langit yang kini menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Langit bergerak, berjalan perlahan mendekati Wulan. berhenti tepat di depan gadis itu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Menunggu. Memandangnya tajam, ada rasa tak senang saat mengingat gadis mungil di depannya tak mengakui hubungan bahwa mereka telah saling mengenal. Wulan memutar otak, mencari alasan yang masuk dalam logika. Menundukkan kepala sambil memilin jari jemarinya. "Ak-aku hanya tidak merasa nyaman kalau mbak Santi tahu kita sudah saling mengenal sebelumnya." kata Wulan lirih. "Lagipula, kita baru bertemu dua kali. Dan itu tidak bisa dibilang kita berteman kan? Dan saat kita bertemu juga selalu secara kebetulan." lanjut Wulan membela diri. "Ralat, 3 kali kalau-kalau kamu melupakan saat kita makan siang bersama." Langit menegaskan. Wulan tersentak, lupa. Bukan, dia hanya salah menghitung.

    Last Updated : 2021-11-26
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   8. Langit.

    Menaikkan satu tungkai kakinya untuk bertumpuk ke kaki lainnya, Langit menyandarkan tubuh pada punggung sofa yang lembut. Menatap Wulan dengan pandangan datar, ia melipat kedua lengan di depan dadanya. “Kenapa tidak mungkin?” tanyanya datar. Wulan masih tidak bisa mempercayai pernyataan Langit, kini ia disodori sebuah pertanyaan yang membuatnya dilema. “Tidak mungkin. Ya tidak mungkin… Begitulah.” jawab Wulan lirih menundukkan kepala. “Kenapa tidak m

    Last Updated : 2021-11-28
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   9. Cakrabuana

    "Cak, udah siap semua yang harus kamu bawa nanti?" Tanya pak Daud, direktur utama tempat Cakra ditugaskan. Pak Daud baru saja mengisi kembali cangkir kopinya di dapur umum yang disediakan perusahaan. Berhenti ketika dilihatnya Cakra sedang duduk di balik meja kerjanya.Cakra menoleh dan menganggukkan kepala."Sudah pak. Sudah selesai. Perkiraan saya sampai di kota yang dituju besok sore. Karena paginya saya harus mengantarkan pesanan bude saya di Depok pak."Menyesap kopinya dengan santai, Pak Daud berjalan perlahan mendekati anak buahnya yang sedang fokus menyelesaikan dokumen terakhir."Oke, besok kalau sudah sampai segera hubungi tim lapangan. Eh, kamu kan ke tempat Bayu. Konfirmasi aja deh ke Bayu gimana baiknya. Kalau sudah siap semua, yang lain bisa segera menyusul.""Baik pak, siap." Cakra tersenyum.Pak Daud menatap dalam-dalam pemuda tampan yang usianya siap untuk menikah. Mengawasi setiap hal yang dilakukan pemuda itu dengan pandang kagum.

    Last Updated : 2022-02-24
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   10. Bertemu Cakra

    Semenjak kecil Wulan diasuh kakak semata wayangnya sebagai pengganti ibu. Santi selalu mendahulukan kepentingan Wulan diatas segalanya. Bagi Santi, Wulan sudah seperti anaknya sendiri bukan hanya sekedar adik kandung.Wulan tak pernah kekurangan kasih sayang. Kasih sayanh seorang ibu yang selalu diagung-agungkan semua teman-temannya, tak membuat Wulan berkecil hati. Karena Wulan memiliki Santi.Setelah Wulan beranjak dewasa, dia mulai menggantikan pekerjaan Santi di dalam rumah mereka. Membiarkan Santi menggapai cita-citanya dan tidak pernah membiarkan hal-hal yang merepotkan di dalam rumah mereka menjadi sandungan Santi dalam menimba ilmu.Semua hal, mulai dari membersihkan rumah, menyiapkan kebutuhan bapaknya bahkan mengirim bekal untuk bapaknya di sawah. Walaupun waktu yang dimilikinya sangat sedikit. Wulan tidak membiarkan itu sebagai beban.Seperti halnya siang ini. Wulan mengantarkan bekal makan siang bapaknya ke sawah. Sepanj

    Last Updated : 2022-02-25
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   11. Kekesalan Wulan

    Tak peduli bagaimana baik dan ramahnya Pak Bandi memperlakukan Cakra sebagai seorang tamu, Wulan tetap merasa marah dan kesal melihatnya. Bapaknya adalah orang baik. Tidak pernah menaruh dendam kepada siapapun yang telah melukai dan menyakiti perasaannya. Sawah itu peninggalan satu-satunya yang diwariskan bapaknya Pak Bandi  alias eyangnya Wulan. Wulan masih ingat bagaimana eyangnya berpesan pada bapaknya untuk tidak pernah menjual sawah itu. Karena dari sawah itu mereka bisa hidup. Maka Pak Bandi senantiasa memegang janjinya pada sang bapak. Tapi kini sawah itu sudah berpindah tangan. Wulan tidak bisa membayangkan betapa hancur hati bapaknya. Menatap Cakra dan mendengar suaranya membuat Wulan semakin kesal. "Ehem, pak, Wulan pulang dulu ya. Sudah ditunggu Tyas."Pak Bandi dan Cakra menoleh bersaman ke arah Wulan yang sedang berkemas. "Ah iya, sudah siang ya. Bapak sampai lupa saking enaknya ngobrol sama nak Cakra," Sel

    Last Updated : 2022-02-28
  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   12. Perselisihan keluarga Priyadi

    Brak! Brak!"Copot! Copot! Copot! Jantungku copot!"Budhe Sri berteriak terkejut karena tiba-tiba terdengar suara keras yang datangnya bersamaan dengan kedatangan keponakannya, Wulan. Tangannya memegang dada yang saat ini berdebar kencang. Saat ini Budhe Sri sedang membantu Wulan melipat baju-baju keluarganya yang sudah mengering terkena sinar matahari.Berdiri dengan tergopoh-gopoh, Budhe Sri melihat Wulan sedang menutup pintu kamarnya dengan bersungut-sungut. Mengerutkan dahi, Budhe Sri meletakkan baju yang tadi ia pegang dan bergegas menyusul Wulan.Tok! Tok! Tok!"Ada apa nduk? Kamu kok kayak orang kesurupan gitu. Masuk rumah gak pake salam malah pake acara banting pintu.Itu di dalam kamar lagi ngapain? Jangan di obrak abrik loh kamarnya. Eman-eman nduk," Seru Budhe Sri di depan pintu kamar Wulan mengajak keponakannya bicara. Takut kenapa-kenapa di dalam sana.Tak lama kemudian pin

    Last Updated : 2022-03-02

Latest chapter

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   Keputusan Wulan

    "Apa yang kau lakukan?!" jerit tertahan Wulan terdengar. Dengan kuat mendorong tubuh Langit yang mengukungnya. Terkejut mendapatkan perlakuan yang kelewat batas dari Langit. Gemetar, seluruh tubuh Wulan bergetar. Menahan marah dari kejutan yang tak terduga dari laki-laki yang telah mengisi hatinya.Langit menatap datar. Menatap bagaimana Wulan menutupi bibirnya dengan erat. "Kau yang membuatku melakukan itu," ucapnya datar."Ap-apa salahku?" Getar dalam suara Wulan terdengar. Debar jantungnya bertalu dan tak bisa menutupi gugup yang ia rasakan saat ini. Ciuman menggebu itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bagaimana bisa itu menjadi salahnya? Dimana salahnya?Langit mendekati Wulan perlahan, spontan Wulan beringsut menjauh. Membawa tubuhnya hingga terpojok di sudut ranjang. Langit semakin mendekat."Jangan mendekat! Ja-jangan mendekat. At-atau aku berteriak agar semua orang tahu kelakuanmu padaku," ancam Wulan dengan suara mengecil. Dirinya tak bisa

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   19. Amarah Langit

    “Cak, Pak Abdul telpon. Kita harus kembali ke proyek.”Bayu memasuki ruangan setelah baru saja menerima panggilan dari ponselnya.Cakra mengangguk menatap Bayu. Mengerti.Berpamitan pada Wulan, Bayu mendahului Cakra meninggalkan ruangan itu.“Aku pergi dulu, nanti aku jemput. Kita pulang bersama,” kata Cakra menatap Wulan sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.“Tunggu, kita baru hanya akan saling mengenal bukan jadian. Jadi bukan tugasmu menjemputku,” panggil Wulan saat Cakra hampir mencapai pintu.Cakra berhenti lalu menoleh. Menatap Wulan yang menatapnya tak suka.“Aku tahu. Bagiku bukan tugas, tapi salah satu jalan untukku lebih mengenalmu. Kamu keberatan? Seingatku, kamu yang menanyakan kehadiranku lebih dulu pada keluargamu saat pertama kali membuka mata setelah kecelakaan. Lalu, ketika mereka menyadari kalau kamu pulang sendirian tanpa aku, bagaimana tanggapan mereka menurutmu? Apalagi, kondisimu dalam

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   18. Kebohongan Wulan

    Semuanya terdiam.Budhe Sri dan Dirga bertatapan.Santi membulatkan mata hingga menutup mulut saking terkejutnya.Dan Langit, menatap tajam. Wulan memandangi satu persatu kehadiran orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun terhenti tepat lurus tepat di belakang Santi. Dimana Langit berdiri. Keduanya bertatapan cukup lama namun tak ada yang menyadari karena mereka sibuk dengan pikiran masing. "Cakra?" Tanya Dirga membuka keheningan, tak lupa kerutan dahinya menyertai. Santi menoleh ke arah Dirga. Menganggukkan kepala skeptis, seolah mereka salah mendengar. Wulan menoleh ke arah Dirga dan mengangguk khitmad. "Cakra.""Kenapa Cakra? Ada hubungan apa dengannya?" Tanya Budhe Sri perlahan. Bingung.Menelan ludah, jantung berdegup kencang. Kebohongan pertama kali yang ia ungkapkan, membuat sekujur tubuhnya mendingin. Menundukkan kepala dan mengucap lirih, "emm … kami … mencoba … untuk … saling … me … ngenal lebih … dekat." Wulan memejamkan

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   17. Kejutan Wulan

    “Aku gak papa. Wul … “ ucap Tyas serak dan terkadang terdengar batuk kecil dari seberang telepon.Wulan menghembuskan napas kesal. Susah sekali bicara dengan sahabatnya itu. Pagi itu saat mendapati Rumah Hias belum terbuka, Wulan menghubungi Tyas. Biasanya gadis itu yang lebih dulu datang. Dan karena kemarin lusa Tyas berencana pergi membeli beberapa kain untuk dikerjakan hari ini, Wulan berpikir bahwa gadis itu masih berada di toko langganan mereka. Dan jika itu benar, maka Wulan akan menyusulnya.Dan sekarang di temukan jawaban kenapa Tyas belum datang. Bukan karena tengah memilih kain maupun masih di perjalanan, melainkan karena gadis itu masih meringkuk di atas ranjangnya dan mengatakan bahwa ia bangun kesiangan.Dari suaranya yang diselingi dengan batuk kecil sudah membuktikan bahwa Tyas sedang tidak enak badan. “Sudah, ndak usah membantah lagi. Kamu istirahat saja hari ini, biar aku yang mencari kainnya. Harus

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   16. Ketahuan

    Fiuh … Wulan bernapas lega.Memandang kepergian Langit dan Bayu dengan perasaan yang bermacam-macam rasanya.Khawatir, cemas, takut dan hal-hal yang membuatnya was-was.Bagaimana jika Bayu tidak percaya dengan keterangan Langit?Bagaimana jika Bayu mencurigai keduanya karena berbicara di tengah suasana yang suram?Apakah Bayu sempat mendengar percakapan antara dirinya dan Langit?Wulan merasakan kekalutan yang amat sangat. Dadanya terasa berat dan sesak. Wulan ingin melepaskan diri dari keras kepala Langit yang terus mengejar dirinya. Karena sangat menyakitkan jika ia harus bersaing dengan kakak kandungnya sendiri.Kakak kandung yang sudah seperti ibu baginya.Mendongakkan kepala dan memandang ke arah Bulan yang malam itu bersinar terang.Berharap semuanya akan baik–baik saja.Plok! Plok! Plok!Suara tepukan tangan terdengar keras.Sontak Wulan memutar kepala dan mencari

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   15. Kecurigaan Bayu

    Santi merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan keras. Perlahan menyusurkan tangannya menyentuh dadanya yang berdetak keras. Menunduk malu karena debar jantungnya tak mampu ia sembunyikan dengan baik. Harapnya hanya satu, si lawan bicara tak mendengarnya. Karena itu memalukan. Langit dan Santi duduk di halaman belakang. Dimana di sana terdapat dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar. Di depan mereka ada taman kecil yang dimana beberapa tanaman bunga ditanam dalam pot yang ditata dan disusun melingkar. Santi tersenyum malu menundukkan kepalanya. Karena baru pertama kalinya Langit mengajaknya bicara. Bahkan Langit dengan berani meminta ijin bapaknya hanya untuk mengajak Santi bicara. Santi merasa tersanjung karenanya."Ehem, San … ada yang ingin aku bicarakan," Langit membuka kalimatnya.Ia menoleh menatap Santi yang menganggukkan kepala kecil sembari menunduk malu. Bahkan Langit bisa melihat senyum malu gadis itu. Memejamkan

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   pengakuan Bayu

    Acara tasyakuran selesai. Do'a puji syukur atas rahmat Sang Kuasa telah dipanjatkan agar kelancaran dalam proyek terbesar Bayu dan timnya berhasil tanpa kendala. Selesai acara keluarga Priyadi mengajak keluarga calon besan duduk di ruang tamu yang ukuran ruangannya lebih besar dibanding ruangan lain.Mereka duduk melingkar di dalam ruang tamu yang telah ditata sedemikian rupa sehingga bisa menampung 10 orang dewasa untuk duduk bersama. Pak Priyadi duduk bersama Pak Bandi.Bu Priyadi duduk bersama Budhe Sri.Santi duduk bertiga bersama Wulan dan Dirga.Sementara yang lain duduk di kursi single. Dari acara ini akhirnya Wulan tahu kalau Bayu dan Cakra adalah teman kerja. Dan proyek besar yang dikatakan oleh bu Priyadi kemarin adalah proyek pembangunan mall. Jika saja Wulan tahu, ia pasti bersikeras tidak akan datang. Bagaimana bisa ia makan senang di atas penderitaan yang dirasakan bapaknya. Tidak. Wulan tidak bisa. Maka

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   13. pertemuan keluarga

    "Elu di jodohin mas?"Tanya Bayu pagi ini saat dilihatnya Langit sedang menikmati makan pagi sebelum ia berangkat kerja.Ehem!Terdengar deham dari ibunya, Bayu menoleh ke belakang. Terlihat ibunya membulatkan mata menatap Bayu. Bayu mencibir melihatnya. Langit mereguk teh hangat yang sudah disiapkan ibunya, menghapus noda dari bibirnya dengan tisu makan. Menatap adiknya yang asyik mencomot dadar jagung kesukaannya dari piring hidang. Bayu yang asyik mengunyah mengangkat kepala dan menaikkan alisnya beberapa kali ke arah Langit. "Bapak yang cerita?" Bayu mengangguk."Iya. Kenapa? Kamu mau dijodohkan juga?" "Hish! Amit-amit dah.""Kenapa? Gak percaya sama pilihan bapak?" Langit menyunggingkan senyum miring. Menyandarkan punggungnya, Langit menatap adiknya yang terus berbicara. "Gak paham lagi dah gue sama bapak, masih sempet-sempetnya aja nyariin elu jodoh. Kayak gak laku aja

  • Catching the moon (mengejar cinta Bulan)   12. Perselisihan keluarga Priyadi

    Brak! Brak!"Copot! Copot! Copot! Jantungku copot!"Budhe Sri berteriak terkejut karena tiba-tiba terdengar suara keras yang datangnya bersamaan dengan kedatangan keponakannya, Wulan. Tangannya memegang dada yang saat ini berdebar kencang. Saat ini Budhe Sri sedang membantu Wulan melipat baju-baju keluarganya yang sudah mengering terkena sinar matahari.Berdiri dengan tergopoh-gopoh, Budhe Sri melihat Wulan sedang menutup pintu kamarnya dengan bersungut-sungut. Mengerutkan dahi, Budhe Sri meletakkan baju yang tadi ia pegang dan bergegas menyusul Wulan.Tok! Tok! Tok!"Ada apa nduk? Kamu kok kayak orang kesurupan gitu. Masuk rumah gak pake salam malah pake acara banting pintu.Itu di dalam kamar lagi ngapain? Jangan di obrak abrik loh kamarnya. Eman-eman nduk," Seru Budhe Sri di depan pintu kamar Wulan mengajak keponakannya bicara. Takut kenapa-kenapa di dalam sana.Tak lama kemudian pin

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status