Share

Catatan Utang Seorang Istri
Catatan Utang Seorang Istri
Penulis: Intan Resa

Dicubit Emak

Penulis: Intan Resa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-29 18:22:12

"Pak Hadi! Bu Rika ada? Saya mau nagih utang. Katanya mau dibayar hari ini. Saya butuh modal untuk dagang, Pak," ujar Bu Marni, pemilik toko kelontong satu-satunya di kampung kami. Belum juga kuraih knop pintu, sudah ada yang menagih utang. 

 

"Berapa utangnya, Bu?" tanyaku masam. Aku seorang juragan kelapa sawit dengan kebun berpuluh hektar merasa terhina karena kelakuan Rika. Apa uang yang kuberikan tak cukup baginya? Perempuan sama saja, suka menghambur-hamburkan uang. 

 

"Tak banyak, Pak. Hanya enam ratus ribu," jawabnya tersenyum sembari menyodorkan catatan utang istriku. Banyak banget. Uang belanja yang kuberikan lebih dari cukup dan dia masih sempat berutang. Pakaiannya itu-itu saja, tak ada yang nambah. Makanan di rumah juga lebih sering dengan lauk tahu tempe. 

 

"Awas kamu Rika! Jangan-jangan uangnya kamu berikan untuk keluargamu," batinku. Ini sudah di luar batas. Aku akan memakinya nanti. 

 

"Nih uangnya, Bu! Lain kali, jangan kasih istri saya ngutang! Dia itu terlalu boros," pesanku yang membuat Bu Marni tersenyum kecut. Kutinggalkan dia yang ingin menjawab ucapanku. Sudah hafal, dia pasti ingin membela Rika. 

 

Orang-orang di kampung ini suka sekali ngasih utangan pada istriku karena selalu kubayar karena malu. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Aku akan memperingatinya lebih tegas lagi. Kalau perlu, dia bisa kuancam. Aku pernah memanjakan mantan istriku dengan uang yang berlimpah, lalu yang kudapat hanya pengkhianatan. Kali ini, aku tak mau kecolongan. 

 

Kubuka pintu rumah yang tertutup rapat dengan kunci cadangan yang kupegang. Tak ada sambutan dari seorang Rika seperti cerita teman-temanku yang disambut istrinya. Dia selalu keluyuran setiap aku pulang kerja. Istri tak guna. 

 

"Pak Hadi, saya mau minta angsuran baju," celetuk seseorang. Hidupku tak bisa tenang sama sekali. Sawitku panen sekali dalam dua minggu dan akan ada saja orang yang datang menagih utang. 

 

"Berapa harga bajunya emang, Bu?" tanyaku malas. Rika keterlaluan sekali sampai harus mengkredit baju. Dalam lemarinya banyak baju bekas istri pertamaku. 

 

"Dua ratus ribu, Pak. Bu Rika sudah bayar dua puluh ribu," jelas Bu Leni. Ku rogoh kantongku dengan berat hati dan mengeluarkan empat lembar uang pecahan berwarna biru.

 

"Langsung lunas ya, Pak. Ini kembaliannya," ujar perempuan yang suka merayu istriku untuk membeli baju. Selembar nota tanda lunas ia serahkan padaku. 

 

"Ambil saja kembaliannya. Tapi, ingat! Jangan pernah kasih istriku ngangsur apapun," jawabku tegas. Lagi-lagi Bu Leni cemberut seperti Bu Marni tadi. 

 

Aku segera ke dapur, memeriksa meja makan yang kosong seperti biasanya. Aku sudah hafal kelakuannya. Sebaiknya aku mandi dan bersiap-siap menemui teman-temanku di Kafe milik Neng Mawar. Masakannya selalu enak dilidah dan penampilannya tidak pernah ngebosanin. 

 

"Assalamualaikum, Bang! Baru pulang?" tanya Rika basa-basi. Ia mengambil punggung tanganku lalu menciumnya dengan takzim. Dia perempuan yang pandai bersandiwara, seolah istri yang berbakti. Padahal suami pulang, dia malah keluyuran. 

 

Aku melihat perempuan yang sudah banyak keriput di wajah dan tangannya yang berdiri di samping istriku. Dialah ibuku, perempuan yang selalu membela menantu kesayangannya. Aku curiga kalau Rika telah memberikan pengaruh ilmu hitam padanya.

 

"Dari mana, Mak?" tanyaku lalu mencium punggung tangan dan pipinya. Dialah surgaku, kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah doa keramat bagiku. Sedangkan istri, harusnya tunduk dan taat padaku, karena dibawah kakiku lah surganya.

 

"Emak tadi diajak Rika makan di pelaza. Enak juga main di kota, ya, Di. Kota itu rame, banyak makanan dan baju-baju bagus," ungkap Emak dengan semangat empat lima. Emak belum tua sekali dan tidak pikun. Dia menceritakan semua detil perjalanan mereka sampai maghrib menjelang. Gara-gara Emak, aku tidak bisa ke warung Neng Mawar. 

***

 

"Bang, maafin Rika ya! Tadi Emak pengen ke plaza dan aku belum sempat minta izin," ucap Rika saat menyuguhkan makanan. Hanya nasi bungkus dengan lauk telor dadar dan sayur nangka. Tega sekali Rika memberikanku makanan murahan ini, sedangkan mereka pasti makan enak tadi sama Emak. 

 

"Minta maaf teruus! Apa gak bosan! Tadi Bu Marni nagih utang, sekarang aku juga harus makan pake lauk ini? Apa yang bisa kubanggakan darimu, Rika?" bentakku. Aku buru-buru menyuapkan nasi ke mulutku saat terdengar suara batuk dari kamar. Tadi Emak sudah tidur dan aku telah membangunkannya gara-gara membentak Rika. 

 

"Ada apa, Hadi? Kenapa marah-marah?" tanya Emak dengan kening berkerut. Ia duduk setelah Rika menyodorkan kursinya. 

 

"Gak ada apa-apa, Mak. Bang Hadi suka muji dengan nada tinggi. Biar romantis," balas Rika dengan cepat. Setiap aku memarahinya dan ketahuan Emak, dia akan membelaku dan berpura-pura tidak terjadi apapun. Dia pasti takut kalau mertuanya itu mengetahui sifat buruknya. Yang baik dari luar tidak menjamin bagus di dalam. 

 

"Aku sudah bosan menutupi kekurangannya, Mak. Dia bukan istri yang baik seperti yang Emak sangka. Dia sering ngutang di warung untuk keperluan sehari-hari, padahal uang belanja bulanannya sejuta setengah. Dia juga sampe ngangsur baju seharga dua ratus ribu. Sekarang, dia hanya memberiku makanan seperti ini. Buka mata hatimu, Mak. Dia tidak sesempurna yang orang kira," ujarku dengan lantang. Aku juga mengeluarkan catatan utang Rika sejak aku menikahinya tiga bulan lalu sampai kini.

 

Wajah Rika pucat dan matanya yang tadi menatapku tajam sambil menggeleng sudah menunduk tak berdaya. Makanya jangan terlalu bahagia! Bau busuk disimpan bagaimanapun akan tercium juga. 

 

"Benarkah begitu, Rika!" hardik Emak. Rasain. Kamu akan ditendang Emak yang bermulut pedas itu. Aku tersenyum miring saat melihat perempuan yang melahirkanku itu berdiri dari kursinya lalu mendekati menantunya. 

 

"Mak! Maafin Rika! Tolong jangan marah, Mak!" Rika memelas. Aku bertepuk tangan di bawah meja. Tak sabar melihat aksi orang tersayangku.

 

"Kenapa kamu tak jujur kalau uangmu dijatah, Rika? Harusnya kamu tak perlu membelikan Emak baju untuk undangan besok. Emak juga tak akan mengajakmu jalan-jalan. Maafkan anak Emak, sayang. Emak akan menghajarnya," ujar perempuan yang kini berbalik menghadapku.

 

Astaga! Aku bagai melempar bumerang dan kini balik menyerangku. 

 

"Aah! Sakit, Mak!" teriakku saat telunjuk dan jempol Emak menarik lalu memutar perutku. Hal yang biasa Emak lakukan sewaktu aku kecil jika berbuat salah. Hilang sudah harga diriku di depan istri yang selalu kubentak. Mungkin kedepannya, duniaku akan terbalik. Oh Tuhan! Tolong hambamu! 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Riri Rere
hahahha, lucu kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Catatan Utang Seorang Istri   Uangku Yang Dijatah

    "Maaaak! Makiin sakiit," teriakku. Aku sudah tak tahan lagi saat sakit di perutku berubah panas. "Udah, Mak. Kasihan," ucap Rika, tapi tak digubris sang wonderwoman. "Kata sandi?" cetus Emak. Aku tak mengerti ucapan wanita yang semakin mengeraskan cubitannya demi membela perempuan lain yang baru hadir dalam kehidupanku. Entah akan seperti apa nasibku, bila dia benar-benar menguasai hati Emak. "Maafkan aku, Rikaaaaaaaa!" seruku, setelah bersusah payah mengingat masa kecilku. Jika aku salah, hukuman akan dihentikan seusai minta maaf. Ini sangat memalukan sekali. Emak sudah mencabik-cabik harga diri yang kujaga di depan istriku. Dia harus segan dan hormat kepadaku sebelum sikapnya ngelunjak. 'Jangan pernah tampakkan rasa cintamu pada seorang wanita, kalau tak ingin diinjak-injaknya.' Itulah prinsipku dalam mencin

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Makin Mempesona

    "Emak bilang undangannya besok. Tak usah beli baju untukku, Mak! Aku sibuk," ujarku, berusaha menyelamatkan diri. Emak mendelik lalu menjewer telingaku. "Maak! Emakku yang paling cantik. Hadi bukan anak kecil lagi. Jangan main jewer dong, Mak!" rengekku menahan sakit. Percuma melawannya, lebih baik memuji perempuan ini. Emak malah menampar bibirku dengan pelan. "Hush! Kamu tetap anak kecil bagi emak. Buktinya, masih suka melakukan kesalahan," ucapnya yang membuatku ingin menciut sebesar semut. Rika tersenyum simpul melihat tontonan gratis di depan matanya. "Apa kamu tak bilang kalau Hadi harus ikut, Ri?" tanya Emak, memandang menantu satu-satunya. "Sudah, Mak. Tapi, Bang Hadi tak bisa ikut," balas istriku. Kali ini ia berkata jujur. Aku malas ke kampungnya. "Kamu harus ikut

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Catatan Utang Seorang Istri   Membela Istri dan Mertua

    "Ngapain muji Rika dengan berbisik-bisik, Di? Soswit banget," ujar Emak senyam-senyum. Suka sekali ngeledekin anaknya. Aku heran juga sama Emak, dia tahu banyak istilah anak muda. Baju couple, so sweet, darimana dia tahu istilah itu? "Bang! Ayo, Emak udah duluan tuh," ujar Rika mengulum senyum juga. "Jangan geer! Ini semua kulakukan hanya untuk memberi pelajaran pada bibimu itu," cetusku, lalu berjalan duluan mengekori Emak. "Justru itu yang membuatku terharu. Bang Hadi mau ikut saja, Rika udah seneng. Apalagi dibelain, itu sudah perwakilan rasa cinta. Jangan malu, Bang! Cintamu tidak bertepuk sebelah tangan," godanya. Rika mulai banyak bicara. Kuharap, pipiku tidak sampai memerah. Rika berjalan menyejajari langkah lebarku. Pakaian couple pilihan Emak membuat kami terlihat seperti pasangan bahagia. Dengan terpaksa,

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Catatan Utang Seorang Istri   Emak Oh Emak

    Paman dan bibinya Rika melotot melihat nama yang tercantum di surat yang menjadi bukti kalau Emak gak asal ngomong. Emak memang rempong, selalu membawa benda-benda yang menurutku tidak penting. Hari ini minggu, rasanya tak akan ada razia. Oleh sebab itu, aku tak membawa surat-suratnya. Siapa sangka, kesiagaan Emak sangat berguna. Kami dirazia orang sombong. "Juned! Cepat keluarkan surat-surat kenderaan roda empat milikmu! Bapak yakin kalau ini palsu," perintah pamannya Rika. Semua orang menonton kegaduhan yang ia ciptakan di pesta putrinya sendiri. "A-ada di mobil, Pak," jawab Juned gugup. Kipas angin yang dipasang di empat sudut rumah besar ini tak bisa menyejukkannya. Peluh mengucur di wajahnya yang pucat. "Pak Azka! Sebaiknya, kita lanjutkan akad nikahnya saja. Buat apa mempermasalahkan harta? Mereka bisa mencarinya ka

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Catatan Utang Seorang Istri   Kesal Sekaligus Bahagia

    "Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika."Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung."Maksudnya ….""Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan."Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Memalukan

    "Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari sudah sore dan seharusnya untuk pulang."Pulang ajalah, Emak udah capek. Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak."Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang."Bangunkan aja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Panaas

    "Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi."Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini."Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur."Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Ngajak Kencan Sang Istri

    "Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran."Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?"Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda."Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07

Bab terbaru

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anak-anakku Pro Emak

    "Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes

  • Catatan Utang Seorang Istri   Rempomgnya Punya Dua Bayi

    Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara

  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Mau Lahiran

    Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status