Setelah menghabiskan makanan padang kesukaannya, Cahyadi langsung mandi di kamar mandi yang memang tersedia khusus untuknya.
Ruangan kerjanya memang terbilang cukup luas. Hampir seluruh lantai 27 digunakan untuk ruangannya, hanya sebagian yang digunakan untuk kantor Sekertarisnya dan ruang tunggu tamu.
Dengan menggunakan kaus t-shirt dalaman hitam yang dipadu dengan celana Jeans Versace dan sepatu kets berwarna putih, dia sudah siap untuk melakukan misinya.
“Chintya, apa kamu sudah siap?” tanya Cahyadi melalui panggilan interkom yang tersedia di meja kerjanya.
“Biar saya yang ke ruangan kamu. Tunggu saja di situ,” lanjut Cahyadi sambil menutup telepon interkomnya.
Chintya yang menggunakan Kaos Gucci bergambar Mickey Mouse dengan celana Jeans Hitam, baru saja selesai mengikat tali sepatu boot ketika Cahyadi memasuki ruangannya.
Dengan rambut kuncir kuda dan make upnya yang tipis, terlihat lebih segar dan menawan.
“Saya sudah siap, apa ada yang harus saya siapkan lagi sebelum berangkat?” tanya Chintya.
“Kamu telepon Mona, minta dia untuk mengutus orang mengambil cek sore ini. Dan bilang ke Bu Ida segera menyiapkan cek 150 Milyar untuk Jenderal,” perintah Cahyadi.
Setelah menyelesaikan beberapa panggilan telepon, mereka berdua pun berjalan menuju kendaraan yang berada di basement melalui lift khusus CEO.
Mengendarai kendaraan favoritnya, Mercedes-Benz SLK 350 berwarna biru, mereka berdua langsung menuju ke lokasi jalan besar di dekat lampu merah yang tertutup oleh pagar seng.
“Mr. C, anda bersemangat sekali, apakah ini sesuatu yang spesial?” tanya Chintya dari kursi penumpang.
“Tentu, ini bukan hanya spesial. Dari sinilah semuanya berawal.” ujar Cahyadi bersemangat.
“Tidak akan saya lepaskan. Apapun caranya, lokasi itu harus kudapatkan,” lanjutnya penuh tekad.
“Mr. C, Anda ingin membeli lahan baru?” tanya Chintya.
“Iya, lokasi itu harus saya ambil alih,” jawabnya.
‘Mr. C yang terjun langsung ke lokasi untuk membelinya? Ini pasti lokasi yang sangat strategis,’ guman Chintya.
Tak berapa lamapun mereka tiba di lokasi.
Parkir tepat di depan pagar seng berwarna biru, tidak ada informasi apapun di situ. Hanya tulisan “TANAH INI DI JUAL.”
“Mr. C, apakah ini lokasi yang Anda inginkan?” tanya Chintya ragu-ragu.
“Iya betul. Ini lokasinya,” jawab Cahyadi sambil tersenyum.
“Tapi … lokasi ini terlalu kecil, dan tempatnya juga kurang strategis. Anda mau bangun apa disini Mr. C?” ujar Chintya yang masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa CEO-nya langsung yang harus turun tangan untuk mengambil alih lokasi ini.
“Dari sini segalanya dibangun. Dari sinilah cerita dimulai,” ujar Cahyadi Widjoyo sambil mematikan mesin mobilnya.
Merekapun turun dari kendaraan dan mulai melihat-lihat di sekitar lokasi. Cahyadi melihat ke dalam lokasi dari sela-sela pagar seng yang tertutup.
‘AGEN IKLAN KORAN’
Papan Nama usang terpasang di atas pintu masuk bangunan tua yang ada di dalam lokasi itu.
Di dalam banyak tumbuh rumput-rumput liar, sebagian merambat sampai ke langit-langit bangunan. Di ujung lahan, terlihat seperti ada makam yang tidak terawat.
Tidak ada seseorangpun di dalam lokasi tersebut.
“Mr. C, lihat disana ada pos penjaga. Mungkin mereka mengetahui sesuatu,” ujar Chintya menunjuk kearah samping agak jauh dari lokasi.
Pos penjaga itu terbuat dari tripleks dan kayu bambu, terdapat 2 orang pemuda bertattoo yang sedang main catur sambil minum kopi dan seorang lagi sedang berbaring di sebuah bale-bale bambu.
Semakin mendekati pos penjagaan tersebut, terlihat Logo Bintang Hitam besar di tembok tripleks bagian dalam.
“Mereka lebih terlihat seperti segerombolan preman jalanan dibandingkan sebagai penjaga,” bisik Chintya.
“Bintang Hitam itu adalah Ormas yang cukup besar di jalanan. Itu karena rata-rata dari mereka adalah preman jalanan,” ujar Cahyadi menjelaskan kepada Chintya.
“Kamu tidak usah khawatir, aku mengenal daerah ini cukup baik,” lanjut Cahyadi menenangkan.
“Permisi … boleh numpang bertanya?” ujar Chintya disamping kedua pemuda yang sedang bermain catur.
“Widiihh, siang-siang gini ada bidadari jatoh dari langit,” ujar salah satu dari mereka.
“Ternyata emang bener yaa, bidadari itu harum banget,” ucap temannya yang memakai anting sambil menghirup udara dalam-dalam ke arah Chintya.
Secara reflex, Chintya mundur selangkah melihat situasi seperti itu.
Melirik sekilas ke arah Cahyadi, dia melanjutkan, “Disitu tertulis tanahnya dijual, apa bisa tahu siapa pemilik tanah tersebut?”
“Iya betul, tanah itu emang dijual. Duduk dulu sini, masa ngobrolnya sambil berdiri di luar,” ujar pemuda yang memakai anting tersebut sambil menyiapkan kursi kayu panjang di dekat bale-bale yang sedang ditiduri seorang pemuda.
Mereka berdua duduk di kursi panjang yang telah disediakan. Tanpa sengaja, kaki Chintya menendang tumpukan Botol Bir yang terjejer di bawah kursi tersebut.
“krintiing … krintiiing”
Botol-botol tersebut jatuh berserakan di lantai.
“WOII … RIBUT KAU YA,” teriak pemuda yang tertidur di bale-bale karena terusik oleh suara botol jatuh berserakan.
“Bangun lu Black, ada tamu nih,” ujar kawannya.
Menyadari kehadiran Cahyadi dan Chintya di dekatnya, pemuda yang dipanggil Black itu duduk di pinggir bale-bale sambil mengucek mata dan merapihkan rambutnya.
“Iya tanah itu dijual, yang punya boss kita,” ujar pemuda yang memakai anting.
“Boleh kita melihat ke dalam?” tanya Cahyadi Widjoyo.
“Perintah boss, gak ada yang boleh masuk ke dalam. Kalau serius mau beli tanah itu, nanti langsung ketemu sama boss aja,” jawabnya.
“Iya, saya serius untuk membeli tanah itu. Bisa ketemu dengan boss untuk negosiasi?” lanjut Cahyadi.
Black yang sepertinya sudah sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya, mengatakan “Gimana kita bisa tau kalian serius? Ngomong doang mah gampang. Kemaren-kemaren ada yang datang juga gitu, bilangnya serius mau beli, ternyata makelar tanah.”
“Gini aja, lu kasih uang 5 juta sekarang sebagai tanda keseriusan. Nanti kita bawa ketemu sama boss, gimana?” lanjutnya.
“Uang 5 juta tidak masalah, bisa saya kasih sekarang juga. Hanya saja, bagaimana saya bisa yakin kalau tanah itu memang milik boss kalian?” ujar Cahyadi.
“Kalau bukan punya boss kita, ngapain dia bikin pos penjagaan terus suruh kita berjaga disini,” timpalnya.
“Udah, kalau gak ada uang 5 juta, mending pergi aja dari sini. Ganggu orang tidur aja,” ujarnya ketus.
“Baik, saya akan siapkan dulu kalau begitu. Nanti saya kembali lagi dengan uang 5 juta,” ujar Cahyadi sambil berdiri dan mengajak Chintya untuk beranjak dari situ.
Berjalan disamping Cahyadi menuju Mobil Mercedes-Benz SLK 350 berwana biru, Chintya bertanya dengan penuh rasa penasaran, “Mr. C, mengapa Anda tidak berikan saja uang 5 juta agar bisa bertemu dengan boss mereka? Bukankah Anda sangat menginginkan lokasi ini?”
“Saya merasa ada yang aneh. Saya butuh informasi yang lebih detail sebelum bertemu dengan boss mereka,” ujar Cahyadi sambil memasuki kendaraan.Mereka berduapun meninggalkan lokasi, tidak jauh dari situ Cahyadi membelokkan kendaraannya memasuki gang kecil di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Setelah beberapa belokan yang membuat Chintya kebingungan, mereka sudah berada di jalan besar. Cahyadi memarkirkan kendaraannya di Mini Market Circle K.“Mr. C, kok Anda bisa mengetahui jalan di sini dengan baik?” tanya Chintya.“Kan tadi saya sudah bilang, saya memahami daerah ini dengan sangat baik,” jawabnya sambil tersenyum. “Tapi Anda belum bilang bagaimana sampai bisa memahami daerah ini dengan baik,” tuntut Chintya.“Hahaha … Ayo kita turun ngopi dulu disini, nanti saya ceritakan,” ujarnya sambil mematikan mesin mobil.Cahyadi membiarkan Chintya masuk ke dalam Circle K untuk memesan kopi, sedangkan dia memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di luar sambil melihat-lihat area di se
“Om Aten itu awalnya hanya seorang pemborong pekerjaan bangunan, Kontraktor kampunglah istilahnya. Namun setelah bertemu dengan preman itu, dia menjadi kaya raya karena bisa dengan mudah mendapatkan tanah dari orang yang sedang kesusahan. Hampir semua orang yang menggadaikan sertifikat tanahnya ke Om Aten, bisa dipastikan akan kehilangan tanahnya.” tutur Bu Romlah. “Preman itu, dia yang membuat kamu hampir meninggal dunia tempo dulu Wid.” “Sarap? Preman itu si Sarap?” tanya Cahyadi memastikan. “Iya betul. Semenjak keluar dari penjara, Sarap mempunyai banyak pengikut. Dia diangkat menjadi salah satu pengurus oleh Ormas Bintang Hitam karena punya anak buah yang banyak,” tutur Bu Romlah menceritakan. “Mr. C, Sarap itu siapa? Mengapa dia bisa membuat anda hampir terbunuh?” tanya Chintya penasaran. “Itu kisah masa lalu, ceritanya panjang. Nanti di lain kesempatan akan saya ceritakan kepada kamu,” ujar Cahyadi. “Bu Romlah, apa anda tahu, berapa jumlah uang yang dipinjam oleh Ari ketik
Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif
“Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model
Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil
“Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas
“Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara
“Saya akan membelinya dari Ahli Waris Pak Soleh, mereka yang mempunyai hak atas tanah tersebut,” jawab Cahyadi. “Oh, saya baru mengerti sekarang. Itulah sebabnya anda meminta kepada Pak Robert agar Wati dan suaminya didatangkan kesini supaya bisa melakukan transaksi jual beli. Tapi bagaimana dengan sertifikatnya, bukankah masih ada sama Om Aten?” tanya Chintya. Sambil menunjuk dokumen yang ada dalam map coklat di atas coffee table, Cahyadi berkata, “Semua surat-suratnya sudah ada disini. Nanti kamu tolong berikan ini ke Pak Tigor agar dia bisa siapkan segala keperluan untuk pengikatan jual beli.” Chintya memperhatikan dokumen tersebut. “Ba … bagaimana bisa semua dokumen ini secara lengkap ada disini?” ujarnya terbata-bata. Cahyadi hanya tersenyum kepada Chintya. *** Sementara itu, dua mobil terparkir tepat di depan sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Wati mengintip dari balik jendela ketika pintu mobil tersebut terbuka. Enam orang pria berbaju preman turun dari mobil ters
Sementara itu di lahan lokasi yang baru saja di beli oleh Cahyadi Widjoyo, Samson yang baru saja tiba menggunakan Pajero Sport putih miliknya langsung disambut oleh puluhan anak buahnya yang sudah bersiap untuk membersihkan lahan tersebut. Berdiri membentuk formasi tiga baris menghadap kepada Samson, mereka siap menerima instruksi. “Lima orang berjaga di luar menjaga parameter agar tidak ada orang yang masuk, sebagian lagi bongkar pos penjagaan yang disana sisanya bongkar pagar seng ini,” perintah Samson kepada mereka. “Siaapp bos,” jawab mereka serempak. “Kalian bertiga ikut saya,” ucap Samson sambil beranjak masuk ke dalam lokasi. Menuju ke bangunan tua yang berada di dalam lokasi, Samson memerintahkan ketiga orang anak buahnya untuk membersihkan dan mengatur di salah satu pojok ruangan yang terdapat jendela untuk tempat duduk sambil memantau aktivitas anak buahnya melalui jendela tersebut. Setelah mengatur meja dan tempat duduk untuknya, Samson duduk di pojok ruangan sambil m
Berdiri tepat di belakang Ari, Cahyadi menepuk bahunya. “Kamu masih suka main judi?” “Saya … saya bukan pemain judi Pak,” jawab Ari terbata-bata. “Saya awalnya suka nonton sabung ayam, akhirnya jadi ikut-ikutan. Tapi saya sekarang sudah tidak punya ayam lagi pak,” lanjutnya. “Jadi kamu tidak berjudi?” tanya Cahyadi memastikan. “Saya hanya suka sabung ayam pak, biasanya orang-orang pasang taruhan untuk ayam saya. Kalau menang mereka suka kasih saya uang, tapi saya sendiri tidak pernah memasang taruhan untuk ayam saya,” papar Ari. “Sepertinya kamu paham sekali ya tentang dunia sabung ayam,” ujar Cahyadi. “Iya pak, saya dulu sempat mengelola arena sabung ayam. Tapi sekarang sudah tidak lagi semenjak pulang ke kampung,” jelasnya. Cahyadi melirik kepada Wati. “Iya pak benar yang dikatakan suami saya, dulu waktu saya melanjutkan mengelola warung kedai milik abah, yang datang itu rata-rata orang yang suka pasang taruhan sabung ayam. Jadi tempat kumpul mereka kalau lagi tidak ada per
“Kriingg … kriingg … kriinggg”Telepon kamar hotel yang berada di meja samping tempat tidur berbunyi ketika matahari mulai memancarkan sinarnya melalui sela-sela hordeng jendela kamar hotel.“Halloo …” sapa Ari yang mengangkat telepon dengan ragu-ragu.“Selamat pagi pak, saya dari receptionist, ingin menyampaikan bahwa sarapan saat ini sudah tersedia di restoran samping lobby dan juga saya ingin mengingatkan bahwa nanti pukul 9.00 pagi, Bu Wati dan Pak Ari ditunggu kehadirannya di lobby,” ujar seorang wanita dari ujung telepon.“Oh iya terima kasih, saya bersama istri saya akan segera turun,” jawab Ari.“Baik terima kasih. Selamat pagi,” tutup wanita itu sopan.Ari menutup telepon dan segera membangunkan istrinya yang masih tertidur dibalik selimut.“Neng, bangun neng. Ayo mandi dulu abis itu kita sarapan. Jam 9 kita di tunggu di lobby hotel,” ujar Ari sambil menarik selimut.“Jam berapa emang sekarang bang?” tanya Wati yang masih menutup matanya.“Sekarang jam 7.15, ayo neng cepatan
“Saya akan membelinya dari Ahli Waris Pak Soleh, mereka yang mempunyai hak atas tanah tersebut,” jawab Cahyadi. “Oh, saya baru mengerti sekarang. Itulah sebabnya anda meminta kepada Pak Robert agar Wati dan suaminya didatangkan kesini supaya bisa melakukan transaksi jual beli. Tapi bagaimana dengan sertifikatnya, bukankah masih ada sama Om Aten?” tanya Chintya. Sambil menunjuk dokumen yang ada dalam map coklat di atas coffee table, Cahyadi berkata, “Semua surat-suratnya sudah ada disini. Nanti kamu tolong berikan ini ke Pak Tigor agar dia bisa siapkan segala keperluan untuk pengikatan jual beli.” Chintya memperhatikan dokumen tersebut. “Ba … bagaimana bisa semua dokumen ini secara lengkap ada disini?” ujarnya terbata-bata. Cahyadi hanya tersenyum kepada Chintya. *** Sementara itu, dua mobil terparkir tepat di depan sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Wati mengintip dari balik jendela ketika pintu mobil tersebut terbuka. Enam orang pria berbaju preman turun dari mobil ters
“Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara
“Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas
Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil
“Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model
Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif