“Saya merasa ada yang aneh. Saya butuh informasi yang lebih detail sebelum bertemu dengan boss mereka,” ujar Cahyadi sambil memasuki kendaraan.
Mereka berduapun meninggalkan lokasi, tidak jauh dari situ Cahyadi membelokkan kendaraannya memasuki gang kecil di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Setelah beberapa belokan yang membuat Chintya kebingungan, mereka sudah berada di jalan besar. Cahyadi memarkirkan kendaraannya di Mini Market Circle K.
“Mr. C, kok Anda bisa mengetahui jalan di sini dengan baik?” tanya Chintya.
“Kan tadi saya sudah bilang, saya memahami daerah ini dengan sangat baik,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tapi Anda belum bilang bagaimana sampai bisa memahami daerah ini dengan baik,” tuntut Chintya.
“Hahaha … Ayo kita turun ngopi dulu disini, nanti saya ceritakan,” ujarnya sambil mematikan mesin mobil.
Cahyadi membiarkan Chintya masuk ke dalam Circle K untuk memesan kopi, sedangkan dia memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di luar sambil melihat-lihat area di sekitar.
Duduk menghisap rokok Dji Sam Soe, matanya menatap tajam kearah rumah tua yang berada tepat di depan Circle K.
Dari gerobak yang terparkir di depan rumah tua tersebut, dapat diketahui bahwa di rumah tua itu menjual Bubur Ayam dan Nasi Uduk.
“Mr. C, ini kopi Anda,” ujar Chintya yang datang membawa 2 gelas kopi panas.
Aroma khas dari kopi yang keluar, menyamarkan wangi parfum Channel No. 5 sekertarisnya.
“Saya tahu kamu merokok. Bagi perokok, minum kopi tanpa menghisap rokok bagaikan masakan tanpa garam, hambar,” ujar Cahyadi tersenyum sambil menghembuskan asap dari mulutnya.
“Hahaha … bisa aja Mr. C” ucap Chintya tertawa.
“Hari ini, tidak ada istilah atasan dan bawahan. Hari ini, kamu bukan sekertarisku, tetapi temanku. Saya ingin kita santai agar bisa rileks. Itulah mengapa saya minta kamu untuk mengenakan pakaian kasual,” lanjut Cahyadi.
“Iya pak saya memang merokok,” ujar Chintya sambil mengeluarkan rokok Capri dari dalam tas nya.
“Karena Mr. C yang minta saya hari ini untuk bersikap sebagai seorang teman, saya akan melakukannya,” lanjutnya.
Cahyadi Widjoyo memang selalu bersikap lembut terhadap seluruh karyawannya tanpa terkecuali. Tidak pernah ada yang melihat Cahyadi memarahi karyawannya dengan suara keras. Jika ada yang membuat kesalahan, maka akan dinasehati dengan baik diruangannya tanpa ada satupun yang menyaksikan. Itulah yang membuat seluruh karyawannya menjadi loyal.
Sekuat dan semenarik apapun penawaran perusahaan lain untuk ‘membajak’ karyawan Cahyadi Widjoyo, tidak akan pernah berhasil.
Banyak dari karyawan senior yang telah lama mengikutinya menganggap bahwa kebaikannya karena dia adalah kerabat dekat dari Sang Jenderal.
‘Seekor Singa tidak perlu menunjukkan taringnya untuk membuktikan bahwa dia adalah Singa.’
“Mr. C, jadi bagaimana Anda bisa begitu mengenal daerah ini?” tanya Chintya yang masih penasaran.
“Jelas saya mengenal daerah ini dengan begitu baik. Karena saya dibesarkan di sini,” jawabnya sambil terus menatap ke arah rumah tua dihadapannya.
“Saya kurang paham Mr. C, maksudnya dibesarkan bagaimana?” ujar Chintya kebingungan.
“Apa kamu mengira saya sudah kaya sejak lahir?” tanya Cahyadi.
“Iya sudah tentu. Anda kerabat dekat dari Jenderal. Tidak mungkin dari keluarga biasa-biasa saja,” ujar Chintya sambil menghirup kopi panas nya perlahan.
“Saya bertemu dengan Jenderal ketika beliau menjabat sebagai Komandan Pasukan Khusus 20 tahun yang lalu. Saat itu saya berumur 28 tahun sedang menjalankan bisnis garment dan baru memulai bisnis properti. Beliau mengangkat saya sebagai anak asuhnya karena Beliau percaya saya akan membawa karirnya melesat sesuai dengan perhitungan Primbon yang diyakininya,” ujar Cahyadi mulai bercerita.
“Saya bukanlah dari keluarga kaya,” lanjutnya.
“Saya adalah penjual koran keliling. Ini adalah daerah jualan saya. Di daerah sinilah saya dibesarkan.”
“Jadi … maksudnya Anda dahulu adalah seorang penjual koran keliling?” tanya Chintya terpana menatap Cahyadi.
“Iya, betul sekali,” jawabnya singkat.
“Tapi, bagaimana … bagaimana mungkin Anda bisa menjadi seperti sekarang? Anda berada di urutan ke 17 orang terkaya di negeri ini. Bagaimana mungkin seorang penjual koran keliling bisa menjadi Milyarder bahkan umurnya masih 40 tahun-an,” tanya Chintya yang tidak dapat menerima kenyataan.
“Itu karena saya punya cara, bagaimana seorang tukang koran bisa menjadi Milyarder,” ujarnya tersenyum.
“Lokasi yang ingin saya miliki, adalah tempat bersejarah bagi saya. Itu adalah kantor pertama saya. Ketika itu kami bertiga menjalankan bisnis advertising, Saya bersama Pak Soleh dan Bang Ridwan,” lanjut Cahyadi.
“Lokasi kita ngopi saat ini, tepat berada dibelakang lahan tersebut.”
Cahyadi terdiam ketika melihat ada seorang wanita paruhbaya yang keluar dari rumah tua dihadapannya melayani orang beli Bubur Ayam.
‘Bu Romlah,’ gumam Cahyadi sedikit berbisik.
“Chintya, ayo ikut saya. Kita menemui seseorang yang saya harap mengetahui informasi lebih banyak tentang lahan itu,” ajak Cahyadi yang langsung berdiri bergegas menuju ke rumah yang berada tepat diseberang Circle K tempat mereka minum kopi.
Mereka berduapun berlalu menyebrangi jalan menuju ke rumah tersebut.
“Assalamualaykum, Bu Romlah,” sapa Cahyadi tepat ketika wanita paruhbaya tersebut selesai melayani orang beli Bubur Ayam.
“Waalaykumsalam, ini siapa ya?” jawab wanita tersebut.
“Saya Widjoyo Bu, Cahyadi Widjoyo, masih ingat sama saya?”
“Widjoyo? Ini kamu Wid? Beneran ini kamu?”
“Iya Bu, ini saya. Apa muka saya berubah?” ujar Cahyadi sambil memegang mukanya.
“Ya Allah Wid, udah lama sekali. Kirain kamu udah lupa sama kampung ini,” ujar Bu Romlah terharu.
“Ayo sini masuk. Itu isteri kamu ya? Masih muda dan cantik sekali, pinter juga ya kamu Wid pilih isteri.”
“Haha, bukan Bu. Ini sekertaris saya, kenalin namanya Chintya.”
“Salam kenal Bu, Saya Chintya, sekertarisnya Pak Cahyadi,” ujar Chintya sambil menjabat tangan Bu Romlah.
“Cantik sekali, ayo sini masuk ke dalam,” ajak Bu Romlah kepada mereka berdua.
Setelah duduk dan terpaksa makan nasi uduk karena tidak bisa menolak tawaran dari tuan rumah, Cahyadi pun mulai bertanya kepada Bu Romlah. “Saya lihat warungnya Pak Soleh itu ditutup pagar seng dan ada tulisan dijual. Bu Romlah tahu siapa pemilik tanah tersebut?”
“Ahhh … jelas saya tahu siapa pemilik tanah itu,” ucapnya sedih.
“Setelah kamu pergi dari kampung ini, tidak lama kemudian Pak Soleh membeli tanah tersebut sekembalinya beliau dari Tanah Suci untuk menunaikan Ibadah Haji,” lanjutnya.
“Oh, jadi itu sudah milik Pak Soleh. Baguslah kalau begitu,” ucap Cahyadi.
“Namun beberapa tahun kemudian, Pak Soleh meninggal dunia,” ujar Bu Romlah.
“Innalillahi wa innaillaihiroji’un,” ucap Cahyadi dan Chintya berbarengan.
“Apa beliau punya ahli waris Bu?” tanya Chintya lebih lanjut.
“Iya betul, Pak Soleh punya seorang anak perempuan yang tinggal di kampung dari isterinya terdahulu. Setelah mengetahui kabar kematian Pak Soleh, anak perempuannya sempat tinggal disitu bersama suaminya. Mereka hanya tinggal berdua karena tidak mempunyai anak,” jelas Bu Romlah.
“Anaknya bernama Wati, sedangkan suaminya bernama Ari.”
“Ari ini kerjanya hanya berjudi sabung ayam saja setiap hari. Akhirnya disitu jadi tempat kumpul para penjudi sabung ayam. Itu yang membuat Ridwan pergi dari situ,” lanjut Bu Romlah.
“Suatu ketika, dia kalah dan ayamnya mati. Dia menggadaikan sertifikat tanah itu ke rentenir untuk membeli ayam baru, yang akhirnya ayam itu hilang dicuri orang. itu yang menyebabkan mereka terlilit hutang. Karena tidak sanggup bayar, akhirnya mereka diusir dari situ,” ujar Bu Romlah sedih.
“Sekarang mereka dimana Bu?” tanya Cahyadi.
“Mereka kembali ke kampung, sudah tidak berani kembali kesini lagi.”
“Yang bikin saya sedih, ternyata itu semua adalah permainannya si rentenir,” ujar Bu Romlah.
“Permainan gimana maksudnya Bu?” tanya Cahyadi penasaran.
“Dia menyuruh anak buahnya untuk menaruh racun di pisau ayam lawan tandingnya Ari, makanya ayamnya Ari mati. Setelah itu dia membujuk Ari untuk meminjam uang kepadanya biar bisa membeli ayam baru. Kemudian malamnya, dia menyuruh anak buahnya untuk mencuri ayam tersebut,” jelas bu Romlah.
“Bu Romlah tahu informasi ini dari mana?” tanya Cahyadi.
“Saya tahu karena anak saya yang cerita. Dia dulu bekerja sama rentenir itu. Tapi dipecat karena menolak waktu disuruh mencuri ayamnya Ari.”
“Siapa nama rentenir itu Bu? Bisa kasih tahu saya dimana rumahnya?” pinta Cahyadi.
“Namanya Martin, biasa dipanggil orang Om Aten,” ujar Bu Romlah.
“Tapi kamu harus hati-hati kalau kesana, karena dia dikawal sama seseorang preman yang punya banyak anak buah. Kamu kenal sama orang itu Wid,” ujar Bu Romlah memperingatkan.
“Saya kenal dengan orang itu, Siapa dia Bu?” ujar Cahyadi penuh tanda tanya.
“Om Aten itu awalnya hanya seorang pemborong pekerjaan bangunan, Kontraktor kampunglah istilahnya. Namun setelah bertemu dengan preman itu, dia menjadi kaya raya karena bisa dengan mudah mendapatkan tanah dari orang yang sedang kesusahan. Hampir semua orang yang menggadaikan sertifikat tanahnya ke Om Aten, bisa dipastikan akan kehilangan tanahnya.” tutur Bu Romlah. “Preman itu, dia yang membuat kamu hampir meninggal dunia tempo dulu Wid.” “Sarap? Preman itu si Sarap?” tanya Cahyadi memastikan. “Iya betul. Semenjak keluar dari penjara, Sarap mempunyai banyak pengikut. Dia diangkat menjadi salah satu pengurus oleh Ormas Bintang Hitam karena punya anak buah yang banyak,” tutur Bu Romlah menceritakan. “Mr. C, Sarap itu siapa? Mengapa dia bisa membuat anda hampir terbunuh?” tanya Chintya penasaran. “Itu kisah masa lalu, ceritanya panjang. Nanti di lain kesempatan akan saya ceritakan kepada kamu,” ujar Cahyadi. “Bu Romlah, apa anda tahu, berapa jumlah uang yang dipinjam oleh Ari ketik
Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif
“Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model
Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil
“Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas
“Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara
“Saya akan membelinya dari Ahli Waris Pak Soleh, mereka yang mempunyai hak atas tanah tersebut,” jawab Cahyadi. “Oh, saya baru mengerti sekarang. Itulah sebabnya anda meminta kepada Pak Robert agar Wati dan suaminya didatangkan kesini supaya bisa melakukan transaksi jual beli. Tapi bagaimana dengan sertifikatnya, bukankah masih ada sama Om Aten?” tanya Chintya. Sambil menunjuk dokumen yang ada dalam map coklat di atas coffee table, Cahyadi berkata, “Semua surat-suratnya sudah ada disini. Nanti kamu tolong berikan ini ke Pak Tigor agar dia bisa siapkan segala keperluan untuk pengikatan jual beli.” Chintya memperhatikan dokumen tersebut. “Ba … bagaimana bisa semua dokumen ini secara lengkap ada disini?” ujarnya terbata-bata. Cahyadi hanya tersenyum kepada Chintya. *** Sementara itu, dua mobil terparkir tepat di depan sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Wati mengintip dari balik jendela ketika pintu mobil tersebut terbuka. Enam orang pria berbaju preman turun dari mobil ters
“Kriingg … kriingg … kriinggg”Telepon kamar hotel yang berada di meja samping tempat tidur berbunyi ketika matahari mulai memancarkan sinarnya melalui sela-sela hordeng jendela kamar hotel.“Halloo …” sapa Ari yang mengangkat telepon dengan ragu-ragu.“Selamat pagi pak, saya dari receptionist, ingin menyampaikan bahwa sarapan saat ini sudah tersedia di restoran samping lobby dan juga saya ingin mengingatkan bahwa nanti pukul 9.00 pagi, Bu Wati dan Pak Ari ditunggu kehadirannya di lobby,” ujar seorang wanita dari ujung telepon.“Oh iya terima kasih, saya bersama istri saya akan segera turun,” jawab Ari.“Baik terima kasih. Selamat pagi,” tutup wanita itu sopan.Ari menutup telepon dan segera membangunkan istrinya yang masih tertidur dibalik selimut.“Neng, bangun neng. Ayo mandi dulu abis itu kita sarapan. Jam 9 kita di tunggu di lobby hotel,” ujar Ari sambil menarik selimut.“Jam berapa emang sekarang bang?” tanya Wati yang masih menutup matanya.“Sekarang jam 7.15, ayo neng cepatan
Sementara itu di lahan lokasi yang baru saja di beli oleh Cahyadi Widjoyo, Samson yang baru saja tiba menggunakan Pajero Sport putih miliknya langsung disambut oleh puluhan anak buahnya yang sudah bersiap untuk membersihkan lahan tersebut. Berdiri membentuk formasi tiga baris menghadap kepada Samson, mereka siap menerima instruksi. “Lima orang berjaga di luar menjaga parameter agar tidak ada orang yang masuk, sebagian lagi bongkar pos penjagaan yang disana sisanya bongkar pagar seng ini,” perintah Samson kepada mereka. “Siaapp bos,” jawab mereka serempak. “Kalian bertiga ikut saya,” ucap Samson sambil beranjak masuk ke dalam lokasi. Menuju ke bangunan tua yang berada di dalam lokasi, Samson memerintahkan ketiga orang anak buahnya untuk membersihkan dan mengatur di salah satu pojok ruangan yang terdapat jendela untuk tempat duduk sambil memantau aktivitas anak buahnya melalui jendela tersebut. Setelah mengatur meja dan tempat duduk untuknya, Samson duduk di pojok ruangan sambil m
Berdiri tepat di belakang Ari, Cahyadi menepuk bahunya. “Kamu masih suka main judi?” “Saya … saya bukan pemain judi Pak,” jawab Ari terbata-bata. “Saya awalnya suka nonton sabung ayam, akhirnya jadi ikut-ikutan. Tapi saya sekarang sudah tidak punya ayam lagi pak,” lanjutnya. “Jadi kamu tidak berjudi?” tanya Cahyadi memastikan. “Saya hanya suka sabung ayam pak, biasanya orang-orang pasang taruhan untuk ayam saya. Kalau menang mereka suka kasih saya uang, tapi saya sendiri tidak pernah memasang taruhan untuk ayam saya,” papar Ari. “Sepertinya kamu paham sekali ya tentang dunia sabung ayam,” ujar Cahyadi. “Iya pak, saya dulu sempat mengelola arena sabung ayam. Tapi sekarang sudah tidak lagi semenjak pulang ke kampung,” jelasnya. Cahyadi melirik kepada Wati. “Iya pak benar yang dikatakan suami saya, dulu waktu saya melanjutkan mengelola warung kedai milik abah, yang datang itu rata-rata orang yang suka pasang taruhan sabung ayam. Jadi tempat kumpul mereka kalau lagi tidak ada per
“Kriingg … kriingg … kriinggg”Telepon kamar hotel yang berada di meja samping tempat tidur berbunyi ketika matahari mulai memancarkan sinarnya melalui sela-sela hordeng jendela kamar hotel.“Halloo …” sapa Ari yang mengangkat telepon dengan ragu-ragu.“Selamat pagi pak, saya dari receptionist, ingin menyampaikan bahwa sarapan saat ini sudah tersedia di restoran samping lobby dan juga saya ingin mengingatkan bahwa nanti pukul 9.00 pagi, Bu Wati dan Pak Ari ditunggu kehadirannya di lobby,” ujar seorang wanita dari ujung telepon.“Oh iya terima kasih, saya bersama istri saya akan segera turun,” jawab Ari.“Baik terima kasih. Selamat pagi,” tutup wanita itu sopan.Ari menutup telepon dan segera membangunkan istrinya yang masih tertidur dibalik selimut.“Neng, bangun neng. Ayo mandi dulu abis itu kita sarapan. Jam 9 kita di tunggu di lobby hotel,” ujar Ari sambil menarik selimut.“Jam berapa emang sekarang bang?” tanya Wati yang masih menutup matanya.“Sekarang jam 7.15, ayo neng cepatan
“Saya akan membelinya dari Ahli Waris Pak Soleh, mereka yang mempunyai hak atas tanah tersebut,” jawab Cahyadi. “Oh, saya baru mengerti sekarang. Itulah sebabnya anda meminta kepada Pak Robert agar Wati dan suaminya didatangkan kesini supaya bisa melakukan transaksi jual beli. Tapi bagaimana dengan sertifikatnya, bukankah masih ada sama Om Aten?” tanya Chintya. Sambil menunjuk dokumen yang ada dalam map coklat di atas coffee table, Cahyadi berkata, “Semua surat-suratnya sudah ada disini. Nanti kamu tolong berikan ini ke Pak Tigor agar dia bisa siapkan segala keperluan untuk pengikatan jual beli.” Chintya memperhatikan dokumen tersebut. “Ba … bagaimana bisa semua dokumen ini secara lengkap ada disini?” ujarnya terbata-bata. Cahyadi hanya tersenyum kepada Chintya. *** Sementara itu, dua mobil terparkir tepat di depan sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Wati mengintip dari balik jendela ketika pintu mobil tersebut terbuka. Enam orang pria berbaju preman turun dari mobil ters
“Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara
“Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas
Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil
“Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model
Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif