Cahyadi Widjoyo menyadari sepenuhnya bahwa jika hanya permasalahan Dana Operasional, tentunya Sang Jenderal tidak akan mendesak dia bertemu di sini.
Ini adalah salah satu rumah yang dijadikan sebagai tempat persembunyian Sang Jenderal, biasa disebut sebagai Rumah Aman. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki rumah ini.
Walaupun tempat ini pemberian dari Cahyadi Widjoyo, namun dia sendiri baru 2 kali mengunjungi rumah ini untuk bertemu dengan Sang Jenderal.
“Kamu tahukan, bahwa tidak lama lagi kita akan mengadakan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden baru. Presiden kita saat ini, sangat berambisi untuk kembali memimpin negeri. Dan kita sama-sama tahu, bahwa sebetulnya yang mengatur itu semua adalah suaminya, seorang pebisnis handal.” ujar Sang Jenderal.
“Minyak. Eksplorasi Minyak Bumilah yang membuat posisi Presiden begitu krusial. Permintaan pasar saat ini sangat tinggi dari Amerika dan Eropa.” lanjutnya.
“Hanya Presiden yang bisa memutuskan, perusahaan mana yang berhak mengeksplorasi minyak di negeri kita.” ucap Sang Jenderal sambil menatap tajam kearah Cahyadi Widjoyo.
Cahyadi Widjoyo hanya terdiam sambil sesekali menyesap Wine mendengar penjelasan Sang Jenderal.
“Ada berita burung yang mengatakan bahwa suami tersebut sedang menghimpun beberapa pengusaha untuk mengusung kembali istrinya menjadi Presiden. Tentu dengan imbalan hak eksplorasi,” ujar Sang Jenderal.
“Cahyadi, apa kamu berencana untuk terjun ke bisnis eksplorasi?” tanya Sang Jenderal penuh selidik.
Cahyadi Widjoyo langsung memahami maksud dari pertanyaan Sang Jenderal.
‘Pantas saja Jenderal begitu mendesak saya untuk segera menghadap, ternyata beliau curiga saya menghianatinya,’ gumam Cahyadi dalam hati.
“Saya merasa Bisnis Properti sudah bagus, dan saya berencana untuk menjadi Raja Properti di negeri ini. Jadi sepertinya saya tidak akan berpaling ke bisnis lain agar tidak kehilangan fokus,” jawab Cahyadi dengan hati-hati.
“Memang benar, beberapa kali beliau bertemu dengan saya dan membicarakan tentang hak eksplorasi. Tapi saya sudah memutuskan untuk tidak terjun ke bisnis itu.” lanjutnya.
“Walaupun penawaran privilege yang begitu menggoda, tapi saya tidak akan mungkin menghianati Bapak. Rasa cinta Bapak terhadap negeri ini, membuat malu diri saya jika mau menerima penawaran tersebut. Jika bukan karena rasa cinta negeri dan menjaga keutuhan bangsa, bisa saja beberapa waktu yang lalu Bapak sudah mengambil alih kekuasaan di negeri ini.” sambung Cahyadi Widjoyo.
“Hahaha … saya percaya sama kamu Cahyadi,” ucap Sang Jenderal sambil tertawa bahagia.
“Mari kita bersulang … “ lanjut Sang Jenderal sambil mengangkat tinggi gelas crystal ditangannya kearah Cahyadi.
“Permisi Bapak, maaf menyela pembicaraan. Saya hanya mau mengingatkan bahwa 1 jam lagi Bapak ada janji temu dengan Mr. Kim perwakilan Asosiasi Industri dari China di kantor.” ujar Mona yang masuk ke ruangan setelah mengetahui keadaan sudah mencair.
“Ok, siapkan kendaraan. Kita sedikit lagi akan ke kantor, jangan biarkan mereka menunggu kita,” perintah Sang Jenderal ke Mona sekertarisnya.
“Cahyadi, saya mau bertanya kepada mu.”
“Jaman sudah maju, tekhnologi berkembang dengan pesat, lalu kenapa kamu tidak menggunakan handphone?” tanya Sang Jenderal penasaran.
“Saya inikan awalnya Tukang Koran pak, tidak terbiasa dengan tekhnologi, dulu pernah menggunakan Pager, kadang-kadang mengganggu ketika saya sedang bertemu dengan seseorang atau sedang meeting. Jadi biar Chintya, sekertaris saya saja yang mengurus masalah komunikasi,” jawab Cahyadi menjelaskan.
Setelah menghabiskan Wine yang tersisa di gelasnya, Sang Jenderal pun beranjak dari ruangan menuju ke arah kendaraan Land Cruiser hitam yang sudah bersedia ditaman air mancur depan pintu rumah tersebut diikuti oleh Cahyadi Widjoyo disampingnya.
Mona yang mengikuti dari belakang, terlihat sedang memberikan instruksi ke beberapa pengawal.
Sebelum menaiki kendaraannya, Sang Jenderal berbisik kepada Cahyadi Widjoyo, “Saya akan maju mencalonkan diri menjadi Presiden, bersiaplah kamu jadi Menteriku, Menteri Perumahan Rakyat.”
Cahyadi tidak berkata apa-apa, dia hanya memberikan hormat dengan sikap yang sempurna kepada Jenderal yang sudah menaiki kendaraan di ikuti Mona dan Ajudannya.
Setelah rombongan 2 mobil yang dikawal oleh Voorijder itu meninggalkan halaman rumah, Cahyadi Widjoyo berjalan ke halaman belakang dan memberikan instruksi kepada Pilotnya untuk segera mempersiapkan Helikopter pribadinya.
“Ayo, segera kita ke kantor,” perintah Cahyadi kepada Pilot.
‘Ada hal yang harus segera saya kerjakan,’ gumamnya.
Dengan menggunakan Helikopter pribadi jenis Bell yang sudah disiapkan oleh Mona sebelum mereka tiba di rumah aman, Cahyadi kembali ke kantornya.
Tidak sampai 15 menit, Cahyadi sudah tiba di kantor. Sebuah gedung setinggi 120 meter yang berada di pusat kota dengan logo huruf C terpampang besar di atas gedung.
Setelah turun melalui Helipad yang ada di rooftop, Cahyadi langsung menuju ke ruangannya di lantai 27.
Di dalam ruangannya, sudah ada seorang wanita bertubuh langsing dengan rambut yang terurai menggunakan blus berwarna hitam, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin bersinar, sedang berdiri dengan gelisah di sudut ruangan menatap kearah jalan raya yang berada di bawah gedung.
“Mr. C, anda tidak apa-apa?” tanya wanita tersebut dengan panik ketika melihat Cahyadi Widjoyo memasuki ruangan kerjanya.
“Iya saya baik-baik saja, memangnya ada apa?” tanya Cahyadi kebingungan.
“Anda menghilang setelah peresmian tadi dan meninggalkan 3 orang pengawal yang tergeletak dilantai. Tentu kami semua khawatir,” ujarnya.
“Oh iya, tadi itu memang berlebihan. Tapi semua baik-baik saja, kamu tidak usah khawatir.” jawab Cahyadi.
“Tolong kamu cancel semua agenda hari ini. Kemudian siapkan mobil Mercy, kamu ikut saya. Tidak usah bawa supir, biar saya sendiri yang bawa mobilnya,” ucap Cahyadi memberikan instruksi kepada wanita tersebut.
“Oh iya, Chintya. Suruh seseorang siapkan saya makan. Sementara saya makan, kamu ganti baju kasual ya.” lanjutnya.
Wanita itupun segera berlalu. Sebagai seorang Sekertaris, mengatur kembali jadwal agenda kerja harian CEO bukanlah hal yang sulit, bagi Chintya itu hanya butuh waktu 10 menit. Namun pergi bersama CEO nya di jam kerja menggunakan pakaian kasual, sungguh membuat dia bingung.
‘Membatalkan seluruh agenda hari ini dan keluar menggunakan pakaian kasual berdua saja tanpa supir di jam kerja, tentu ini bukan urusan kantor. Apa ini urusan pribadi? Makan bersama diluar sepertinya tidak mungkin. Aduh, kenapa aku jadi salah tingkah begini, mau diajak kemana ya kira-kira?’ gumam Chintya menerka-nerka.
Setelah menghabiskan makanan padang kesukaannya, Cahyadi langsung mandi di kamar mandi yang memang tersedia khusus untuknya. Ruangan kerjanya memang terbilang cukup luas. Hampir seluruh lantai 27 digunakan untuk ruangannya, hanya sebagian yang digunakan untuk kantor Sekertarisnya dan ruang tunggu tamu. Dengan menggunakan kaus t-shirt dalaman hitam yang dipadu dengan celana Jeans Versace dan sepatu kets berwarna putih, dia sudah siap untuk melakukan misinya. “Chintya, apa kamu sudah siap?” tanya Cahyadi melalui panggilan interkom yang tersedia di meja kerjanya. “Biar saya yang ke ruangan kamu. Tunggu saja di situ,” lanjut Cahyadi sambil menutup telepon interkomnya. Chintya yang menggunakan Kaos Gucci bergambar Mickey Mouse dengan celana Jeans Hitam, baru saja selesai mengikat tali sepatu boot ketika Cahyadi memasuki ruangannya. Dengan rambut kuncir kuda dan make upnya yang tipis, terlihat lebih segar dan menawan. “Saya sudah siap, apa ada yang harus saya siapkan lagi sebelum ber
“Saya merasa ada yang aneh. Saya butuh informasi yang lebih detail sebelum bertemu dengan boss mereka,” ujar Cahyadi sambil memasuki kendaraan.Mereka berduapun meninggalkan lokasi, tidak jauh dari situ Cahyadi membelokkan kendaraannya memasuki gang kecil di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Setelah beberapa belokan yang membuat Chintya kebingungan, mereka sudah berada di jalan besar. Cahyadi memarkirkan kendaraannya di Mini Market Circle K.“Mr. C, kok Anda bisa mengetahui jalan di sini dengan baik?” tanya Chintya.“Kan tadi saya sudah bilang, saya memahami daerah ini dengan sangat baik,” jawabnya sambil tersenyum. “Tapi Anda belum bilang bagaimana sampai bisa memahami daerah ini dengan baik,” tuntut Chintya.“Hahaha … Ayo kita turun ngopi dulu disini, nanti saya ceritakan,” ujarnya sambil mematikan mesin mobil.Cahyadi membiarkan Chintya masuk ke dalam Circle K untuk memesan kopi, sedangkan dia memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di luar sambil melihat-lihat area di se
“Om Aten itu awalnya hanya seorang pemborong pekerjaan bangunan, Kontraktor kampunglah istilahnya. Namun setelah bertemu dengan preman itu, dia menjadi kaya raya karena bisa dengan mudah mendapatkan tanah dari orang yang sedang kesusahan. Hampir semua orang yang menggadaikan sertifikat tanahnya ke Om Aten, bisa dipastikan akan kehilangan tanahnya.” tutur Bu Romlah. “Preman itu, dia yang membuat kamu hampir meninggal dunia tempo dulu Wid.” “Sarap? Preman itu si Sarap?” tanya Cahyadi memastikan. “Iya betul. Semenjak keluar dari penjara, Sarap mempunyai banyak pengikut. Dia diangkat menjadi salah satu pengurus oleh Ormas Bintang Hitam karena punya anak buah yang banyak,” tutur Bu Romlah menceritakan. “Mr. C, Sarap itu siapa? Mengapa dia bisa membuat anda hampir terbunuh?” tanya Chintya penasaran. “Itu kisah masa lalu, ceritanya panjang. Nanti di lain kesempatan akan saya ceritakan kepada kamu,” ujar Cahyadi. “Bu Romlah, apa anda tahu, berapa jumlah uang yang dipinjam oleh Ari ketik
Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif
“Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model
Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil
“Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas
“Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara
Sementara itu di lahan lokasi yang baru saja di beli oleh Cahyadi Widjoyo, Samson yang baru saja tiba menggunakan Pajero Sport putih miliknya langsung disambut oleh puluhan anak buahnya yang sudah bersiap untuk membersihkan lahan tersebut. Berdiri membentuk formasi tiga baris menghadap kepada Samson, mereka siap menerima instruksi. “Lima orang berjaga di luar menjaga parameter agar tidak ada orang yang masuk, sebagian lagi bongkar pos penjagaan yang disana sisanya bongkar pagar seng ini,” perintah Samson kepada mereka. “Siaapp bos,” jawab mereka serempak. “Kalian bertiga ikut saya,” ucap Samson sambil beranjak masuk ke dalam lokasi. Menuju ke bangunan tua yang berada di dalam lokasi, Samson memerintahkan ketiga orang anak buahnya untuk membersihkan dan mengatur di salah satu pojok ruangan yang terdapat jendela untuk tempat duduk sambil memantau aktivitas anak buahnya melalui jendela tersebut. Setelah mengatur meja dan tempat duduk untuknya, Samson duduk di pojok ruangan sambil m
Berdiri tepat di belakang Ari, Cahyadi menepuk bahunya. “Kamu masih suka main judi?” “Saya … saya bukan pemain judi Pak,” jawab Ari terbata-bata. “Saya awalnya suka nonton sabung ayam, akhirnya jadi ikut-ikutan. Tapi saya sekarang sudah tidak punya ayam lagi pak,” lanjutnya. “Jadi kamu tidak berjudi?” tanya Cahyadi memastikan. “Saya hanya suka sabung ayam pak, biasanya orang-orang pasang taruhan untuk ayam saya. Kalau menang mereka suka kasih saya uang, tapi saya sendiri tidak pernah memasang taruhan untuk ayam saya,” papar Ari. “Sepertinya kamu paham sekali ya tentang dunia sabung ayam,” ujar Cahyadi. “Iya pak, saya dulu sempat mengelola arena sabung ayam. Tapi sekarang sudah tidak lagi semenjak pulang ke kampung,” jelasnya. Cahyadi melirik kepada Wati. “Iya pak benar yang dikatakan suami saya, dulu waktu saya melanjutkan mengelola warung kedai milik abah, yang datang itu rata-rata orang yang suka pasang taruhan sabung ayam. Jadi tempat kumpul mereka kalau lagi tidak ada per
“Kriingg … kriingg … kriinggg”Telepon kamar hotel yang berada di meja samping tempat tidur berbunyi ketika matahari mulai memancarkan sinarnya melalui sela-sela hordeng jendela kamar hotel.“Halloo …” sapa Ari yang mengangkat telepon dengan ragu-ragu.“Selamat pagi pak, saya dari receptionist, ingin menyampaikan bahwa sarapan saat ini sudah tersedia di restoran samping lobby dan juga saya ingin mengingatkan bahwa nanti pukul 9.00 pagi, Bu Wati dan Pak Ari ditunggu kehadirannya di lobby,” ujar seorang wanita dari ujung telepon.“Oh iya terima kasih, saya bersama istri saya akan segera turun,” jawab Ari.“Baik terima kasih. Selamat pagi,” tutup wanita itu sopan.Ari menutup telepon dan segera membangunkan istrinya yang masih tertidur dibalik selimut.“Neng, bangun neng. Ayo mandi dulu abis itu kita sarapan. Jam 9 kita di tunggu di lobby hotel,” ujar Ari sambil menarik selimut.“Jam berapa emang sekarang bang?” tanya Wati yang masih menutup matanya.“Sekarang jam 7.15, ayo neng cepatan
“Saya akan membelinya dari Ahli Waris Pak Soleh, mereka yang mempunyai hak atas tanah tersebut,” jawab Cahyadi. “Oh, saya baru mengerti sekarang. Itulah sebabnya anda meminta kepada Pak Robert agar Wati dan suaminya didatangkan kesini supaya bisa melakukan transaksi jual beli. Tapi bagaimana dengan sertifikatnya, bukankah masih ada sama Om Aten?” tanya Chintya. Sambil menunjuk dokumen yang ada dalam map coklat di atas coffee table, Cahyadi berkata, “Semua surat-suratnya sudah ada disini. Nanti kamu tolong berikan ini ke Pak Tigor agar dia bisa siapkan segala keperluan untuk pengikatan jual beli.” Chintya memperhatikan dokumen tersebut. “Ba … bagaimana bisa semua dokumen ini secara lengkap ada disini?” ujarnya terbata-bata. Cahyadi hanya tersenyum kepada Chintya. *** Sementara itu, dua mobil terparkir tepat di depan sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Wati mengintip dari balik jendela ketika pintu mobil tersebut terbuka. Enam orang pria berbaju preman turun dari mobil ters
“Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara
“Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas
Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil
“Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model
Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif