Share

Bab 2

Author: MMP
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Hallo Mr. C, bagaimana acara potong pita peresmian Mallnya? apakah lancar-lancar saja ?” tanya Mona basa-basi.

“Sebetulnya, ini ada apa Mona?” tanya Cahyadi Widjoyo penuh selidik.

“Saya hanya diminta ‘Bapak’ untuk segera menjemput anda Mr. C. Itu saja” jawab Mona dengan santai.

“Menjemput dengan melumpuhkan 3 pengawal pribadi saya? Itu lebih terlihat seperti penculikan daripada disebut menjemput.” ujar Cahyadi Widjoyo geram.

“Jika hanya sekedar untuk bertemu, kenapa kamu tidak menghubungi Chintya? Kamu berdua kan sama-sama sekertaris, seharusnya lebih paham bagaimana mengatur pertemuan” lanjutnya.

“Maaf Mr. C, saya hanya menjalankan perintah saja. Saya pun harus memberikan alasan yang baik ke ‘Bapak’ untuk tidak segera menjemput anda, agar bisa memberikan kesempatan kepada anda menyampaikan kata-kata sambutan pada saat peresmian tadi.”

“Saya tidak mengetahui apa yang terjadi, yang saya tahu keadaan saat ini sedang mendesak, dan ‘Bapak’ ingin agar anda segera hadir dihadapan beliau secepatnya.” lanjut Mona menutup pembicaraan.

Dengan pengawalan Voorijder, mobil hitam Land Cruiser melaju cepat tanpa hambatan. Sepanjang perjalanan, Cahyadi Widjoyo hanya berdiam diri menatap jalan melalui jendela kaca mobil yang tertutup.

Mona yang duduk bersebelahan dengan Cahyadi Widjoyo, tenggelam dalam kesibukannya mencatat dan berkomunikasi dengan beberapa orang melalui telepon satelit yang tersedia di dalam mobil tersebut.

Sesekali terdengar pembicaraannya mengenai Munas Partai dengan suara yang lantang dan bersemangat, kemudian suaranya menjadi pelan dan sedikit berbisik ketika membicarakan tentang Ketua Partai dan Calon Presiden.

Ketika melewati sebuah perempatan jalan besar yang cukup ramai kendaraan, Cahyadi Widjoyo melihat sebuah lokasi yang tidak asing baginya, tertutup oleh pagar seng berwarna biru yang berada di dekat lampu merah.

Dari luar pagar seng, terlihat bagian atap sebuah bangunan tua yang masih berdiri di dalam kawasan lokasi tersebut.

Matanya tidak terlepas dari tulisan besar yang terpampang di pagar seng berwarna biru itu.

‘TANAH INI DI JUAL’

‘Pak Soleh, Bang Ridwan … kalian di mana ya sekarang?’ lirihnya dalam lamunan nostalgia beberapa puluh tahun yang lalu.

Setelah 45 menit perjalanan yang melewati kebun teh, rombongan yang dikawal oleh Voorijder pun sampai di sebuah kawasan pegunungan yang cukup jauh dari pemukiman warga.

Melewati pintu gerbang yang di jaga oleh 3 orang berseragam safari hitam dan jalan berliku penuh dengan pohon cemara di sepanjang jalan, rombongan tersebut sampai di ujung jalan yang merupakan jalan melingkar di depan sebuah bangunan mewah ala eropa dengan taman air mancur tepat menghadap pintu masuk rumah.

Rombongan berhenti di depan pintu rumah setelah memutari taman air mancur tersebut.

Turun dari mobil hitam Land Cruiser, Mona segera menuntun Cahyadi Widjoyo memasuki rumah dan langsung menuju ke halaman belakang rumah.

“Mr. C, silahkan menunggu sebentar di sini ya. Tidak lama lagi ‘Bapak’ akan segera tiba” ucap Mona sambil mempersilahkan Cahyadi Widjoyo duduk di kursi taman.

Dia pun tidak langsung duduk, melainkan berdiri menatap taman yang berada di belakang rumah mewah tersebut sambil memegang tangannya ke belakang.

Lapangan luas terhampar rumput gajah pilihan dengan kontur tanah yang berbukit, dijadikan sebagai tempat untuk menyalurkan hobby golf Sang Jenderal. Di sisi barat terdapat bangunan kandang kuda yang terbuat dari kayu, dan di sisi timur terdapat helipad yang terparkir Helikopter jenis Bell berwarna biru dengan Logo C di kedua sisi pintunya.

“Permisi Mr. C, Anda ingin yang merah atau putih?” tanya seorang pelayan pria berseragam putih menawarkan Wine.

“Merah.” jawabnya singkat.

Setelah menuangkan Wine dengan tekhnik khusus di gelas crystal, pelayan tersebut membukakan sebuah kotak kayu berisi Cerutu Kolombia beserta pemotongnya dan menawarkan kepada Cahyadi Widjoyo.

Duduk dikursi taman sambil memangku kaki, Cahyadi Widjoyo menghisap Cerutu Kolombia dengan sesekali menyesap Wine yang ada ditangannya.

Walaupun terlihat tenang, namun pikirannya penuh dengan pertanyaan.

‘Keadaan mendesak seperti apa yang mengharuskan saya datang lagi ke rumah aman?’

‘Terakhir saya datang kesini, tidak lama kemudian terjadi kerusuhan besar yang membuat orang terkuat di negeri ini lengser dari kekuasaannya. Kali ini, apa yang akan terjadi lagi?’

Tak lama kemudian, Sang Jenderal pun datang dengan menunggangi Kuda Jerman berwarna coklat gelap kesayangannya.

Melihat Sang Jenderal tiba, Cahyadi Widjoyo pun segera berdiri menghampiri Sang Jenderal. Sambil memegang tali kekang dan membelai-belai kuda, Cahyadi membantu sang Jenderal turun dari tunggangannya.

“Cahyadi, sudah lama kita tidak bertemu. Saya minta maaf jika terkesan memaksa kamu untuk hadir di sini” ujar sang Jenderal.

“Tidak masalah pak, kapanpun bapak butuh saya, pasti saya segera hadir” ujar Cahyadi.

“Ayo kamu ikut saya memasukkan Deasy ke kandang,” lanjut Sang Jenderal sambil menuntun Kuda Jerman kesayangannya yang diberi nama Deasy.

Walaupun sudah purnawirawan, Sang Jenderal masih memiliki postur tubuh yang tegap. Dengan rambutnya yang khas belah pinggir dan senyumnya yang kharismatik, membuat siapapun yang bertemu dengan beliau akan menaruh hormat karena wibawanya.

“Deasy ini anak dari Anmutiq. Kuda kesayanganku dan yang paling istimewa karena keanggunannya.” ucap Sang Jenderal sambil berjalan bersebelahan dengan Cahyadi Widjoyo menuju kandang.

“Namun pada akhirnya, saya sendiri yang harus mengeksekusi dia dengan menyuntik mati Anmutiq,” lanjutnya.

“Apa yang terjadi pak?” tanya Cahyadi.

“Dia melakukan improvisasi ketika sedang berlatih melewati rintangan, yang menyebabkan kakinya patah.” ujar Sang Jenderal sedih.

“Walaupun dia menjadi kesayanganku, namun ketika melakukan improvisasi yang membuat kesalahan fatal, maka saya sendiri yang akan mengeksekusinya” ucap Sang Jederal sambil menepuk-nepuk bahu Cahyadi Widjoyo.

Cahyadi merasa ucapan Sang Jenderal barusan adalah sebuah pesan yang diberikan untuk dirinya. Sebagai seorang Jenderal yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, tentu setiap kata yang disampaikan mempunyai makna dan pesan tersembunyi.

Cahyadi hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata apapun.

“Dalam beberapa bulan ke depan, partai kita akan melaksanakan Munas. Agenda utamanya, selain memilih Ketua Partai, juga akan memutuskan Calon Presiden yang akan kita usung.” lanjut Sang Jenderal.

“Apa yang bisa saya bantu untuk memuluskan pelaksanaan Munas tersebut pak?” tanya Cahyadi Widjoyo.

“Saya membutuhkan Dana Operasional untuk membangun koalisi.” jawab Sang Jenderal.

“Baik pak, saya siapkan Dana 150 Milyar. Setelah ini saya akan minta Chintya untuk segera mengaturnya.”

“Saya juga akan siapkan pesawat jet pribadi saya, untuk memudahkan transportasi bapak ke berbagai daerah” lanjut Cahyadi.

“Kamu memang bisa diandalkan. Tidak salah saya mengasuh kamu” ujar Sang Jenderal sambil merangkul Cahyadi.

“Sampai kapanpun, saya tidak bisa membalas kebaikan bapak. Semenjak bapak mengasuh saya 20 tahun yang lalu, kehidupan saya berubah total. Saya yang minta maaf karena kurang peka memahami keadaan bapak yang sedang mengalami kesulitan.” ucap Cahyadi.

Setelah sedikit memanjakan dan memasukkan Deasy kekandangnya, Sang Jenderal mengajak Cahyadi untuk masuk ke dalam rumah besar yang di desain ala Eropa abad pertengahan.

Berada di ruangan berlantai parket kayu berukuran 7 x 10 meter yang dijadikan ruang baca dan perpustakaan oleh Sang Jenderal, mereka berdua duduk di dekat tungku perapian sambil menikmati Wine Henri Jayer Cros dan Cerutu Fuente Don Arturo AnniverXario dari Republik Dominika koleksi Sang Jenderal.

“Maaf pak, saya ingin bertanya. Situasi mendesak seperti apakah yang sedang Bapak alami saat ini?” tanya Cahyadi membuka percakapan.

Related chapters

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 3

    Cahyadi Widjoyo menyadari sepenuhnya bahwa jika hanya permasalahan Dana Operasional, tentunya Sang Jenderal tidak akan mendesak dia bertemu di sini. Ini adalah salah satu rumah yang dijadikan sebagai tempat persembunyian Sang Jenderal, biasa disebut sebagai Rumah Aman. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasuki rumah ini. Walaupun tempat ini pemberian dari Cahyadi Widjoyo, namun dia sendiri baru 2 kali mengunjungi rumah ini untuk bertemu dengan Sang Jenderal. “Kamu tahukan, bahwa tidak lama lagi kita akan mengadakan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden baru. Presiden kita saat ini, sangat berambisi untuk kembali memimpin negeri. Dan kita sama-sama tahu, bahwa sebetulnya yang mengatur itu semua adalah suaminya, seorang pebisnis handal.” ujar Sang Jenderal. “Minyak. Eksplorasi Minyak Bumilah yang membuat posisi Presiden begitu krusial. Permintaan pasar saat ini sangat tinggi dari Amerika dan Eropa.” lanjutnya. “Hanya Presiden yang bisa memutuskan, perusahaan mana yang berh

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 4

    Setelah menghabiskan makanan padang kesukaannya, Cahyadi langsung mandi di kamar mandi yang memang tersedia khusus untuknya. Ruangan kerjanya memang terbilang cukup luas. Hampir seluruh lantai 27 digunakan untuk ruangannya, hanya sebagian yang digunakan untuk kantor Sekertarisnya dan ruang tunggu tamu. Dengan menggunakan kaus t-shirt dalaman hitam yang dipadu dengan celana Jeans Versace dan sepatu kets berwarna putih, dia sudah siap untuk melakukan misinya. “Chintya, apa kamu sudah siap?” tanya Cahyadi melalui panggilan interkom yang tersedia di meja kerjanya. “Biar saya yang ke ruangan kamu. Tunggu saja di situ,” lanjut Cahyadi sambil menutup telepon interkomnya. Chintya yang menggunakan Kaos Gucci bergambar Mickey Mouse dengan celana Jeans Hitam, baru saja selesai mengikat tali sepatu boot ketika Cahyadi memasuki ruangannya. Dengan rambut kuncir kuda dan make upnya yang tipis, terlihat lebih segar dan menawan. “Saya sudah siap, apa ada yang harus saya siapkan lagi sebelum ber

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 5

    “Saya merasa ada yang aneh. Saya butuh informasi yang lebih detail sebelum bertemu dengan boss mereka,” ujar Cahyadi sambil memasuki kendaraan.Mereka berduapun meninggalkan lokasi, tidak jauh dari situ Cahyadi membelokkan kendaraannya memasuki gang kecil di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Setelah beberapa belokan yang membuat Chintya kebingungan, mereka sudah berada di jalan besar. Cahyadi memarkirkan kendaraannya di Mini Market Circle K.“Mr. C, kok Anda bisa mengetahui jalan di sini dengan baik?” tanya Chintya.“Kan tadi saya sudah bilang, saya memahami daerah ini dengan sangat baik,” jawabnya sambil tersenyum. “Tapi Anda belum bilang bagaimana sampai bisa memahami daerah ini dengan baik,” tuntut Chintya.“Hahaha … Ayo kita turun ngopi dulu disini, nanti saya ceritakan,” ujarnya sambil mematikan mesin mobil.Cahyadi membiarkan Chintya masuk ke dalam Circle K untuk memesan kopi, sedangkan dia memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di luar sambil melihat-lihat area di se

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 6

    “Om Aten itu awalnya hanya seorang pemborong pekerjaan bangunan, Kontraktor kampunglah istilahnya. Namun setelah bertemu dengan preman itu, dia menjadi kaya raya karena bisa dengan mudah mendapatkan tanah dari orang yang sedang kesusahan. Hampir semua orang yang menggadaikan sertifikat tanahnya ke Om Aten, bisa dipastikan akan kehilangan tanahnya.” tutur Bu Romlah. “Preman itu, dia yang membuat kamu hampir meninggal dunia tempo dulu Wid.” “Sarap? Preman itu si Sarap?” tanya Cahyadi memastikan. “Iya betul. Semenjak keluar dari penjara, Sarap mempunyai banyak pengikut. Dia diangkat menjadi salah satu pengurus oleh Ormas Bintang Hitam karena punya anak buah yang banyak,” tutur Bu Romlah menceritakan. “Mr. C, Sarap itu siapa? Mengapa dia bisa membuat anda hampir terbunuh?” tanya Chintya penasaran. “Itu kisah masa lalu, ceritanya panjang. Nanti di lain kesempatan akan saya ceritakan kepada kamu,” ujar Cahyadi. “Bu Romlah, apa anda tahu, berapa jumlah uang yang dipinjam oleh Ari ketik

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 7

    Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 8

    “Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 9

    Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 10

    “Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas

Latest chapter

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 15

    Sementara itu di lahan lokasi yang baru saja di beli oleh Cahyadi Widjoyo, Samson yang baru saja tiba menggunakan Pajero Sport putih miliknya langsung disambut oleh puluhan anak buahnya yang sudah bersiap untuk membersihkan lahan tersebut. Berdiri membentuk formasi tiga baris menghadap kepada Samson, mereka siap menerima instruksi. “Lima orang berjaga di luar menjaga parameter agar tidak ada orang yang masuk, sebagian lagi bongkar pos penjagaan yang disana sisanya bongkar pagar seng ini,” perintah Samson kepada mereka. “Siaapp bos,” jawab mereka serempak. “Kalian bertiga ikut saya,” ucap Samson sambil beranjak masuk ke dalam lokasi. Menuju ke bangunan tua yang berada di dalam lokasi, Samson memerintahkan ketiga orang anak buahnya untuk membersihkan dan mengatur di salah satu pojok ruangan yang terdapat jendela untuk tempat duduk sambil memantau aktivitas anak buahnya melalui jendela tersebut. Setelah mengatur meja dan tempat duduk untuknya, Samson duduk di pojok ruangan sambil m

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 14

    Berdiri tepat di belakang Ari, Cahyadi menepuk bahunya. “Kamu masih suka main judi?” “Saya … saya bukan pemain judi Pak,” jawab Ari terbata-bata. “Saya awalnya suka nonton sabung ayam, akhirnya jadi ikut-ikutan. Tapi saya sekarang sudah tidak punya ayam lagi pak,” lanjutnya. “Jadi kamu tidak berjudi?” tanya Cahyadi memastikan. “Saya hanya suka sabung ayam pak, biasanya orang-orang pasang taruhan untuk ayam saya. Kalau menang mereka suka kasih saya uang, tapi saya sendiri tidak pernah memasang taruhan untuk ayam saya,” papar Ari. “Sepertinya kamu paham sekali ya tentang dunia sabung ayam,” ujar Cahyadi. “Iya pak, saya dulu sempat mengelola arena sabung ayam. Tapi sekarang sudah tidak lagi semenjak pulang ke kampung,” jelasnya. Cahyadi melirik kepada Wati. “Iya pak benar yang dikatakan suami saya, dulu waktu saya melanjutkan mengelola warung kedai milik abah, yang datang itu rata-rata orang yang suka pasang taruhan sabung ayam. Jadi tempat kumpul mereka kalau lagi tidak ada per

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 13

    “Kriingg … kriingg … kriinggg”Telepon kamar hotel yang berada di meja samping tempat tidur berbunyi ketika matahari mulai memancarkan sinarnya melalui sela-sela hordeng jendela kamar hotel.“Halloo …” sapa Ari yang mengangkat telepon dengan ragu-ragu.“Selamat pagi pak, saya dari receptionist, ingin menyampaikan bahwa sarapan saat ini sudah tersedia di restoran samping lobby dan juga saya ingin mengingatkan bahwa nanti pukul 9.00 pagi, Bu Wati dan Pak Ari ditunggu kehadirannya di lobby,” ujar seorang wanita dari ujung telepon.“Oh iya terima kasih, saya bersama istri saya akan segera turun,” jawab Ari.“Baik terima kasih. Selamat pagi,” tutup wanita itu sopan.Ari menutup telepon dan segera membangunkan istrinya yang masih tertidur dibalik selimut.“Neng, bangun neng. Ayo mandi dulu abis itu kita sarapan. Jam 9 kita di tunggu di lobby hotel,” ujar Ari sambil menarik selimut.“Jam berapa emang sekarang bang?” tanya Wati yang masih menutup matanya.“Sekarang jam 7.15, ayo neng cepatan

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 12

    “Saya akan membelinya dari Ahli Waris Pak Soleh, mereka yang mempunyai hak atas tanah tersebut,” jawab Cahyadi. “Oh, saya baru mengerti sekarang. Itulah sebabnya anda meminta kepada Pak Robert agar Wati dan suaminya didatangkan kesini supaya bisa melakukan transaksi jual beli. Tapi bagaimana dengan sertifikatnya, bukankah masih ada sama Om Aten?” tanya Chintya. Sambil menunjuk dokumen yang ada dalam map coklat di atas coffee table, Cahyadi berkata, “Semua surat-suratnya sudah ada disini. Nanti kamu tolong berikan ini ke Pak Tigor agar dia bisa siapkan segala keperluan untuk pengikatan jual beli.” Chintya memperhatikan dokumen tersebut. “Ba … bagaimana bisa semua dokumen ini secara lengkap ada disini?” ujarnya terbata-bata. Cahyadi hanya tersenyum kepada Chintya. *** Sementara itu, dua mobil terparkir tepat di depan sebuah rumah yang belum sepenuhnya jadi. Wati mengintip dari balik jendela ketika pintu mobil tersebut terbuka. Enam orang pria berbaju preman turun dari mobil ters

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 11

    “Bisaa … bisaa … biar saya urus semuanya. Boss Samson tenang saja,” jawab Om Aten terbata-bata. “Kau bisa lapor polisi atas kejadian ini, atau kau bisa biarkan dia bermain bersama ikan di lautan. Tersarah kau mau pilih yang mana,” ujar Samson sambil melemparkan uang sebesar 30 Juta Rupiah dan berlalu meninggalkan mereka. Sebelum Samson meninggalkan ruangan, seorang anak buahnya bertanya sambil menunjuk ke arah para pengikut Sarap yang masih berjongkok dilantai, “Boss, bagaimana dengan mereka?” Samson menatap tajam wajah mereka satu persatu yang masih trauma atas kejadian itu. “Tunjukan kalau kalian bisa memberesi ini dengan baik, setelah itu kalian bisa bekerja ditempat ku,” ucapnya. “Baik boss … terima kasih Boss Samson,” ucap mereka bersamaan sembari membungkuk hormat kepada Samson. Samson pergi meninggalkan rumah tersebut diikuti oleh empat orang anak buahnya langsung menuju ke Menara C, kantor Cahyadi Widjoyo. Sementara itu, Cahyadi dan Chintya yang baru saja tiba di Menara

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 10

    “Ini semua hanyalah salah paham, ini biasa terjadi ketika kita tidak saling mengenal. Saya baru tiba disini dan tidak mengetahui urusan kalian dan Om Aten sebelumnya. Maafkan kalau saya telah berbuat lancang kepada anda,” ujar Sarap kepada Cahyadi dengan sopan.“Selanjutnya, saya tidak akan ikut campur dalam urusan kalian. Silahkan diselesaikan dengan Om Aten,” lanjutnya.Sarap segera beranjak dan memanggil anak buahnya untuk duduk di Gazebo.Om Aten yang kebingungan menatap Cahyadi dengan gugup.Mengambil amplop besar berwarna coklat yang dibawa oleh Samson, Cahyadi berkata kepada Om Aten, “Ini uang 50 Juta Rupiah yang kamu minta sebagai kompensasi karena telah membuang-buang waktu kamu. Silahkan diambil.”“Ahh Boss Cahyadi, tadi itu saya hanya bercanda saja. Saya minta maaf jika membuat anda menanggapinya secara serius. Tidak mungkin saya berani meminta uang dari anda,” celoteh Om Aten dengan senyum yang dipaksakan.“Jadi anda tidak mau menerima uang dari saya?” tanya Cahyadi menegas

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 9

    Sementara itu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai tujuh yang berada tidak begitu jauh dari rumah putih berpagar warna emas milik Om Aten, seorang pria yang mempunyai postur tinggi besar dan berkulit hitam dengan rambut gondrong di ikat ke belakang, sedang memasukan uang sebesar 50 Juta Rupiah ke dalam sebuah amplop besar berwarna coklat.‘Harus tiba sebelum 15 menit dengan uang sebesar 50 Juta Rupiah, sepertinya Boss C sedang dalam keadaan yang tidak biasa,’ gumamnya.Menyelipkan sebuah pistol kecil di pergelangan kaki kirinya, pria tersebut keluar dari ruangan dan memanggil 4 orang anak buahnya yang sedang berjaga.“Ambil mobil, kalian ikut saya. Lepas seragam kalian semua,” perintah pria tersebut.Seseorang dari mereka bergegas mempersiapkan mobil dan yang lainnya melepas seragam model jaket bomber yang bertuliskan ‘The Alexandria’Menggunakan sebuah mobil Innova hitam, mereka ber-lima menuju ke arah Stasiun Kereta Api dan dengan mudah menemukan mobil Mercedes-Benz SLK biru mil

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 8

    “Ada apa nih boss?” tanya seorang pria yang baru saja tiba. Pria berkulit sawo matang dan rambutnya yang kriting itu di kawal oleh 2 orang pemuda berseragam hitam ketika memasuki ruang tamu. Menggunakan jaket kulit dan kacamata hitam, pria itu meletakan 2 botol minuman keras yang di bawanya ke dalam lemari kaca yang ada di mini bar. Melihat kedatangan pria tersebut, Toni yang sedaritadi berdiri di belakang Om Aten, segera menyiapkan sebuah kursi di samping Om Aten. “Mereka berdua mengaku mau beli tanahnya Ari, tapi ternyata hanya buang-buang waktu saya saja. Menurutmu, enaknya mereka ini diapain nih Bro Sarap?” tanya Om Aten kepada pria tersebut sambil melirik genit kearah Chintya. Mendengar nama Sarap di sebut, Chintya bergidik ketakutan sambil menatap ke arah Cahyadi. Sarap memperhatikan Chintya sambil mengusap-usap pipinya yang kasar dan berlubang-lubang bekas jerawat. “Sepertinya dia bisa jadi primadona di Alexandria. Sudah pasti mereka tidak akan menolak gadis yang model

  • Cara Tukang Koran Menjadi Milyarder   Bab 7

    Sebelum keadaan yang dikhawatirkannya terjadi, Chintya memperbaiki posisi duduk dan menghadap ke arah Om Aten.“Banyak yang bilang, dia itu kembarannya Chow Yun Fat,” seloroh Chintya dengan senyum yang dipaksakan.“Hahaha … betul juga, kamu memang mirip dengan si Dewa Judi,” ujar Om Aten sambil tertawa.“Oke Cahyadi, kamu mau beli tanah ini rencananya mau bikin apa di sana? Apakah hotel, cafe atau untuk rumah pribadi?” lanjut Om Aten yang mulai bertanya dengan serius.“Sepertinya saya akan jadikan tempat itu untuk penyimpanan barang-barang,” jawab Cahyadi sekenanya.“Bagus jika kamu ingin bikin gudang di situ, saya juga punya banyak anggota yang biasa berjaga. Mungkin nanti kita bisa bekerjasama,” ungkap Om Aten.“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kalau boleh saya tahu, berapa luas tanah itu ya?” tanya Cahyadi.“Luas tanah itu totalnya 750 m², ukuran 25m x 30m. Bagus bukan?” ujar Om Aten tersipu."Iya betul, bagus sekali," jawab Cahyadi.“Boleh kita lihat sertif

DMCA.com Protection Status