"Enggak, ini sekadar rehat dari kesibukan sejenak," kata Surya melirik Gendhis sebentar. "Tuang minum!" perintahnya pada Gendhis. Tanpa menjawab, Gendhis berdiri, mengambil teko di meja dan juga gelas cantik untuk Rai. Dituangkannya teh melati hangat itu hati-hati, dengan tatapan tajam Rai yang tak lepas sama sekali darinya. "Ini soal urusan kiriman barang, ya Pak?" ucap Surya lagi, sedikit menyadari bahwa Rai tengah menatap intens pelacurnya. "Nggak pa-pa kita ngobrolin bisnis tapi ada dia?" tanya Rai menunjuk Gendhis. "Kalau dia sampai bocorin masalah ini, dia tau konsekuensinya, Pak," sahut Surya."Saya bakalan bantu urus barang itu, jaminan tanpa kegagalan, nggak ada kebocoran informasi, tapi saya minta satu syarat lagi ditambahkan dalam perjanjian yang sudah dikirim tadi pagi," gumam Rai. Surya tersenyum, "Apapun itu, Pak. Nggak nyangka Pak Christopher sendiri yang akan datang menemui saya," katanya senang. Rai menyeringai tajam, lagi-lagi, tatapannya beralih pada Gendhis.
Gendhis terisak cukup lama, ia tenggelam di pelukan Rai begitu nyaman. Rai pun tak keberatan menjadi tempat Gendhis untuk bersandar, ia tak bicara apapun dan rela menunggu tangis Gendhis reda tanpa banyak bertanya. "Kamu tau kalau aku ada di sini sama Mas Surya?" tanya Gendhis masih sesenggukan, tapi tangisnya sudah tak lagi ada. "Aku ke sini karena tau kamu lagi sama dia," balas Rai. "Dia nggak akan berani booking kamu lagi setelah ini, sorry, mungkin kamu jadi rugi banyak karena berkurang satu pelanggan. Tapi aku nggak akan berhenti Ndhis, siapa lagi yang berani main tangan ke kamu, berurusan sama aku," katanya serius. "Nggak cuma satu-dua yang kayak Mas Surya. Sebagian besar yang dateng ke aku sering begitu, kasar, dan punya fantasi yang aneh. Mereka merasa wajib dilayani apapun keinginannya karena ngerasa udah bayar mahal. Kebanyakan yang hasrat seksualnya nggak terpenuhi di rumah, larinya ke kami," ungkap Gendhis jujur. "Dan kamu masih tahan kerja kayak begini?" mata Rai memb
Gendhis tidak menolak, ia biarkan Rai memagut lembut bibirnya, menuntaskan rasa. Seakan seluruh beban di dadanya siap meledak saat itu juga, Gendhis berpasrah. Apalagi saat Rai dengan hati-hati membopong tubuhnya dan membaringkannya di ranjang. Mereka berpandangan sejenak, cinta itu masih menyala, tersimpan dalam sorot mata yang mengungkap segalanya meski tanpa terwakili kata. "Aku cinta sama kamu, Ndhis," ungkap Rai gentle sekali. "Nggak peduli apapun kondisimu. Aku begini karena aku nggak mau nyesel untuk kedua kali," sebutnya yakin. Gendhis membasahi bibirnya beberapa kali, ia pandangi lekat wajah tampan yang tubuhnya berbaring menindihnya ini. Dirabanya pipi dengan rahang tajam milik Rai, bagaimana ini? Bolehkah ia terlena oleh cinta lama yang masih membara sedemikian besarnya? Bisakah Gendhis menepis segala kekhawatiran akan dunia dan masa bodoh saja? Mampukah Gendhis melenyapkan segenap ketakutan yang selama ini ditanggungnya?"Apa boleh aku juga bilang perasaanku, Rai?" tanya
Masih berbaring di ranjang berdua, sama-sama hanya berbalut selimut tebal membungkusnya, Rai dan Gendhis larut dalam pikiran masing-masing. Napas keduanya sudah kembali normal, mereka tak bicara apapun tapi Gendhis nyaman tenggelam dalam pelukan Rai yang hangat."Sejak terakhir kali kamu tidur sama aku, berapa orang yang kamu layani setelahnya?" tanya Rai sengaja berbicara sambil menempelkan bibirnya di telinga Gendhis. "Aku dipake dua orang, tapi aku minta mereka pake pengaman," ungkap Gendhis jujur. "Tarifnya jadi jauh lebih murah?" ekspresi Rai tampak takjub. "Iya, aku takut harus berakhir di meja operasimu lagi," jawab Gendhis klise. Meski sebenarnya ia hanya menjaga diri agar andai ia harus hamil suatu saat, adalah anak Rai yang ada di dalam rahimnya. "Kerugianmu bakalan kuganti," ucap Rai. "Berapa?" tanyanya. Gendhis menggeleng lemah, "Aku nolak 6 pelanggan, padahal aku butuh makan," gumamnya. "Bikin rekening baru, kutransfer yang kamu butuh ke rekening itu, jangan sampe M
"Sekarang giliranku," ucap Rai, ia kecup kening Gendhis sekejap. "Janin itu, apa milik Surya juga?" tembaknya tak terduga. Bukannya menjawab, Gendhis semakin menyusup di bawah ketiak Rai, menyembunyikan wajahnya. Ia mainkan jemarinya di atas dada Rai, enggan menjawab sebenarnya. "Aku nggak maksa kamu jawab kalau emang kamu nggak mau," kata Rai bijak. "Emang kamu berekspektasi apa, Rai?" Gendhis sedikit mendongak, ia tatap wajah tampan Rai yang sudah mulai bersih dari keringat. "Bukan Mas Surya, dia baru selesai pelantikan anggota dewan, selama proses pemilihan, dia nggak ngehubungin aku," tukasnya. "Oh, oke," Rai mengangguk paham. Sebenarnya, ia ingin bertanya jauh lebih dalam, tapi ditahannya. Ia tidak mau membuat suasana hati Gendhis berubah, mereka baru saja saling mengungkap rasa. Membiarkan situasi tetap manis dan hangat adalah pilihan terbaik bagi Rai saat ini. "Kamu nggak ke rumah sakit? Udah nggak ada kerjaan?" tanya Gendhis mengalihkan topik pembicaraan."Enggak," sahut
"Kamu mau berangkat kerja?" tanya Gendhis masih enggan membuka mata. Pagi sudah menjelang, setelah mengobrol panjang lebar semalaman dan bercinta 2 ronde lagi setelahnya, Gendhis lelap tidur di pelukan Rai. Kini, ia terbangun oleh kilau sinar matahari yang menyusup di sela-sela tirai jendela, pun juga aroma maskulin Rai yang menguar di sebelahnya. "Aku ada praktik poli di rumah sakit daerah, jam 8 harus udah standby," balas Rai. Ia lalu duduk di sisi ranjang, mengusap rambut berantakan Gendhis yang berusaha dirapikan pemiliknya. "Aku udah memperpanjang reservasi kamar ini, Bang Ardi juga udah kuminta ngirim baju ganti," katanya. "Reservasi Mas Surya ke Mami cuma sampai siang ini, Rai.""Itu udah kuurus, kamu boleh balik ke rumah bordil itu besok pagi. Semoga urusanku sama germo-mu itu juga bisa selesai secepatnya.""Urusan apa?" Gendhis spontan bangun dari posisi tidurnya. "Membebaskanmu.""Maksudnya?" Senyum Rai terkembang, ia kecup kening Gendhis sesaat, "Berapa kali harus kubi
"Kukira kamu cuma ada satu jadwal praktik aja hari ini, Rai," sambut Gendhis saat Rai tiba di hotel menjelang malam. "Ada dua cito pas aku udah mau selesai praktik. Suspect K.E.T lagi kayak kamu dulu sama preeklamsia," jawab Rai segera mencuci tangannya di wastafel, melepas kemejanya hingga hanya bertelanjang dada dan merebahkan diri di ranjang. "Aku dihubungi Mami, besok, ada pelanggan khusus yang minta aku buat terima pesanannya," ucap Gendhis. Rai mendongak, jelas ada raut tak rela dalam lelah wajahnya, tapi ia rebahkan lagi kepalanya kemudian. Ia urut keningnya dengan jemari, matanya terpejam. "Siapa VVIP-nya?" tanya Rai. Gendhis mengedikkan kedua bahunya, ia lantas duduk di sisi ranjang, "Aku nggak tau. VVIP nggak bakalan ngasih tau data pribadinya. Sama kayak dulu aku ngedatengin kamu di hotel karena pesanan papa tiri kamu itu," ujarnya. "Di mana lokasinya?" "Aku harus ke Batam.""Nanti kukirim orang buat ngurus ini," ujar Rai solutif. "VVIP yang satu ini nggak biasa Rai
"Sini rada chaos selama Mbak nggak ada," sebut Rima, salah satu pelacur junior yang baru dua tahun ini menghuni rumah bordil. Gendhis tersenyum simpul, ia aduk mie instan yang baru saja dituangnya ke mangkok. Membiarkan Rima menunggu reaksinya, Gendhis sengaja duduk di kursi makan, menghirup aroma mie instan yang sudah hampir 6 bulan ini tidak dinikmatinya. "Ada yang dateng nyari Mami karena masalah booking sama aku?" tanya Gendhis. Rima mengangguk mantap, "Mas Surya minta ganti orang, katanya udah nggak mau sama Mbak lagi, Mbak rasanya udah hambar. Se-vulgar itu dia teriak-teriak," ceritanya. "Padahal selama satu setengah tahun jadi pelangganku, dia nggak pernah sekalipun dateng ke sini, Rim," sahut Gendhis. "Ada satu orang yang ngobrak-abrik pola, gila banget ini orang," tambahnya. "Pacar Mbak?" tebak Rima dengan senyum gemasnya. "Pacar?" Gendhis menggantung kalimatnya. "Calon suami orang," tandasnya dalam suara bergetar. "Yang dokter ganteng itu ya Mbak?" Rima langsung nyamb
"Udah ketemu, kami baru aja turun dari pesawat," lapor Aldi pada suara di seberang, si penelepon dalam ponselnya. Gendhis terdiam, ia tak bicara apapun. Bahkan, saat Aldi mendobrak masuk ke dalam kamar hotel yang disewa Mario, hanya air mata yang Gendhis beri sebagai bentuk aduan. Penampilannya berantakan, ia dipaksa melayani saat belum siap dengan segala tuntutan gila Mario dan gaya yang di luar nalar. Saat Aldi tiba, Mario sudah pergi, sengaja meninggalkan Gendhis dalam keadaan terguncang. "Aniki minta gue bawa lo ke dia. Bisa?" tanya Aldi tepat saat sebuah mobil milik keluarga besar Takahashi terparkir di depannya. Gendhis mengangguk. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih, ia ingin lari, memeluk Rai saat itu juga. Semua ketakutan yang sudah tak bisa diatasinya ini hanya memiliki satu tempat untuk sembuh, seorang Rai. Dipapah Aldi, Gendhis yang sengaja menggunakan jaket dan topi untuk menutupi luka-luka di tubuhnya masuk ke dalam mobil. Bahkan, selama perjalanan panjang dari bandar
"Kita langsung ke hotel," ucap Doni, asisten Mario yang disiagakan untuk menangani urusan pribadi sang ketua umum partai. "Tinggalin barang-barang kamu di dalam tas itu!" perintahnya. "Kenapa musti ditinggal, Bang? Biasanya nggak kayak gini," desis Gendhis enggan. Benar dugaannya, VVIP anonim yang memesan jasanya hingga memboyongnya ke Batam adalah sang politisi muda."Lagi musim kampanye, kita nggak boleh lengah," sambar Doni. "Barang gue nggak berbahaya kali, Bang.""Ini perintah Bos, nggak usah ngebantah atau akibatnya bakalan lo tanggung sendiri. Mau begitu?" Gendhis menghela napas lelah. Mario memang cenderung kasar, suka memukul, tapi terhadap Gendhis, Mario tidak bisa tinggal jauh. Ia memanipulasi hidup Gendhis dengan terus memberi kucuran dana operasional rumah bordil Wida, juga memberi perlindungan agar rumah bordil itu tidak tersentuh penegak hukum."Bos udah nunggu di hotel?" tanya Gendhis saat Doni memarkir mobil di depan lobi hotel. "Lo liat aja di kamar udah ada apa
Rai-Gendhis, 13 tahun yang lalu .... "Seminggu ini, kamu nggak dateng buat cek urusan bar," gumam Gendhis sambil mengisap rokok di antara jemarinya, ia embuskan asapnya perlahan, bak profesional. "Lagi sibuk," balas Rai. Ia buka kancing paling atas baju seragamnya, mendekat pada Gendhis dan meminta bara api dari rokok milik Gendhis untuk menyulut rokoknya sendiri. "Ada yang nyakitin kamu pas kerja?" tanyanya serius. Gendhis menggeleng, "Aku udah biasa sama kelakuan pelanggan. Makasih ke kamu karena aku cuma diplot buat nemenin minum dan bersih-bersih," tuturnya. "Kalau ada apa-apa dan aku pas nggak di sana, kamu bilang aja ke Daniel, dia udah kuminta buat ngawasin kamu." "Aku nggak akan kabur, Rai-san," ucap Gendhis sudah mulai fasih memanggil Rai dengan sebutan familiarnya di bar. "Bukan karena aku takut kamu kabur," Rai sengaja mengembus asap rokoknya di depan wajah Gendhis. "Iya aku tau, kamu udah janji bakalan ngasih jaminan perlindungan buat aku," desis Gendhis tak bis
"Sini rada chaos selama Mbak nggak ada," sebut Rima, salah satu pelacur junior yang baru dua tahun ini menghuni rumah bordil. Gendhis tersenyum simpul, ia aduk mie instan yang baru saja dituangnya ke mangkok. Membiarkan Rima menunggu reaksinya, Gendhis sengaja duduk di kursi makan, menghirup aroma mie instan yang sudah hampir 6 bulan ini tidak dinikmatinya. "Ada yang dateng nyari Mami karena masalah booking sama aku?" tanya Gendhis. Rima mengangguk mantap, "Mas Surya minta ganti orang, katanya udah nggak mau sama Mbak lagi, Mbak rasanya udah hambar. Se-vulgar itu dia teriak-teriak," ceritanya. "Padahal selama satu setengah tahun jadi pelangganku, dia nggak pernah sekalipun dateng ke sini, Rim," sahut Gendhis. "Ada satu orang yang ngobrak-abrik pola, gila banget ini orang," tambahnya. "Pacar Mbak?" tebak Rima dengan senyum gemasnya. "Pacar?" Gendhis menggantung kalimatnya. "Calon suami orang," tandasnya dalam suara bergetar. "Yang dokter ganteng itu ya Mbak?" Rima langsung nyamb
"Kukira kamu cuma ada satu jadwal praktik aja hari ini, Rai," sambut Gendhis saat Rai tiba di hotel menjelang malam. "Ada dua cito pas aku udah mau selesai praktik. Suspect K.E.T lagi kayak kamu dulu sama preeklamsia," jawab Rai segera mencuci tangannya di wastafel, melepas kemejanya hingga hanya bertelanjang dada dan merebahkan diri di ranjang. "Aku dihubungi Mami, besok, ada pelanggan khusus yang minta aku buat terima pesanannya," ucap Gendhis. Rai mendongak, jelas ada raut tak rela dalam lelah wajahnya, tapi ia rebahkan lagi kepalanya kemudian. Ia urut keningnya dengan jemari, matanya terpejam. "Siapa VVIP-nya?" tanya Rai. Gendhis mengedikkan kedua bahunya, ia lantas duduk di sisi ranjang, "Aku nggak tau. VVIP nggak bakalan ngasih tau data pribadinya. Sama kayak dulu aku ngedatengin kamu di hotel karena pesanan papa tiri kamu itu," ujarnya. "Di mana lokasinya?" "Aku harus ke Batam.""Nanti kukirim orang buat ngurus ini," ujar Rai solutif. "VVIP yang satu ini nggak biasa Rai
"Kamu mau berangkat kerja?" tanya Gendhis masih enggan membuka mata. Pagi sudah menjelang, setelah mengobrol panjang lebar semalaman dan bercinta 2 ronde lagi setelahnya, Gendhis lelap tidur di pelukan Rai. Kini, ia terbangun oleh kilau sinar matahari yang menyusup di sela-sela tirai jendela, pun juga aroma maskulin Rai yang menguar di sebelahnya. "Aku ada praktik poli di rumah sakit daerah, jam 8 harus udah standby," balas Rai. Ia lalu duduk di sisi ranjang, mengusap rambut berantakan Gendhis yang berusaha dirapikan pemiliknya. "Aku udah memperpanjang reservasi kamar ini, Bang Ardi juga udah kuminta ngirim baju ganti," katanya. "Reservasi Mas Surya ke Mami cuma sampai siang ini, Rai.""Itu udah kuurus, kamu boleh balik ke rumah bordil itu besok pagi. Semoga urusanku sama germo-mu itu juga bisa selesai secepatnya.""Urusan apa?" Gendhis spontan bangun dari posisi tidurnya. "Membebaskanmu.""Maksudnya?" Senyum Rai terkembang, ia kecup kening Gendhis sesaat, "Berapa kali harus kubi
"Sekarang giliranku," ucap Rai, ia kecup kening Gendhis sekejap. "Janin itu, apa milik Surya juga?" tembaknya tak terduga. Bukannya menjawab, Gendhis semakin menyusup di bawah ketiak Rai, menyembunyikan wajahnya. Ia mainkan jemarinya di atas dada Rai, enggan menjawab sebenarnya. "Aku nggak maksa kamu jawab kalau emang kamu nggak mau," kata Rai bijak. "Emang kamu berekspektasi apa, Rai?" Gendhis sedikit mendongak, ia tatap wajah tampan Rai yang sudah mulai bersih dari keringat. "Bukan Mas Surya, dia baru selesai pelantikan anggota dewan, selama proses pemilihan, dia nggak ngehubungin aku," tukasnya. "Oh, oke," Rai mengangguk paham. Sebenarnya, ia ingin bertanya jauh lebih dalam, tapi ditahannya. Ia tidak mau membuat suasana hati Gendhis berubah, mereka baru saja saling mengungkap rasa. Membiarkan situasi tetap manis dan hangat adalah pilihan terbaik bagi Rai saat ini. "Kamu nggak ke rumah sakit? Udah nggak ada kerjaan?" tanya Gendhis mengalihkan topik pembicaraan."Enggak," sahut
Masih berbaring di ranjang berdua, sama-sama hanya berbalut selimut tebal membungkusnya, Rai dan Gendhis larut dalam pikiran masing-masing. Napas keduanya sudah kembali normal, mereka tak bicara apapun tapi Gendhis nyaman tenggelam dalam pelukan Rai yang hangat."Sejak terakhir kali kamu tidur sama aku, berapa orang yang kamu layani setelahnya?" tanya Rai sengaja berbicara sambil menempelkan bibirnya di telinga Gendhis. "Aku dipake dua orang, tapi aku minta mereka pake pengaman," ungkap Gendhis jujur. "Tarifnya jadi jauh lebih murah?" ekspresi Rai tampak takjub. "Iya, aku takut harus berakhir di meja operasimu lagi," jawab Gendhis klise. Meski sebenarnya ia hanya menjaga diri agar andai ia harus hamil suatu saat, adalah anak Rai yang ada di dalam rahimnya. "Kerugianmu bakalan kuganti," ucap Rai. "Berapa?" tanyanya. Gendhis menggeleng lemah, "Aku nolak 6 pelanggan, padahal aku butuh makan," gumamnya. "Bikin rekening baru, kutransfer yang kamu butuh ke rekening itu, jangan sampe M
Gendhis tidak menolak, ia biarkan Rai memagut lembut bibirnya, menuntaskan rasa. Seakan seluruh beban di dadanya siap meledak saat itu juga, Gendhis berpasrah. Apalagi saat Rai dengan hati-hati membopong tubuhnya dan membaringkannya di ranjang. Mereka berpandangan sejenak, cinta itu masih menyala, tersimpan dalam sorot mata yang mengungkap segalanya meski tanpa terwakili kata. "Aku cinta sama kamu, Ndhis," ungkap Rai gentle sekali. "Nggak peduli apapun kondisimu. Aku begini karena aku nggak mau nyesel untuk kedua kali," sebutnya yakin. Gendhis membasahi bibirnya beberapa kali, ia pandangi lekat wajah tampan yang tubuhnya berbaring menindihnya ini. Dirabanya pipi dengan rahang tajam milik Rai, bagaimana ini? Bolehkah ia terlena oleh cinta lama yang masih membara sedemikian besarnya? Bisakah Gendhis menepis segala kekhawatiran akan dunia dan masa bodoh saja? Mampukah Gendhis melenyapkan segenap ketakutan yang selama ini ditanggungnya?"Apa boleh aku juga bilang perasaanku, Rai?" tanya