"Kamu mau berangkat kerja?" tanya Gendhis masih enggan membuka mata. Pagi sudah menjelang, setelah mengobrol panjang lebar semalaman dan bercinta 2 ronde lagi setelahnya, Gendhis lelap tidur di pelukan Rai. Kini, ia terbangun oleh kilau sinar matahari yang menyusup di sela-sela tirai jendela, pun juga aroma maskulin Rai yang menguar di sebelahnya. "Aku ada praktik poli di rumah sakit daerah, jam 8 harus udah standby," balas Rai. Ia lalu duduk di sisi ranjang, mengusap rambut berantakan Gendhis yang berusaha dirapikan pemiliknya. "Aku udah memperpanjang reservasi kamar ini, Bang Ardi juga udah kuminta ngirim baju ganti," katanya. "Reservasi Mas Surya ke Mami cuma sampai siang ini, Rai.""Itu udah kuurus, kamu boleh balik ke rumah bordil itu besok pagi. Semoga urusanku sama germo-mu itu juga bisa selesai secepatnya.""Urusan apa?" Gendhis spontan bangun dari posisi tidurnya. "Membebaskanmu.""Maksudnya?" Senyum Rai terkembang, ia kecup kening Gendhis sesaat, "Berapa kali harus kubi
"Kukira kamu cuma ada satu jadwal praktik aja hari ini, Rai," sambut Gendhis saat Rai tiba di hotel menjelang malam. "Ada dua cito pas aku udah mau selesai praktik. Suspect K.E.T lagi kayak kamu dulu sama preeklamsia," jawab Rai segera mencuci tangannya di wastafel, melepas kemejanya hingga hanya bertelanjang dada dan merebahkan diri di ranjang. "Aku dihubungi Mami, besok, ada pelanggan khusus yang minta aku buat terima pesanannya," ucap Gendhis. Rai mendongak, jelas ada raut tak rela dalam lelah wajahnya, tapi ia rebahkan lagi kepalanya kemudian. Ia urut keningnya dengan jemari, matanya terpejam. "Siapa VVIP-nya?" tanya Rai. Gendhis mengedikkan kedua bahunya, ia lantas duduk di sisi ranjang, "Aku nggak tau. VVIP nggak bakalan ngasih tau data pribadinya. Sama kayak dulu aku ngedatengin kamu di hotel karena pesanan papa tiri kamu itu," ujarnya. "Di mana lokasinya?" "Aku harus ke Batam.""Nanti kukirim orang buat ngurus ini," ujar Rai solutif. "VVIP yang satu ini nggak biasa Rai
"Sini rada chaos selama Mbak nggak ada," sebut Rima, salah satu pelacur junior yang baru dua tahun ini menghuni rumah bordil. Gendhis tersenyum simpul, ia aduk mie instan yang baru saja dituangnya ke mangkok. Membiarkan Rima menunggu reaksinya, Gendhis sengaja duduk di kursi makan, menghirup aroma mie instan yang sudah hampir 6 bulan ini tidak dinikmatinya. "Ada yang dateng nyari Mami karena masalah booking sama aku?" tanya Gendhis. Rima mengangguk mantap, "Mas Surya minta ganti orang, katanya udah nggak mau sama Mbak lagi, Mbak rasanya udah hambar. Se-vulgar itu dia teriak-teriak," ceritanya. "Padahal selama satu setengah tahun jadi pelangganku, dia nggak pernah sekalipun dateng ke sini, Rim," sahut Gendhis. "Ada satu orang yang ngobrak-abrik pola, gila banget ini orang," tambahnya. "Pacar Mbak?" tebak Rima dengan senyum gemasnya. "Pacar?" Gendhis menggantung kalimatnya. "Calon suami orang," tandasnya dalam suara bergetar. "Yang dokter ganteng itu ya Mbak?" Rima l
Rai-Gendhis, 13 tahun yang lalu .... "Seminggu ini, kamu nggak dateng buat cek urusan bar," gumam Gendhis sambil mengisap rokok di antara jemarinya, ia embuskan asapnya perlahan, bak profesional. "Lagi sibuk," balas Rai. Ia buka kancing paling atas baju seragamnya, mendekat pada Gendhis dan meminta bara api dari rokok milik Gendhis untuk menyulut rokoknya sendiri. "Ada yang nyakitin kamu pas kerja?" tanyanya serius. Gendhis menggeleng, "Aku udah biasa sama kelakuan pelanggan. Makasih ke kamu karena aku cuma diplot buat nemenin minum dan bersih-bersih," tuturnya. "Kalau ada apa-apa dan aku pas nggak di sana, kamu bilang aja ke Daniel, dia udah kuminta buat ngawasin kamu." "Aku nggak akan kabur, Rai-san," ucap Gendhis sudah mulai fasih memanggil Rai dengan sebutan familiarnya di bar. "Bukan karena aku takut kamu kabur," Rai sengaja mengembus asap rokoknya di depan wajah Gendhis. "Iya aku tau, kamu udah janji bakalan ngasih jaminan perlindungan buat aku," desis Gendhis tak bis
"Kita langsung ke hotel," ucap Doni, asisten Mario yang disiagakan untuk menangani urusan pribadi sang ketua umum partai. "Tinggalin barang-barang kamu di dalam tas itu!" perintahnya. "Kenapa musti ditinggal, Bang? Biasanya nggak kayak gini," desis Gendhis enggan. Benar dugaannya, VVIP anonim yang memesan jasanya hingga memboyongnya ke Batam adalah sang politisi muda."Lagi musim kampanye, kita nggak boleh lengah," sambar Doni. "Barang gue nggak berbahaya kali, Bang.""Ini perintah Bos, nggak usah ngebantah atau akibatnya bakalan lo tanggung sendiri. Mau begitu?" Gendhis menghela napas lelah. Mario memang cenderung kasar, suka memukul, tapi terhadap Gendhis, Mario tidak bisa tinggal jauh. Ia memanipulasi hidup Gendhis dengan terus memberi kucuran dana operasional rumah bordil Wida, juga memberi perlindungan agar rumah bordil itu tidak tersentuh penegak hukum."Bos udah nunggu di hotel?" tanya Gendhis saat Doni memarkir mobil di depan lobi hotel. "Lo liat aja di kamar udah ada apa
"Udah ketemu, kami baru aja turun dari pesawat," lapor Aldi pada suara di seberang, si penelepon dalam ponselnya. Gendhis terdiam, ia tak bicara apapun. Bahkan, saat Aldi mendobrak masuk ke dalam kamar hotel yang disewa Mario, hanya air mata yang Gendhis beri sebagai bentuk aduan. Penampilannya berantakan, ia dipaksa melayani saat belum siap dengan segala tuntutan gila Mario dan gaya yang di luar nalar. Saat Aldi tiba, Mario sudah pergi, sengaja meninggalkan Gendhis dalam keadaan terguncang. "Aniki minta gue bawa lo ke dia. Bisa?" tanya Aldi tepat saat sebuah mobil milik keluarga besar Takahashi terparkir di depannya. Gendhis mengangguk. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih, ia ingin lari, memeluk Rai saat itu juga. Semua ketakutan yang sudah tak bisa diatasinya ini hanya memiliki satu tempat untuk sembuh, seorang Rai. Dipapah Aldi, Gendhis yang sengaja menggunakan jaket dan topi untuk menutupi luka-luka di tubuhnya masuk ke dalam mobil. Bahkan, selama perjalanan panjang dari bandar
Setelah tenang, tubuhnya selesai diberi pengobatan, Gendhis menolak untuk makan dan memilih kembali beristirahat. Rai tidak memaksa, ia biarkan Gendhis menikmati waktu santainya, tanpa gangguan. "Dia disiksa secara fisik, dipaksa ngelayanin," lapor Aldi pada Rai yang baru saja turun dari kamarnya. "Nggak ada orang pas lo nemuin dia?" gumam Rai seraya meneguk air putihnya bernafsu. Aldi menggeleng, "Dia udah ditinggalin sendiri, gue yang nemuin aja rasanya pengin marah, sialan," desisnya. "Menurut lo, Gendhis begini, disiksa kayak gini, nggak mungkin baru kali ini kan?" "Gue cari tau lengkapnya, sekaligus buktinya," ucap Aldi. "Cepet ya Bang, gue nggak mau Gendhis kelamaan disiksa sama bajingan itu," pinta Rai penuh dendam. "Lo harus lebih hati-hati sama orang ini, Christ. Terutama jas snelli lo itu," pesan Aldi seraya beranjak. "Tuh, nggak jadi tidur dia," ucapnya mengedikkan dagu ke arah tangga. Di sana ada Gendhis yang tengah berdiri linglung. Cepat-cepat Rai naik, mendatang
Gendhis menatap jauh ke rerimbunan pohon tabebuya di taman belakang rumah Rai, pohon itu belum berbunga, tapi teduhnya menyamankan mata. Ia tarik napas dalam-dalam, sudah dua hari Gendhis mengasingkan diri di rumah sang cinta pertama, menyembuhkan kesakitannya. Sementara Rai justru tak pulang ke rumah karena pekerjaannya yang menuntut kesiapsiagaan kapanpun ada kedaruratan. "Christ bilang mau pulang kapan?" Sebuah suara membuat lamunan Gendhis buyar, ia menoleh kaget. Ada sosok perempuan sangat cantik dengan tubuh berhias beberapa tato, berdiri di belakang tempat duduknya. Perempuan ini tersenyum, aura mahalnya langsung keluar. "Aku Ann, kamu pasti kaget," kata pemilik suara, ibu tiri Rai yang luar biasa. "Ah," buru-buru Gendhis berdiri, tapi Ann menahan bahunya. "No, nggak usah bingung, tetep duduk aja di situ, kamu masih dalam proses penyembuhan," larang Ann. "Rai sudah dua hari nggak pulang, ehm....""Ane-san," sambar Ann saat menyadari kebingungan Gendhis, bagaimana harus me
"Kamu tau Christ bakalan nikah satu bulan lagi?" tanya Ben dingin, seperti biasa. Gendhis mengangguk, ia duduk menghadapi sang ketua, di sebelahnya, Rai tampak santai mengisap rokoknya. Sementara, di samping Ben, Ann tersenyum simpul, ramah sekali seperti biasa."Kamu diem aja? Cuma begini?" mata Ben beralih pada Rai. "Aku harus ngacak-ngacak keluarganya Kiara? Gitu?" sambar Rai menggemaskan. "Kalau dia udah nikah sama Kiara, posisimu nggak mudah, Gendhis," sela Ann ikut menimbrung. "Apa kamu nggak pa-pa?" tanyanya. "Aku pelacur, dan aku tau diri, Ane-san," jawab Gendhis lirih. "Kamu rela, Rai nikahin perempuan lain?" tanya Ben tiba pada final pertanyaannya."Aku udah terbiasa jadi simpanan pria beristri Ben, aku rasa nggak akan jadi masalah," tandas Gendhis tegar sekali. "Kalian berdua ya!" gemas Ann saling berpandangan dengan Ben. "Terus, sampai kapan kamu jadiin Gendhis simpanan, Christ?" "Sampe aku resmi jadi ketua, Ane-san. Setelah itu, nasib Gendhis bakalan jadi priorita
"Jangan gila ya kamu, Rai!" sengal Gendhis panik. "Makan dulu," sahut Rai paham situasi. Gendhis menurut, meski hatinya tak menyangkal bahwa mengajak menikah adalah kejutan Rai yang sangat di luar nalar, tapi ia senang. Setidaknya Rai memikirkan kebimbangannya, ketakutannya selama ini. "Besok, setelah aku pulang kerja, ikut aku ketemu sama Ben dan Ann," ujar Rai di tengah kunyahannya. "Mau ngapain?" "Ketemu aja. Kamu kan baru ketemu mereka beberapa kali dan cuma bentar.""Aku nggak ngerti mau kamu itu apa. Sumpah, kamu ambigu banget, Rai," tuduh Gendhis jengah. "Ben sama Ann dulu juga nggak dapet restu dari para tetua, kita bisa cari ilmu dari mereka," kata Rai enteng sekali. "Ilmu apa? Situasinya beda kan Rai? Ben nggak punya calon istri lain. Sedangkan kamu punya," ujar Gendhis. "Kita nikmatin kencan ini dulu ya, nggak usah bahas yang berat-berat," kata Rai memutus arah pembicaraan serius mereka. "Kamu yang mulai duluan, aku cuma ngikutin kamu aja sih," desis Gendhis. Makan
"Aku harus pergi," ucap Gendhis pada Rai yang masih bertahan di kamarnya hingga hampir tengah malam. "Ke mana? Tengah malem begini? Ngelayanin pelanggan?" cecar Rai ingin tahu. Gendhis berkacak pinggang sambil berbalik pada Rai, "Cari makan," katanya singkat. "Ikut!" ujar Rai langsung bangkit, menyambar jaketnya. "Aku makan kaki lima lho," tandas Gendhis sengaja membuat Rai mengurungkan niatnya. "Aku makan pake tangan, bukan pake kaki. Ayok!" kata Rai tak peduli, ia genggam jemari Gendhis dan dibimbingnya keluar kamar tanpa menunggu lama. "Kamu nggak ada kerjaan? Nggak sibuk? Perasaan seharian ini jadi bawang kosong jagain kamarku," gumam Gendhis sambil mengunci pintu kamar. "Aku kangen," balas Rai. Beriringan, keduanya berjalan menuruni tangga, melewati ruang tamu di mana ada beberapa junior Gendhis yang menatap takjub pada Rai. Siapa yang tidak akan terpesona pada sang pemilik baru dari rumah bordil yang mereka tinggali? Rai memilik semua kharisma pemikat kaum hawa. "Terus,
"Maaf, aku kelamaan datengnya ya," ucap Rai. Berbaring di ranjang milik Gendhis, Rai tampak tak lagi peduli mengenai citranya sebagai dokter. Ia tak gentar jika nanti timbul asumsi mengenai kemunculannya di rumah bordil. Satu hal yang harus terus ia waspadai, ancaman Eriska tidak pernah main-main. Jadi, membeli rumah bordil secara paksa dari Wida adalah salah satu caranya melindungi Gendhis dari ancaman Eriska. Rai sangat tahu bagaimana karakter kakak kandungnya itu. Masih tertanam dalam pikirannya seperti apa penderitaan Ann sejauh ini akibat perbuatan Eriska. "Aku nggak nerima booking-an satu pun selama di sini juga," ucap Gendhis. "Tadi baru aja aku dikasih tau Rose kalau Mami uring-uringan. Mungkin bukan cuma karena aku nolak buat nerima pelanggan, tapi juga tekanan dari kamu yang ngebeli rumah ini.""Aku tetep ngebolehin dia ngejalanin bisnis ini, tapi tetep sesuai pengawasan orang-orangku.""Kamu tau rumah ini jadi sumber mata pencaharian lusinan pelacur, Rai. Kalau kamu pengi
"Mami Eris ngusir kamu?" tanya Rai, ia duduk di ranjang menghadapi Gendhis yang berdiri tegang tanpa suara.Gendhis membasahi bibirnya, tak langsung memberi jawaban. Ia melangkah ke arah sofa tamu, menjatuhkan diri di sana. "Aku pulang ke sini atas kemauanku sendiri, bukan karena diusir," jawab Gendhis. "Aku tau Mami Eris pasti ngomong yang enggak-enggak ke kamu, makanya kamu mutusin buat keluar dari rumahku, iya kan?" "Selayaknya seorang keluarga yang nggak rela anggota keluarga lainnya terjerumus ke neraka," sahut Gendhis. "Aku tau diri Rai, jadi, kamu nggak perlu nyari aku ke sini dan ngasih penjelasan apapun," tambahnya. "Aku ke sini bukan buat ngasih kamu penjelasan. Ini sekadar pengumuman, kamu bisa kasih tau ke yang lain kalau kepemilikan rumah bordil ini udah pindah tangan atas nama Wisanggeni," ujar Rai. "Jadi, kalau ada masalah apapun yang nantinya melibatkan rumah bordil ini, aku yang bertanggungjawab!" tegasnya.
"Mami uring-uringan, lo pulang tapi nggak mau nerima bookingan," Rose, teman satu angkatan Gendhis di rumah bordil masuk begitu saja ke dalam kamar."Gue lagi pengin tidur doang di kamar, seminggu kayaknya enak deh," jawab Gendhis masih membenamkan wajahnya di balik bantal. "Sugar, VVIP yang make lo kemarin, gila banget ya?" tanya Rose hati-hati. "Lo numbalin diri lo biar dia nggak booking anak-anak baru," desisnya. "Mario minta gue yang dateng, Rose. Lo tau sendiri rumah bordil ini di-backing penuh sama kekuasaannya Mario. Dan Mario tau kalau dari kita semua, cuma gue yang hafal dan tau kebiasaannya," ucap Gendhis. "Lo gimana? Aman semuanya kan?" Rose mengangguk, "Gue mau nikah. Jadi istri siri," tandasnya mengejutkan. "Jangan gila ya lo!" sengal Gendhis segera menarik bantal yang menutupi wajahnya. Ia seketika bangun dari posisi berbaringnya. "Istri siri itu nggak aman buat kita, Rose. Apalagi posisi kita sebagai istri kedua," ujarnya. "Gue jatuh cinta sama Mas Arul, Sugar. Sat
Gendhis berdiri mematung di ujung tangga, ia baru saja keluar dari dalam kamar Rai saat menyadari bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam rumah. Tahu bahwa hal seperti ini pasti akan terjadi suatu saat, Gendhis berusaha terlihat kuat. Ia sudah mempersiapkan hatinya, tp ternyata, diam pun tidak cukup untuk membuat hatinya tenang. "Sejak kapan kamu tinggal di sini?" tanya sosok perempuan berambut panjang berumur sekitar 50 tahunan itu pada Gendhis. "Dua mingguan, Tante," jawab Gendhis jujur. "Ah, jadi kamu pelacur itu?" Gendhis bungkam. "Aku Eriska, keluarga kandungnya Christ kalau kamu penasaran. Kamu mau pergi sendiri atau nunggu kuusir dari sini?" tanya Eriska, perempuan yang selalu Rai sebut dengan panggilan 'Mami Eris' itu. Gendhis tertegun sesaat, berusaha mencerna situasi yang tengah dihadapinya. Eriska bukan salah satu orang yang ada di pihaknya, ia tidak satu kubu dengan Ann dan Ben. Oleh karena itu, Gendhis harus hati-hati dan tidak asal menjawab. "Berapa juta yang kamu
"Kamu bisa belanja baju dan keperluan kamu lainnya pake ini," ujar Rai meletakkan satu kartu ATM di nakas. Gendhis yang tengah menyisir rambutnya di depan cermin, menoleh. Ia beranjak dan mendekati nakas, meneliti kartu yang Rai letakkan di atasnya. "Mami terus nelepon sejak subuh tadi. Kayaknya dia udah dengar soal masalah Mario kemarin itu," sebut Gendhis lalu meraih kartu ATM dari Rai dan menyimpannya. "Dia pasti kalang kabut," tambahnya. "Biar nanti orangku yang urus," balas Rai. "Satu jam lagi kukirim sopir buat anter kamu belanja. Maaf aku nggak bisa nemenin, ada jadwal poli hari ini di dua rumah sakit," katanya. Gendhis menghela napas panjang. Belum lama, belum ada sebulan juga ia tinggal di rumah besar milik Rai. Ada setidaknya dua ART yang membersihkan setiap sudut rumah dengan jobdesc yang berbeda. Pun, mereka tidak pernah sengaja mencari tahu siapa gerangan sosok Gendhis. Privasi Rai di rumahnya sendiri benar-benar terjaga, para pekerjanya sangat menghormatinya. "Ada m
"Kamu mungkin bisa cinta sama Kiara seiring berjalannya waktu Rai, apalagi nanti kalau kalian udah suami-istri," bisik Gendhis. Menikmati sore hanya di rumah besar, menghabiskan waktu di kamar, mengobrol sambil berpelukan. Sungguh, Gendhis tidak pernah membayangkan akan menikmati momen semacam ini, damai sekali hatinya. "Nggak akan," balas Rai yakin. "Cintaku abis di kamu," tambahnya tanpa keraguan. "Bisa gitu ya?" senyum Gendhis terkembang, ia senang karena Rai menjadi lebih terbuka perihal perasaannya sekarang. "Nyatanya bisa kan? Nggak ada yang baik dari perjodohan kami selain dapet keuntungan dari bisnis yang udah lama dirintis, Ndhis.""Aneh kan tapi? Calon istri kamu adalah calon dokter spesialis, cantik, kaya raya, punya banyak koneksi, tapi kamu malah milih nyembunyiin pelacur kayak aku di rumah kamu," ucap Gendhis tertawa getir."Karena pelacur ini duniaku," sebut Rai sembari mengecup pucuk kepala Gendhis sayang. "Sedangkan Kiara cuma bagian sangat kecil di dalamnya," lan