"Kadang aku mikir kalau aku itu murahan banget, mau-maunya dicium, diraba, bahkan satu rumah sama cowok yang bukan siapa-siapaku. Tapi kamu udah ngebeli aku, sekarang nggak cuma tubuhkubyang kamu milikin, tapi seluruhnya termasuk hati dan pikiranku," gumam Ann lirih, timbul tenggelam. Ben tak memberikan reaksi, pertanda ia sudah terlelap dalam mimpi. Ann pun begitu, setelah mengecup ujung runcing dagu Ben, ia ikut memejamkan matanya. Mereka tidur di ranjang yang sama untuk pertama kalinya, dengan perasaan yang sudah berkembang pesat dari sebelumnya. Sepanjang mereka terlelap, Ben beberapa kali mengigau, mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan. Saat Ann terjaga, hari sudah pagi. Sinar matahari menyeruak di celah jendela, membuat Ann memicingkan matanya. Di sebelahnya Ben masih nyaman memejamkan mata, damai sekali wajahnya. Ann raba kening Ben, panasnya sudah turun. Perlahan Ann bangun, berniat mengganti air kompres ke dapur. "Syukur badan kamu udah baikan," bisik Ann lagi-lag
"Ann!" sapa Taka ceria, senyumnya terkembang di balik kacamata hitamnya menyambut sang calon menantu pilihan. "Selamat datang!" serunya. "Rada jauh ya Om," ucap Ann mengitarkan pandangan, mereka ada di kawasan pelabuhan. "Di sinilah pusat bisnis keluarga kita dikembangkan, Ann, rahasia dan sangat tertutup," balas Taka. Ia ajak Ann berjalan mengikutinya. "Maaf ya, aku ambil hari libur kamu yang seharusnya kamu pake buat belajar. Masih jalan UAS?" tanyanya. Ann mengangguk sambil berusaha mengimbangi langkah lebar Taka. Beberapa orang bertubuh tegap dan berwajah seram mengikuti keduanya, mengawal dengan setia. "Nggak pa-pa Om, ini juga kebetulan libur Sabtu dan Minggu, nggak ada kerjaan juga akunya," kata Ann. "Seharusnya Om nggak perlu repot-repot bawa aku tur khusus gini," ujarnya. "Enggak, aku nggak repot. Sebagai calon istrinya Ben yang nantinya bakalan ketemu sama Ketua, aku perlu mempersiapkan kamu. Aku tau kamu buta soal pekerjaan Ben, dan ini kewajibanku untuk ngasih t
"Tapi Om tetep dukung Mas Ben sejauh ini," sahut Ann tersenyum. "Itu cukup berarti buat Mas Ben, Om." "Ben nggak boleh hancur di tangan orang Adyaksa, Ann." "Siapa bilang aku bakalan hancur?" lagi-lagi Ben muncul di tengah percakapan seru Ann dan calon mertuanya. "Ngebawa Ann tanpa seijinku ke sini? Apa maksudnya?" tanyanya tegang. "Tenang dulu dong," Taka menyambut santai, "dia harus tau kerjaanmu kan?" ujarnya. "Kamu kenapa nggak pamit, Ann?" Ben beralih menatap Ann kesal. "Tadinya kupikir kamu udah tau kalau aku diajakin Om Taka ke sini," jawab Ann jujur, ia melirik Taka. "Suka ya kamu diajak pergi sama Om-Om?" gumam Ben kejam. "Apa sih Mas!" Ann cemberut, "aku pulang aja kalau gitu," desisnya segera berdiri. "Aku yang pergi, kalian lanjutin tur berdua," tahan Taka ikut berdiri, ia beri komando pada anak buahnya untuk meninggalkan ruangan. Sambil menatap langkah Taka yang perlahan menjauh, Ann tak mau duduk lagi. Ia kesal juga pada Ben yang asal mengatainya seperti t
"Jadi aku harus nunggu kamu selesai ngerokok dulu?" tanya Ann mengembus napas kasar, ia harus bersabar. "Eriska, anak kedua dari keluarga besar Adyaksa Ghautama," ungkap Ben, ia masih sesekali mengisap rokoknya yang baru disulut. "Aku jaga dia sekuat tenaga, aku nggak nyentuh dia dan gimanapun caranya kutahan diriku buat nggak nidurin dia," lanjutnya. "Karena dia masih perawan?" gumam Ann. Ben mengangguk, "Dia ngaku kalau dia belom pernah kenal dan jatuh cinta sama cowok manapun sebelum ketemu gue. Kami pacaran, harus kuakuin, kami punya banyak kesamaan dan aku jatuh cinta juga sama dia." Mendengar kalimat Ben yang jatuh cinta pada sosok Eriska, Ann spontan menggigit bibir bawahnya. Siapkah ia terluka? "Selama hampir dua tahun dia rapi banget menutupi latar belakangnya, sampe pada akhirnya Mama dapet info soal keluarganya dan Kakek murka. Aku udah terlanjur jatuh dan susah bagiku buat bangun lagi, apalagi Eriska banyak ngisi duniaku," Ben melanjutkan ceritanya. "Dan di saat ak
"Ann," Ben mengembus asap rokoknya ke udara, "komitmen buat nikah ini bakalan berdampak besar bagiku maupun kamu. Dari sudut pandang kamu, apa yang bakalan berubah selaen status?" tanyanya. "Banyak hal," desis Ann sudah tak lagi berminat untuk berdiskusi dengan lelaki di depannya."Nah, itu kamu tau istimewanya kamu buatku," sambar Ben cepat. "Aku tetep nggak ngerti! Kita saling kenal di awal karena perjanjian seumur hidup kita, bukan karena kita mau dinikahin," dengus Ann dengan tatapan pias."Kamu tetep nggak bisa paham sama maksudku, pulang aja ayok!" ajak Ben gemas."Bentar!" tahan Ann mulai tersadar. "Apa dari awal kamu udah ada niat buat nikahin aku, Mas? Di hari pertama kita ketemu?" tebaknya dengan mata penuh selidik. "Ngebeli para model dan nidurin mereka adalah proses seleksi. Kalau nggak sesuai kriteria, cukup sekali aja ada di ranjangku," ungkap Ben seraya mengedipkan sebelah matanya dan beranjak dari kursi. "Tapi kamu bahkan belom tau asal-usulku pas bikin kontrak sep
"Ngampus?" sapa Ben yang ternyata sudah duduk santai di ruang tamu, memainkan ponselnya. "Iya Mas," jawab Ann mengangguk, ia berjalan pelan menuruni tangga."Sarapan?" tawar Ben ambigu. "Belom," Ann mengangguk polos."Aku udah siapin, sarapan dulu sana," pinta Ben tak acuh, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Kamu nggak sarapan juga, Mas?" tanya Ann. "Kamu butuh ditemenin?" kali ini Ben mendongak, "ya ayok," ujarnya licik, pandai sekali menutupi gengsi. Ann menatap gemas ke arah Ben yang berdiri dan langsung ngeloyor menuju dapur di mana makanan memang lebih sering dipersiapkan dan ditata di sana. Bagaimanapun, karena ini ujian hari terakhir, Ann memilih untuk sarapan di rumah saja, apalagi ia tahu sekali bahwa masakan Ben selalu menggoda. "Kamu tumben di rumah pagi-pagi gini. Biasanya kalau aku ngecek semua keperluannya Chester subuh, kamu udah nggak ada atau malah belom pulang," kritik Ann seraya mengambil nasi goreng ke dalam piringnya. "Tiga hari ini aku pulang ter
Lantas hening. Ben sibuk berkonsentrasi menyetir dan Ann asik menikmati ramai situasi di luar yang penuh lalu lalang kendaraan. Merasa sedikit kikuk karena tak punya bahan pembicaraan, Ann membuka catatannya, ia belajar lagi. Melihat tingkah lucu Ann yang demikian, Ben diam-diam menyungging senyum. Dalam hati ia takjub, Ann yang sangat polos dan terjebak di kehidupan seorang Big Ben, tapi juga tak putus asa mengejar apa yang menjadi mimpinya. "Mas, ih!" Ann mendesis, "dibilang jangan masuk ke lingkungan kampus," protesnya kesal. Pasalnya, Ben tidak mendengar permintaannya sama sekali dan malah berhenti tepat di depan gedung dekanat yang ramai mahasiswa di jam-jam pagi begini. "Diem aja dan jangan turun dulu," pesan Ben galak. "Awas kalau turun!" ancamnya benar-benar mengintimidasi.Ann melongo tapi menurut saja pada perintah Ben. Seperti tengah benar-benar mengantar calon istrinya berangkat ke kampus, Ben membukakan pintu penumpang untuk Ann, begitu manis. Sontak perhatian tertuju p
Ben tak henti mengayunkan katana-nya secara sembarangan, tak terarah. Terlihat sekali bahwa pikirannya sedang penuh dan ia cukup terganggu dengan semua hal itu. Wajahnya kacau, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang dibiarkan bertelanjang sebatas pinggang. Tato seksinya terpampang, bergerak indah seiring helaan napas yang diambilnya. "Kamu manggil aku, Mas?" tanya Ann yang baru saja masuk ke ruang latihan Ben dan melihat pemandangan menakjubkan di depan mata. "Baru pulang kamu jam segini?" tegur Ben tanpa menoleh, arah pandangannya lurus ke arah dirinya sendiri yang bayangannya terpantul di dinding cermin. "Iya, biasanya kalau show kan juga jam segini. Kamu kenapa tadi nggak jadi dateng? Katanya tadi ketemu di sana," ucap Ann tak terlalu memperhatikan wajah galau Ben. "Aku ada urusan mendadak, kerjaan," sebut Ben singkat. "Ah," Ann mengangguk lemah. "Udah bisa ngobrol atau aku ganti baju dulu aja?" tawarnya. "Kamu ganti baju, bersih-bersih dulu aja. Aku mau mandi sekalia