"Jadi aku harus nunggu kamu selesai ngerokok dulu?" tanya Ann mengembus napas kasar, ia harus bersabar. "Eriska, anak kedua dari keluarga besar Adyaksa Ghautama," ungkap Ben, ia masih sesekali mengisap rokoknya yang baru disulut. "Aku jaga dia sekuat tenaga, aku nggak nyentuh dia dan gimanapun caranya kutahan diriku buat nggak nidurin dia," lanjutnya. "Karena dia masih perawan?" gumam Ann. Ben mengangguk, "Dia ngaku kalau dia belom pernah kenal dan jatuh cinta sama cowok manapun sebelum ketemu gue. Kami pacaran, harus kuakuin, kami punya banyak kesamaan dan aku jatuh cinta juga sama dia." Mendengar kalimat Ben yang jatuh cinta pada sosok Eriska, Ann spontan menggigit bibir bawahnya. Siapkah ia terluka? "Selama hampir dua tahun dia rapi banget menutupi latar belakangnya, sampe pada akhirnya Mama dapet info soal keluarganya dan Kakek murka. Aku udah terlanjur jatuh dan susah bagiku buat bangun lagi, apalagi Eriska banyak ngisi duniaku," Ben melanjutkan ceritanya. "Dan di saat ak
"Ann," Ben mengembus asap rokoknya ke udara, "komitmen buat nikah ini bakalan berdampak besar bagiku maupun kamu. Dari sudut pandang kamu, apa yang bakalan berubah selaen status?" tanyanya. "Banyak hal," desis Ann sudah tak lagi berminat untuk berdiskusi dengan lelaki di depannya."Nah, itu kamu tau istimewanya kamu buatku," sambar Ben cepat. "Aku tetep nggak ngerti! Kita saling kenal di awal karena perjanjian seumur hidup kita, bukan karena kita mau dinikahin," dengus Ann dengan tatapan pias."Kamu tetep nggak bisa paham sama maksudku, pulang aja ayok!" ajak Ben gemas."Bentar!" tahan Ann mulai tersadar. "Apa dari awal kamu udah ada niat buat nikahin aku, Mas? Di hari pertama kita ketemu?" tebaknya dengan mata penuh selidik. "Ngebeli para model dan nidurin mereka adalah proses seleksi. Kalau nggak sesuai kriteria, cukup sekali aja ada di ranjangku," ungkap Ben seraya mengedipkan sebelah matanya dan beranjak dari kursi. "Tapi kamu bahkan belom tau asal-usulku pas bikin kontrak sep
"Ngampus?" sapa Ben yang ternyata sudah duduk santai di ruang tamu, memainkan ponselnya. "Iya Mas," jawab Ann mengangguk, ia berjalan pelan menuruni tangga."Sarapan?" tawar Ben ambigu. "Belom," Ann mengangguk polos."Aku udah siapin, sarapan dulu sana," pinta Ben tak acuh, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Kamu nggak sarapan juga, Mas?" tanya Ann. "Kamu butuh ditemenin?" kali ini Ben mendongak, "ya ayok," ujarnya licik, pandai sekali menutupi gengsi. Ann menatap gemas ke arah Ben yang berdiri dan langsung ngeloyor menuju dapur di mana makanan memang lebih sering dipersiapkan dan ditata di sana. Bagaimanapun, karena ini ujian hari terakhir, Ann memilih untuk sarapan di rumah saja, apalagi ia tahu sekali bahwa masakan Ben selalu menggoda. "Kamu tumben di rumah pagi-pagi gini. Biasanya kalau aku ngecek semua keperluannya Chester subuh, kamu udah nggak ada atau malah belom pulang," kritik Ann seraya mengambil nasi goreng ke dalam piringnya. "Tiga hari ini aku pulang ter
Lantas hening. Ben sibuk berkonsentrasi menyetir dan Ann asik menikmati ramai situasi di luar yang penuh lalu lalang kendaraan. Merasa sedikit kikuk karena tak punya bahan pembicaraan, Ann membuka catatannya, ia belajar lagi. Melihat tingkah lucu Ann yang demikian, Ben diam-diam menyungging senyum. Dalam hati ia takjub, Ann yang sangat polos dan terjebak di kehidupan seorang Big Ben, tapi juga tak putus asa mengejar apa yang menjadi mimpinya. "Mas, ih!" Ann mendesis, "dibilang jangan masuk ke lingkungan kampus," protesnya kesal. Pasalnya, Ben tidak mendengar permintaannya sama sekali dan malah berhenti tepat di depan gedung dekanat yang ramai mahasiswa di jam-jam pagi begini. "Diem aja dan jangan turun dulu," pesan Ben galak. "Awas kalau turun!" ancamnya benar-benar mengintimidasi.Ann melongo tapi menurut saja pada perintah Ben. Seperti tengah benar-benar mengantar calon istrinya berangkat ke kampus, Ben membukakan pintu penumpang untuk Ann, begitu manis. Sontak perhatian tertuju p
Ben tak henti mengayunkan katana-nya secara sembarangan, tak terarah. Terlihat sekali bahwa pikirannya sedang penuh dan ia cukup terganggu dengan semua hal itu. Wajahnya kacau, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang dibiarkan bertelanjang sebatas pinggang. Tato seksinya terpampang, bergerak indah seiring helaan napas yang diambilnya. "Kamu manggil aku, Mas?" tanya Ann yang baru saja masuk ke ruang latihan Ben dan melihat pemandangan menakjubkan di depan mata. "Baru pulang kamu jam segini?" tegur Ben tanpa menoleh, arah pandangannya lurus ke arah dirinya sendiri yang bayangannya terpantul di dinding cermin. "Iya, biasanya kalau show kan juga jam segini. Kamu kenapa tadi nggak jadi dateng? Katanya tadi ketemu di sana," ucap Ann tak terlalu memperhatikan wajah galau Ben. "Aku ada urusan mendadak, kerjaan," sebut Ben singkat. "Ah," Ann mengangguk lemah. "Udah bisa ngobrol atau aku ganti baju dulu aja?" tawarnya. "Kamu ganti baju, bersih-bersih dulu aja. Aku mau mandi sekalia
"Ya udah, aku udah bersedia dan kita nggak punya waktu banyak buat mikirin resikonya, Mas. Kakek kamu udah di sini," desis Ann bertekad. "Dan kamu ngehancurin hidup kamu sendiri buat masuk ke hidupku?" gumam Ben berubah klise sekali, ia terpengaruh oleh dorongan hatinya. "Aku udah hancur sejak mau nggak mau nerima kontrak seumur hidup antara kita Mas. Secara nggak sadar aku udah pasrahin seluruh hidupku ke kamu, bergantung ke kamu, terus sekarang, kamu mau kita gimana?" tantang Ann. Ben terdiam, hanya jakun seksinya yang naik turun tanpa suara apapun keluar dari mulutnya. Wajahnya tampak pias, dadanya seperti ditembak dalam jarak dekat saat Ann berkata telah memasrahkan hidup padanya."Kamu yang udah memulai semuanya Mas, bertanggungjawablah dan hadapi!" desis Ann penuh penekanan. "Oke gini, kasih aku waktu, 1 tahun," ungkap Ben kemudian. Ia beri jeda pada ucapannya dengan menatap Ann teduh, menunggu reaksi. Ann balas menatap Ben lekat, matanya berair. Ia serahkan hidup, hati dan
"Udah tidur berapa kali lo sama Ben?" "Ya?" Ann yang baru saja keluar dari ruang ganti melongo bingung. Hari ini adalah jadwal Ann untuk pengambilan gambar iklan shampoo dan Danisha si bungsu, sengaja datang menemuinya."Lupakan," Danisha menggerakkan telapak tangannya di depan wajah. "Lo udah tau nanti sore lo dijadwalin ketemu ketua dan tetua keluarga besar?" tanyanya tanpa basa-basi. "Udah, tapi katanya Mas Ben kami ketemu di rumah dulu, berangkat dari sana barengan," kata Ann langsung bisa mengenali siapa perempuan di depannya dari pahatan indah di beberapa bagian tubuhnya itu.""Emang nggak niat tu orang," dengus Danisha kesal. "Ikut gue," ajaknya langsung meraih jemari Ann dan menariknya menuju mobil yang sudah menunggu."Kita mau ke mana?" tanya Ann sedikit panik, beruntung ia sempat menyambar tasnya yang tadi ia letakkan di meja rias."Enggak, gue nggak nyulik lo, takut amat," gumam Danisha setelah memberi kode pada sopirnya untuk mulai melaju. "Kita mau dandan, lo kudu pant
"Lo apain dia?" sambut Ben begitu Ann dan Danisha tiba di rumah. Tatapannya tampak tak bersahabat pada si bungsu."Kayak yang lo liat, jadi lebih jahat dan garang ketimbang sebelumnya. Ketua dan para tetua lebih seneng tampilan badass ketimbang barbie kan? Ann kudu all out, dong," jawab Danisha santai. "Gue tau kok lo nggak sempat nyiapin dia. Sama-sama, nggak usah bilang arigatou," tambahnya tersenyum kemudian bergegas pergi sebelum Ben menghunusnya dengan pedang. "Sorry aku nggak pamit, Mas," kata Ann hati-hati. "Tadi dia tiba-tiba jemput di lokasi, dan aku nggak sempat ngabarin kamu," terangnya. "Diapain kamu sama Danisha?" gumam Ben tak terlalu memedulikan penjelasan Ann."Ditato," jawab Ann dengan polosnnya. Ia tunjuk pinggang kanan depannya, kulitnya masih memerah bekas dirajam."Jahanam Danisha!!" umpat Ben spontan, "brengsek!" "Aku yang bersedia kok, jangan nyalahin dia juga," kata Ann menenangkan. "Nggak pa-pa, jadi keliatan lebih seksi kan aku?" ujarnya tersenyum bangga.