"Ngampus?" sapa Ben yang ternyata sudah duduk santai di ruang tamu, memainkan ponselnya. "Iya Mas," jawab Ann mengangguk, ia berjalan pelan menuruni tangga."Sarapan?" tawar Ben ambigu. "Belom," Ann mengangguk polos."Aku udah siapin, sarapan dulu sana," pinta Ben tak acuh, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Kamu nggak sarapan juga, Mas?" tanya Ann. "Kamu butuh ditemenin?" kali ini Ben mendongak, "ya ayok," ujarnya licik, pandai sekali menutupi gengsi. Ann menatap gemas ke arah Ben yang berdiri dan langsung ngeloyor menuju dapur di mana makanan memang lebih sering dipersiapkan dan ditata di sana. Bagaimanapun, karena ini ujian hari terakhir, Ann memilih untuk sarapan di rumah saja, apalagi ia tahu sekali bahwa masakan Ben selalu menggoda. "Kamu tumben di rumah pagi-pagi gini. Biasanya kalau aku ngecek semua keperluannya Chester subuh, kamu udah nggak ada atau malah belom pulang," kritik Ann seraya mengambil nasi goreng ke dalam piringnya. "Tiga hari ini aku pulang ter
Lantas hening. Ben sibuk berkonsentrasi menyetir dan Ann asik menikmati ramai situasi di luar yang penuh lalu lalang kendaraan. Merasa sedikit kikuk karena tak punya bahan pembicaraan, Ann membuka catatannya, ia belajar lagi. Melihat tingkah lucu Ann yang demikian, Ben diam-diam menyungging senyum. Dalam hati ia takjub, Ann yang sangat polos dan terjebak di kehidupan seorang Big Ben, tapi juga tak putus asa mengejar apa yang menjadi mimpinya. "Mas, ih!" Ann mendesis, "dibilang jangan masuk ke lingkungan kampus," protesnya kesal. Pasalnya, Ben tidak mendengar permintaannya sama sekali dan malah berhenti tepat di depan gedung dekanat yang ramai mahasiswa di jam-jam pagi begini. "Diem aja dan jangan turun dulu," pesan Ben galak. "Awas kalau turun!" ancamnya benar-benar mengintimidasi.Ann melongo tapi menurut saja pada perintah Ben. Seperti tengah benar-benar mengantar calon istrinya berangkat ke kampus, Ben membukakan pintu penumpang untuk Ann, begitu manis. Sontak perhatian tertuju p
Ben tak henti mengayunkan katana-nya secara sembarangan, tak terarah. Terlihat sekali bahwa pikirannya sedang penuh dan ia cukup terganggu dengan semua hal itu. Wajahnya kacau, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang dibiarkan bertelanjang sebatas pinggang. Tato seksinya terpampang, bergerak indah seiring helaan napas yang diambilnya. "Kamu manggil aku, Mas?" tanya Ann yang baru saja masuk ke ruang latihan Ben dan melihat pemandangan menakjubkan di depan mata. "Baru pulang kamu jam segini?" tegur Ben tanpa menoleh, arah pandangannya lurus ke arah dirinya sendiri yang bayangannya terpantul di dinding cermin. "Iya, biasanya kalau show kan juga jam segini. Kamu kenapa tadi nggak jadi dateng? Katanya tadi ketemu di sana," ucap Ann tak terlalu memperhatikan wajah galau Ben. "Aku ada urusan mendadak, kerjaan," sebut Ben singkat. "Ah," Ann mengangguk lemah. "Udah bisa ngobrol atau aku ganti baju dulu aja?" tawarnya. "Kamu ganti baju, bersih-bersih dulu aja. Aku mau mandi sekalia
"Ya udah, aku udah bersedia dan kita nggak punya waktu banyak buat mikirin resikonya, Mas. Kakek kamu udah di sini," desis Ann bertekad. "Dan kamu ngehancurin hidup kamu sendiri buat masuk ke hidupku?" gumam Ben berubah klise sekali, ia terpengaruh oleh dorongan hatinya. "Aku udah hancur sejak mau nggak mau nerima kontrak seumur hidup antara kita Mas. Secara nggak sadar aku udah pasrahin seluruh hidupku ke kamu, bergantung ke kamu, terus sekarang, kamu mau kita gimana?" tantang Ann. Ben terdiam, hanya jakun seksinya yang naik turun tanpa suara apapun keluar dari mulutnya. Wajahnya tampak pias, dadanya seperti ditembak dalam jarak dekat saat Ann berkata telah memasrahkan hidup padanya."Kamu yang udah memulai semuanya Mas, bertanggungjawablah dan hadapi!" desis Ann penuh penekanan. "Oke gini, kasih aku waktu, 1 tahun," ungkap Ben kemudian. Ia beri jeda pada ucapannya dengan menatap Ann teduh, menunggu reaksi. Ann balas menatap Ben lekat, matanya berair. Ia serahkan hidup, hati dan
"Udah tidur berapa kali lo sama Ben?" "Ya?" Ann yang baru saja keluar dari ruang ganti melongo bingung. Hari ini adalah jadwal Ann untuk pengambilan gambar iklan shampoo dan Danisha si bungsu, sengaja datang menemuinya."Lupakan," Danisha menggerakkan telapak tangannya di depan wajah. "Lo udah tau nanti sore lo dijadwalin ketemu ketua dan tetua keluarga besar?" tanyanya tanpa basa-basi. "Udah, tapi katanya Mas Ben kami ketemu di rumah dulu, berangkat dari sana barengan," kata Ann langsung bisa mengenali siapa perempuan di depannya dari pahatan indah di beberapa bagian tubuhnya itu.""Emang nggak niat tu orang," dengus Danisha kesal. "Ikut gue," ajaknya langsung meraih jemari Ann dan menariknya menuju mobil yang sudah menunggu."Kita mau ke mana?" tanya Ann sedikit panik, beruntung ia sempat menyambar tasnya yang tadi ia letakkan di meja rias."Enggak, gue nggak nyulik lo, takut amat," gumam Danisha setelah memberi kode pada sopirnya untuk mulai melaju. "Kita mau dandan, lo kudu pant
"Lo apain dia?" sambut Ben begitu Ann dan Danisha tiba di rumah. Tatapannya tampak tak bersahabat pada si bungsu."Kayak yang lo liat, jadi lebih jahat dan garang ketimbang sebelumnya. Ketua dan para tetua lebih seneng tampilan badass ketimbang barbie kan? Ann kudu all out, dong," jawab Danisha santai. "Gue tau kok lo nggak sempat nyiapin dia. Sama-sama, nggak usah bilang arigatou," tambahnya tersenyum kemudian bergegas pergi sebelum Ben menghunusnya dengan pedang. "Sorry aku nggak pamit, Mas," kata Ann hati-hati. "Tadi dia tiba-tiba jemput di lokasi, dan aku nggak sempat ngabarin kamu," terangnya. "Diapain kamu sama Danisha?" gumam Ben tak terlalu memedulikan penjelasan Ann."Ditato," jawab Ann dengan polosnnya. Ia tunjuk pinggang kanan depannya, kulitnya masih memerah bekas dirajam."Jahanam Danisha!!" umpat Ben spontan, "brengsek!" "Aku yang bersedia kok, jangan nyalahin dia juga," kata Ann menenangkan. "Nggak pa-pa, jadi keliatan lebih seksi kan aku?" ujarnya tersenyum bangga.
Ann mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Banyak sekali mobil mewah yang terparkir di halaman sebuah rumah berornamen Jepang yang khas itu. Ternyata, pertemuan penting itu tidak diadakan di zashiki seperti yang Ann duga, melainkan di tempat lain, lebih jauh dari kediaman Yohan Takahashi."Beda tempat?" tanya Ann setelah mengikuti Ben membalas salam hormat anggota klan yang lain dengan membungkukkan badan. "Kalau pertemuan klan dalam skala besar, kegiatan dipusatin di sini," jawab Ben tak melepas genggaman tangannya di jemari Ann. "Serem amat sih orang-orang, nggak ada senyumnya sama sekali," komentar Ann. "Mana mobilnya sama semua, kalau mau pergi duluan ya musti ngehafal plat nomor dulu," ujarnya. "Kalau Kakek dateng, mereka yang megang lokasi kayak Surabaya, Jogja, Balikpapan, pasti bakalan ikut dateng dan ngumpul di sini. Jadi, jangan kamu bayangin kalau acara nanti bakalan sama kayak yang terjadi di zashiki waktu itu," terang Ben kemudian melangkah lagi, mulai memasuki pintu
"Ini semacam koloseum buat para pengguna pedang?" gumam Ann bermonolog. "Ini gila!" dengusnya tak percaya. "Mereka harus bisa melukai tato lambang keluarga satu sama lain," sahut Taka mendengar gumaman Ann, "siapa yang lebih dulu menggores atau menusuk, dialah yang jadi pemenang. Nggak harus mrmbunuh lawan, asalkan tato itu tergores, berarti kalah," terangnya. Ann menelan ludahnya seketika mendengar penjelasan Taka. Ia menahan napasnya sebentar, tak percaya dengan aturan gila keluarga yakuza ini. Bagaimana mungkin saling melukai sesama keluarga menjadi pembuktian untuk mendapatkan kekuasaan? Sementara tiap kali Logan menyerang Ben, Ann hanya bisa memejamkan matanya ketakutan tapi tak mampu untuk bereaksi berlebihan karena diam-diam ia tahu dirinya tengah diperhatikan para tetua. "Kalau salah satunya udah terluka parah sebelum tato sempat digores? Atau salah satunya meninggal, yang ngebunuh juga bakal dimenangin? Om, ini tradisi nggak ma
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama