"New Jayakarta Hotel, Sabtu jam 8 malem, langsung ke penthouse!"
Ann memejamkan matanya rapat-rapat jika ia sudah teringat wajah lelaki yang mengatakan kalimat barusan sebelum keluar dari ruang transit malam itu. Ia belum mendapat penjelasan apapun dan rasa penasarannya tidak terjawab karena lelaki tampan yang mengaku sebagai Big Ben itu segera pergi tanpa bicara lebih banyak. Banyak pertimbangan yang harus Ann taklukan, ia cukup bimbang selama tiga hari lamanya. Hingga pada akhirnya, di sinilah Ann, lobi New Jayakarta Hotel, Sabtu malam, 15 menit lebih awal sebelum waktu janjian. Adalah Bennedicth Abyan Wisanggeni, lelaki berusia 30 tahun berwajah separuh oriental dengan tatapan membunuh. Namanya lebih dikenal sebagai 'Big Ben', bermakna penguasa besar bisnis dunia hitam yang sangat disegani dan diperhitungkan. Masih dialiri darah Yakuza, klan Yamaguchi-Gumi di dalam tubuhnya, cukong-cukong Indonesia yang dinobatkan sebagai orang terkaya se-Asia Tenggara bukan apa-apa bagi Ben. Terkenal bengis, kejam, tanpa ampun, tapi lihai berbisnis apapun membuat nama Big Ben begitu agung meski tak banyak yang tahu wajah aslinya. Bagi yang sudah mengenal nama Big Ben, mereka pasti akan bergidik ketika berpapasan bahkan tanpa saling bertemu pandang. Sebaliknya, mereka yang sama sekali tidak mengenal siapa sebenarnya seorang Big Ben layaknya gadis muda tadi, ia hanya akan menganggap Ben manusia biasa, si muda setampan dewa. "Kenapa nggak langsung naik?" tanya Arino yang muncul dari pintu lift, sengaja menemui Ann karena sang model mengiriminya pesan. "Aku nggak terbiasa ke area semacam ini, Bang," ungkap Ann jujur. "Oke, kuanter. Big Ben udah di penthouse dari sore," putus Arino berkorban. Padahal seharusnya ia sudah bisa pulang ke rumah dan menikmati malam minggunya sendiri. "Jadi, Big Ben itu emang bukan bandot tua?" tanya Ann seraya mengiringi langkah lebar Arino masuk lagi ke dalam lift. "Maksud kamu kayak bos besar berperut buncit dan berkumis tipis?" "Bayanganku langsung ke situ pas orang-orang nyebut nama Big Ben," desis Ann. "Dia masih muda, umurnya juga baru 30 tahun, dan iya, emang wajah Big Ben seganteng itu," ucap Arino menahan senyum. "Dan ini kali pertama dia make model baru kayak kamu," tambahnya. "Kenapa?" tanya Ann penasaran. "Entahlah," Arino mengedikkan bahunya, ia keluar lebih dulu dari lift, "dari sini, kamu jalan sendiri," ucapnya menunjuk satu pintu besar di ujung lorong. "Ketuk tiga kali, langsung masuk, nggak perlu nunggu dibukain. Dia tau kamu yang bakalan dateng!" Ann mengangguk lemah, langkahnya melambat seiring berbaliknya Arino meninggalkannya pergi. Jantung Ann berdebar kencang, ia tidak pernah sekalipun mendatangi lelaki untuk tidur bersama seperti ini. Lagipula, ia masih malu pada Ben yang ia sebut sesuka hati sebagai 'genderuwo mesum' itu. Helaan napas panjang Ann lakukan sebelum pada akhirnya ia ketuk pintu itu tiga kali. Seperti kata Arino, tanpa menunggu empunya ruangan mempersilakan, Ann mendorong kenop otomatis di depannya. Benar saja, Ben sengaja tidak mengunci pintunya. "Permisi," ucap Ann kikuk. Ia mengitarkan pandangan, cahaya temaram menyambutnya. Perlahan Ann melangkah masuk, tak tampak adanya kehidupan di dalam ruangan besar itu. Ia berdehem sekali, jantungnya berdebar, membayangkan benar-benar ada genderuwo yang mungkin muncul mengagetkannya. "Ganti pake baju di sana!" "Ya Tuhan!!" jelas Ann terkejut mendengar suara bariton menggelegar dari belakangnya. Di ranjang besar minim cahaya itu, Ben berbaring nyaman. Ia bertelanjang dada, dari kaki hingga pinggangnya terbalut selimut tebal. "Baju apaan?" tanya Ann setelah berhasil menguasai dirinya. "Baju dinas," gumam Ben masih sibuk memainkan ponselnya tanpa beringsut dari ranjang. "Maksudnya, ini?" Ann mendekat ke samping lemari di mana sebuah lingerie warna nude tergantung cantik di salah satu gagang pintunya. Ben diam. "Aku belom setuju sama kontrak kita!" tegas Ann. "Aku nggak butuh persetujuan kamu!" sambar Ben bengis. "Kalau gitu artinya aku bisa laporin lo atas tuduhan pemerkosaan!" "Oh ya?" pandangan Ben beralih ke arah Ann. "Bayar penalti aja berarti 15 milyar, sekarang!" pintanya. Ann terhenyak. Beberapa saat ia tertegun, sudah berkali-kali dibacanya isi kontraknya dengan Ben, dan angka itu yang selalu membuatnya galau. "Kenapa harus aku sih?" keluh Ann mengurut keningnya. Ia mendekat ke arah ranjang Ben dan terpana untuk sesaat. Tubuh Ben bukan hanya sempurna, beberapa tato cantik di dada dan abs-nya terlihat sangat menarik di mata Ann. Jika boleh menyesal, Ann pasti akan merutuki dirinya sendiri karena sudah mengatai Ben sebagai bandot tua dan genderuwo mesum. Tato itu tidak terlalu penuh, sepertinya cukup memiliki makna bagi pemiliknya dan menjadi daya tarik kuat di mata Ann. "Kamu nggak ngerasa kalau tubuh kamu menarik?" tanya Ben balik. "Menarik buat kamu tidurin gitu?" "Menurutmu, buat apa show itu diatur eksklusif dan sangat tertutup? Kamu emang saking polosnya atau goblok?" Ann membuang pandangan, "Aku nggak goblok ya!" elaknya. "Nggak mungkin juga kamu terlalu polos kan?" desis Ben akhirnya beranjak dari posisi berbaringnya dan turun dari ranjang. Gerakan Ben yang demikian sontak membuat Ann spontan memundurkan langkahnya panik. Ben hanya mengenakan celana dalam trunks warna hitam yang sangat seksi. Lelaki ini sengaja berjalan menuju sofa panjang, ia teguk wine yang sudah disiapkan di atas mejanya. Sambil membuka kemasan rokoknya, ia tatap Ann yang tengah berdiri kaku tak jauh darinya dengan sorot tajam. "Rino yang bakal transfer kompensasi kamu karena udah dateng ke sini. Lebihannya bakalan kamu terima sesuai dengan isi kontrak. Aku bisa kasih tambah kalau kamu nggak banyak omong!" gumam Ben benar-benar manipulatif. "Bentar!" Ann mendekat tapi ia enggan duduk menghadapi Ben. "Kenapa aku? Kenapa bukan Kak Kinar, Kak Cintia, atau siapalah yang udah lama jadi model Queen's Diary? Kamu ngebeli aku di hari pertamaku tampil, Bos!" desisnya kesal. "Masalah kalau kamu yang jadi pilihan?" tanya Ben, ia berdiri, mendekati Ann hingga mau tak mau Ann berjalan mundur dan terpojok lagi-lagi ke daun pintu utama. "Aku menyelamatkan kamu dari bandot tua lain, Sedap Malam!" cecarnya bagai pemburu mengincar mangsa. "Tapi juga menjerumuskanku sebagai budak nafsu kamu! Kamu nggak ada bedanya sama bandot tua yang doyan perawan! Brengsek!" Ben mendongakkan kepalanya sambil tertawa mengejek. Gerakannya yang seperti itu tentu membuat Ann bisa mengamati leher jenjang dengan jakun seksi itu dengan sangat leluasa. Bukannya Ann tak tertarik dengan visual dewa lelaki luar biasa ini, semua yang ada di diri Ben hampir membuat darah Ann mendidih, apalagi berdekatan dalam jarak tanpa sekat ini. Namun, jika Ann dengan mudahnya ditiduri oleh Ben, bukankah artinya Ann sama saja menjual tubuh dan jiwanya seumur hidup? "Perawan terlalu amatir, aku nggak suka, sorry!" kata Ben semakin membuat embusan napasnya menyapu pipi Ann. "Kalau gitu kontrak kita bisa batal saat ini juga!" senyum senang Ann melebar. "Aku masih perawan!" tukasnya. "Kamu mau nyoba membodohiku? Kenapa? Di saat banyak model memimpikan buat bisa tidur di ranjangku, kamu mati-matian nolak dengan banyak kebohongan. Penyuka sesama jenis ya?" tuduh Ben menohok. "Aku perawan! Dan aku belom pernah tidur sama cowok manapun!" "Coba kita liat," desis Ben menyeringai, ia kecup pipi Ann seperti sebelumnya. Tubuh Ann menegang, ia berusaha untuk menolak. Namun, gerakan kedua tangannya yang reflek menahan dada telanjang Ben justru membuat dirinya bak tersengat aliran listrik berdaya tinggi. Ia lemas seketika, seakan takluk pada pesona Ben yang sangat memabukkan. Ann perempuan normal, ia memiliki gairah yang sudah pasti sedang meletup-letup di usia produktifnya. Paksaan Ben justru semakin memicu adrenalin Ann, mulut dan tubuh gadis ini tidak bisa berkoordinasi dengan baik. "Meskipun aku bilang aku masih perawan, bukan berarti kamu bisa buktiin itu dengan nidurin aku!" sergah Ann di sisa-sisa pertahanannya. Mati gue! Kalau dia beneran nyerang terus, gue bisa nyerah tanpa syarat. Kenapa dia liar banget gini! Sial! "Shut your mouth!" bisik Ben lalu dengan sangat lembut mengecup bibir Ann tanpa ijin. Mata Ann membulat sempurna, ia meremas jemari-jemarinya yang masih bertengger di dada Ben. Bagaimanapun, seharusnya ia bertahan, menampar Ben jika perlu. Namun, tubuhnya bak disihir kaku oleh lelaki ini, darahnya bahkan berdesir saat kecupan Ben menyasar ke sudut bibir kanannya. "Kamu emang perawan," kata Ben langsung melepas ciumannya. "Rugi bandar aku, padahal baru kencan pertama!" keluhnya lemah, ia seperti kebingungan kali ini. Bagaimana tidak? Jika pihaknya yang membatalkan kontrak, Ben dipastikan menghujani Ann dengan uangnya. ###Harus diakui oleh Ben bahwa Ann memiliki semua kriteria wanita idaman. Mata Ann yang bulat dengan bola kemerahan hazel itu, hidung mancung menggoda, kulit sehalus pualam, juga senyum memikat dan tubuh sintal seksi menggairahkan. Hanya dengan bertemu sekali saja saat Ann salah masuk ruangan, Ben sudah sangat ingin memilikinya. "Kamu boleh pergi," ucap Ben setelah berpikir beberapa saat. Ia raup wajahnya sebentar, gemas karena ia terbentur oleh prinsipnya sendiri. "Aku nggak akan pergi kalau masalah kontrak kita belom kelar!" ucap Ann tegas. Ia tepis lengan Ben yang tadi membatasi gerakannya. "Nanti kuhubungi lagi soal ini. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang!" balas Ben mengikuti Ann yang duduk di sofa, keduanya berhadapan kini. "Nggak! Aku nggak bisa ngebiarin masalah ini ngegantung gitu aja. Berapa milyar uang yang harus kita pertaruhkan buat perjanjian nggak masuk akal ini? Aku mau kita sepakat buat sama-sama ngebatalin perjanjian!" tegas Ann seakan mendapat angin segar dari m
Setelah mendengar ancaman Ben tentang rumahnya dua hari yang lalu, Ann memilih untuk pulang dan mengabaikan perjanjian mereka sementara waktu. Aktif dalam kegiatannya menjadi model sekaligus mahasiswi adalah cara yang tepat untuk menghilangkan beban mental dan financialnya dengan bersikap tak mau tahu. Cita-citanya menjadi seorang perawat dan bagaimana ia berjuang untuk bisa menekuni bidang itu tentu saja tidak mudah digapai. Ann senang menjadi model, apalagi didukung dengan lekuk tubuh sempurna yang dimilikinya. Jadi, memanfaatkan kesempatan dan tawaran yang datang, Ann memberanikan diri datang ke ibukota, mengadu nasibnya. "Tinggal di Semarang cuma sama neneknya, yatim piatu sejak umur 6 tahun. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan kapal tenggelam," bisik Arino di samping telinga Ben. "Info apalagi yang mau lo kasih ke gue? Gue nggak peduli sama masalah pribadinya!" desis Ben tanpa mengalihkan pandangan dari liuk tubuh para model yang tengah berjalan di atas catwalk mengenakan p
"Kalian bisa makan bareng sama hewan yang matanya aja udah siap nerkam kalian gini?" bisik Ann saat Ben menggiringnya masuk ke ruang makan. "Kamu lupa tadi sebelom masuk kusuruh kamu buat apa?" gumam Ben melirik Ann yang duduk di sebelahnya. Ann segera memanyunkan bibir dan membuat gerakan tengah mengunci bibir dengan jemarinya. Ia tak melepas tatapan dari macan kumbang di sebelah lelaki seram itu. "Aku Taka," sebut lelaki seram bertato di seberang Ben ini. "Semua hidangan di meja ini, aku sendiri yang mengolahnya, kamu boleh mencicipinya," tambahnya dengan senyum misterius ke arah Ann. "Makasih, Om," jawab Ann memaksa senyum. "Barang bagus," gumam Taka manggut-manggut, ia menatap Ben tak berkedip. "Namanya Joanna," sebut Ben. Ia mengambil sesendok salad sayur di mangkok besar, "masih kuliah," terangnya. "Jurusan apa?" tanya Taka beralih pada Ann. "Keperawatan, Om," desis Ann singkat. Ia takut akan tiba-tiba diterkam si macam kumbang jika salah bicara atau memb
"Cukup Ches," kata Ben begitu tenang dan pelan, "Ann nggak akan nolak jadi perawatmu, kita bujuk pake cara halus dulu, kalau dia nggak mau, lakukan semaumu," ucapnya lagi. Bak paham apa yang Ben bicarakan, Chester langsung duduk dan menopang dagunya. Pupil matanya sudah kembali normal, ia menjilat kaki depannya dan sengaja bersikap sangat imut. Sementara Ann tak berani menampakkan diri, nyaman di tempat yang sangat terlindungi. "Jangan pernah nolak Chester atau dia yang bakalan maksa kamu buat nerima dia," ucap Ben menoleh gadis yang masih bersembunyi di punggungnya sembari memeluknya itu. "Dia yang memilihmu, jadi jangan berani-berani buat bikin dia jadi pilihan," katanya ambigu. "Ah," tersadar, Ann segera melepas pelukannya. Ia pura-pura menegakkan dagu, tak ingin diremehkan oleh Ben. "Masa hewan ngeri begini disuruh ngerawat kucing rumah kayak aku. Mas, kamu nggak serius kan?" "Kadang hewan justru lebih manusiawi ketimbang manusia itu sendiri." "Tapi tetep, dia bisa aja ny
"Pokoknya selama 1 bulan, kamu harus sama aku, setelah aku bener-bener yakin Chester nggak bakalan makan aku, baru kamu bebas tugas," ucap Ann membuat syarat. "Chester udah duduk santai, sampe kapan kamu bakalan meluk aku gini? Enak? Anget?" ucap Ben tak menjawab syarat yang Ann ungkapkan. "Ya Tuhan!" cepat-cepat Ann melepas pelukannya. 'Nyaman banget sih lo!' "Dan enggak! Aku sama sekali nggak setuju sama syarat kamu." "Harus setuju, karena ini berhubungan dengan nyawa dan di kontrak kita nggak ada klausul yang bunyinya harus berkorban nyawa!" ucap Ann bersikukuh. Ben menghela napas panjang. Ia basahi bibirnya sebentar sambil berpikir, bukankah akan lebih merepotkan jika ia setuju dengan syarat dari Ann? Namun, bukan hanya kehilangan uang yang ia takutkan, kenapa ada hal lain di dalam dirinya yang mencegahnya untuk membatalkan kontrak dan menemukan ide tak masuk akal ini? Chester sama sekali tidak membutuhkan manajer yang harus mengatur jadwal dan kegiatannya. "Cuma k
"Dia udah kenal sama kamu, baumu udah dikenali. Inget! Chester nggak akan nyerang kalau nggak ada yang mulai duluan. Itu aturan penting yang nggak boleh kamu langgar," tukas Ben terdengar tegas tapi Ann merasa ini adalah kalimat terlembut yang pernah Ben ucapkan padanya. Ann mengangguk lemah, ia bak tengah dihipnotis oleh mata indah Ben dan Chester, kehilangan suara. Ternyata inilah yang para seniornya ungkap mengenai pesona Ben, lelaki ini luar biasa dalam kemisteriusannya. "Sekarang anter aku pulang ya," pinta Ann masih bernada sedikit manja. "Aku ada urusan, kamu dianter Ery," jawab Ben. "Cek di rekening kamu satu jam dari sekarang, kujamin kompensasi pertemuan kita hari ini udah bisa kamu pake," tambahnya. "Aku tunggu kamu selesai sama urusan kamu aja kalau gitu," ucap Ann mengejutkan. 'Gue kenapa sih? Kenapa musti nunggu tugu jam ini?' "Sepuluh juta untuk kompensasi kurang? Kamu butuh berapa?" "Bukan gitu," Ann menggeleng cepat, jemarinya masih asik membelai kepala Che
Seperti tanggapan Ben sebelumnya, ia memilih diam saat Ann berusaha menggodanya. Dan hari ini, di saat Ann dibantu Ery dan David membawa barang-barangnya ke kediaman sang Big Ben, lelaki tampan yang meminta Ann untuk tinggal di sana itu justru tak muncul. Ann hanya bertemu dengan Wanto, pawang Chester dan juga Edgar, sang dokter hewan kepercayaan. "Big Ben jarang di rumah ini, seminggu dia biasanya datang 2 kali aja," terang Edgar sambil membawa Ann keliling kandang Chester sambil mengamati kondisi sekitar. Kandang macan kumbang kesayangan keluarga itu sengaja dibangun di halaman belakang. Yang membuat Ann takjub, tidak hanya macan kumbang satu-satunya hewan yang menghuni kandang. Ada dua harimau siberia muda bernama Kenzo dan Luna. "Kenapa gitu? Dia lebih sering di hotel?" tanya Ann penasaran. "Itu salah satunya. Big Ben adalah orang super sibuk yang memang nggak pernah mengijinkan orang lain menyentuh bisnisnya. Selagi bisa, semua bakalan dia urus sendiri," sebut Edgar yang
"Kenapa dibiarin sampe kering gini darahnya?" gumam Ann begitu melihat luka gores cukup dalam menghiasi telapak tangan kanan Ben. "Pisau? Eh, nggak mungkin sepanjang ini kalau pisau doang sih. Ini pedang pasti, kamu kan samurai!" dumalnya nyerocos. "Urus aja barang-barang kamu, nggak usah ngurusin urusanku!" kata Ben ketus. "Aku udah liat ya! Sini!" Ann menarik Ben tanpa peduli ekspresi tak suka lelaki di seberangnya itu. "Aku obatin. Duduk dulu, bentar kucariin obatnya," desisnya otoriter. "Aku bukan bayi dan aku bisa ngobatin sendiri luka begini doang!" "Gimana caranya? Itu tangan kanan yang luka! Jangan ngeyel deh, kayak anak TK bentar napa, manis dikit." "Aku kidal." Ann tak menanggapi, ia lebih sibuk mencari persediaan obatnya. Anehnya, si tampan dingin kidal ini juga setia menunggu meski mulutnya menolak pengobatan yang akan Ann berikan. "Sampe begini?" desis Ann melotot galak. "Ini sih emang nggak niat diobatin," sungutnya. Ben balas diam. Ia bergeser sedikit karen