Ann tercenung menatap sebuah berkas di pangkuannya. Map berwarna hitam dengan tulisan emas itu baru pertama kali ia dapatkan dan ini berbeda dengan kontraknya sebagai model pakaian dalam selama satu tahun ke depan.
"Kenapa? Map hitam kah itu?" tanya Kinar, model senior lain di sebelah Ann. "Kayaknya lo masih kaget dan bingung ya," katanya sangat paham ekspresi di wajah sang junior. "Kenapa Ann?" Senyum Ann terkembang, "Enggak Kak, cuma kaget aja. Gue pikir kontrak yang gue tandatangani sama Mas Kiki itu udah final, ternyata masih ada lanjutannya ya," jawabnya polos. "Ini beda, coba lo buka aja deh, kontrak itu mengikat dan nggak butuh persetujuan lo," terang Kinar. "Kenapa mengikat? Karena dia adalah bentuk dari akibat kontrak kita sebagai model," tambahnya. "Maksudnya? Jadi ini bukan kontrak sama perusahaan?" dahi Ann semakin berkerut. "Kami semua menyebutnya Big Ben. Nggak ada yang bisa ngelepasin diri dari kontrak yang udah dia buat. Tapi gue bisa jamin, lo nggak bakalan nyesel kok," sambar Kinar misterius. "Lo juga nggak harus tiap hari tidur sama dia, ada jadwal khusus dan dia bukan orang yang rewel," tandasnya. "Tidur? Maksudnya berhubungan badan?" tanya Ann melongo. "Percaya sama gue, lo nggak akan rugi, dan kemampuan Big Ben di ranjang itu nggak bisa lo remehin. Gede barangnya Cin!!" kekeh Kinar genit. Ann langsung bergidik ngeri saat melihat gerakan Kinar yang setengah menjulurkan lidahnya sok seksi. Bagaimanapun, ia tidak bisa menerima kontrak itu begitu saja tanpa tahu dengan siapa ia akan bekerja sama, apalagi ini menyangkut masalah yang sangat intim dan pribadi. Sekali lagi, Ann merasa dirinya adalah model profesional, bukan pelacur. "Tuh Bang Rino asistennya Big Ben, dia yang bakalan jelasin semuanya," tunjuk Kinar pada Arino yang menyembulkan kepalanya di pintu. "Kak Joanna? Apa udah selesai beres-beresnya?" tanya Arino langsung tertuju pada Ann. "Kenapa ya?" tanya Joanna jual mahal. "Kontrak itu," Arino menunjuk map di pangkuan Ann, "Kupikir , Kak Joanna mau membicarakannya," ucapnya. Sigap Ann berdiri, "Iya, ada banyak hal yang harus aku luruskan!" "Ikut aku," ajak Arino segera berbalik. Buru-buru Ann mengikuti langkah Arino. Di pikirannya sudah terbayang seperti apa sosok Big Ben yang para seniornya bicarakan. Lelaki tua tukang main perempuan yang sangat menuntut untuk dipuaskan, bagaimana Ann bisa menghadapi lelaki semacam ini? Ia baru merintis karir dan uang muka pembayarannya dari kontrak kerja sudah ia pergunakan untuk membayar uang kuliah yang tidak sedikit. "Tunggu sini dulu, apa yang perlu kamu tanyain soal kontrak bisa langsung kamu tanyain ke Big Ben," ucap Arino membukakan pintu ruangan penthouse di mana tadi Ann sempat nyasar sebelum show dimulai. "Aku dijebak?" tahan Ann pada langkah Arino di ambang pintu. "Tunggu aja, kamu bisa obrolin langsung nanti," desis Arino kemudian berlalu pergi tanpa penjelasan apapun. Ann mendesah kesal, pandangannya mengitar. Ia baru tersadar bahwa tadi ia sudah sempat masuk ke dalam ruangan ini. Tata ruang dan seisinya baru ia kenali, hanya saja, tidak ada lelaki setampan dewa berwajah manusia salju seperti sebelumnya. "Ada isi kontrak yang nggak kamu pahamin?" Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah pintu ruangan kedua sebelah kanan Ann. Tentu saja Ann kaget bukan main, matanya membulat waspada, tapi ia segera menguasai dirinya. Setelah si empunya suara muncul dan wajah itu cukup ia kenali sebagai si setampan dewa, detak jantungnya melemah perlahan. Lelaki yang tak lain adalah Ben ini duduk menghadapi Ann di sofa favoritnya. "Ada dan aku perlu ngobrol sama Big Ben langsung, bukan sama asisten-asistennya!" sahut Ann setelah berhasil menguasai kekagetannya. "Apa yang nggak kamu pahamin?" gumam Ben menyilangkan kakinya angkuh, wajahnya tetap seangker sebelumnya, dingin dan menusuk sekali tatapannya. "Kontrak apa sih ini sebenernya? Aku harus tidur dan ngelayanin nafsu bejat bandot tua yang kalian sebut Big Ben itu?" Ann yang hatinya sudah tidak tenang karena isi awal kontrak barunya langsung nyerocos begitu saja. "Kamu terikat sama kontrak pertama. Di dalam kontrak kerja kamu sebagai model, ada klausul yang mengharuskan kamu tunduk pada semua kontrak-kontrak turunan yang terbit atas nama manajemen perusahaan, kamu nggak baca?" "Baca, tapi ini namanya kontrak sepihak. Aku nggak pernah setuju sama isi kontrak ini!" Sebelah alis Ben terangkat, "Kamu tau penalti apa yang bakalan kamu dapet kalau kamu menyalahi isi kontrak?" tanyanya garang. "Aku bakalan balikin gaji awalku yang udah kuterima!" sambar Ann sombong. "Kamu pikir cuma begitu masalah jadi selesai?" senyum licik Ben terkembang. "Coba kamu baca lagi kontrak kerja pertamamu, di sana tertulis nominal yang cukup fantastis dan itu harus kamu bayar kalau kamu menyalahi kontrak. Menurutku, seumur hidup bahkan sampe kamu ngejual diri pun, kamu nggak akan bisa bayar denda pinaltinya!" "Kalian ngejebak aku?" sergah Ann emosi. "Kamu tanda tangan kontrak awal dalam keadaan sadar, jangan memutarbalikkan fakta!" Ann meraup wajahnya frustasi, "Ini kontrak yang berbeda dari kontrak kerja di awal, nggak bisa dijadiin satu. Dan tolong! Ngejual diri? Big Ben kalian itu aja yang rakus!" cercanya. "Kontrak ini berlaku lifetime," gumam Ben lirih tapi tak terbantahkan, "mengikat kedua belah pihak dengan pinalti yang sama besarnya kalau sampe salah satunya memutus kontrak sebelum masa berakhir!" tukasnya. "Gimana mau berakhir kalau bunyinya aja kontrak lifetime?" Ann mendengus keras. "Sama aja dia ngebeli tubuh dan hidupku! Kamu kasih tau sama Big Ben itu, si bandot yang brengsek dan rakus itu, hidupku ya punyaku, nggak bisa dibeli!" "Oh ya?" Ben bangkit dari posisi duduknya, "kita liat aja nanti," ucapnya kemudian berjalan menuju jendela kaca besar yang memantulkan wajah tampannya samar-samar. Ann ikut bangkit, ia campakkan map berisi kontrak tak masuk akalnya dengan Big Ben di meja kayu ulin itu. Wajahnya sudah dihiasi ekspresi bingung, kalut, tak menerima sama sekali. Ia memang ingin menjadi model terkenal, bisa membiayai hidup dan sekolahnya dengan jerih payah sendiri, tapi, jika harus menjadi teman tidur lelaki mengerikan yang tak pernah dikenalnya, Ann bahkan tidak pernah memikirkannya sekalipun. "Tolong bilangin ke si Big Ben, aku nggak akan pernah dateng di hari yang udah ditentuin sama kontrak, terserah mau dituntut kayak gimanapun. Aku nggak ngejual tubuhku sama genderuwo mesum menjijikkan kayak dia!" tegas Ann sambil berjalan menuju pintu. "Hei!" panggil Ben lantang. Langkah Ann terhenti, ia menoleh ke arah pemanggilnya. Ben tampak mendekat, terlalu dekat hingga mau tak mau Ann terpojok menempel di daun pintu. Mata keduanya saling bertatapan intens, sedangkan Ben semakin mendekatkan wajahnya dengan sedikit membungkuk di depan Ann. "Kamu amati dan liat baek-baek, apanya dari wajahku yang mirip sama genderuwo? Hem?" tanya Ben lirih tapi begitu mengintimidasi. Embusan napasnya saja bisa dirasakan oleh Ann. "Ma-maksud kamu apa?" desis Ann sedikit gugup, ia langsung memalingkan wajahnya agar hidung mancung Ben tidak menyentuh hidungnya. "Big Ben ... itu aku, orang yang kamu sebut genderuwo mesum tadi," ucap Ben di samping telinga Ann, ia kecup mesra pipi gadis cantik di depannya sebelum berpaling pergi ke arah jendela kaca lagi."New Jayakarta Hotel, Sabtu jam 8 malem, langsung ke penthouse!" Ann memejamkan matanya rapat-rapat jika ia sudah teringat wajah lelaki yang mengatakan kalimat barusan sebelum keluar dari ruang transit malam itu. Ia belum mendapat penjelasan apapun dan rasa penasarannya tidak terjawab karena lelaki tampan yang mengaku sebagai Big Ben itu segera pergi tanpa bicara lebih banyak. Banyak pertimbangan yang harus Ann taklukan, ia cukup bimbang selama tiga hari lamanya. Hingga pada akhirnya, di sinilah Ann, lobi New Jayakarta Hotel, Sabtu malam, 15 menit lebih awal sebelum waktu janjian. Adalah Bennedicth Abyan Wisanggeni, lelaki berusia 30 tahun berwajah separuh oriental dengan tatapan membunuh. Namanya lebih dikenal sebagai 'Big Ben', bermakna penguasa besar bisnis dunia hitam yang sangat disegani dan diperhitungkan. Masih dialiri darah Yakuza, klan Yamaguchi-Gumi di dalam tubuhnya, cukong-cukong Indonesia yang dinobatkan sebagai orang terkaya se-Asia Tenggara bukan apa-apa bagi Ben. Ter
Harus diakui oleh Ben bahwa Ann memiliki semua kriteria wanita idaman. Mata Ann yang bulat dengan bola kemerahan hazel itu, hidung mancung menggoda, kulit sehalus pualam, juga senyum memikat dan tubuh sintal seksi menggairahkan. Hanya dengan bertemu sekali saja saat Ann salah masuk ruangan, Ben sudah sangat ingin memilikinya. "Kamu boleh pergi," ucap Ben setelah berpikir beberapa saat. Ia raup wajahnya sebentar, gemas karena ia terbentur oleh prinsipnya sendiri. "Aku nggak akan pergi kalau masalah kontrak kita belom kelar!" ucap Ann tegas. Ia tepis lengan Ben yang tadi membatasi gerakannya. "Nanti kuhubungi lagi soal ini. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang!" balas Ben mengikuti Ann yang duduk di sofa, keduanya berhadapan kini. "Nggak! Aku nggak bisa ngebiarin masalah ini ngegantung gitu aja. Berapa milyar uang yang harus kita pertaruhkan buat perjanjian nggak masuk akal ini? Aku mau kita sepakat buat sama-sama ngebatalin perjanjian!" tegas Ann seakan mendapat angin segar dari m
Setelah mendengar ancaman Ben tentang rumahnya dua hari yang lalu, Ann memilih untuk pulang dan mengabaikan perjanjian mereka sementara waktu. Aktif dalam kegiatannya menjadi model sekaligus mahasiswi adalah cara yang tepat untuk menghilangkan beban mental dan financialnya dengan bersikap tak mau tahu. Cita-citanya menjadi seorang perawat dan bagaimana ia berjuang untuk bisa menekuni bidang itu tentu saja tidak mudah digapai. Ann senang menjadi model, apalagi didukung dengan lekuk tubuh sempurna yang dimilikinya. Jadi, memanfaatkan kesempatan dan tawaran yang datang, Ann memberanikan diri datang ke ibukota, mengadu nasibnya. "Tinggal di Semarang cuma sama neneknya, yatim piatu sejak umur 6 tahun. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan kapal tenggelam," bisik Arino di samping telinga Ben. "Info apalagi yang mau lo kasih ke gue? Gue nggak peduli sama masalah pribadinya!" desis Ben tanpa mengalihkan pandangan dari liuk tubuh para model yang tengah berjalan di atas catwalk mengenakan p
"Kalian bisa makan bareng sama hewan yang matanya aja udah siap nerkam kalian gini?" bisik Ann saat Ben menggiringnya masuk ke ruang makan. "Kamu lupa tadi sebelom masuk kusuruh kamu buat apa?" gumam Ben melirik Ann yang duduk di sebelahnya. Ann segera memanyunkan bibir dan membuat gerakan tengah mengunci bibir dengan jemarinya. Ia tak melepas tatapan dari macan kumbang di sebelah lelaki seram itu. "Aku Taka," sebut lelaki seram bertato di seberang Ben ini. "Semua hidangan di meja ini, aku sendiri yang mengolahnya, kamu boleh mencicipinya," tambahnya dengan senyum misterius ke arah Ann. "Makasih, Om," jawab Ann memaksa senyum. "Barang bagus," gumam Taka manggut-manggut, ia menatap Ben tak berkedip. "Namanya Joanna," sebut Ben. Ia mengambil sesendok salad sayur di mangkok besar, "masih kuliah," terangnya. "Jurusan apa?" tanya Taka beralih pada Ann. "Keperawatan, Om," desis Ann singkat. Ia takut akan tiba-tiba diterkam si macam kumbang jika salah bicara atau memb
"Cukup Ches," kata Ben begitu tenang dan pelan, "Ann nggak akan nolak jadi perawatmu, kita bujuk pake cara halus dulu, kalau dia nggak mau, lakukan semaumu," ucapnya lagi. Bak paham apa yang Ben bicarakan, Chester langsung duduk dan menopang dagunya. Pupil matanya sudah kembali normal, ia menjilat kaki depannya dan sengaja bersikap sangat imut. Sementara Ann tak berani menampakkan diri, nyaman di tempat yang sangat terlindungi. "Jangan pernah nolak Chester atau dia yang bakalan maksa kamu buat nerima dia," ucap Ben menoleh gadis yang masih bersembunyi di punggungnya sembari memeluknya itu. "Dia yang memilihmu, jadi jangan berani-berani buat bikin dia jadi pilihan," katanya ambigu. "Ah," tersadar, Ann segera melepas pelukannya. Ia pura-pura menegakkan dagu, tak ingin diremehkan oleh Ben. "Masa hewan ngeri begini disuruh ngerawat kucing rumah kayak aku. Mas, kamu nggak serius kan?" "Kadang hewan justru lebih manusiawi ketimbang manusia itu sendiri." "Tapi tetep, dia bisa aja ny
"Pokoknya selama 1 bulan, kamu harus sama aku, setelah aku bener-bener yakin Chester nggak bakalan makan aku, baru kamu bebas tugas," ucap Ann membuat syarat. "Chester udah duduk santai, sampe kapan kamu bakalan meluk aku gini? Enak? Anget?" ucap Ben tak menjawab syarat yang Ann ungkapkan. "Ya Tuhan!" cepat-cepat Ann melepas pelukannya. 'Nyaman banget sih lo!' "Dan enggak! Aku sama sekali nggak setuju sama syarat kamu." "Harus setuju, karena ini berhubungan dengan nyawa dan di kontrak kita nggak ada klausul yang bunyinya harus berkorban nyawa!" ucap Ann bersikukuh. Ben menghela napas panjang. Ia basahi bibirnya sebentar sambil berpikir, bukankah akan lebih merepotkan jika ia setuju dengan syarat dari Ann? Namun, bukan hanya kehilangan uang yang ia takutkan, kenapa ada hal lain di dalam dirinya yang mencegahnya untuk membatalkan kontrak dan menemukan ide tak masuk akal ini? Chester sama sekali tidak membutuhkan manajer yang harus mengatur jadwal dan kegiatannya. "Cuma k
"Dia udah kenal sama kamu, baumu udah dikenali. Inget! Chester nggak akan nyerang kalau nggak ada yang mulai duluan. Itu aturan penting yang nggak boleh kamu langgar," tukas Ben terdengar tegas tapi Ann merasa ini adalah kalimat terlembut yang pernah Ben ucapkan padanya. Ann mengangguk lemah, ia bak tengah dihipnotis oleh mata indah Ben dan Chester, kehilangan suara. Ternyata inilah yang para seniornya ungkap mengenai pesona Ben, lelaki ini luar biasa dalam kemisteriusannya. "Sekarang anter aku pulang ya," pinta Ann masih bernada sedikit manja. "Aku ada urusan, kamu dianter Ery," jawab Ben. "Cek di rekening kamu satu jam dari sekarang, kujamin kompensasi pertemuan kita hari ini udah bisa kamu pake," tambahnya. "Aku tunggu kamu selesai sama urusan kamu aja kalau gitu," ucap Ann mengejutkan. 'Gue kenapa sih? Kenapa musti nunggu tugu jam ini?' "Sepuluh juta untuk kompensasi kurang? Kamu butuh berapa?" "Bukan gitu," Ann menggeleng cepat, jemarinya masih asik membelai kepala Che
Seperti tanggapan Ben sebelumnya, ia memilih diam saat Ann berusaha menggodanya. Dan hari ini, di saat Ann dibantu Ery dan David membawa barang-barangnya ke kediaman sang Big Ben, lelaki tampan yang meminta Ann untuk tinggal di sana itu justru tak muncul. Ann hanya bertemu dengan Wanto, pawang Chester dan juga Edgar, sang dokter hewan kepercayaan. "Big Ben jarang di rumah ini, seminggu dia biasanya datang 2 kali aja," terang Edgar sambil membawa Ann keliling kandang Chester sambil mengamati kondisi sekitar. Kandang macan kumbang kesayangan keluarga itu sengaja dibangun di halaman belakang. Yang membuat Ann takjub, tidak hanya macan kumbang satu-satunya hewan yang menghuni kandang. Ada dua harimau siberia muda bernama Kenzo dan Luna. "Kenapa gitu? Dia lebih sering di hotel?" tanya Ann penasaran. "Itu salah satunya. Big Ben adalah orang super sibuk yang memang nggak pernah mengijinkan orang lain menyentuh bisnisnya. Selagi bisa, semua bakalan dia urus sendiri," sebut Edgar yang
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama