“Reyn! Ada yang mencarimu!”
Aku menghembuskan napas dengan kasar mendengar ada seseorang yang mencariku. Aku tahu siapa yang dimaksudkan oleh temanku. Para mafia-mafia itu memang selalu saja mengganggu istirahat siangku.
Aku sama sekali tak beranjak dari tempatku. Aku masih asyik memejamkan mataku seraya merebahkan tubuhku di sebuah sofa usang, tak peduli dengan perkataan teman-temanku.
“Tuan Reyner, bisakah berbicara dengan anda sebentar?”
Aku membuka mataku dan melihat seseorang yang mengenakan setelan jas hitam sedang berdiri tepat di sebelah kananku. Aku kembali menghela napas kasarku melihat pria yang terus saja menatapku itu.
“Reyn! Cukup panggil Reyn, tak perlu nama asliku,” kesalku pada pria tersebut.
“Baiklah, Tuan Reyn.”
“Mau apa?” tanyaku dengan memalingkan wajah kearah lain. Aku merasa muak melihat pria-pria seperti itu yang selalu saja menggangguku. Ingin rasanya sehari tidak diganggu dengan manusia kalangan atas yang selalu mengutamakan harta dan tahta di atas segalanya.
“Aku datang jauh ke sini hanya untuk bertemu denganmu. Ada tawaran yang menarik dari tuanku untukmu. Ku harap kau bisa meluangkan waktumu sedikit saja untuk berbicara denganku.”
“Ck, basa - basimu terlalu panjang,” decak kesalku. “Langsung saja ke intinya? Siapa yang harus ku bunuh? Lalu apa keuntunganku?” Pria itu menyunggingkan senyum sinisnya padaku.
“Tuanku tidak menyuruhmu untuk membunuh siapapun.”
“Lalu?”
“Menculik anak.”
Pfftt!
Aku tak kuasa menahan tawaku mendengar pernyataannya yang seperti lelucon. Aku adalah pembunuh bayaran paling bahaya dan terkenal kejam. Dengan seenaknya ia memintaku untuk melakukan penculikan apalagi terhadap anak kecil.
“Bung, sepertinya kau perlu obat.”
“Aku sedang tidak bercanda!”
Ia sedikit menaikkan nada suaranya yang terdengar menggema ke seluruh penjuru ruangan di gedung kosong yang sedang aku tempati.
“Lucu sekali leluconnya, Bung. Aku sampai tak bisa menahan tawaku.” Aku sengaja meledeknya yang sudah bermuka merah seperti ingin menelanku hidup-hidup.
“Aku tidak mau menuruti perintah tuanmu. Kau perintah saja preman-preman jalanan untuk melakukan penculikan sesuai keinginan tuanmu. Tentunya bukan aku,” tolakku. Meskipun aku penjahat, setidaknya penjahat sepertiku masih punya harga diri.
“Tapi tuanku mempunyai penawaran yang menarik untukmu,” sambungnya.
Aku tetap tak berekspresi apapun. “Tawaran seperti apa yang membuatku mengubah keputusanku?” tanyaku seraya meraih pemantik api yang ada di meja dan mengarahkannya pada rokok-ku.
“75% saham terbesar dari Frent Corporation.”
Aku menghentikan kegiatan menghisap nikotin-ku kala mendengar penawaran yang cukup menarik di telingaku. Pasalnya, perusahaan yang bergerak di bidang properti itu sedang naik daun dan terkenal dengan perusahaan terkaya nomor dua di dunia. Bahkan sudah berpuluh-puluh cabang diberbagai negara salah satunya di Indonesia.
“Kau ini ada hubungan apa dengan perusahaan itu?” tanyaku yang juga penasaran, mengapa ada kaki tangan perusahaan ternama seperti itu datang mencariku. Apakah sekarang aku sudah sangat terkenal karena pekerjaanku yang cukup memuaskan saat membunuh seorang pejabat tinggi.
Seketika aku merasa bangga pada diriku sendiri. Walaupun aku tahu, mungkin dosaku terlalu banyak bahkan tuhan pun entah bisa memaafkanku atau tidak. Setidaknya ada hal yang bisa dibanggakan selama aku hidup di dunia yang sangat ku benci ini.
“Tuanku adalah CEO Frent Corporation.”
Aku membelalakkan mataku mendengar pernyataan dari pria yang ada dihadapanku ini. Bisa-bisanya CEO perusahaan besar mengenalku. Seketika aku merasa tersanjung, tetapi aku tidak akan goyah meskipun ia CEO ternama.
“Tawarannya kurang menarik. Bilang pada tuanmu, aku tetap tidak mau,” tegasku yang selalu meninggikan gengsiku meskipun tawarannya benar-benar menarik.
“Aku mohon supaya kau bersedia, tuanku akan memberikan apapun yang kau inginkan.” Ucapannya membuatku besar kepala saja. Baru kali ini ada seorang tangan kanan perusahaan terkenal yang merengek meminta tolong padaku.
“Baiklah, aku menyetujuinya tapi bilang pada tuanmu. Aku ingin bertemu langsung dengannya.” Alhasil aku pun menerima tawaran pria berkulit sawo matang tersebut.
“Tuanku sudah mempersiapkannya matang-matang dan kau akan dibuatkan tim untuk melakukan penculikan tersebut,” jelas panjangnya.
“Tim? Kau kira aku sedang bermain sepak bola.”
“Ini serius, Tuan.”
Wajahnya memperlihatkan raut yang amat serius. Nampaknya ia tidak suka lelucon. Ck, membosankan sekali hidupnya. Hanya terfokus pada pekerjaan dan tuannya saja.
“Baiklah, kau atur saja. Aku akan ikuti permainanmu dan tuanmu itu.” Aku beranjak dari tempatku dan melangkah pergi meninggalkan pria berpakaian rapi itu sendirian.
Aku menghentikan langkahku sejenak dan menoleh kearah pria tersebut. “Dan satu lagi, cukup panggil namaku Reyn. Tak perlu menyebut nama asliku.” Aku kembali melangkahkan kakiku meninggalkan gedung kosong yang sedikit angker itu bersama teman-temanku.
**
“Ini soto mie sesuai pesanannya, Mas.”
Aku yang sedang asyik bermain ponselku seketika mendongakkan kepalaku melihat pedagang soto mie itu menghampiriku dan memberikan sebuah mangkuk pesananku.
“Terima kasih, Mang.”
Aku menerimanya dengan kedua tanganku. Perutku sudah sangat lapar ketika mencium bau aroma soto mie yang membuat cacing-cacing di perutku bersorak gembira.
Aku menaruh ponselku di meja dan segera melahap soto mie yang masih panas itu. Aku tak memperdulikan berisiknya jalanan ibukota yang tengah ramai di siang hari.
Kemacetan yang sering terjadi bukan hal yang asing bagiku. Seluruh penjuru ibukota telah aku lalui sejak kecil hanya seorang diri. Anak jalanan, mungkin itu yang lebih tepat menggambarkan sosok diriku.
Semenjak ayah dan ibuku meninggal dunia akibat kecelakaan maut yang menimpa kami sekitar lima belas tahun lalu, aku tinggal seorang diri di Jakarta. Tanpa ada satupun sanak saudara dan keluarga.
Hidup bagai orang yang tak tahu arah, aku hanya mengikuti kata hatiku untuk melangkah. Terkadang terasa jenuh menjalani kehidupan yang seperti ini.
Aku pernah mencoba bunuh diri dari atas jurang yang curam, tetapi tuhan justru menyelamatkanku dan memberikanku kehidupan yang tak berarti seperti ini lagi.
“Ehem!”
Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang berdeham, aku menoleh ke sumber suara tersebut dan ku lihat pria yang tempo hari mencariku sedang berdiri tepat di sebelahku dan memperhatikanku sedemikian rupa.
Aku berdecak kesal karena selera makanku hilang melihat pria yang mengenakan setelan jas hitam itu lagi. “Kau lagi, sampai bosan aku melihatmu,” gerutuku yang tak dihiraukan olehnya.
“Kau mengganggu acara makanku saja, ada keperluan apa menemuiku?”
“Tuanku ingin bertemu denganmu, sekarang juga!”
Perkataan yang cukup singkat itu membuatku kesal. Apa ia tak bisa melihat aku yang sedang enak-enaknya melahap semangkuk soto mie panas yang ada di tanganku.
“Duduklah! Tunggu aku selesai makan dulu.” Aku kembali melanjutkan acara makan siangku yang sempat terganggu dengan kehadirannya. Pria itu pun duduk di sebelahku tanpa menoleh kearahku sama sekali.
“Siapa namamu?” tanyaku di sela-sela mengunyah makananku.
“Bimo.”
“Oh ksatria pandawa lima ya?”
“Bukan, itu Bima.”
“Ku kira sama.”
Aku melanjutkan memakan soto mie-ku saat merasakan ucapan asalku yang ternyata salah. “Sampai berapa lama aku harus menunggumu menghabiskan makananmu itu, Tuan?” tanyanya padaku.
“Makanku bisa sampai satu jam, terkadang lebih. Apa kau masih mau menungguku?” bohongku padanya dan ia justru mempercayainya.
“Aku akan tetap menunggumu, karena ini perintah majikanku.”
“Wow, sepertinya kau tangan kanan yang cukup setia pada tuanmu. Aku sudah selesai, ayo pergi! Aku tidak ingin kau dimarahi tuanmu itu karena terlalu lama menungguku.”
“Baiklah, Tuan.”
Aku dan Bimo memasuki sebuah gedung bertingkat tinggi. Sekilas aku melihat papan besar yang bertuliskan 'Frent Corporation Indonesia'.Walaupun aku tidak lulus di sekolah dasar, tetapi aku mampu membaca tulisan yang berhuruf kapital itu.“Nina, apa tuan besar ada di ruangannya?” tanya Bimo pada salah satu karyawan kantor yang ia jumpai.“Sepertinya tuan masih ada di ruangannya,” jawab karyawan wanita itu. Lalu Bimo berjalan menuju ruangan yang ada di lantai lima dan aku hanya mengikutinya saja.Ting.Bimo dan aku memasuki sebuah ruangan yang ukurannya cukup besar dan mewah. Pandanganku melihat ke seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kerjanya. Ia sepertinya sedang sibuk dengan laptopnya.“Permisi, Tuan,” ucap Bimo dengan begitu sopannya. Pria tua itu menutup layar laptopnya dan berjalan menghampiri kami berdua.
12 Oktober 2021.Hari ini hari dimana aku dan keempat anak buahku yang tidak bisa diandalkan itu akan melancarkan aksi kami, yaitu menculik anak semata wayang Coudry Limantara.Aku sudah mempersiapkan matang-matang rencana dan strategi yang bagus serta rencana pengganti jikalau ada kendala atau masalah yang tak terduga.Umar sudah berada di depan sekolah dasar tempat anak Coudry Limantara menempuh pendidikannya. Umar menyamar sebagai pedagang sempol ayam lengkap dengan gerobak dan pakaiannya yang sudah sangat mirip seperti para pedagang jajanan sekolah lainnya.Aku memilih Umar karena dia sangat cocok dengan pekerjaan yang ku berikan untuknya. Umar sangat mendalami perannya bahkan banyak anak lain yang membeli barang dagangannya.Sementara Ganan dan Niky yang akan menghadang para bodyguard khusus anak Coudry Limantara. Kemampuan bela diri Niky yang tak diragukan lagi serta kemamp
“Kakaakkk!”Baru saja aku memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku di sofa. Anak itu kembali berteriak kencang hingga membuatku terbangun untuk yang kesekian kalinya.Jika bukan karena perjanjianku dengan tuan Jeff, sudah ku kembalikan anak itu ke tempat asalnya.“Ganan! Niky! Umar! Marco!” teriakku memanggil seluruh anak buahku. Mereka pun bergegas menemuiku dengan tergopoh-gopoh.“Ada apa, Reyn?”“Urus anak menyebalkan itu, aku ingin tidur!” titahku.“Siap, Reyn. Serahkan semuanya kepada kami.”Entah dengan cara apa, mereka mampu membuat anak itu bermain dengan tenang tanpa suara gaduh sedikitpun.Aku mengurungkan niatku untuk merebahkan tubuhku kembali, aku meraih ponselku di meja dan mencari kontak Bimo lalu menghubunginya.“Hal
Setelah pusing memikirkan tingkah-tingkah aneh manusia-manusia yang ada di rumah ini, aku memilih merebahkan tubuhku lagi di sofa.“KAKAK BANJIR!”Aku terperanjat dari tidurku mendengar teriakkan Rafael yang mengatakan bahwa ada banjir. Dan ternyata aku ditipu mentah-mentah oleh anak bau kencur ini.“APA KAU SUDAH GILA?”Rafael hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya tersenyum padaku.“Kau ini sedang diculik, seharusnya kau takut bukan malah berkeliaran seperti di rumahmu sendiri apalagi sampai berbelanja segala,” celotehku yang tak didengar olehnya.Ia sibuk menghitungi kemasan es krim yang baru saja ia makan. Percuma aku berbicara panjang lebar jika yang sedang ku ajak berbicara justru mengacuhkanku.“Kak, hari ini aku sudah makan es krim empat.”Dengan seena
Aku mengambil pakaian kotor yang tergeletak begitu saja di kamarku. Senin pagi ini, aku habiskan untuk mencuci pakaianku yang sudah bertumpuk dan hampir menjulang tinggi.Aku lebih suka mencuci pakaianku sendiri daripada harus pergi ke laundry kiloan yang ada di dekat rumah. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini.Jika pria seusiaku di luar sana mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ada yang bekerja di kantor, ada yang berwirausaha dan ada juga yang bekerja serabutan.Berbeda denganku, aku ini pengangguran yang kaya raya. Meskipun tak punya pekerjaan tetap, tetapi aku bisa merasakan hidup mewah dari kekayaan tuan Jeff.Setelah selesai mencuci pakaian yang sebanyak gunung karena hampir seminggu lebih tidak ku cuci, aku melanjutkan memasak untuk orang-orang malas yang ada di rumah ini.Satupun dari mereka tidak ada yang bisa memasak, hingga akhirnya
“Ayam goreng sudah matang, ayo makan, makan, makan ... ”Aku menutup telingaku mendengar suara nyaring Umar yang sedang bernyanyi di meja makan seraya memukul-mukul meja menggunakan sendok dan garpunya.“Berisik sekali kau!” bentak Niky.Ternyata bukan aku saja yang merasakannya, ketiga teman-teman Umar pun juga merasakan hal yang sama. Mungkin hanya Rafael yang tidak menghiraukannya karena ia sedang sibuk dengan robot yang baru saja ia beli.“Bisa diam tidak! Atau kau mau aku goreng di dalam minyak panas ini!” ancamku agar Umar menghentikan nyanyiannya itu.Umar segera membekap mulutnya sendiri, karena mungkin ia takut aku benar-benar melakukannya. Padahal aku hanya menggertaknya saja.Aku kembali melanjutkan acara memasakku yang sempat terganggu oleh suara berisik Umar. Sementara mereka sedang menunggu m
Aku dapat membunuh dua dari mereka dengan parang panjang yang berhasil aku rebut dari mereka. Namun, ada empat orang lagi yang masih sanggup melawanku.Salah satu dari mereka mengarahkan pistol kearah kepalaku. Kini aku terdiam tak bisa melawan, satu langkah saja peluru itu bisa menembus ke otakku.“Bagaimana? Apa kau menyerah?” tanyanya.Aku tidak menjawab pertanyaan konyolnya itu sama sekali. “Satu detik lagi akan ku bunuh kau seperti kau yang telah membunuh Aryo,” ancamnya.Ctakk!Ketika ia akan menembakkan peluru itu kearahku, tiba-tiba ada kaki jenjang yang menendang pistol itu hingga melayang diudara dan jatuh ke lantai.Aku menoleh kearah pemilik kaki jenjang itu yang ternyata adalah Marco. Tidak hanya ia sendiri, bahkan seluruh anak buahku datang untuk menolongku. Ternyata ada gunanya juga mereka, selain hanya
Ternyata yang sedang mereka bicarakan semenjak tadi adalah Rafael.“Rafael? Ada apa dengan anak itu?” tanyaku yang menjadi sangat penasaran.“Kita sering melihat banyak bekas luka ditubuhnya. Ada yang dipunggung, ada yang ditangan dan juga ada yang dikaki. Lukanya mirip seperti luka karena benda tajam, sepertinya Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini,” jelas Umar.“Kekerasan fisik? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?” tanyaku.“Tuan bos, kau tidak pernah memandikan anak itu. Selalu kami yang memandikannya. Jelas kami melihat luka-luka itu. Jika kau tak percaya kau bisa memandikan anak itu agar kau percaya,” usul Marco.Aku menjadi semakin penasaran dengan perkataan mereka. Aku ingin sekali menanyakan langsung kepada Rafael sekaligus memastikan apakah benar Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini, tetapi bukan
Satu tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Namun, aku hanya bisa terdiam. Karena aku tahu jika aku telah melakukan kesalahan. Aku tahu tuan Jeff pasti sudah mengetahui mengenai aku yang diam-diam mempertemukan Rafael dengan Coudry Limantara.“BODOH! SANGAT BODOH!”Aku tak bergeming saat mendengar pria tua yang ada di hadapanku ini tengah murka dengan amarah yang membara. Berbeda dengan keempat anak buahku yang sudah menundukkan kepalanya sejak tadi.“Apa yang ada di otakmu, Reyn!”“Dia hanya ingin bertemu ayahnya, itu saja,” jawabku dengan penuh pembelaan pada diriku sendiri.“Apa kau lupa? Kau ingin penculik! Tak pantas melakukan hal sekonyol itu!”Tuan Jeff terus saja memarahiku, tetapi aku tak memperdulikannya karena yang terpenting aku sudah mempertemukan ayah dan anaknya.“Lalu
Dania sangat terkejut melihatku, memangnya aku kenapa dan apa ada yang salah pada diriku. Aku baru menyadari bahwa aku baru saja bertarung dengan bodyguard-bodyguard menyebalkan itu hingga wajahku luka-luka. Mungkin itu yang membuat Dania terkejut. “Wajahmu kenapa? Kau habis berkelahi ya?” tanyanya yang begitu panik melihat keadaanku. “Iya tadi aku berkelahi dengan orang di jalan,” jawab bohongku. Mana mungkin aku berterus-terang dengan semua yang terjadi padaku. “Oh iya ada apa malam-malam kau ke sini, Dania?” tanyaku. “Tadinya aku mau mengantar makanan untuk makan malam kalian semua, tetapi aku justru melihat kau terluka seperti ini. Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan segera kembali.” Dania berlari memasuki rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumahku. Tak lama Dania kembali menemuiku sembari membawa kotak p3k. “Maaf menunggu lama, apa aku boleh mengobati lukam
Rafael yang sedang menundukkan kepalanya, seketika mendongak mendengar ada suara yang memanggil namanya. Rafael sangat terkejut melihat mata Coudry Limantara yang terbuka sedikit demi sedikit. Bukan hanya Rafael yang terkejut, para bodyguard-bodyguard ini juga sangat terkejut. Mereka sampai menghentikan langkahnya dan lupa dengan keberadaanku.Tangan Coudry Limantara bergerak dan meraih pucuk kepala Rafael. Rafael memeluk erat tubuh ayahnya dengan tangisan yang semakin pecah.“Ka-kau tidak apa-apa?” tanya Coudry Limantara dengan terbata-bata karena suaranya yang serak. Rafael menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tangan Coudry Limantara mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Rafael.“Aku selama ini baik-baik saja, Ayah. Ada kakak baik yang selama ini merawatku, memenuhi semua kebutuhanku bahkan sangat menyayangiku sama seperti ayah.”Aku yang mendengar semua penutu
“Paman! Lepaskan kak Reyn, dia tidak jahat,” ujar Rafael yang memelukku erat. Sementara aku tak bisa membalas pelukannya karena kedua tanganku sibuk dipegangi oleh bodyguard-bodyguard itu.“Tuan muda, ini adalah perintah untuk menangkap siapapun yang menculikmu,” ucap salah satu dari mereka. Bodyguard-bodyguard itu terus saja mencekal tanganku.“Sudahlah tidak apa-apa, bukankah kau ingin melihat ayahmu. Sana masuk! Jangan hiraukan aku,” ujarku kepada Rafael. Namun, anak itu menggelengkan kepalanya cepat. “Aku tidak mau meninggalkanmu, aku takut mereka menyakitimu,” jawabnya.“Ck, cepatlah masuk!”Aku pun akhirnya memberontak dan menghajar para bodyguard-bodyguard itu. Lima melawan satu, tidak masalah bagiku. Aku pikir dengan aku menyerahkan diri kepada mereka, lalu Rafael bisa menemui ayahnya. Namun, Rafael justru ingin menemui
Aku dan Ganan sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang tengah karena ada tim kesukaan kami. Tak sengaja aku dan Ganan mendengar suara rintihan Rafael yang cukup keras hingga terdengar sampai ruang tengah.Aku buru-buru ke kamar Rafael yang diikuti oleh Ganan di belakangku. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Ternyata Rafael sedang tidur, sepertinya ia sedang bermimpi buruk tentang ayahnya.Aku dan Ganan menghampiri Rafael dan menggoyangkan tubuhnya agar terbangun.“Rafa, bangun.”Rafael terus meronta-ronta dalam tidurnya dan menyebut-nyebut ayahnya. Aku dan Ganan menjadi bingung. Ganan terus menggoyangkan tubuh Rafael.“Jangan tinggalkan aku, Ayahhhhhh ... ”Rafael tersentak dari tidurnya. Napasnya memburu tak beraturan. Aku menyuruhnya duduk agar menetralkan suasana hatinya. Ku lihat keringat yang m
Selama di perjalanan pulang, kami sama-sama terdiam. Suasana di dalam mobil sangat sunyi tanpa satu patah kata yang terucap, yang terdengar hanya bisingnya kemacetan di ibukota karena hari yang semakin gelap.Aku mengedarkan pandanganku ke mereka yang sedang berjalan kaki beramai-ramai di bahu jalan. Mereka adalah para pekerja yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta mereka.Aku kembali fokus mengendarai mobilku yang terjebak diantara mobil-mobil lainnya. Aku hanya bisa melajukan mobilku perlahan-lahan dan hanya bergerak beberapa meter dalam lima menit. Kemacetan sore ini semakin parah dan biasanya akan lebih ramai bila menjelang petang.Sementara aku masih bingung harus mengatakan apa pada Dania untuk membuka pembicaraan diantara kita dan sepertinya Dania juga begitu.“Reyn.”Akhirnya Dania-lah yang memulai per
Uhuk! Uhuk!Aku sangat terkejut sampai-sampai aku tersedak air yang sedang ku minum ketika mendengar pekerjaan baru yang tuan Jeff berikan. Aku tahu profesiku dulu memang pembunuh bayaran dan untuk membunuh Coudry Limantara itu sangatlah mudah, tetapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sedihnya Rafael jika mengetahuinya.Sedangkan tadi pagi Rafael baru saja mengatakan bahwa dirinya sangat menyayangi ayahnya. Aku benar-benar tidak tega melakukannya.“Aku tidak mau melakukannya!”Bimo menautkan kedua alisnya heran mendengar jawabanku. “Kenapa tidak mau? Bukankah itu pekerjaanmu? Bahkan dikalangan para penjahat-penjahat dan mafia, kau terkenal sebagai pembunuh bayaran yang paling berbahaya, bukan?”“Iya, tapi kali ini aku tidak bisa.”“Kenapa tidak bisa? Ini adalah perintah tuan Jeff dan kau sud
“Hei! Anak kecil! Kau sedang apa?” tanyaku pada Rafael yang terlihat sangat sibuk dengan buku gambar yang baru dibelikan Marco kemarin. Rafael hanya menoleh kearahku lalu ia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menjawab pertanyaanku. Aku menjadi penasaran dengan apa yang sedang ia lukis. Aku diam-diam mengambil buku gambar tersebut saat ia sedang sibuk memilih pensil warna yang menurutnya cocok. Ternyata ia sedang menggambarkan diriku bersama Dania serta keempat anak buahku. Aku tahu itu aku dan yang lainnya karena Rafael menuliskan nama-nama kami di atas gambarnya. “Kemarikan gambarku!” Rafael merebut kembali buku gambar yang ada ditanganku. “Ck, jelek sekali gambarmu, apalagi mukaku terlihat bulat sekali di sini. Kepala Umar yang bulat justru terlihat lonjong. Kau ini memang tak pandai menggambar ya,” ledekku padanya. Sementara Rafael mendengus kesal mendengar gambarnya aku katakan jelek, pada kenyataannya tidak
“Ja-jadi kau tetangga baruku,” ucapku seraya menetralkan suasana hatiku yang benar-benar terkejut melihat Dania kini telah menjadi tetanggaku. “Iya sesuai yang aku katakan waktu itu kalau sebentar lagi aku akan pindah, tapi aku tidak menyangka jika kau adalah tetanggaku. Maaf ya kalau aku jadi mengganggu istirahat kalian karena baru sempat hari ini,” jelas panjangnya. Aku menjadi merasa tidak enak hati karena telah meneriaki Dania seperti tadi. Jika dari awal aku tahu tetangga baruku adalah Dania, sudah pasti aku membantunya bukan justru memarahinya. “Tidak apa-apa kok, aku yang harusnya minta maaf. Aku kira kau ini tetangga-tetangga menyebalkan yang selalu berjoget dangdut di depan rumahku,” jawabku sembari menggaruk tengkukku. Keempat anak buahku menatap lekat kearahku, sepertinya mereka merasa tersindir atas ucapanku tadi. “Asyik, ada kak Dania sekarang, yeah nanti beli es krim lagi,” ujar