Setelah pusing memikirkan tingkah-tingkah aneh manusia-manusia yang ada di rumah ini, aku memilih merebahkan tubuhku lagi di sofa.
“KAKAK BANJIR!”
Aku terperanjat dari tidurku mendengar teriakkan Rafael yang mengatakan bahwa ada banjir. Dan ternyata aku ditipu mentah-mentah oleh anak bau kencur ini.
“APA KAU SUDAH GILA?”
Rafael hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya tersenyum padaku.
“Kau ini sedang diculik, seharusnya kau takut bukan malah berkeliaran seperti di rumahmu sendiri apalagi sampai berbelanja segala,” celotehku yang tak didengar olehnya.
Ia sibuk menghitungi kemasan es krim yang baru saja ia makan. Percuma aku berbicara panjang lebar jika yang sedang ku ajak berbicara justru mengacuhkanku.
“Kak, hari ini aku sudah makan es krim empat.”
Dengan seenaknya ia mengalihkan pembicaraanku. “Hei, Sebenarnya dari tadi kau mendengar kata-kata ku tidak?”
“Tidak.”
Aku mendengus kesal, ingin sekali rasanya anak ini ku telan habis-habis. “Sana pergi! Jangan menggangguku! Bisa-bisa pecah kepalaku melihat tingkah anehmu,” gerutuku.
Rafael hanya tersenyum melihatku yang baru saja menggerutu terus menerus. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang berbentuk wajah yang sedang menjulurkan lidahnya. Ia pun memberikannya padaku.
“Ini untuk kakak, supaya tidak marah-marah terus.” Rafael meraih tanganku yang meletakkan gantungan kunci itu di telapak tanganku.
Kala ini aku tak bergeming sama sekali. Aku sudah memarahinya dan membentaknya dengan nada tinggi, tetapi ia sama sekali tidak takut atau membenciku. Ia justru memberikan sebuah gantungan kecil padaku.
**
“Kak Reyn, aku mau mandi. Tolong siapkan air hangat,” perintah Rafael padaku. “Tidak ada air hangat, pakai air biasa saja!” jawabku dengan nada tegasku.
“Yah, aku kan sudah biasa pakai air hangat. Ya sudahlah tapi bajuku mana? Nanti aku pakai baju apa. Kakak juga aneh, masa mau menculikku tidak bilang dulu. Kalau bilang-bilang terlebih dahulu setidaknya aku bawa baju ganti yang banyak,” celotehnya tanpa henti yang membuatku malas meladeninya.
“Umar! Niky! Ganan! Marco!” teriakku memanggil keempat anak buahku. Mereka berempat pun segera datang menghampiriku.
“Ada apa kau teriak-teriak, aku sedang tidur siang,” ujar Ganan dengan rambut yang berantakan dan mata merah karena menahan kantuk.
“Kau kenapa teriak-teriak, Reyn? Aku sedang asyik makan dengan Niky,” sambung Umar.
“Rafa ingin mandi, urus perlengkapan mandinya,” perintahku.
“Kita? Memandikan anak ini?” ucap kompak mereka berempat.
“Asyikkkkk ... ayo mandi!”
Rafael sangat senang melihat ekspresi wajah ke-empat anak buahku itu.
“Niky, kau ikut denganku ke toko baju. Anak ini belum punya baju ganti.”
“Siap, Reyn.”
Sementara yang lain memandikan Rafael, aku dan Niky pergi ke sebuah toko baju terdekat.
“Selamat pagi ada yang bisa kami bantu?” ucap pelayan toko dengan begitu ramahnya.
“Kita mau mencari baju anak laki-laki usia 8 tahun,” jawabku.
“Oh untuk anaknya ya, itu sebelah situ. Silakan di pilih. Ada beberapa model terbarunya lho, Mas,” tutur pelayan toko tersebut.
Sedangkan pelayan yang lainnya berbisik-bisik melihatku dan Niky membeli baju anak. “Ih itu kakak-kakak gantengnya sudah punya anak, padahal masih terlihat sangat muda,” bisik salah satu pelayan kepada pelayan lainnya.
“Sekarang jamannya papah muda, contohnya mereka. Masih muda sudah punya anak,” jawab pelayan lainnya.
Aku sama sekali tidak memperdulikannya, aku malas meladeni hal-hal yang menurutku tidak penting. Namun, berbeda dengan Niky. Ia terlihat tidak suka mendengarkan komentar-komentar pelayan-pelayan itu.
“Niky,” panggil seorang perempuan yang mengenal Niky. Perempuan tersebut menghampiri kami.
“Sita, kamu sedang apa disini?” tanya Niky yang juga mengenal perempuan tersebut. “Aku sedang mencari baju untuk adikku,” jawab Sita yang ternyata salah satu teman disosial media Niky.
“Kau sendiri sedang apa? Bukankah kau belum memiliki anak,” lanjut Sita yang telah mengetahui seluk beluk Niky dari sosial medianya.
“Kedua kakak ini membeli banyak baju untuk anaknya,” sela pelayan yang berbicara asal.
“Kau sudah punya anak? Kenapa tidak bilang padaku? Dasar pembohong, kau bilang kau ini masih perjaka nyatanya sudah memiliki seorang anak. Aku tidak mau mengenalmu lagi. Aku akan menyebarkan berita ini disosial mediaku,” geram Sita.
“Sita, aku masih perjaka dan aku belum memiliki anak. Ku mohon kau jangan sebarkan tentang ini disosial mediamu,” rengek Niky yang mirip seperti Rafael yang ingin meminta es krim.
Sita pun berjalan pergi dengan raut wajah yang marah meninggalkan Niky yang masih panik oleh ancaman Sita.
Sedangkan aku masih setia dalam diamku, aku tidak pernah mau mengurusi hal-hal yang bukan urusanku.
“Ini semuanya berapa?” tanyaku pada pelayan.
“Satu pasang pakaiannya seharga seratus ribu rupiah, Kak.”
Aku memberikan sejumlah uang yang disebutkan oleh pelayan toko tersebut.
“Terima kasih, jangan lupa datang kembali.”
**
“Ya tuhan ... Apa salahku? Mengapa ujian yang engkau berikan begitu berat untuk hambamu ini.”
Seluruh mata memandang kearah Niky yang seperti orang gila, berteriak-teriak seorang diri di ruang keluarga. Terkecuali aku, aku yang tengah sibuk memainkan ponselku tak memperdulikannya sama sekali.
“Kau kenapa, Niky?” tanya Ganan.
“Anggap saja orang gila,” ucapku asal tanpa menoleh kearah mereka.
Terlihat Rafael menghampiri Niky yang sedang gelisah seperti anak gadis yang sedang menunggu kekasihnya datang.
“Kak Niky, kau kenapa? Terlihat seperti orang yang sedang gelisah,” tanya Rafael sembari duduk dihadapannya agar menyeimbangkan badannya dengan Niky yang sedang terbaring di lantai.
“Pengikut disosial mediaku turun drastis, ini semua karena ulah Sita yang menyebarkan berita palsu itu,” jelas Niky.
“Ku kira kau kenapa, ternyata hanya permasalahan kecil,” ujar Marco.
“Ada-ada saja kau ini. Ku kira kau kesurupan. Tahu-tahu hanya masalah pengikut sosial media saja,” sambung Ganan.
“Followers itu penting bagi hidupku. Tanpa mereka, aku tidak akan bisa terkenal seperti ini.” ucap Niky dengan begitu kesalnya.
“Aha! Aku punya ide.”
Rafael membisikkan sesuatu ke telinga Niky dan yang lainnya. Aku sama sekali tidak penasaran, aku menghiraukan tingkah laku aneh mereka semua.
Mereka terlihat sedang berfoto bersama di halaman depan dan entah kelakuan aneh apalagi yang akan mereka lakukan hari ini.
“YES FOLLOWERS-KU MENJADI TAMBAH BANYAK!”
Samar-samar aku mendengar suara Niky yang begitu lantang.
PING.
[BIMO]
APA YANG ANAK BUAHMU LAKUKAN? APA KALIAN SUDAH GILA? UNTUK APA MENGUNGGAH FOTO BERSAMA ANAK YANG KAU CULIK! HAPUS SEKARANG!
Aku membelalakkan mataku membaca pesan dari Bimo. Ternyata yang mereka lakukan di halaman depan adalah berfoto bersama dan mengunggah foto tersebut ke sosial media.
Apa mereka lupa bahwa mereka adalah penculik. Aku baru melihat penculik yang berfoto bersama anak yang diculik.
Aku buru-buru menghampiri mereka yang tengah asyik berbincang-bincang di halaman depan.
“NIKY!”
Mereka terlonjak mendengar suaraku dengan amarah yang membara. Mereka saling tatap sejenak, mengetahui jika aku marah besar pasti ada sebab yang besar juga.
“Kenapa kak Reyn terlihat marah sekali? Ada yang merasa membuat salah padanya?” tanya Rafael pada mereka. Meskipun dengan suara yang pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
“Reyn, ada apa?” tanya Marco mewakili yang lainnya. “Niky, mana ponselmu?” tanyaku yang masih dengan raut wajah kesalku.
Niky terdiam sejenak. Perasaannya sudah tidak enak jika berhubungan dengan ponselnya. “Buat apa Ren?” tanya Niky sebelum memberikan ponselnya.
“BERIKAN PADAKU!”
Niky memberikan ponselnya kepadaku dengan terpaksa. Mereka bingung apa yang akan aku lakukan dengan ponsel Niky. Aku menghapus unggahan disosial media Niky dan lalu membanting ponselnya ke lantai.
Ctakkkkk!
Mulut Niky membulat sempurna melihat ponsel kesayangannya dibanting begitu saja ke lantai.
“Ponselku, malangnya nasibmu.” Niky menatap ponselnya yang sudah hancur di lantai dengan miris. “Reyn, mengapa kau melempar ponselku, ponselku itu sangat berarti bagiku,” protes Niky.
“Apa kalian lupa kalian ini adalah penculik, untuk apa penculik berfoto dengan anak yang kau culik lalu kau unggah foto tersebut kesosial mediamu? Kau sudah gila? Hah!”
Niky menundukkan kepalanya karena tahu jika dirinya memang bersalah.
“Kau mengetahuinya dari mana? Bukankah kau bilang kau tidak suka bermain sosial media?” tanya Marco.
“Bimo yang memberitahuku.”
“Kak Reyn, tak perlu memarahi kak Niky. Ini bukan salahnya, ini salahku. Aku yang menyarankan untuk berfoto bersamaku.” Aku menatap tajam kearah Rafael. Aku memang sudah kesal dengannya sejak awal penculikan.
“DAN KAU! KAU INI SEDANG DICULIK! SEHARUSNYA KAU TAKUT BUKANNYA MALAH SENANG!”
Aku kembali memasuki rumahku dan meninggalkan mereka semua yang masih terdiam.
Aku mengambil pakaian kotor yang tergeletak begitu saja di kamarku. Senin pagi ini, aku habiskan untuk mencuci pakaianku yang sudah bertumpuk dan hampir menjulang tinggi.Aku lebih suka mencuci pakaianku sendiri daripada harus pergi ke laundry kiloan yang ada di dekat rumah. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini.Jika pria seusiaku di luar sana mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ada yang bekerja di kantor, ada yang berwirausaha dan ada juga yang bekerja serabutan.Berbeda denganku, aku ini pengangguran yang kaya raya. Meskipun tak punya pekerjaan tetap, tetapi aku bisa merasakan hidup mewah dari kekayaan tuan Jeff.Setelah selesai mencuci pakaian yang sebanyak gunung karena hampir seminggu lebih tidak ku cuci, aku melanjutkan memasak untuk orang-orang malas yang ada di rumah ini.Satupun dari mereka tidak ada yang bisa memasak, hingga akhirnya
“Ayam goreng sudah matang, ayo makan, makan, makan ... ”Aku menutup telingaku mendengar suara nyaring Umar yang sedang bernyanyi di meja makan seraya memukul-mukul meja menggunakan sendok dan garpunya.“Berisik sekali kau!” bentak Niky.Ternyata bukan aku saja yang merasakannya, ketiga teman-teman Umar pun juga merasakan hal yang sama. Mungkin hanya Rafael yang tidak menghiraukannya karena ia sedang sibuk dengan robot yang baru saja ia beli.“Bisa diam tidak! Atau kau mau aku goreng di dalam minyak panas ini!” ancamku agar Umar menghentikan nyanyiannya itu.Umar segera membekap mulutnya sendiri, karena mungkin ia takut aku benar-benar melakukannya. Padahal aku hanya menggertaknya saja.Aku kembali melanjutkan acara memasakku yang sempat terganggu oleh suara berisik Umar. Sementara mereka sedang menunggu m
Aku dapat membunuh dua dari mereka dengan parang panjang yang berhasil aku rebut dari mereka. Namun, ada empat orang lagi yang masih sanggup melawanku.Salah satu dari mereka mengarahkan pistol kearah kepalaku. Kini aku terdiam tak bisa melawan, satu langkah saja peluru itu bisa menembus ke otakku.“Bagaimana? Apa kau menyerah?” tanyanya.Aku tidak menjawab pertanyaan konyolnya itu sama sekali. “Satu detik lagi akan ku bunuh kau seperti kau yang telah membunuh Aryo,” ancamnya.Ctakk!Ketika ia akan menembakkan peluru itu kearahku, tiba-tiba ada kaki jenjang yang menendang pistol itu hingga melayang diudara dan jatuh ke lantai.Aku menoleh kearah pemilik kaki jenjang itu yang ternyata adalah Marco. Tidak hanya ia sendiri, bahkan seluruh anak buahku datang untuk menolongku. Ternyata ada gunanya juga mereka, selain hanya
Ternyata yang sedang mereka bicarakan semenjak tadi adalah Rafael.“Rafael? Ada apa dengan anak itu?” tanyaku yang menjadi sangat penasaran.“Kita sering melihat banyak bekas luka ditubuhnya. Ada yang dipunggung, ada yang ditangan dan juga ada yang dikaki. Lukanya mirip seperti luka karena benda tajam, sepertinya Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini,” jelas Umar.“Kekerasan fisik? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?” tanyaku.“Tuan bos, kau tidak pernah memandikan anak itu. Selalu kami yang memandikannya. Jelas kami melihat luka-luka itu. Jika kau tak percaya kau bisa memandikan anak itu agar kau percaya,” usul Marco.Aku menjadi semakin penasaran dengan perkataan mereka. Aku ingin sekali menanyakan langsung kepada Rafael sekaligus memastikan apakah benar Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini, tetapi bukan
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib. Aku masih belum mengantuk. Seharian aku tidak berbicara dengan Rafael dan keempat anak buahku karena aku masih sangat kesal padanya.Namun, setelah aku pikir kembali. Ternyata semua ini bukan murni kesalahan Rafael. Andaikan saja aku tidak mengambil air minum, mungkin saat ini fotoku masih utuh.Apakah tadi siang aku terlalu keras memarahinya. Aku menjadi merasa bersalah karena telah membentak Rafael hingga ia menangis tersedu-sedu.Aku melangkah menuju kamar Rafael untuk meminta maaf kepadanya. Namun, aku tidak menemukannya di kamar. Aku kembali mencari Rafael di sekeliling rumah.Hingga pandangan mataku mengarah ke kolam renang, aku melihat Rafael yang sedang duduk ditepi kolam renang. Ia tampaknya masih sedih karena kejadian tadi siang.Aku berdiri di tempatku tanpa menghampirinya sama sekali. Aku masih ingin melihatnya da
Drrttt!Aku mengambil ponsel disaku celanaku dan melihat siapa yang meneleponku. Tertera nama tuan Jeff dilayar ponselku yang menyala terang. “Mau apa si tua bangka ini,” gerutuku.“Halo, ada apa, Tuan?”“Bodoh! Kenapa dia bisa celaka. Dia adalah asetku untuk menghancurkan Coudry Limantara.”Aku berpikir sejenak mengapa tuan Jeff bisa mengetahui kejadian yang menimpa Rafael. Aku pun teringat pada CCTV yang terpasang diseluruh penjuru rumah.“Mengapa diam?”“Baiklah, aku akui itu memang murni kesalahanku. Aku yang telah lalai menjaga dia.”“Kali ini aku maafkan, tetapi jangan sampai aku tahu anak itu celaka lagi. Kecuali itu perintahku.”“Maksudnya?”“S
Hari ini Rafael sudah dibolehkan pulang dari pihak rumah sakit. Keadaan Rafael pun sudah berangsur membaik setelah tiga hari ia dirawat di rumah sakit.“Kak Reyn, aku mau es krim,” pintanya padaku yang sedang merapikan pakaian Rafael ke dalam tas ranselnya.“Iya Reyn, aku juga mau es krim,” sambung Umar.“Tidak boleh, kamu masih sakit,” ucapku dengan raut wajah datarku yang sudah kembali seperti semula.“Kak Reyn, bukankah kau sudah berjanji padaku, ayolah aku sangat ingin es krim,” ujar Rafael dengan wajah memelasnya.“Kapan aku berjanji? Sudahlah ayo pulang!” ucapku yang pura-pura lupa dengan perkataanku waktu itu.“Reyn, tidak apa-apa kalau Rafael ingin es krim. Keadaannya juga sudah sangat membaik, yang terpenting jangan terlalu banyak.” Aku hanya pasrah saat Dania mengi
Breaking News!Telah terjadi kecelakaan maut di kilometer 17 tol Jagorawi yang telah memakan tiga korban jiwa sekaligus. Dua diantaranya meninggal dunia di tempat. Satu korban lainnya dilarikan ke rumah sakit terdekat.Korban yang masih hidup adalah pengusaha ternama di Indonesia yang berinisial CL. Korban dilarikan pada dini hari pukul 00.05 wib di rumah sakit Cenita Medika. Kondisi terkini dari pihak keluarga mengatakan bahwa korban tengah mengalami kritis.Sampai saat ini belum juga diketahui penyebab dari kecelakaan lalu lintas tersebut, polisi masih menyelidiki lebih lanjut mengenai kasus ini.Klik!Aku mematikan siaran berita ditelevisi. Aku memang sedang tidak ada kegiatan, sehingga aku memilih meluruskan kakiku disofa sembari menggonta-ganti program televisi. Namun, tid
Satu tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Namun, aku hanya bisa terdiam. Karena aku tahu jika aku telah melakukan kesalahan. Aku tahu tuan Jeff pasti sudah mengetahui mengenai aku yang diam-diam mempertemukan Rafael dengan Coudry Limantara.“BODOH! SANGAT BODOH!”Aku tak bergeming saat mendengar pria tua yang ada di hadapanku ini tengah murka dengan amarah yang membara. Berbeda dengan keempat anak buahku yang sudah menundukkan kepalanya sejak tadi.“Apa yang ada di otakmu, Reyn!”“Dia hanya ingin bertemu ayahnya, itu saja,” jawabku dengan penuh pembelaan pada diriku sendiri.“Apa kau lupa? Kau ingin penculik! Tak pantas melakukan hal sekonyol itu!”Tuan Jeff terus saja memarahiku, tetapi aku tak memperdulikannya karena yang terpenting aku sudah mempertemukan ayah dan anaknya.“Lalu
Dania sangat terkejut melihatku, memangnya aku kenapa dan apa ada yang salah pada diriku. Aku baru menyadari bahwa aku baru saja bertarung dengan bodyguard-bodyguard menyebalkan itu hingga wajahku luka-luka. Mungkin itu yang membuat Dania terkejut. “Wajahmu kenapa? Kau habis berkelahi ya?” tanyanya yang begitu panik melihat keadaanku. “Iya tadi aku berkelahi dengan orang di jalan,” jawab bohongku. Mana mungkin aku berterus-terang dengan semua yang terjadi padaku. “Oh iya ada apa malam-malam kau ke sini, Dania?” tanyaku. “Tadinya aku mau mengantar makanan untuk makan malam kalian semua, tetapi aku justru melihat kau terluka seperti ini. Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan segera kembali.” Dania berlari memasuki rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumahku. Tak lama Dania kembali menemuiku sembari membawa kotak p3k. “Maaf menunggu lama, apa aku boleh mengobati lukam
Rafael yang sedang menundukkan kepalanya, seketika mendongak mendengar ada suara yang memanggil namanya. Rafael sangat terkejut melihat mata Coudry Limantara yang terbuka sedikit demi sedikit. Bukan hanya Rafael yang terkejut, para bodyguard-bodyguard ini juga sangat terkejut. Mereka sampai menghentikan langkahnya dan lupa dengan keberadaanku.Tangan Coudry Limantara bergerak dan meraih pucuk kepala Rafael. Rafael memeluk erat tubuh ayahnya dengan tangisan yang semakin pecah.“Ka-kau tidak apa-apa?” tanya Coudry Limantara dengan terbata-bata karena suaranya yang serak. Rafael menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tangan Coudry Limantara mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Rafael.“Aku selama ini baik-baik saja, Ayah. Ada kakak baik yang selama ini merawatku, memenuhi semua kebutuhanku bahkan sangat menyayangiku sama seperti ayah.”Aku yang mendengar semua penutu
“Paman! Lepaskan kak Reyn, dia tidak jahat,” ujar Rafael yang memelukku erat. Sementara aku tak bisa membalas pelukannya karena kedua tanganku sibuk dipegangi oleh bodyguard-bodyguard itu.“Tuan muda, ini adalah perintah untuk menangkap siapapun yang menculikmu,” ucap salah satu dari mereka. Bodyguard-bodyguard itu terus saja mencekal tanganku.“Sudahlah tidak apa-apa, bukankah kau ingin melihat ayahmu. Sana masuk! Jangan hiraukan aku,” ujarku kepada Rafael. Namun, anak itu menggelengkan kepalanya cepat. “Aku tidak mau meninggalkanmu, aku takut mereka menyakitimu,” jawabnya.“Ck, cepatlah masuk!”Aku pun akhirnya memberontak dan menghajar para bodyguard-bodyguard itu. Lima melawan satu, tidak masalah bagiku. Aku pikir dengan aku menyerahkan diri kepada mereka, lalu Rafael bisa menemui ayahnya. Namun, Rafael justru ingin menemui
Aku dan Ganan sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang tengah karena ada tim kesukaan kami. Tak sengaja aku dan Ganan mendengar suara rintihan Rafael yang cukup keras hingga terdengar sampai ruang tengah.Aku buru-buru ke kamar Rafael yang diikuti oleh Ganan di belakangku. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Ternyata Rafael sedang tidur, sepertinya ia sedang bermimpi buruk tentang ayahnya.Aku dan Ganan menghampiri Rafael dan menggoyangkan tubuhnya agar terbangun.“Rafa, bangun.”Rafael terus meronta-ronta dalam tidurnya dan menyebut-nyebut ayahnya. Aku dan Ganan menjadi bingung. Ganan terus menggoyangkan tubuh Rafael.“Jangan tinggalkan aku, Ayahhhhhh ... ”Rafael tersentak dari tidurnya. Napasnya memburu tak beraturan. Aku menyuruhnya duduk agar menetralkan suasana hatinya. Ku lihat keringat yang m
Selama di perjalanan pulang, kami sama-sama terdiam. Suasana di dalam mobil sangat sunyi tanpa satu patah kata yang terucap, yang terdengar hanya bisingnya kemacetan di ibukota karena hari yang semakin gelap.Aku mengedarkan pandanganku ke mereka yang sedang berjalan kaki beramai-ramai di bahu jalan. Mereka adalah para pekerja yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta mereka.Aku kembali fokus mengendarai mobilku yang terjebak diantara mobil-mobil lainnya. Aku hanya bisa melajukan mobilku perlahan-lahan dan hanya bergerak beberapa meter dalam lima menit. Kemacetan sore ini semakin parah dan biasanya akan lebih ramai bila menjelang petang.Sementara aku masih bingung harus mengatakan apa pada Dania untuk membuka pembicaraan diantara kita dan sepertinya Dania juga begitu.“Reyn.”Akhirnya Dania-lah yang memulai per
Uhuk! Uhuk!Aku sangat terkejut sampai-sampai aku tersedak air yang sedang ku minum ketika mendengar pekerjaan baru yang tuan Jeff berikan. Aku tahu profesiku dulu memang pembunuh bayaran dan untuk membunuh Coudry Limantara itu sangatlah mudah, tetapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sedihnya Rafael jika mengetahuinya.Sedangkan tadi pagi Rafael baru saja mengatakan bahwa dirinya sangat menyayangi ayahnya. Aku benar-benar tidak tega melakukannya.“Aku tidak mau melakukannya!”Bimo menautkan kedua alisnya heran mendengar jawabanku. “Kenapa tidak mau? Bukankah itu pekerjaanmu? Bahkan dikalangan para penjahat-penjahat dan mafia, kau terkenal sebagai pembunuh bayaran yang paling berbahaya, bukan?”“Iya, tapi kali ini aku tidak bisa.”“Kenapa tidak bisa? Ini adalah perintah tuan Jeff dan kau sud
“Hei! Anak kecil! Kau sedang apa?” tanyaku pada Rafael yang terlihat sangat sibuk dengan buku gambar yang baru dibelikan Marco kemarin. Rafael hanya menoleh kearahku lalu ia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menjawab pertanyaanku. Aku menjadi penasaran dengan apa yang sedang ia lukis. Aku diam-diam mengambil buku gambar tersebut saat ia sedang sibuk memilih pensil warna yang menurutnya cocok. Ternyata ia sedang menggambarkan diriku bersama Dania serta keempat anak buahku. Aku tahu itu aku dan yang lainnya karena Rafael menuliskan nama-nama kami di atas gambarnya. “Kemarikan gambarku!” Rafael merebut kembali buku gambar yang ada ditanganku. “Ck, jelek sekali gambarmu, apalagi mukaku terlihat bulat sekali di sini. Kepala Umar yang bulat justru terlihat lonjong. Kau ini memang tak pandai menggambar ya,” ledekku padanya. Sementara Rafael mendengus kesal mendengar gambarnya aku katakan jelek, pada kenyataannya tidak
“Ja-jadi kau tetangga baruku,” ucapku seraya menetralkan suasana hatiku yang benar-benar terkejut melihat Dania kini telah menjadi tetanggaku. “Iya sesuai yang aku katakan waktu itu kalau sebentar lagi aku akan pindah, tapi aku tidak menyangka jika kau adalah tetanggaku. Maaf ya kalau aku jadi mengganggu istirahat kalian karena baru sempat hari ini,” jelas panjangnya. Aku menjadi merasa tidak enak hati karena telah meneriaki Dania seperti tadi. Jika dari awal aku tahu tetangga baruku adalah Dania, sudah pasti aku membantunya bukan justru memarahinya. “Tidak apa-apa kok, aku yang harusnya minta maaf. Aku kira kau ini tetangga-tetangga menyebalkan yang selalu berjoget dangdut di depan rumahku,” jawabku sembari menggaruk tengkukku. Keempat anak buahku menatap lekat kearahku, sepertinya mereka merasa tersindir atas ucapanku tadi. “Asyik, ada kak Dania sekarang, yeah nanti beli es krim lagi,” ujar