12 Oktober 2021.
Hari ini hari dimana aku dan keempat anak buahku yang tidak bisa diandalkan itu akan melancarkan aksi kami, yaitu menculik anak semata wayang Coudry Limantara.
Aku sudah mempersiapkan matang-matang rencana dan strategi yang bagus serta rencana pengganti jikalau ada kendala atau masalah yang tak terduga.
Umar sudah berada di depan sekolah dasar tempat anak Coudry Limantara menempuh pendidikannya. Umar menyamar sebagai pedagang sempol ayam lengkap dengan gerobak dan pakaiannya yang sudah sangat mirip seperti para pedagang jajanan sekolah lainnya.
Aku memilih Umar karena dia sangat cocok dengan pekerjaan yang ku berikan untuknya. Umar sangat mendalami perannya bahkan banyak anak lain yang membeli barang dagangannya.
Sementara Ganan dan Niky yang akan menghadang para bodyguard khusus anak Coudry Limantara. Kemampuan bela diri Niky yang tak diragukan lagi serta kemampuan Ganan dalam mengendarai motor secepat kilat akan memudahkan mereka melawan bodyguard-bodyguard khusus itu.
Sedangkan Marco dan akulah yang akan menculik anak Coudry Limantara. Aku memilih Marco karena memang profesi Marco adalah penculik, jadi ia akan lebih mudah dalam menculik anak tersebut.
Sekitar pukul 12.00 wib, seluruh siswa-siswi sekolah dasar berhamburan keluar. Ada yang sudah dijemput keluarganya, ada juga yang sedang mencari jajanan siang.
Tak lama kemudian terlihat seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang berjalan keluar gerbang bersama dua bodyguard khusus di sampingnya.
“Sempol ayam, sempol ayam, di goreng dadakan cuma seribu-an. Enak, lezat, murah, ayo di beli.”
Tak salah aku memilih Umar menjadi pedagang sempol ayam. Umat benar-benar mendalami perannya sebagai pedagang jajanan sekolah.
“Dek, sempolnya dek. Cuma seribu-an lho,” ucap Umar yang menawarkan sempol ayamnya pada anak Coudry Limantara.
Anak itu terlihat sangat tertarik dengan sempol ayam yang ditawarkan oleh Umar. Aku bisa mendengarnya jelas karena aku dan Marco berada tak jauh dari mereka.
“Paman, aku mau sempol ayam. Aku beli dulu ya,” izinnya pada kedua bodyguard yang setia menemaninya.
“Tapi tuan besar tidak mengizinkan tuan muda untuk membeli makanan sembarangan seperti itu.” Anak itu mendengus kesal mendengar dirinya tak diperbolehkan membeli jajanan kesukaannya itu.
“Tapi aku mau, ayolah boleh kan?” rengeknya.
Kedua bodyguard itu pun akhirnya mengalah. “Baiklah kalau begitu biar kami yaitu membelinya.”
“Tidak perlu, aku saja. Kalian berdua tidak tahu seleraku. Aku mau menuangkan saos sambal sesuai keinginanku,” kekeh anak itu.
Ia lalu berjalan menghampiri Umar sementara kedua bodyguard itu terus saja memperhatikan anak majikannya.
“Bang, aku mau sempolnya dua ya. Tapi sambalnya yang banyak,” ucap anak tersebut pada Ganan. “Siap dek, sempol segera meluncur.” Umar nampaknya sudah bisa membuat anak itu akrab padanya.
Sementara Niky dan Ganan menabrak dua bodyguard yang sedang berdiri di dekat gerbang. Dua bodyguard yang kesal karena ditabrak oleh sepeda motor yang Niky dan Ganan tunggangi akhirnya mengejar mereka dan melupakan anak majikannya yang tengah asyik berbincang dengan Umar.
Dasar bodyguard yang tidak bisa diandalkan, menjaga satu anak saja lalai. Benakku.
Tak butuh waktu lama, akhirnya anak itu melahap sempol ayam yang ada ditangannya dan seketika mengantuk. Umar memang sudah mencampurkan obat tidur ke dalam adonan sempol ayamnya.
Ini waktunya aku dan Marco bertindak. Aku melihat kearah sekitar sekolah yang sudah sepi. Aku pun menggendong anak laki-laki itu dan dibantu oleh Marco lalu membawanya ke mobil yang sudah ku siapkan juga.
Aku menjalankan mobilnya menuju rumah mewah yang diberikan oleh Jeff untuk kami. Ternyata menculik anak Coudry Limantara tak sesulit yang ku bayangkan.
Aku kira menculik anak seorang CEO Limantara Group akan sangat susah, tetapi nyatanya tidak. Bodyguard khususnya pun hanya dua, mereka saja tidak becus menjaga satu anak.
Selalai itukah keluarga Limantara? Sampai-sampai mereka tidak memperketat penjagaan untuk anak semata wayangnya.
**
Anak Coudry Limantara yang bernama lengkap Rafael Limantara itu membuka matanya setelah beberapa jam tertidur pulas.
Rafael mengejapkan matanya melihat kearahku dan empat anak buahku. Rafael menatapku dengan tatapan penasaran. Lalu ia beranjak dari tidurnya dan duduk ditepi tempat tidur.
“Kakak, aku dimana?” tanyanya.
Baik aku maupun keempat anak buahku tidak ada yang menjawabnya. “Kakak, aku lapar. Aku mau makan sekarang juga,” titahnya.
“Kak, aku juga mau mandi air hangat,” lanjutnya. Aku menjadi bingung melihat tingkah anak kecil itu. Mengapa ia tidak menanyakan tentang dirinya yang sedang diculik.
Biasanya anak-anak akan takut jika berada dilingkungan yang asing baginya, tetapi Rafael berbeda. Ia dengan mudahnya menyuruhku dan yang lainnya untuk mengambilkan makanan yang menyiapkan air hangat.
“Kakak! Kok semuanya diam?”
“Kamu itu sedang diculik tahu,” jelas Niky yang juga geram melihat tingkah Rafael.
“Hah! Aku diculik?”
Sepertinya sebentar lagi ia akan teriak ketakutan dan merengek meminta pulang.
“Asyikkk! Aku diculik, yuhuu!”
Aku terdiam seraya melirik ke empat anak buahku, kami saling tatap sejenak melihat tingkah aneh Rafael. Hingga Ganan membulatkan matanya lebar mengetahui sebegitu anehnya anak yang ada dihadapanku ini.
Anak ini berteriak kegirangan bukan ketakutan. Ternyata dugaanku salah, ia tidak takut sama sekali.
Setahuku anak-anak kecil yang diculik akan ketakutan hingga meronta-ronta ingin pulang, tetapi anak ini sungguh berbeda dengan anak kecil yang lainnya.
“Kau tidak takut?” tanyaku.
“Tidak,” jawabnya singkat.
“Serius, kau tidak takut?” tanya Marco yang ikut memastikan.
“Tentu tidak,” jawabnya lagi.
“Kalian urus anak ini, aku ada urusan,” perintahku kepada ke-empat pria yang berdiri di depanku.
“Kakak ketua penculik, aku mau makan,” ucap Rafael dengan suara nyaringnya.
“Namaku Reyn, bukan kakak ketua penculik.”
“Kak Reyn.”
Baru selangkah aku pergi, Rafael sudah memanggil namaku kembali.
“Ck, ada apa lagi?”
“Aku mau makan dengan kakak, tidak mau dengan kakak-kakak yang itu,” rengeknya seraya menunjuk kearah ke-empat anak buahku.
“Kau benar-benar menyebalkan sekali, ya sudahlah ayo!” Aku menggandeng tangan mungilnya menuju dapur. Kebetulan aku sudah memasak banyak untukku dan yang lainnya.
“Duduklah!”
“Kakak jangan membentakku, aku tidak suka!”
“Terserah!”
Aku pun menyuruhnya duduk di kursi dan mengambilkan sebuah piring serta nasi dan lengkap dengan lauk pauknya.
“Habiskan, jangan sampai ada yang tersisa!” perintahku pada anak kecil yang terbilang menggemaskan, tetapi tetap saja aku tidak menyukai anak-anak. Mereka itu sangat berisik dan membuatku pusing.
“Boleh suapi aku?”
Aku memutar bola mataku malas. Dengan amat terpaksa aku meraih sendok dipiting yang ada dihadapanku dan lalu menyuapinya dengan cepat. Sesungguhnya aku sangat malas meladeni anak kecil.
“Kakak! Jangan buru-buru. Dimulutku masih banyak makanannya,” gerutu Rafael yang tak ku hiraukan.
Ctak!
Aku melempar sendoknya dengan keras karena kesal padanya yang selalu mengaturku. Meskipun anak kecil atau orang dewasa, jika mereka mengaturku maka aku akan marah.
“Habiskan! Jangan membuatku marah!” bentakku padanya.
Anak itu tetap saja tidak merasa ketakutan kala aku membentaknya dengan nada tinggi dan melempar sendok dengan kencang.
Ia justru melanjutkan melahap makanannya tanpa memperdulikan aku yang begitu marah padanya. Memang anak ini sangat aneh sekali.
“Kakak, kalau terus marah-marah seperti itu nanti cepat tua.”
“Mana ku peduli!”
Aku beranjak pergi tanpa memikirkan anak itu yang tengah sendirian di ruang makan.
“Kakaakkk!”Baru saja aku memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku di sofa. Anak itu kembali berteriak kencang hingga membuatku terbangun untuk yang kesekian kalinya.Jika bukan karena perjanjianku dengan tuan Jeff, sudah ku kembalikan anak itu ke tempat asalnya.“Ganan! Niky! Umar! Marco!” teriakku memanggil seluruh anak buahku. Mereka pun bergegas menemuiku dengan tergopoh-gopoh.“Ada apa, Reyn?”“Urus anak menyebalkan itu, aku ingin tidur!” titahku.“Siap, Reyn. Serahkan semuanya kepada kami.”Entah dengan cara apa, mereka mampu membuat anak itu bermain dengan tenang tanpa suara gaduh sedikitpun.Aku mengurungkan niatku untuk merebahkan tubuhku kembali, aku meraih ponselku di meja dan mencari kontak Bimo lalu menghubunginya.“Hal
Setelah pusing memikirkan tingkah-tingkah aneh manusia-manusia yang ada di rumah ini, aku memilih merebahkan tubuhku lagi di sofa.“KAKAK BANJIR!”Aku terperanjat dari tidurku mendengar teriakkan Rafael yang mengatakan bahwa ada banjir. Dan ternyata aku ditipu mentah-mentah oleh anak bau kencur ini.“APA KAU SUDAH GILA?”Rafael hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya tersenyum padaku.“Kau ini sedang diculik, seharusnya kau takut bukan malah berkeliaran seperti di rumahmu sendiri apalagi sampai berbelanja segala,” celotehku yang tak didengar olehnya.Ia sibuk menghitungi kemasan es krim yang baru saja ia makan. Percuma aku berbicara panjang lebar jika yang sedang ku ajak berbicara justru mengacuhkanku.“Kak, hari ini aku sudah makan es krim empat.”Dengan seena
Aku mengambil pakaian kotor yang tergeletak begitu saja di kamarku. Senin pagi ini, aku habiskan untuk mencuci pakaianku yang sudah bertumpuk dan hampir menjulang tinggi.Aku lebih suka mencuci pakaianku sendiri daripada harus pergi ke laundry kiloan yang ada di dekat rumah. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah seperti ini.Jika pria seusiaku di luar sana mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ada yang bekerja di kantor, ada yang berwirausaha dan ada juga yang bekerja serabutan.Berbeda denganku, aku ini pengangguran yang kaya raya. Meskipun tak punya pekerjaan tetap, tetapi aku bisa merasakan hidup mewah dari kekayaan tuan Jeff.Setelah selesai mencuci pakaian yang sebanyak gunung karena hampir seminggu lebih tidak ku cuci, aku melanjutkan memasak untuk orang-orang malas yang ada di rumah ini.Satupun dari mereka tidak ada yang bisa memasak, hingga akhirnya
“Ayam goreng sudah matang, ayo makan, makan, makan ... ”Aku menutup telingaku mendengar suara nyaring Umar yang sedang bernyanyi di meja makan seraya memukul-mukul meja menggunakan sendok dan garpunya.“Berisik sekali kau!” bentak Niky.Ternyata bukan aku saja yang merasakannya, ketiga teman-teman Umar pun juga merasakan hal yang sama. Mungkin hanya Rafael yang tidak menghiraukannya karena ia sedang sibuk dengan robot yang baru saja ia beli.“Bisa diam tidak! Atau kau mau aku goreng di dalam minyak panas ini!” ancamku agar Umar menghentikan nyanyiannya itu.Umar segera membekap mulutnya sendiri, karena mungkin ia takut aku benar-benar melakukannya. Padahal aku hanya menggertaknya saja.Aku kembali melanjutkan acara memasakku yang sempat terganggu oleh suara berisik Umar. Sementara mereka sedang menunggu m
Aku dapat membunuh dua dari mereka dengan parang panjang yang berhasil aku rebut dari mereka. Namun, ada empat orang lagi yang masih sanggup melawanku.Salah satu dari mereka mengarahkan pistol kearah kepalaku. Kini aku terdiam tak bisa melawan, satu langkah saja peluru itu bisa menembus ke otakku.“Bagaimana? Apa kau menyerah?” tanyanya.Aku tidak menjawab pertanyaan konyolnya itu sama sekali. “Satu detik lagi akan ku bunuh kau seperti kau yang telah membunuh Aryo,” ancamnya.Ctakk!Ketika ia akan menembakkan peluru itu kearahku, tiba-tiba ada kaki jenjang yang menendang pistol itu hingga melayang diudara dan jatuh ke lantai.Aku menoleh kearah pemilik kaki jenjang itu yang ternyata adalah Marco. Tidak hanya ia sendiri, bahkan seluruh anak buahku datang untuk menolongku. Ternyata ada gunanya juga mereka, selain hanya
Ternyata yang sedang mereka bicarakan semenjak tadi adalah Rafael.“Rafael? Ada apa dengan anak itu?” tanyaku yang menjadi sangat penasaran.“Kita sering melihat banyak bekas luka ditubuhnya. Ada yang dipunggung, ada yang ditangan dan juga ada yang dikaki. Lukanya mirip seperti luka karena benda tajam, sepertinya Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini,” jelas Umar.“Kekerasan fisik? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?” tanyaku.“Tuan bos, kau tidak pernah memandikan anak itu. Selalu kami yang memandikannya. Jelas kami melihat luka-luka itu. Jika kau tak percaya kau bisa memandikan anak itu agar kau percaya,” usul Marco.Aku menjadi semakin penasaran dengan perkataan mereka. Aku ingin sekali menanyakan langsung kepada Rafael sekaligus memastikan apakah benar Rafael mengalami kekerasan fisik selama ini, tetapi bukan
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wib. Aku masih belum mengantuk. Seharian aku tidak berbicara dengan Rafael dan keempat anak buahku karena aku masih sangat kesal padanya.Namun, setelah aku pikir kembali. Ternyata semua ini bukan murni kesalahan Rafael. Andaikan saja aku tidak mengambil air minum, mungkin saat ini fotoku masih utuh.Apakah tadi siang aku terlalu keras memarahinya. Aku menjadi merasa bersalah karena telah membentak Rafael hingga ia menangis tersedu-sedu.Aku melangkah menuju kamar Rafael untuk meminta maaf kepadanya. Namun, aku tidak menemukannya di kamar. Aku kembali mencari Rafael di sekeliling rumah.Hingga pandangan mataku mengarah ke kolam renang, aku melihat Rafael yang sedang duduk ditepi kolam renang. Ia tampaknya masih sedih karena kejadian tadi siang.Aku berdiri di tempatku tanpa menghampirinya sama sekali. Aku masih ingin melihatnya da
Drrttt!Aku mengambil ponsel disaku celanaku dan melihat siapa yang meneleponku. Tertera nama tuan Jeff dilayar ponselku yang menyala terang. “Mau apa si tua bangka ini,” gerutuku.“Halo, ada apa, Tuan?”“Bodoh! Kenapa dia bisa celaka. Dia adalah asetku untuk menghancurkan Coudry Limantara.”Aku berpikir sejenak mengapa tuan Jeff bisa mengetahui kejadian yang menimpa Rafael. Aku pun teringat pada CCTV yang terpasang diseluruh penjuru rumah.“Mengapa diam?”“Baiklah, aku akui itu memang murni kesalahanku. Aku yang telah lalai menjaga dia.”“Kali ini aku maafkan, tetapi jangan sampai aku tahu anak itu celaka lagi. Kecuali itu perintahku.”“Maksudnya?”“S
Satu tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Namun, aku hanya bisa terdiam. Karena aku tahu jika aku telah melakukan kesalahan. Aku tahu tuan Jeff pasti sudah mengetahui mengenai aku yang diam-diam mempertemukan Rafael dengan Coudry Limantara.“BODOH! SANGAT BODOH!”Aku tak bergeming saat mendengar pria tua yang ada di hadapanku ini tengah murka dengan amarah yang membara. Berbeda dengan keempat anak buahku yang sudah menundukkan kepalanya sejak tadi.“Apa yang ada di otakmu, Reyn!”“Dia hanya ingin bertemu ayahnya, itu saja,” jawabku dengan penuh pembelaan pada diriku sendiri.“Apa kau lupa? Kau ingin penculik! Tak pantas melakukan hal sekonyol itu!”Tuan Jeff terus saja memarahiku, tetapi aku tak memperdulikannya karena yang terpenting aku sudah mempertemukan ayah dan anaknya.“Lalu
Dania sangat terkejut melihatku, memangnya aku kenapa dan apa ada yang salah pada diriku. Aku baru menyadari bahwa aku baru saja bertarung dengan bodyguard-bodyguard menyebalkan itu hingga wajahku luka-luka. Mungkin itu yang membuat Dania terkejut. “Wajahmu kenapa? Kau habis berkelahi ya?” tanyanya yang begitu panik melihat keadaanku. “Iya tadi aku berkelahi dengan orang di jalan,” jawab bohongku. Mana mungkin aku berterus-terang dengan semua yang terjadi padaku. “Oh iya ada apa malam-malam kau ke sini, Dania?” tanyaku. “Tadinya aku mau mengantar makanan untuk makan malam kalian semua, tetapi aku justru melihat kau terluka seperti ini. Kau tunggu di sini sebentar ya, aku akan segera kembali.” Dania berlari memasuki rumahnya yang tepat berhadapan dengan rumahku. Tak lama Dania kembali menemuiku sembari membawa kotak p3k. “Maaf menunggu lama, apa aku boleh mengobati lukam
Rafael yang sedang menundukkan kepalanya, seketika mendongak mendengar ada suara yang memanggil namanya. Rafael sangat terkejut melihat mata Coudry Limantara yang terbuka sedikit demi sedikit. Bukan hanya Rafael yang terkejut, para bodyguard-bodyguard ini juga sangat terkejut. Mereka sampai menghentikan langkahnya dan lupa dengan keberadaanku.Tangan Coudry Limantara bergerak dan meraih pucuk kepala Rafael. Rafael memeluk erat tubuh ayahnya dengan tangisan yang semakin pecah.“Ka-kau tidak apa-apa?” tanya Coudry Limantara dengan terbata-bata karena suaranya yang serak. Rafael menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Tangan Coudry Limantara mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Rafael.“Aku selama ini baik-baik saja, Ayah. Ada kakak baik yang selama ini merawatku, memenuhi semua kebutuhanku bahkan sangat menyayangiku sama seperti ayah.”Aku yang mendengar semua penutu
“Paman! Lepaskan kak Reyn, dia tidak jahat,” ujar Rafael yang memelukku erat. Sementara aku tak bisa membalas pelukannya karena kedua tanganku sibuk dipegangi oleh bodyguard-bodyguard itu.“Tuan muda, ini adalah perintah untuk menangkap siapapun yang menculikmu,” ucap salah satu dari mereka. Bodyguard-bodyguard itu terus saja mencekal tanganku.“Sudahlah tidak apa-apa, bukankah kau ingin melihat ayahmu. Sana masuk! Jangan hiraukan aku,” ujarku kepada Rafael. Namun, anak itu menggelengkan kepalanya cepat. “Aku tidak mau meninggalkanmu, aku takut mereka menyakitimu,” jawabnya.“Ck, cepatlah masuk!”Aku pun akhirnya memberontak dan menghajar para bodyguard-bodyguard itu. Lima melawan satu, tidak masalah bagiku. Aku pikir dengan aku menyerahkan diri kepada mereka, lalu Rafael bisa menemui ayahnya. Namun, Rafael justru ingin menemui
Aku dan Ganan sedang menonton pertandingan sepak bola di ruang tengah karena ada tim kesukaan kami. Tak sengaja aku dan Ganan mendengar suara rintihan Rafael yang cukup keras hingga terdengar sampai ruang tengah.Aku buru-buru ke kamar Rafael yang diikuti oleh Ganan di belakangku. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Ternyata Rafael sedang tidur, sepertinya ia sedang bermimpi buruk tentang ayahnya.Aku dan Ganan menghampiri Rafael dan menggoyangkan tubuhnya agar terbangun.“Rafa, bangun.”Rafael terus meronta-ronta dalam tidurnya dan menyebut-nyebut ayahnya. Aku dan Ganan menjadi bingung. Ganan terus menggoyangkan tubuh Rafael.“Jangan tinggalkan aku, Ayahhhhhh ... ”Rafael tersentak dari tidurnya. Napasnya memburu tak beraturan. Aku menyuruhnya duduk agar menetralkan suasana hatinya. Ku lihat keringat yang m
Selama di perjalanan pulang, kami sama-sama terdiam. Suasana di dalam mobil sangat sunyi tanpa satu patah kata yang terucap, yang terdengar hanya bisingnya kemacetan di ibukota karena hari yang semakin gelap.Aku mengedarkan pandanganku ke mereka yang sedang berjalan kaki beramai-ramai di bahu jalan. Mereka adalah para pekerja yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta mereka.Aku kembali fokus mengendarai mobilku yang terjebak diantara mobil-mobil lainnya. Aku hanya bisa melajukan mobilku perlahan-lahan dan hanya bergerak beberapa meter dalam lima menit. Kemacetan sore ini semakin parah dan biasanya akan lebih ramai bila menjelang petang.Sementara aku masih bingung harus mengatakan apa pada Dania untuk membuka pembicaraan diantara kita dan sepertinya Dania juga begitu.“Reyn.”Akhirnya Dania-lah yang memulai per
Uhuk! Uhuk!Aku sangat terkejut sampai-sampai aku tersedak air yang sedang ku minum ketika mendengar pekerjaan baru yang tuan Jeff berikan. Aku tahu profesiku dulu memang pembunuh bayaran dan untuk membunuh Coudry Limantara itu sangatlah mudah, tetapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sedihnya Rafael jika mengetahuinya.Sedangkan tadi pagi Rafael baru saja mengatakan bahwa dirinya sangat menyayangi ayahnya. Aku benar-benar tidak tega melakukannya.“Aku tidak mau melakukannya!”Bimo menautkan kedua alisnya heran mendengar jawabanku. “Kenapa tidak mau? Bukankah itu pekerjaanmu? Bahkan dikalangan para penjahat-penjahat dan mafia, kau terkenal sebagai pembunuh bayaran yang paling berbahaya, bukan?”“Iya, tapi kali ini aku tidak bisa.”“Kenapa tidak bisa? Ini adalah perintah tuan Jeff dan kau sud
“Hei! Anak kecil! Kau sedang apa?” tanyaku pada Rafael yang terlihat sangat sibuk dengan buku gambar yang baru dibelikan Marco kemarin. Rafael hanya menoleh kearahku lalu ia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menjawab pertanyaanku. Aku menjadi penasaran dengan apa yang sedang ia lukis. Aku diam-diam mengambil buku gambar tersebut saat ia sedang sibuk memilih pensil warna yang menurutnya cocok. Ternyata ia sedang menggambarkan diriku bersama Dania serta keempat anak buahku. Aku tahu itu aku dan yang lainnya karena Rafael menuliskan nama-nama kami di atas gambarnya. “Kemarikan gambarku!” Rafael merebut kembali buku gambar yang ada ditanganku. “Ck, jelek sekali gambarmu, apalagi mukaku terlihat bulat sekali di sini. Kepala Umar yang bulat justru terlihat lonjong. Kau ini memang tak pandai menggambar ya,” ledekku padanya. Sementara Rafael mendengus kesal mendengar gambarnya aku katakan jelek, pada kenyataannya tidak
“Ja-jadi kau tetangga baruku,” ucapku seraya menetralkan suasana hatiku yang benar-benar terkejut melihat Dania kini telah menjadi tetanggaku. “Iya sesuai yang aku katakan waktu itu kalau sebentar lagi aku akan pindah, tapi aku tidak menyangka jika kau adalah tetanggaku. Maaf ya kalau aku jadi mengganggu istirahat kalian karena baru sempat hari ini,” jelas panjangnya. Aku menjadi merasa tidak enak hati karena telah meneriaki Dania seperti tadi. Jika dari awal aku tahu tetangga baruku adalah Dania, sudah pasti aku membantunya bukan justru memarahinya. “Tidak apa-apa kok, aku yang harusnya minta maaf. Aku kira kau ini tetangga-tetangga menyebalkan yang selalu berjoget dangdut di depan rumahku,” jawabku sembari menggaruk tengkukku. Keempat anak buahku menatap lekat kearahku, sepertinya mereka merasa tersindir atas ucapanku tadi. “Asyik, ada kak Dania sekarang, yeah nanti beli es krim lagi,” ujar