Tut tut tuutt..
Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan suara.
"Shhh.."
Umi mendesis kesal. Lagi dan lagi operator telepon mengucapkan hal yang sama.
"Aduh! Abah kenapa gak angkat panggilan Umi, sih?" keluh umi.
Dengan langkah mondar-mandir, umi terus berkomat kamit pada layar ponselnya.
"Ditelpon gak dingkat, di SMS gak dibales. Abah gimana sih!" gerutu umi kesal.
Hari sudah semakin malam namun belum terlihat batang hidungnya abah, atau terdengar suara mobil pun tak ada.
Sudah sejam lamanya umi terus menunggu abah di ruang depan. Andai saja umi tau ini akan terjadi, umi pasti tidak akan membiarkan abah untuk pergi.
Akhirnya rasa kegelisahan umi pun terbalaskan dengan adanya suara deru mobil di depan rumah. Umi pun langsung membuka pintu untuk menghampirinya.
Ketik melihat seorang lelaki yang turun dari dalam mobil, umi langsung menghmpirinya dan menjabat tangannya.
"Alhamdulillah, Abah akhirnya pulang juga." ucap umi seraya mencium punggung tangan abah.
"Iya, gak mungkin lah Abah gak pulang."
Abah masuk kedalam rumah diiringi dengan umi.
"Abah tau gak, Umi udah lama nunggu Abah pulang."
"Lah, kenapa ditungguin. Kan Abah udah bilang, Umi gak usah nungguin Abah. Kalo Umi ngantuk Umi tidur duluan aja."
"Umi nungguin Abah bukan karena Umi gak mau tidur duluan, tapi karena ada sesuatu yang pengen Umi bicarain sama Abah."
"Bicara apa sih, sampe nungguin Abah segala. Kan bicaranya bisa besok."
Umi menghela nafas, "Ini tentang Rara, Bah."
Abah beranjak untuk pergi, "Ya ya. Syukurlah Rara sekarang sudah semakin baik." ucap abah seraya berjalan menyalipi umi.
"Abah! Bukan yang itu!" seru umi. Namun abah sudah berlalu dari hadapan umi.
"Abah belum sholat isya."
••••••
"Astaghfirulah!"
Bugh!
"Aduhh! La haula wala kuwata illa billah!"
Seketika rumah yang sudah sekian lama abah Sardi bangun kini tiba-tiba bergoyang sendiri. Seperti ada gempa dadakan. Abah yang sedang mengangkat teko air panas seketika tumpah dilantai dan mengenai punggung kakinya.
Abah menyibak-nyibakkan celana panjangnya yang terkena air panas seraya meniupnya sekuat mungkin, "Huhuhuuuhh!"
Pagi-pagi sekali abah ingin membuat teh panas, cocok dengan udara dingin pagi ini. Namun ketika mendengar jeritan cempreng istrinya itu—umi Lina, membuat abah merasa penasaran, dan segera mencari arah datangnya suara seraya berjalan tertatih.
"Astaghfirulahalladziimm, Umi kenapa sih? Liat nih, kaki Abah kena air panas kan, jadinya!" geram abah pada umi yang sudah berada di depannya.
Umi yang tadinya ingin menjemur pakaian di luar, seketika terkejut menatap pintu kamar Rara. Dengan refleks ember yang berisi baju basah siap jemur itu pun terjatuh ke lantai.
Umi tak menghiraukan omelan abah dan menunjuk kamar Rara, "Abah tuh liat, Bah!" pinta umi pada abah.
Abah mengikuti arahan umi untuk melihat kamar Rara.
Dan...
WARNING!
SEDANG MOGOK MAKAN!Abah menunjuk pintu kamar Rara, "Ini maksudnya apa ni?" tanya abah seraya menatap umi.
"Ini yang pengen Umi bicarain semalam. Abah sih, gak mau dengerin Umi, jadinya gini kan!" celoteh umi kesal.
"Loh, kok jadi Abah yang disalahin?" protes abah tak suka.
"Ya iya. Kalo bukan abah yang salah, terus siapa lagi! Ha? Kan Abah yang marahin Rara gak bokehin kuliah! " omel umi.
"Abah kan bicara gitu juga buat kebaikan Rara, dan Umi juga nyetujuin." ucap abah membela diri.
"Sekarang apa ini kebaikan buat Rara?" tanya umi menunjuk tulisan di kertas putih yang menempel di pintu kamar Rara.
Abah menghela nafas dan menundukkan kepalanya. Membiarkan istrinya itu mengomelinya.
"Abah itu harusnya ngertiin Rara. Kemarin dia demam karena nangis semalaman dan gak tidur. Sekarang dia mogok makan. Besok Rara bakal ngapain lagi, Bah!" tutur umi merasa khawatir dengan anaknya itu.
Abah terus menundukkan kepalanya. Lebih baik mendengarkan ceramah soleha istrinya.
Umi menghela nafas kemudian menatap lekat wajah abah, "Pokoknya Abah harus bicara sama Rara. Abah harus bujuk Rara supaya mau makan. Kalo nggak...." umi menggantung ucapannya, membuat abah mendongakkan wajahnya untuk menatap umi meminta jawaban.
Umi menyipitkan matanya dengan raut kesal, "kalo nggak, Umi gak mau bicara sama Abah, dan Abah gak akan ajak Umi bicara." sambung umi dengan jelas.
Abah terkejut dengan apa yang umi katakan barusan. Apa katanya? Abah gak boleh bicara sama umi? Sama istri sendiri? Huuuhh..jika mertua abah tau hal ini, bisa-bisa abah tak diberi kesempatan bicara maaf, karena mulut abah yang terkoyak-koyak terkena jurus tinjuan seribu bayangannya.
Umi beranjak memungut ember yang tergeletak di lantai, dan segera berjalan pergi jauh dari hadapan abah.
Duuh! Ntah bagaimana repotnya abah ketika membujuki 2 wanita sekaligus.
Baiklah abah, you go action😤
••••
"Umii, jangan ngambek dong!"
Entah sudah berapa puluh kali kalimat itu terucap dari mulut abah untuk memohon pada istrinya. Umi yang sedang memilas pakaian yang basah seakan-akan umi seperti mendengarkan anak kecil yang sedang merengek minta jajan.
"Abah bakal usahain buat bicara sama Rara. Tapi Umi jangan ngambek sama Abah, ya."
Abah terus berusaha untuk mengajak umi ngobrol. Namun tak ada sahutan dari umi. Yang ada abah hanya mendapat kibasan baju basah yang umi lakukan. Akibatnya, wajah abah basah karena terkena cipratannya.
"Eh, Mbak Lina. Enak ya, pagi-pagi jemur baju ditemani suami." teriak seorang wanita berucap.
Umi yang mendengar seseorang berteriak padanya segera memberhentikan aktifitasnya.
"Hehe..ini cuma ngikut berjemur pagi aja." sahut umi seraya tersenyum.
Abah membelalakkan matanya. Dia yang sedari tadi berusaha mengajak umi mengobrol namun tak sahutan. Tapi ketika orang lain berbicara dengan umi, dengan senang hati umi meladeninya.
Umi berjalan menuju tembok samping untuk mendekati tetangganya, "Ibu, sejak kapan Tika punya, Abang?" tanya umi seraya menunjuk seorang wanita yang dibonceng seorang lelaki, yang menggunakan seragam sekolah dengan menggunakan sepeda motor.
"Oh itu. Bukan, Mbak. Itu pacarnya Tika yang ngajak pergi sekolah bareng." jelas wanita yang diakui ibunya Tika-anak tetangga.
Umi tersenyum seraya manggut-manggut.
"Tuh, kalo anak gak disekolahin ke pendidikan Islam. Tidak bisa memahami aturan Agama Islam. Tanpa rasa malu mengumbar kemesraan dengan lawan jenis. Padahal mereka bukan mahromnya." bisik abah dari arah punggung umi.
Umi refleks berpaling badan untuk menatap abah. Dengan mata terbelalak umi melototi suaminya itu. Umi heran kenapa sekarang abah suka menggosip.
Kemudian umi berlalu dari hadapan suaminya. Tak lupa untuk memungut ember yang sudah kosong yang tergeletak di tanah.
Ketika umi melewati kamar Rara, umi menatap kosong kamar Rara. Raut sedih terus terlihat pada wajah umi. Akrirnya umi mencoba mengetuk kamar Rara.
Tok tok tok.
"Rara, buka pintunya, Ra. Umi bikinin makanan kesukaan kamu tapi kamu makan ya, Nak." ucap umi berteriak dari arah luar.
Hening.
Tak ada sahutan apapun dari dalam.
"Rara, buka dong! Umi bakal usaha untuk mewujudkan impian kamu. Kamu jangan mogok makan dong! Kalo kamu sakit Umi sedih liatnya." tutur umi pada pintu. Ya hanya sebuah papan yang terkunci dari dalam.
Tak ingin putus asa, umi terus berusaha mengetok kamar Rara sembari berteriak memanggil nama Rara. Namun hasilnya tetap sama. Tak ada sahutan apapun.
Umi memutar otak untuk mencari akal bagaimana caranya agar Rara mau makan. Lumayan lama berfikir, umi akhirnya mendapat ide cemerlang. Segera umi berlari ke arah dapur.
Umi mengobrak-abrik isi kulkas untuk mengambil makanan sebanyaknya dan mengumpulkannya.
Buah-buahan, jajanan, roti kemasan, mie instan, mie cup, minuman kaleng, kue kering, kue bolu, sosis goreng, dan ayam goreng.
Meja makan penuh dengan isi kulkas yang umi keluarkan. Mengeluarkan apa saja yang bisa dimakan.
Umi menaruh semua makanan dan minuman ke dalam ember kosong yang ada di tangan umi. Kemudian menentengnya ke depan kamar Rara.
Makanan yang tak berkemasan umi bungkus dengan plastik es dan mengikatnya.
Umi meraih roti dari dalam ember kemudian berjinjit untuk memasukkan roti tersebut ke lobang di atas pintu kamar Rara.
"Umi lagi ngapain?" tanya abah yang datang dari arah luar.
"Eh, Abah sini bantuin, hayuk!"
"Ngapain sih?"
"Udah jangan banyak tanya, bantuin aja!"
Umi menyuruh abah berjongkok, kemudian umi menaiki punggung abah dan memasukkan rotinya ke dalam lobang yang langsung masuk ke dalam kamar Rara.
Bugh!
Umi turun dari punggung abah, "Yes! Masuk bah."
"Ngapain sih?" tanya abah yang masih heran dengan umi.
"Ini cara satu-satunya supaya Rara di dalam bisa makan." jelas umi.
"Oohh begitu. Ternyata Umi pintar juga ,ya." puji abah kagum.
"Iya dong. Yaudah Abah bantuin ini masukin semuanya." pinta umi menyerahkan ember yang berisikan makanan.
Abah menuruti perintah umi. Postur tubuh abah yang tinggi memudahkan abah untuk memasukkan makanan ke dalam lobang.
"Rara, kamu makan yang banyak ya. Nih umi kasih banyak-banyak." teriak Umi dari arah luar dan terus menyodorkan makanan pada abah.
•••••
Telepon video tersambung dengan Liya.
"Hai." sapa Liya dari telepon video yang tersambung.
"Woy! Lo kok lemes sih?" sambung Liya bertanya dengan raut kebingungan.
Raut wajah Rara yan sulit diartikan. Antara marah atau sedih.
Liya fokus menjelasi wajah Rara menelusuri tiap kerutan yang ada, guna mencari jawaban dari pertanyaannya.
"Buahahaha!" tawa Rara akhirnya pecah bersamaan dengan hilangnya raut sendu dari wajahnya. Rara tertawa terbahak-bahak hingga terlihat perutnya yang kembang kempis.
Liya yang sedari tadi serius menanggapi Rara kini tau Rara hanya pura-pura.
"Ngapain lo? Kesurupan?"
"Yeayyy! Akhirnya berhasil!" teriak Rara bahagia.
"Berhasil apaan?" tanya Liya serius.
"Gue berhasil narik perhatian Abah. Yes!" ucap Rara seraya terkekeh kecil.
"Waw! Cepet juga, yah. Emang lo ngapain?" tanya Liya penasaran.
"Gue mogok makan."
"Waduh! It bahaya banget. Kalo lo mati kelaperan gimana?" tanya Liya khawatir.
"Ya gak mungkin lah. Abah gak bakalan biarin gue kelaperan. Nih liat!" ucap Rara seraya menggeser ponselnya ke arah lantai.
"Hoo! Itu makanan semua tuh?" tanya Liya terkejut Menatap ponselnya dengan banyaknya makanan berserakan dilantai seraya menutup mulutnya dengan tangan.
Rara mengangguk, "Dan lo pasti tau siapa yang buat gini. Abah." tutur Rara dengan jelas.
"Hmm..jadi sekarang kamar lo jadi tempat percadangan makanan. Eh bagi-bagi dong!" pinta Liya seraya menaik-turunkan alisnya.
"Enak aja minta-minta! Gue aja belum ada nyentuh tu barang!" Celoteh Rara.
"Lo yakin gak ada nyentuh tu barang? Emangnya lo gak laper apa?"
"Yakin. Tenang aja, gue bisa tahan untuk beberapa jam."
"Lo yakin gak mau?" tanya Liya seraya menggoda dan memperlihatkan ayam goreng yang ada di tangannya.
"Huh! Gue bisa tahan. Dan sebentar lagi pasti Abah bakal ngebujuk gue, dan gue bakal dibolehin kuliah sama Abah."
•••••
Bersambung..Tok.....tok..... Jari jemari yang hanya bergerak pada atas meja untuk memantulkan bunyi. "Huuuuhhh." Helaan nafas lelah yang sudah terlalu banyak abah lakukan. Entah apa lagi yang harus dilakukan. "Eum..maafin Umi ya, Bah," pinta umi memohon hati-hati dari seberang meja. "Seharusnya Abah yang minta maaf. Kalo waktu itu Abah gak ngebentak Rara, pasti sekarang gak akan begini. Abah minta maaf ya, Mi," tutur Abah. "Dan gak seharusnya juga Umi ikutan ngambek. Umi minta maaf ya, Bah." Umi dan abah saling memandang dari sebrang meja, "iya, udah dimaafin," ucap umi dan abah secara bersamaan. Merasa hal seperti itu jarang terjadi, umi dan abah menjadi terkekeh sendiri menanggapi perlakuan mereka bersamaan. Abah melihat sekelilingnya. "Sekarang apa lagi yang ada. Isi kulkas abis, nasi gak ada, roti gak ada, jajanan gak ada. Sekarang dapur jadi sepi begini," keluh abah ketika melihat rak-rak yang tak berpenghu
MOBILE LEGEND. Jari jemari mungil Rara terus bergerak pada layar ponselnya. Pandangan matanya terus fokus pada game online yang dimainkannya. "RARA!" Aish..pagi-pagi begini umi sudah teriak saja. Entah apa yg diinginkan umi. "Iya, bentar!" teriak Rara menyahuti. "RARA CEPETAN!" SHUTDOWN. "Yah, kan. Mati kan jadinya!" kesal Rara. Rara memanyunkan bibirnya. Gara-gara umi meneriakinya dia jadi kehilangan kefokusannya. Dengan melangkah malas, Rara menghampiri umi yang berada di dapur. "Iya Umi, ada apa?" "Tuh, cuci piring!" perintah umi. Rara melirik piring kotor yang berada di dalam ember. "Sebanyak itu?" tanya Rara tak percaya. "Makanya, kalo gak mau nyuci banyak itu lepas makan piringnya langsung dicuci, bukan malah dibiarkan saja." omel umi. "Ya, kan itu Rara lagi mager," sahut Rara. "Jadi perempuan, kok' pemalas. Pokoknya kamu cuci piring itu sampai bersih. Dan jang
"Selamat pagi semuanya. Maaf mengganggu waktunya sebentar."Pagi hari ini ada yang kedatangan beberapa cowok yang masuk ke kelas yang dihuni oleh Rara."Pagi, Kak," ucap semua orang serentak."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya. Saya Ardhiansyah," ucap seorang cowok memperkenalkan dirinya."Saya Randi Mahesa," lanjut seorang cowok lainnya."Saya Reza.""Hari ini ada pemberitahuan, bahwa dosen yang akan masuk ke kelas kalian di jam pertama tidak jadi masuk, dikarenakan sedang sakit. Jadi, di jam pertama ini kalian boleh ke luar kelas. Terimakasih." ucap Ardhi memberitahu.Setelah selesai berbicara, ketiga cowok itu beranjak pergi dari kelas diiringi dengan banyaknya wanita yang menyorakinya. Mereka saling berdesakkan untuk mengerumuni ketiga lelaki itu, walaupun hanya sekedar berfoto atau pun meminta tanda tangan."Aaaaa! Omaygatt!"Rara menutup rapat kedua telinganya. Ia tak tahan jika harus mendengar teriaka
Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu
Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a
Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a
🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang
🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"
💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.
Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu
Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a
Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu