Share

7. Teman

Penulis: Mauliyana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Selamat pagi semuanya. Maaf mengganggu waktunya sebentar."

Pagi hari ini ada yang kedatangan beberapa cowok yang masuk ke kelas yang dihuni oleh Rara.

"Pagi, Kak," ucap semua orang serentak.

"Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya. Saya Ardhiansyah," ucap seorang cowok memperkenalkan dirinya.

"Saya Randi Mahesa," lanjut seorang cowok lainnya.

"Saya Reza."

"Hari ini ada pemberitahuan, bahwa dosen yang akan masuk ke kelas kalian di jam pertama tidak jadi masuk, dikarenakan sedang sakit. Jadi, di jam pertama ini kalian boleh ke luar kelas. Terimakasih." ucap Ardhi memberitahu.

Setelah selesai berbicara, ketiga cowok itu beranjak pergi dari kelas diiringi dengan banyaknya wanita yang menyorakinya. Mereka saling berdesakkan untuk mengerumuni ketiga lelaki itu, walaupun hanya sekedar berfoto atau pun meminta tanda tangan.

"Aaaaa! Omaygatt!"

Rara menutup rapat kedua telinganya. Ia tak tahan jika harus mendengar teriakan Liya yang tak berfaedah itu.

"Omaygat! Omaygat! Omaygat!" jerit Liya dengan suara lebay nya.

Rara tak menghiraukan Liya dan tetap duduk manis di kursinya. Liya mengajak Rara ke luar untuk bergabung bersama orang-orang yang beramai-ramai keluar ruangan yang mengekori ketiga cowok tersebut.

"Mereka siapa, sih?" tanya Rara pada Liya.

"Yaampun Rara, hari gini lo masih nanya. Nih ya, mereka itu senior paling favorit di kampus kita ini," ucap Liya memberitahukan. "Dan dari ketiga cowok itu, cowok yang bernama Reza itu katanya terkenal sombong dan angkuh. Tapi, cewek paling banyak klepek-klepek sama dia," sambung Liya.

"Tuh, liat! Ketampanan mereka itu gak ada lawan, ganteng banget!"

Liya membawa kertas dan pulpen dan berjalan menemui ketiga senior itu, "Hai kak. Boleh minta tanda tangannya, gak?" tanya Liya tersenyum manis seraya menyodorkan kertas dan pulpennya pada si cowok.

Mata Rara membulat sempurna, apa-apaan Liya ini! Dia mengajak Rara berdesakkan hanya untuk meminta tanda tangan. Membuat malu saja!

"Hmm, sekalian sama temennya?" tanya kak Ardhi kepada Liya seraya menatap Rara.

Sebelum Liya menjawab Rara terlebih dahulu menjawab, "Gak usah! Terimakasih." 

"Oke."

Setelah mendapatkan tanda tangan Ardhi, selanjutnya Ardhi memberikan kertas dan pulpennya pada Randi. Selanjutnya Randi memberikan kertas dan pulpenya pada Reza. Namun, bukannya menerima kertas yang diberi Randi, Reza malah berdecih memandangi kertasnya dan pergi meninggalkan kedua temannya.

Ardhi dan Randi saling memandang. Mereka tak heran jika sikap Reza seperti itu. Toh, ini juga bukan hal yang penting.

Setelah Liya mendapatkan tanda tangan dari senior, Rara segera pergi. Ia merasa mual melihat tingkah wanita yang menurutnya lebay. Menurutnya ketiga cowok itu tidaklah tampan. Tapi, hanya senior biasa saja. Sama seperti cowok lainnya.

Rara berjalan menuju kantin. Ia lebih baik mengisi perutnya yang kosong sebanyak-banyaknya. Di kantin tidak terlalu banyak orang. Sehingga, Rara bisa mendapatkan meja untuk duduk.

Rara memilih-milih makanan yang ingin ia beli. Ia melihat roti keju yang tersusun rapi di sampingnya. Dilihatnya, banyak orang-orang yang membelinya.

Rara menatap seorang lelaki bertopi disebelahnya yang meraih roti keju. Setelah membayarnya, lelaki itu pergi meninggalkan kantin.

"Kenapa banyak banget yang suka keju?" monolog Rara.

Tak ambil pusing, ia segera membeli roti cokelat kesukaannya dan segera pergi meninggalkan kantin. 

Rara berjalan santai menuju taman seraya menenteng belanjaannya. Rara memilih untuk duduk di bawah pohon seraya memakan jajanannya.

Di sela-sela makannya, Sesekali Rara memandangi setiap orang yang berlalu lalang di depannya. Dia menuliskan setiap warna dan merk baju yang orang-orang kenakan, tak lupa untuk menuliskan ukurannya. Ya, Rara akan mulai mengerjakan tugas awalnya, yaitu memperhatikan fashion apa yang paling banyak disukai orang-orang.

Setelah selesai makan, Rara merapikan alat-alatnya dan menaruhnya ke dalam tas, kemudian beranjak pergi memasuki kelas.

"Rara!"

Liya berteriak sekencang mungkin saat melihat kedatangan Rara. Liya terus tersenyum senang sedari tadi.

"Apaan sih, kaya ada gempa aja!" cetus Rara.

"Iya, gempanya itu ada di jantung gue ini," ucap Liya seraya menyentuh dadanya.

Liya menaruhkan tangan Rara ke dadanya, "Tuh! Gempa nya kencang banget! Dag dig dug dug dug!" ucap Liya seraya memajukan kepalanya berulang kali.

Rara menarik kembali tangannya, "Dih! Gempanya di badan lo, tapi guncangannya sampe ke gue!" kesal Rara seraya berjalan menuju kursinya.

"Yaiyalah. Lo harus tau gue deg-degan gini karena, gue dapet nomor w******p nya Kak Ardhi," ucap Liya seraya tersenyum girang.

"Yaelah, gitu doang."

"Gitu doang? Lo gak tau, sih, sesusah apa gue dapet nomor whatsappnya."

"Lo tuh! Udah punya pacar masih aja ngejar cowok lain!" omel Rara.

"Apaan, sih! Siapa juga yang ngejar, gue cuma minta nomor whatsappnya buat nambah kontak. Bukan apa-apa, kok'," sahut Liya.

"Terserah."

•••••

Liya melambaykan tangannya saat menaiki motornya, "Dadaahh.."

Rara tersenyum dan membalas lambayan tangan Liya, dibarengi dengan roda motor yang dikendarainya berputar berjalan meninggalkan kampus.

Jam kuliah telah habis, kini saatnya pulang ke rumah. Namun, Rara berencana akan ke toko buku sekedar membaca walaupun gak beli, hehe..

Sembari menunggu jemputan datang, ia berjalan menyelusuri pinggir jalan. Tak jauh dari kampus, Rara melihat toko buku yang sedang buka, segeralah Rara berjalan ke arah toko.

Di dalam toko ada seorang lelaki, sepertinya dialah pemiliknya. Namun, si penjual terlihat sedang memainkan kameranya, sepertinya dia sedang merekam suasana di tokonya. Terlihat kamera yang terus berada pada wajahnya.

Rara sudah berada di depan toko. Ia sengaja menunggu si pemilik toko selesai dengan aktivitasnya.

Si pemilik toko tersentak kaget dengan adanya sosok wanita yang terlihat di kameranya. Ia terlihat gelalapan saat menyingkirkan kamera dari wajahnya, tak lupa untuk menekan tombol of pada kamera seraya terkekeh.

"Sepertinya anda sedang sibuk, Pak," terka Rara.

"Eh, saya tidak terlalu sibuk, anyway saya masih muda. Memang, saya sudah bekerja tapi, umur saya baru 19 tahun."

"Oh, begitu."

Rara meraih buku yang berada di rak depannya, dia membuka lembaran demi lembaran buku yang dipegangnya.

"Iya, begitu. Saya pernah terpikirkan untuk kuliah, tapi ada sesuatu yang memang mengharuskan saya bekerja," ucap si pemilik toko.

"Ya, aku tau."

Si pemilik toko tampak berfikir, "Kamu tau dari, mana?" tanyanya.

Rara mengacungkan buku yang dipegangnya, "Di sini ada biodata penulisnya."

"Oh, benar juga. Silahkan dilihat dulu mana yang bagus," tawar si pemilik toko.

"Wah! Kamu ramah sekali kepada pembeli, ya. Biasanya penjual itu sensitif, dagangannya dipegang dikit aja dibilang lecet lah, kotor lah, ntar sobek lah, apalah," ucap Rara mendumel.

"Ya, harus gitu dong. Mana tau ada buku yang sobek atau kotor sekalipun, saya bisa ganti dengan yang lebih bagus. Karena, pembeli adalah raja."

Rara mengerutkan dahinya, "Raja? Sepertinya bukan. Pembeli adalah teman."

"Teman? Oke, kita berteman." 

Rara terkekeh diiringi dengan si pemilik toko. Entah mengapa, pembicaraan mereka berlanjut menyenangkan.

Rara memandangi satu per satu buku-buku yang tersusun rapi, "Jo, Jo, Jo, semua penulis bukunya sama." 

"Jo?" 

Rara menganggukkan kepalanya pada pemilik toko, "Ya, kenapa?" tanya Rara.

"Baru pertama kali mendengar seseorang menyebut namaku seperti itu," jawabnya.

"Oh, ya?" tanya Rara penasaran.

"Iya. Saat kamu menyebutnya, entah mengapa aku merasa senang," ucapnya seraya tersenyum.

"Masa, sih? Padahal aku hanya menyebutkan dua huruf pertamanya saja," ucap Rara merasa heran.

"Iya. Aku juga gak tau. Mungkin, itu hal baru yang bagus."

Rara mangut-mangut mengerti. Dia juga merasa senang jika ada seseorang yang senang karenanya.

Jo memperhatikan kartu nama yang tergelantung di leher Rara, "Mutiara. Sepertinya akan lebih indah jika disempurnakan."

Rara terdiam sejenak, entah mengapa ucapan Jo membuat jantung Rara berdegup kencang. Selama ini tak ada yang pernah memanggilnya 'Mutiara' pada dirinya, apa lagi seorang lelaki.

Rara tersenyum kikuk kepada Jo, seraya menundukkan kepalanya.

"Makasih."

•••••

Bersambung...

Bab terkait

  • Cahaya Mutiara   8. Berkenalan Dengan Hijab

    Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu

  • Cahaya Mutiara   9. Pasar Malam

    Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a

  • Cahaya Mutiara   10. Harta Abah

    Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu

  • Cahaya Mutiara   11. Hiburan

    "Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.

  • Cahaya Mutiara   12. Dekat

    🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da

  • Cahaya Mutiara   13. Kedatangan Profesor

    💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai

  • Cahaya Mutiara   14. Materi

    🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"

  • Cahaya Mutiara   15. Weekend

    🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang

Bab terbaru

  • Cahaya Mutiara   16. Abah Marah

    🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a

  • Cahaya Mutiara   15. Weekend

    🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang

  • Cahaya Mutiara   14. Materi

    🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"

  • Cahaya Mutiara   13. Kedatangan Profesor

    💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai

  • Cahaya Mutiara   12. Dekat

    🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da

  • Cahaya Mutiara   11. Hiburan

    "Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.

  • Cahaya Mutiara   10. Harta Abah

    Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu

  • Cahaya Mutiara   9. Pasar Malam

    Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a

  • Cahaya Mutiara   8. Berkenalan Dengan Hijab

    Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu

DMCA.com Protection Status