MOBILE LEGEND.
Jari jemari mungil Rara terus bergerak pada layar ponselnya. Pandangan matanya terus fokus pada game online yang dimainkannya.
"RARA!"
Aish..pagi-pagi begini umi sudah teriak saja. Entah apa yg diinginkan umi.
"Iya, bentar!" teriak Rara menyahuti.
"RARA CEPETAN!"
SHUTDOWN.
"Yah, kan. Mati kan jadinya!" kesal Rara.
Rara memanyunkan bibirnya. Gara-gara umi meneriakinya dia jadi kehilangan kefokusannya. Dengan melangkah malas, Rara menghampiri umi yang berada di dapur.
"Iya Umi, ada apa?"
"Tuh, cuci piring!" perintah umi.
Rara melirik piring kotor yang berada di dalam ember. "Sebanyak itu?" tanya Rara tak percaya.
"Makanya, kalo gak mau nyuci banyak itu lepas makan piringnya langsung dicuci, bukan malah dibiarkan saja." omel umi.
"Ya, kan itu Rara lagi mager," sahut Rara.
"Jadi perempuan, kok' pemalas. Pokoknya kamu cuci piring itu sampai bersih. Dan jangan lupa dibilas," ucap umi seraya berlalu pergi dari hadapan Rara.
Ya, Rara harus mau mencuci piring kotor yang bau. Rara menggosok piring dengan cepat, supaya cepat selesai.
30 menit kemudian Rara telah selesai mencuci piring. Kini ia sedang terduduk lesu di kursi.
"Umi..liat nih! Abah bawa apa?" teriak abah pada umi seraya menenteng kantong plastik.
"Abah, dari mana?" tanya umi.
Abah menaruh kantong plastiknya di atas meja. "Abah tadi pergi acara haulan. Nah, ketika Abah mau pulang, Abah dikasih sama orang yang bikin acara," terang abah.
Umi membuka kantong plastiknya, "Wah! Ceker ayam," ucap umi senang.
"Rara, tolong ambilkan mangkuk!" pinta Abah.
Rara mengiyakan dan mengambil 2 buah mangkuk dan menaruhnya di atas meja.
Rara memangku dagunya di ats meja dengan kedua tangannya, seraya menatap orang tuanya yang tengah tersenyum sumringah. Berbeda dengan Rara, dia hanya menatap datar sup ceker ayam yang ada di dalam mangkuk.
"Ceker ayam ini makanan yang paling kakak kamu sukai, lho," ucap abah pada Rara.
Rara mengangguk mengiyakan. Ya, Dani kakak laki-lakinya. Saudara yang tak pernah Rara lihat wajahnya secara langsung. Saudara yang sudah lama telah meninggal dunia. Kata umi, kakak meninggal saat Rara masih bayi. Rara hanya bisa melihat fotonya saja, itu pun fotonya kak Dani memakai baju SD.
"Dulu, Abah banyak memelihara ayam kampung. Dani suka membantu Abah mengurus ayam-ayam. Setelah diberi makan, Dani minta Abah untuk memotong ayam untuk dijadikan sup. Dani juga rela membersihkan kandang ayam setiap hari asalkan imbalannya sup ayam," ucap umi seraya terkekeh menceritakan betapa bahagianya Dani dulu.
"Bahkan, ayam-ayam Abah habis bukan karena dijual. Tapi, karena setiap hari selalu dipotong sama Dani," sambung abah. Umi dan abah tertawa bersama saat mengingat kehidupan anak laki-laki mereka.
Rara yang menatap orang tuanya merasa bingung sendiri. Begitulah Rara, dia tak tau apa-apa tentang kak Dani.
•••••
"Umi mau belanja apa, sih?"
Rara menenteng keranjang belanjaan yang kosong. Sudah lumayan lama umi menyelusuri rak-rak minimarket, namun tak ada satu pun benda yang masuk ke keranjang.
"Umi mau belanja makanan. Kan sore nanti Umi mau pergi pengajian."
"Terus, kenapa raknya cuma diliatin?" tanya Rara dengan kesal.
"Umi bingung. Banyak banget makanannya ini."
Rara memilih untuk diam saja dan tetap mengekori umi dari belakang.
Umi meraih roti kemasan. "Kamu tau gak? Kak Dani itu paling suka sama roti ini," ucap umi memperlihatkan pada Rara.
"Katanya, roti keju itu manis dan cepat bikin kenyang," sambung umi.
"Hmm."
"Dia juga suka ini. Yang ini juga, ini juga Dani suka," ucap umi seraya meraih makanan yang diyakini kesukaan kak Dani.
Rara mengiyakan saja apa yang umi katakan. Rara tak ingin mengganggu umi yang sedang senang berbelanja.
Setelah selesai memilih belanjaan, Rara menuju kasir dan membayarnya. Tak ingin berlama-lama berada di luar rumah, umi segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan bersama pak sopir. Sedangkan Rara, dia duduk di kursi belakang.
Rara memandangi kantong plastik yang ada di bagasi. Melihat belanjaan umi semua kesukaan kak Dani. Pastinya dulu saat semua dimakan kak Dani, dia seketika menjadi gemuk.
Saat tiba di rumah, Rara langsung menyambar pada kasurnya yang empuk. Matanya mulai terpejam merasakan kenyamanannya.
"Hei, Rara. Ayo bangun!"
Baru saja Rara memejamkan matanya, sudah ada saja yang menggerakkan badannya.
"Hmm, baru juga 5 menit," ucap Rara dengan malas.
Umi menarik tangan Rara untuk bangun dari kasur, "5 menit katamu? Ini udah sore. Abah saja sudah selesai shalat Jumat."
Yang benar saja! Saking enaknya tidur Rara tidak menyadarinya.
"Ayo ikut Umi ke pengajian!" ajak umi.
Setiap hari Jumat umi dan ibu-ibu lainnya mengadakan pengajian. sebagai mayoritas beragama Islam di daerah ini, pengajian adalah pembacaan Yasin di setiap rumah warga secara bergantian. Pengajian sendiri dilakukan supaya menjaga rumah agar tetap terjaga kenyamanannya.
Rara memang mau diajak ke pengajian. Asal tidak sekolah atau tidak sibuk saja, Rara mau-mau saja. Kini Rara telah selesai mandi dan sudah rapi memakai baju gamis beserta hijabnya. Ya, Rara memang tak terbiasa berhijab. Tidak seperti umi, yang sudah sangat terbiasa kapan pun memakai hijab. Walau begitu, Rara juga harus menghormati ayat-ayat Alquran yang akan dibacanya nanti.
Rara dan umi melangkah pergi ke luar rumah yang sebelumnya sudah berpamitan dengan abah.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka telah tiba di sebuah rumah yang sudah mulai ramai ibu-ibu berdatangan.
"Eh, Bu. Rara gak sibuk hari ini?" tanya seorang wanita yang duduk di samping umi.
"Iya, sekarang kesibukan Rara mulai berkurang," jawab umi.
"Rara jarang ya, pergi pengajian. Kalau menantu saya ini dia rajin ke pengajian," ucap ibu lainnya.
Ibu-ibu yang mendengarnya menatap takjub pada si menantu ibu tersebut. Sedangkan menantunya hanya tersenyum kikuk menatap ibu-ibu yang menatapnya.
"Rara kan udah lulus sekolah ya, Bu. Apakah sudah ada yang datang ke rumah untuk melamar?" tanya si ibu menggoda Rara.
"Hehe..sepertinya anak saya masih ingin melanjutkan sekolah. Baru-baru saja Rara mendaftar di sebuah universitas," tutur umi.
"Memangnya, ibu gak mau punya cucu?"
Ibu-ibu lainnya ikut menggoda umi seraya terkekeh kecil.
Apa? Yang benar saja ibu-ibu ini! Mereka berfikiran akan menjual anak mereka demi mendapatkan seorang cucu. Dan ini kan pengajian, kenapa membahas hal seperti itu di saat seperti ini.
Begitulah, ketika ibu-ibu nimbrung, di situlah rumpi mendukung.
"Lalu, kapan tahun baiknya kami dengar?" lanjut si ibu bertanya.
Ah, Rara rasanya ingin terbang. Tahun nikah maksudnya? Mendengar kata 'nikah' saja Rara menjadi geli sendiri.
"Waduh! Bu, masih lama itu," jawab umi.
"Oh begitu. Target menikah umur berapa, Bu?"
"Ekhem!" Rara berdehem mencairkan suasana. Semua orang yang ada di sini tau jika hanya Rara yang belum menikah. Makanya, umi diserbu berbagai pertanyaan dari teman-temannya.
•••••
"Ini udah semua kah, Ra?" tanya seorang wanita yang sedang merapikan nasi bungkus di dalam kotak.
"Iya, Bu," jawab Rara.
"Yaudah, mari kita bagikan nasi bungkusnya," ajak si ibu.
Pada hari Jumat selain pengajian, rombongan pengurus mesjid mengadakan acara Jumat berbagi. Hari ini di depan mesjid Rara membantu untuk membagikan nasi bungkus.
Orang-orang mulai berdatangan ke mesjid dan para ibu-ibu mulai membagikannya.
"Mereka ini dari mana, Bu?" tanya Rara.
"Mereka ini orang-orang fakir miskin, anak yatim piatu, mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, dan mereka yang pemulung," jawab si ibu menerangkan.
Rara mengucap syukur karena di beri kehidupan yang layak, makanan yang enak, pakaian yang bagus, dan kedua orang tuanya yang masih hidup.
Rupanya, tak ada artinya selama ini Rara mengeluh kepanasan jika listrik di rumah padam. Lihatlah, Rara merasa malu pada mereka yang berusaha keras bekerja kepanasan banting tulang demi mencari sesuap nasi.
Rara memberi plastik yang berisi 5 buah nasi bungkus kepada seorang lelaki yang merangkul seorang anak kecil. Ketika lelaki bertopi itu meraih plastik yang disodorkan Rara, Rara tak langsung memberikannya. Namun, Rara terdiam menatap gelang mutiara yang melingkar di pergelangan si lelaki.
"Gelang itu, sepertinya sama dengan gelangku," batin Rara seraya menatap gelangnya dan gelang si lelaki secara bergantian.
Tiba-tiba, lelaki itu menarik keras kantong plastik yang masih dipegang Rara. Sehingga, Rara tersentak dan melepaskan kantong plastik. Kemudian lelaki bersama anak kecil yang juga seorang lelaki itu pergi dari hadapan Rara.
Rara memandangi punggung si lelaki dari kejauhan.
"kenapa sama ya?"
•••••
Bersambung...
"Selamat pagi semuanya. Maaf mengganggu waktunya sebentar."Pagi hari ini ada yang kedatangan beberapa cowok yang masuk ke kelas yang dihuni oleh Rara."Pagi, Kak," ucap semua orang serentak."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya. Saya Ardhiansyah," ucap seorang cowok memperkenalkan dirinya."Saya Randi Mahesa," lanjut seorang cowok lainnya."Saya Reza.""Hari ini ada pemberitahuan, bahwa dosen yang akan masuk ke kelas kalian di jam pertama tidak jadi masuk, dikarenakan sedang sakit. Jadi, di jam pertama ini kalian boleh ke luar kelas. Terimakasih." ucap Ardhi memberitahu.Setelah selesai berbicara, ketiga cowok itu beranjak pergi dari kelas diiringi dengan banyaknya wanita yang menyorakinya. Mereka saling berdesakkan untuk mengerumuni ketiga lelaki itu, walaupun hanya sekedar berfoto atau pun meminta tanda tangan."Aaaaa! Omaygatt!"Rara menutup rapat kedua telinganya. Ia tak tahan jika harus mendengar teriaka
Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu
Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a
Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"
🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a
🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang
🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"
💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.
Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu
Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a
Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu