Tok.....tok.....
Jari jemari yang hanya bergerak pada atas meja untuk memantulkan bunyi.
"Huuuuhhh."
Helaan nafas lelah yang sudah terlalu banyak abah lakukan. Entah apa lagi yang harus dilakukan.
"Eum..maafin Umi ya, Bah," pinta umi memohon hati-hati dari seberang meja.
"Seharusnya Abah yang minta maaf. Kalo waktu itu Abah gak ngebentak Rara, pasti sekarang gak akan begini. Abah minta maaf ya, Mi," tutur Abah.
"Dan gak seharusnya juga Umi ikutan ngambek. Umi minta maaf ya, Bah."
Umi dan abah saling memandang dari sebrang meja, "iya, udah dimaafin," ucap umi dan abah secara bersamaan.
Merasa hal seperti itu jarang terjadi, umi dan abah menjadi terkekeh sendiri menanggapi perlakuan mereka bersamaan.
Abah melihat sekelilingnya. "Sekarang apa lagi yang ada. Isi kulkas abis, nasi gak ada, roti gak ada, jajanan gak ada. Sekarang dapur jadi sepi begini," keluh abah ketika melihat rak-rak yang tak berpenghuni lagi.
"Ya, kan udah habis semua karena Abah masukinnya semuanya."
"Abah masukin apa yang Umi sodorkan. Umi nyodorin semua jadinya Abah masukin semuanya, lah," protes abah.
"Udah lah. Abah gak usah salah-salahin Umi."
"Memang, Abah gak akan pernah membuat Umi salah. Karena perempuan selalu benar," sindir abah yang berhasil membuat munculnya wajah percaya diri umi.
"Lagipula, Bah. Ini cara satu-satunya supaya anak kita yang mengurung diri itu bisa makan. Kan lebih baik anak kita yang makan," jelas umi.
Abah manggut-manggut mengiyakan.
"Umi gak mau, niat baik kita akan menjadi penyakit bagi anak kita," lirih umi.
"Sama. Yang Abah inginkan adalah Rara belajar karena Allah. Buat apa kita hidup di dunia, jika bukan untuk mendapat pahala sebagai bekal ke Akhirat. Andai saja kita melakukan ini sedari dulu, sebelum Rara ke kota."
"Dan buat apa kita hidup di dunia sebagai orang tua, jika bukan untuk membahagiakan anak-anak. Jangan sesali mala lalu, tapi lakukan yang terbaik untuk anak kita, agar kita tak menyesal nantinya," sahut umi.
Abah menghela napas. "jika memang itu yang membuat Rara bahagia, Abah akan membiarkannya. Namun tetap mengawasinya."
Abah beranjak dari kursi untuk pergi meninggalkan dapur. Tak lupa untuk meneguk segelas air putih yang ada di atas meja.
•••••
Fyuuhh..!
"kok gak ada ya suara Abah? Haaaaa...Abah mah, gitu!" rengek Rara seraya mengguling-gulingkan badannya di atas kasur.
Ya, sedari tadi Rara setia menunggu Abah. Padahal abah yang menunggunya keluar. Huh! Rara dasar payah!
Ting!
Umi❤
[Rara, Umi udah cape nih ngetok kamar kamu. Kamu keluar dong.]Terkirim✔Rara menatap layar ponselnya dengan sendu. Apakah aksinya tidak berhasil? Apa dia harus menyerah sekarang? Rara rasa ia takkan bisa melawan abah. Apa rara sudahi saja ini semua? Dan ini hanya akan membuat orag tuanya tambah repot. Toh Rara sekarang tak bisa apa-apa. Energinya habis terkuras. Melihat banyaknya makanan di lantai membuat Rara semakin pasrah.
Ceklek.
Dua sejoli yang tengah bergulat dengan pikiran mereka masing-masing sontak menghadap ke arah suara.
Kamar Rara terbuka. Hal itu membuat umi dan Abah tersentak bahagia dan segera masuk untuk menemui anak mereka.
Umi yang dahulu masuk terlihat terkejut dengan makanan yang berserakan. Sepertinya makanan itu jatuh begitu saja tanpa ada yang menyentuhnya.
Umi merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Rara. "Alhamdulillah, akhirnya Allah masih memberikan Umi rezeki. Sehingga Umi dapat melihat anak Umi yang cantik ini," tutur umi. Umi menangis terharu. Tak dapat ia bayangkan ia membiarkan anaknya kelaparan.
Rara menatap umi dan abah tanpa ekspresi. "Rara baik-baik saja."
"Sekarang kamu makan ya, Nak. Makan yang banyak," pinta umi pada Rara.
"Pasti. Rara pasti makan. Rara juga pasti akan menuruti permintaan Abah," ucap Rara pasrah.
Umi diam seketika. Umi juga tak tau apa pikiran abah.
Abah berjongkok menghadap Rara yang duduk di atas ranjang. "Kamu ngapain pake acara mogok makan segala? Tingkah kamu yang ini seperti kanak-kanakkan," ucap Abah pada Rara yang berhasil membuat Rara terisak kecil.
"Kamu terlalu membesarkan masalah. Kenapa kamu gak bicara baik-baik ke Abah. Abah gak akan menghukum kamu. Kamu anak Abah. Abah sayang sama Kamu," tutur Abah.
Isak Rara semakin kuat kala ia menundukkan kepalanya. Rasa lapar yang membuat perut sakit, ditambah dengan omelan yang abah tuturkan, membuat Rara semakin merasa bersalah.
Abah menyentuh dagu Rara untuk menatap abah. Abah tersenyum melihat pipi Rara yang basah. "kamu jangan marah sama Abah."
Rara menggelengkan kepalanya kuat dengan air mata yang terus bercucuran.
Abah mengusap air mata Rara. "Abah akan kasih kamu kesempatan."
Rara sontak berhenti berisak. Perkataan abah seakan-akan mengubah takdir Rara. Rara memandangi wajah abah guna mencari kebohongan dari raut wajah abah. Namun tak ada. Apa abah serius?
"Ya. Abah akan memberi kamu kesempatan untuk kamu kuliah," jelas abah.
Apakah ini nyata? Atau Rara sedang bermimpi untuk menghayalkannya. Oh tidak! Jantungnya masih berdetak sangat kuat. Ya ini nyata.
Rara langsung berhambur ke pelukan Abah dengan senyum bahagia. Isakannya kembali terdengar kala ia memeluk abah.
"Abah, Rara minta maaf. Rara janji gak bakal ngulangin ini lagi. Rara janji Bah." ucap Rara disela tangisnya.
Abah mengecup puncuk kepala Rara yang berada dalam dekapannya. "Abah sayang Rara."
Umi yang melihat adegan yang terjadi dihadapannya, ikut menangis haru.
"Tapi, ada syaratnya."
Rara sontak melepaskan pelukannya dan menatap abah.
"Syarat? Syaratnya apa?" tanya Rara penasaran.
Abah menghela napas. " Syaratnya adalah. Abah akan membiarkan kamu kuliah, membiarkan kamu belajar di Kampus, mengejar cita-citamu. Namun apabila nantinya kamu merasa kesulitan kuliah, kamu capek, atau kamu ada masalah ketika di Kampus, kamu gagal, kamu akan Abah kirim ke Pesantren. Dan kamu tidak akan melawan dan setuju," jelas abah.
Rara berfikir ini tidak terlalu sulit baginya. Rara sungguh ingin kuliah. Tiada kata main baginya. Yang harus Rara lakukan hanyalah fokus.
"Deal."
•••••
(Welcome to General Technical University)
Sebuah gedung besar bertingkat, area yang luas, fasilitas yang lengkap. Hmm..sangat menggiurkan.
Rara memandangi ke segala arah. Ini Kampus yang besar. Sejauh Rara memandang hingga berputar-putar pun bangunan ini sangat luas.
Rara melihat seorang wanita berkacamata sedang berjalan ke arahnya. Dengan jiwanya yang percaya diri, Rara mulai berjalan mendekatinya.
Banyaknya manusia yang berlalu lalang tak membuat Rara kehilngan kefokusanya menatap si wanita.Ketika jarak mereka tinggal selangkah lagi, mereka berputar Badan untuk mengibaskan rambut mereka yang indah secara bersamaan. Kemudian diakhiri dengan menyatukan kedua tangan mereka secara bersamaan.
Toss..
"Hahahhahaha..."
Tawa mereka pecah kala saling memandangi. Liya yang sok' gaya itu kemudian merangkul bahu Rara untuk berjalan bersama. Yaps. Rara akan mulai masuk ke Kampus impiannya mulai hari ini. Pastinya sudah terlebih dahulu mengisi formulir secara online.
"Selamat siang dan selamat datang di Universitas Teknik Umum," ucap seorang lelaki yang sudah mulai tua.
Semua orang bertepuk tangan menyoraki kebahagiaan mereka.
"Ini adalah tempat pendidikan teknik umum bagi segala kalangan teknik. Di sini kami memberikan wadah untuk kalian semua berkembang dengan bakat dan kemampuan kalian semua," lanjutnya.
Semua orang yang berkumpul kembali bersorak ria.
"Marilah kita bersatu untuk menciptakan makhluk yang berpendidikan."
Semua orang yang berada di tempat diminta untuk berpegangan tangan untuk mendobrak tali pita yang telah terikat sepanjang panjangnya secara bersamaan. Untuk segera memasuki bangunan yang masih terhalang pagar.
"Dengan ini saya mengucapkan gerbang resmi dibuka."
Akhirnya tali terputus dan gerbang terbuka lebar, membiarkan para manusia itu berlarian untuk masuk.
Ahh..ini baru permulaan. Akan sangat banyak hal yang menyenangkan nantinya.
Kini Rara dan Liya sedang berjalan menelusuri sudut demi sudut. Senyuman manis terus terpancarkan dari wajahnya.
Berselfie menjadikan ide terbaik saat ini. Taman yang indah, pepohonan yang rindang. Suasananya sejuk dan nyaman.
Rara dan Liya memilih membeli minuman dan beberapa cemilan, dan memilih untuk duduk di kursi yang berada di bawah pohon.
Menikmati minuman segar pas sekali dengan cuaca yang sedang panas.
Tiba-tiba seseorang menghampiri mereka. Dan menyodorkan sesuatu pada Rara.
Rara yang mengetahui kedatangan Seseorang segera mendongakkan wajahnya untuk menelusuri manusia yang ada di hadapannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Seorang lelaki yang tak dikenalinya, separuh wajahnya tertutupi dengan topi yang dipakainya, bertubuh tinggi, tengah menyodorkan sesuatu padanya.
"Hah! Inikan punyaku. Kenapa ada di anda?" tanya Rara seraya meraih cepat gelang tangannya yang berada di tangan si cowok.
Setelah menyerahkannya pada Rara, tanpa sepatah kata lelaki itu segera berbalik badan untuk pergi, namun Rara mencegahnya.
"Tunggu!" teriak Rara.
Lelaki itu menghentikan langkahnya.
"Anda siapa?"
•••••
Bersambung...
MOBILE LEGEND. Jari jemari mungil Rara terus bergerak pada layar ponselnya. Pandangan matanya terus fokus pada game online yang dimainkannya. "RARA!" Aish..pagi-pagi begini umi sudah teriak saja. Entah apa yg diinginkan umi. "Iya, bentar!" teriak Rara menyahuti. "RARA CEPETAN!" SHUTDOWN. "Yah, kan. Mati kan jadinya!" kesal Rara. Rara memanyunkan bibirnya. Gara-gara umi meneriakinya dia jadi kehilangan kefokusannya. Dengan melangkah malas, Rara menghampiri umi yang berada di dapur. "Iya Umi, ada apa?" "Tuh, cuci piring!" perintah umi. Rara melirik piring kotor yang berada di dalam ember. "Sebanyak itu?" tanya Rara tak percaya. "Makanya, kalo gak mau nyuci banyak itu lepas makan piringnya langsung dicuci, bukan malah dibiarkan saja." omel umi. "Ya, kan itu Rara lagi mager," sahut Rara. "Jadi perempuan, kok' pemalas. Pokoknya kamu cuci piring itu sampai bersih. Dan jang
"Selamat pagi semuanya. Maaf mengganggu waktunya sebentar."Pagi hari ini ada yang kedatangan beberapa cowok yang masuk ke kelas yang dihuni oleh Rara."Pagi, Kak," ucap semua orang serentak."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya. Saya Ardhiansyah," ucap seorang cowok memperkenalkan dirinya."Saya Randi Mahesa," lanjut seorang cowok lainnya."Saya Reza.""Hari ini ada pemberitahuan, bahwa dosen yang akan masuk ke kelas kalian di jam pertama tidak jadi masuk, dikarenakan sedang sakit. Jadi, di jam pertama ini kalian boleh ke luar kelas. Terimakasih." ucap Ardhi memberitahu.Setelah selesai berbicara, ketiga cowok itu beranjak pergi dari kelas diiringi dengan banyaknya wanita yang menyorakinya. Mereka saling berdesakkan untuk mengerumuni ketiga lelaki itu, walaupun hanya sekedar berfoto atau pun meminta tanda tangan."Aaaaa! Omaygatt!"Rara menutup rapat kedua telinganya. Ia tak tahan jika harus mendengar teriaka
Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu
Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a
Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a
🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang
🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"
💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.
Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu
Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a
Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu