Beranda / Romansa / Cahaya Mutiara / 3. Rara Ngambek!

Share

3. Rara Ngambek!

Penulis: Mauliyana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gadis itu—Rara yang masih setia menutup rapat kedua matanya. Mata yang sembab, hidung yang memerah, dan suhu badan yang panas. 

Umi juga masih setia duduk di ranjang tempat Rara berbaring. Umi terus memandangi Rara seraya mengompres dahi Rara menggunakan handuk yang basah. Berusaha untuk menormalkan suhu badan Rara yang panas.

Tak lama kemudian, Rara mulai terganggu dengan aktifitas umi, dan perlahan membuka kedua kelopak matanya. Yang pertama dilihat Rara adalah sebuah wajah cantik yang tengah tersenyum kepadanya. Manusia yang melahirkannya. Umi.

Umi yang merasa Rara menatapnya segera beranjak memeluk Rara, "Alhamdulillah, Rara. Umi senang kamu akhirnya sadar." 

Rara tersenyum merasakan dan membalas pelukan hangat umi.

Umi menyudahi pelukannya, "Nak, kamu baik-baik aja, kan? Ada yang sakit gak, sayang?" tanya umi seraya meraba-raba tubuh Rara.

Rara memegangi tangan umi yang masih bergerak, seraya menggeleng kuat.

Umi lega melihat putrinya kini telah sadarkan diri.

Tiba-tiba, abah masuk ke dalam kamar, dengan membawa nampan dan mangkuk yang berisikan bubur.

Abah seketika terkejut apa yang telah dilihatnya. Anaknya telah sadar.

"Alhamdulillah, gak sia-sia juga Umi sama Abah merawat kamu, Ra." ucap abah seraya memaruh nampan di atas meja.

Rara yang melihat kedatangan abah, seketika wajahnya berubah 100°c. Rara memalingkan wajahnya ke arah lain. Agar tidak menatap abah.

"Hm, abah. Nggak ada yang akan sia-sia menjaga anak sendiri." ucap umi menanggapi perkataan abah.

Abah mengangguk mengiyakan istrinya itu.

"Lagian kamu juga, Ra. Nangis kok sampe begadang. Mana nangisnya bareng ingus pula! Trus tisuenya di buang sembarangan. Astaghfirulah!" ujar abah yang tak habis pikir dengan anaknya itu.

Memang, Rara melakukan kesalahan. Namun, Rara masih merasa acuh dan memilih untuk masih tidak menatap wajah abah.

"Yaudah lah, Bah. Kan sekarang udah bersih." ucap umi membela.

"Tuh, sampe-sampe kemarin, Umi sendiri yang beresin kamar tikusmu ini." jelas abah yang memandangi seisi kamar Rara.

Rara mendengus kesal mendengar perkataan abah.

Rara menoleh menatap umi, kemudian beranjak bangun dari rebahannya untuk memeluk umi dari samping.

"Umi, maafin Rara, ya." tutur Rara.

Umi membelai puncuk kepala Rara yang memeluknya, seraya mengangguk.

"Kamu itu udah bikin Umi, khawatir." ucap abah.

Umi dan Rara memandangi abah secara bersamaan.

"Emangnya, Abah gak khawatir sama, Rara?" tanya Rara pada abah.

Abah mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Hm, dikit."

Rara yang mendengar ucapan abah mendengus kesal dengan wajah yang cemberut, yang masih berada dalam dekapan umi.

••••••

Seharian sudah Rara berdiam diri di dalam kamar. Handuk yang basah masih menempel di atas dahi Rara.

Telepon video tersambung dengan Liya.

"Hay, Ra." ucap seseorang yang terlihat di dalam telepon video bersama Rara. Liya.

"Hay, Li." sahut Rara melambaykan tangan pada ponselnya.

"Eh, Rara. Lo kenapa? Lagi sakit ya?" tanya Liya dengan wajah ekspresi bingungnya yang terlihat di sambungan telepon video.

"Yaa, gitu deh." sahut Rara.

"Nah, kan. Gue udah tebak. Lo kaya gak semangat gitu, sakit lo parah, ya?" 

"Enggak, kok. Gue udah baikan juga, nih."

"Terus, kalo lo udah baik, kenapa masih loyo gitu, sih? Lo kalo ada sesuatu cerita aja."

"Hmm, iya nih. Gue gak mood, banget." ucap Rara seraya menghembuskan nafas.

"Tuh, kan. Yaudah cerita aja."

"Gapapa, nih gue cerita? Ntar, gue ganggu lo yang sibuk, lagi." 

Liya mengangguk yakin menatap Rara dari sambungan telepon video, "Atau, kalo lo gak mau cerita di sini, gue yang ke sana, ya?"

"Eh, gausah. Oke, ini soal Abah." ucap Rara to the point.

"Wait, wait. Kenapa lagi tuh Abah, lo?" tanya Liya penasaran.

"Abah, gak izinin gue kuliah." ucap Rara cemberut.

"Hah! Kok bisa? Kenapa?"

"Karena, Abah pengen gue mondok di Pesantren." jelas Rara

"Seriously? OMAYGATT!" jerit Liya tak percaya.

Rara yang mendengar teriakan cemprengnya Liya segera menutup rapat telinganya, untuk melindungi gendang telinganya agar tidak pecah. Sialnya Rara lupa mengurangi volume ponselnya.

"Woy! Biasa aja, napa! Masalahnya ini telinga gue! Lo mau bikin gue tambah sakit, apa?" ucap Rara murka.

"Ya, sory. Trus, gimana dong nasib lo?" tanya Liya. 

Seperti yang Liya tau, Rara cinta fashion. Meskipun, fashion Rara sendiri dia gak cinta. Rara ingin menjadi Designer hebat dan terkenal. Tak mungkin impian Rara itu lenyap terkubur begitu saja hanya dengan alasan mondok.

"Gue juga gak, tau. Semalam Abah marah." jelas Rara.

"Hmm, pasti Abah marah karena lo juga marah ke, Abah." pikir Liya.

"Iyalah, gak mungkin gue diam aja!"

"Lo tuh seharusnya bicara yang lembut sama, Abah."

"Gimana caranya coba? Kalo lo jadi gue, nih. Lo pasti juga bakal kesel sama, Abah."

"Iya, sih. Tapi, kalo gue jadi lo, gue bakalan ngebujuk Abah." ucap Liya.

"Ngebujuk Abah? Gimana caranya?" tanya Rara penasaran.

"Lo harus lakuin apa gitu, biar Abah ngeliat lo dan biar lebih perhatian sama, lo. Dan akhirnya Abah bisa luluh, deh." jelas Liya panjang lebar.

Rara berfikir sejenak. Buat abah perhatian? Hmm..sepertinya Rara tau apa yang harus ia lakukan.

"Oke, makasih sarannya. Love you, muahh." ucap Rara mengecup singkat ponselnya. Selanjutnya memutus sambungan telepon video. Liya yang tak siap, mengiyakan saja apa yang Rara lakukan. Putuskan telepon video.

Telepon video terputus...

••••••

Jam berlalu begitu cepat. Umi sedang berada di dapur untuk menyiapkan makanan. Setelah selesai menyiapkan makanan dan menaruhnya di atas meja, umi beranjak pergi mengajak Rara untuk makan bersama.

"Rara, makanannya udah siap. Kita makan sama-sama, yuk!" ajak umi seraya berteriak di depan kamar Rara.

"Nggak! Umi sama Abah makan duluan, aja. Ntar aku nyusul." sahut Rara dari dalam kamar.

"Yaudah, kamu jangan telat makan, ya." 

Mengiyakan ucapan Rara, umi dan abah makan malam duluan.

Kini malam telah berlalu. Langit hitam tanpa cahaya kini tergantikan dengan siang yang cerah.

Matahari perlahan mulai muncul dari arah timur. Menyinari bumi sebagaimana mestinya. Perlahan tapi pasti rumput segar nan hijau mulai kehilangan air embunnya, karena terkena sinar matahari yang mulai panas.

Pagi-pagi sekali abah berangkat, bahkan sebelum matahari terbit sepenuhnya. Mengendarai satu-satunya mobil yang ia miliki, abah segera menggulingkan ban mobilnya dengan kecepatan sedang. Tadi malam abah mendapat panggilan dari seseorang untuk mengajarkan silat di sebuah yayasan hari ini.

Ya, abah adalah 1 dari 10 murid pencak silat terbaik di Kota. Abah pertama kali diajarkan pencak silat saat berusia 10 tahun. Saat itu, ayahnya abah mengirim abah ke Pesantren di Kota. Di situlah abah diajarkan langsung oleh seorang guru yang sudah lama meninggal dunia.

Bisa dibilang abah adalah salah satunya penerus pembina pencak silat. Saat ini hanya abah yang masih berada di Kota ini. Semua teman abah sudah merantau di mana-mana untuk menyiarkan ilmu.

Begitulah abah, dia sudah lama berprofesi sebagai pembina pencak silat. Sebelumnya, abah pernah menjadi guru di Pesantren tempat abah dulu, namun sekarang sudah pensiun. Sekarang abah memutuskan untuk mengajar silat. Walaupun menjadi pengajar bergilir dan tidak menetap, yang penting abah tetap mengajarkan ilmu yang abah punya.

Setelah abah berpamitan denga umi, umi masuk kembali ke dalam rumah setelah tidak terlihat lagi mobil abah.

Kemudian umi memasuki dapur untuk mencuci piring yang kotor. Membuka tudung saji yang tertutup dia atas meja, umi terlihat heran dengan makanan yang masih utuh rapi di atas piring. Makanan itu sengaja di sisakan untuk Rara makan malam tadi. Tapi melihat ini, umi merasa Rara tidak ada makan malam tadi. Lihatlah bagaimana bau asamnya makanan basi itu.

Umi berjalan menuju kamar Rara. Umi yang melihat kamar Rara sedang terbuka langsung menghampirinya.

"Rara, kamu malam tadi gak makan, ya?" tanya umi menghampiri Rara yang sedang berkaca.

Rara yang melihat kedatangan umi segera berbalik badan menghadap umi. "Hehehe..iya." terang Rara.

Umi mengeleng kepala heran, "Hmm, pantesan makanannya masih utuh. Basi pula." jelas umi.

"Yahh, Rara gak selera buat makan." 

Umi beranjak mendekati Rara, "Kenapa, Ra? Kamu itu baru aja berangsur sehat, seharusnya makan yang banyak biar tambah sehat." ucap umi.

Rara menundukkan kepalanya, "Rara masih kepikiran soal apa yang abah bilang." lirih Rara.

"Umi tau ini pasti sulit buat kamu." tutur umi.

Rara kembali mendongakkan wajahnya seraya menggenggam tangan umi, "Umi, tolongin Rara. Tolong bujukin abah supaya bolehin Rara kuliah. Mi, Rara mohon." rengek Rara meminta pada umi.

"Umi pengen bantu kamu, tapi Umi gak tau caranya gimana." jelas umi.

"Ya, Umi bicara sama abah. Bilangin aku pengen kuliah. Mi, aku mohon tolongin ya, ya, ya?" rengek Rara meminta.

"Rara, kamu jangan terlalu memikirkan hal itu. Nanti kita bicara sama abah. Sekarang, kamu makan dulu ya, kamu dari malam tadi gak makan. Nanti kamu bisa sakit lagi." ucap umi.

Rara melepaskan genggaman tangannya dari umi, "Gak! Pokoknya Umi harus bantuin aku! Sebelum abah bolehin Rara kuliah, Rara gak bakalan makan, mogok makan aja sekalian!" tolak Rara pada umi.

Rara menyilangkan kedua tangannya di dada, dengan wajah yang cemberut Rara memalingkan wajahnya ke arah lain. 

"Yaampun, Rara. Kamu jangan ngambek, dong." pinta umi pada Rara.

Jika abah memiliki rasa empati dengan Rara, pastinya abah tidak akan membiarkan Rara kelaparan.

Seakan jiwa 'war'nya telah muncul, Rara akan melihat seberapa kuat usaha abah untuk mengajak Rara makan nantinya.

                    •••••

Bersambung..

Bab terkait

  • Cahaya Mutiara   4. Mogok Makan

    Tut tut tuutt.. Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan suara. "Shhh.." Umi mendesis kesal. Lagi dan lagi operator telepon mengucapkan hal yang sama. "Aduh! Abah kenapa gak angkat panggilan Umi, sih?" keluh umi. Dengan langkah mondar-mandir, umi terus berkomat kamit pada layar ponselnya. "Ditelpon gak dingkat, di SMS gak dibales. Abah gimana sih!" gerutu umi kesal. Hari sudah semakin malam namun belum terlihat batang hidungnya abah, atau terdengar suara mobil pun tak ada. Sudah sejam lamanya umi terus menunggu abah di ruang depan. Andai saja umi tau ini akan terjadi, umi pasti tidak akan membiarkan abah untuk pergi. Akhirnya rasa kegelisahan umi pun terbalaskan dengan adanya suara deru mobil di depan rumah. Umi pun langsung membuka pintu untuk menghampirinya. Ketik melihat seorang lelaki yang turun dari dalam mobil, umi langsung menghmpirinya dan menjabat tang

  • Cahaya Mutiara   5. Kesempatan Buat Rara

    Tok.....tok..... Jari jemari yang hanya bergerak pada atas meja untuk memantulkan bunyi. "Huuuuhhh." Helaan nafas lelah yang sudah terlalu banyak abah lakukan. Entah apa lagi yang harus dilakukan. "Eum..maafin Umi ya, Bah," pinta umi memohon hati-hati dari seberang meja. "Seharusnya Abah yang minta maaf. Kalo waktu itu Abah gak ngebentak Rara, pasti sekarang gak akan begini. Abah minta maaf ya, Mi," tutur Abah. "Dan gak seharusnya juga Umi ikutan ngambek. Umi minta maaf ya, Bah." Umi dan abah saling memandang dari sebrang meja, "iya, udah dimaafin," ucap umi dan abah secara bersamaan. Merasa hal seperti itu jarang terjadi, umi dan abah menjadi terkekeh sendiri menanggapi perlakuan mereka bersamaan. Abah melihat sekelilingnya. "Sekarang apa lagi yang ada. Isi kulkas abis, nasi gak ada, roti gak ada, jajanan gak ada. Sekarang dapur jadi sepi begini," keluh abah ketika melihat rak-rak yang tak berpenghu

  • Cahaya Mutiara   6. Pengajian

    MOBILE LEGEND. Jari jemari mungil Rara terus bergerak pada layar ponselnya. Pandangan matanya terus fokus pada game online yang dimainkannya. "RARA!" Aish..pagi-pagi begini umi sudah teriak saja. Entah apa yg diinginkan umi. "Iya, bentar!" teriak Rara menyahuti. "RARA CEPETAN!" SHUTDOWN. "Yah, kan. Mati kan jadinya!" kesal Rara. Rara memanyunkan bibirnya. Gara-gara umi meneriakinya dia jadi kehilangan kefokusannya. Dengan melangkah malas, Rara menghampiri umi yang berada di dapur. "Iya Umi, ada apa?" "Tuh, cuci piring!" perintah umi. Rara melirik piring kotor yang berada di dalam ember. "Sebanyak itu?" tanya Rara tak percaya. "Makanya, kalo gak mau nyuci banyak itu lepas makan piringnya langsung dicuci, bukan malah dibiarkan saja." omel umi. "Ya, kan itu Rara lagi mager," sahut Rara. "Jadi perempuan, kok' pemalas. Pokoknya kamu cuci piring itu sampai bersih. Dan jang

  • Cahaya Mutiara   7. Teman

    "Selamat pagi semuanya. Maaf mengganggu waktunya sebentar."Pagi hari ini ada yang kedatangan beberapa cowok yang masuk ke kelas yang dihuni oleh Rara."Pagi, Kak," ucap semua orang serentak."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya. Saya Ardhiansyah," ucap seorang cowok memperkenalkan dirinya."Saya Randi Mahesa," lanjut seorang cowok lainnya."Saya Reza.""Hari ini ada pemberitahuan, bahwa dosen yang akan masuk ke kelas kalian di jam pertama tidak jadi masuk, dikarenakan sedang sakit. Jadi, di jam pertama ini kalian boleh ke luar kelas. Terimakasih." ucap Ardhi memberitahu.Setelah selesai berbicara, ketiga cowok itu beranjak pergi dari kelas diiringi dengan banyaknya wanita yang menyorakinya. Mereka saling berdesakkan untuk mengerumuni ketiga lelaki itu, walaupun hanya sekedar berfoto atau pun meminta tanda tangan."Aaaaa! Omaygatt!"Rara menutup rapat kedua telinganya. Ia tak tahan jika harus mendengar teriaka

  • Cahaya Mutiara   8. Berkenalan Dengan Hijab

    Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu

  • Cahaya Mutiara   9. Pasar Malam

    Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a

  • Cahaya Mutiara   10. Harta Abah

    Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu

  • Cahaya Mutiara   11. Hiburan

    "Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.

Bab terbaru

  • Cahaya Mutiara   16. Abah Marah

    🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a

  • Cahaya Mutiara   15. Weekend

    🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang

  • Cahaya Mutiara   14. Materi

    🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"

  • Cahaya Mutiara   13. Kedatangan Profesor

    💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai

  • Cahaya Mutiara   12. Dekat

    🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da

  • Cahaya Mutiara   11. Hiburan

    "Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.

  • Cahaya Mutiara   10. Harta Abah

    Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu

  • Cahaya Mutiara   9. Pasar Malam

    Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a

  • Cahaya Mutiara   8. Berkenalan Dengan Hijab

    Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu

DMCA.com Protection Status