Beranda / Romansa / Cahaya Mutiara / 2. Impian Rara

Share

2. Impian Rara

Penulis: Mauliyana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

🔹🔹🔹🔹

Mata Rara membulat sempurna kala mendengar perkataan abah. Nafasnya memburu naik turun.

"Hah! Mondok?"

Abah mengangguk membenarkan.

"Kenapa mondok, Bah?" tanya Rara yang masih terkejut.

"Eh, kenapa kamu tanya, jelas kalo mondok itu pendidikan yang sangat baik." 

"Tapi Bah, aku pengen kuliah," ucap Rara yakin.

"Kuliah atau tidak, itu tak mengapa, Ra. Belajar bisa dimana saja, asalkan niatnya belajar bukan untuk main-main," tutur abah.

"Kalo kita mampu kuliah, kenapa kita tidak melakukannya? Abah, di kampus itu aku bisa belajar merancang, meneliti design stylist yang aku mau, belajar bersama profesor besar, dan aku bisa meraih cita-cita menjadi dsigner hebat," tungkas Rara panjang lebar.

"Dan di Pesantren itu kamu bisa melakukan yang kamu mau itu. Kamu bebas dengan gaya kamu. Dan yang paling penting, kamu di situ di bimbing dengan aturan Agama Islam." 

Rara bangkit dari kursi untuk berdiri, "Gak bisa gtu dong. Jelas beda, dan aku gak mau!" ucap Rara memberontak.

Abah pun juga berdiri menghadap Rara. "Bisa, Ra."

"Gak bisa! Bah!" ucap Rara ngegas.

"Bisa!"

"Gak bisa!"

"RARA!" teriak abah dengan kencang.

Deg.

Nafas Rara naik turun. Dia terkejut abah yang membentaknya. Mata Rara berkaca-kaca melihat jari telunjuk abah berada tepat di wajahnya. Akhirnya jatuhlah setetes buliran bening dari pelupuk mata Rara bersamaan dengan kaki yang melangkah pergi dari hadapan orang tuanya.

Abah yang sadar jika ia membentak anaknya segera beristigfar.

"Astagfirullahallaziim." ucap abah seraya mengusap mukanya.

Umi yang sedari tadi hanya berdiam diri melihat anak dan suaminya berdebat, kini beralih duduk di samping suaminya seraya mengelus lengan suaminya. Berniat menenangkan.

Abah menggenggam jari jemari umi. Umi mengangguk menatap suaminya berharap ini akan baik-baik saja.

Sedangkan Rara, dia tak hentinya menangis di dalam kamar. Dia tak bisa memikirkan apa jadinya jika memang terjadi abah akan mendaftarkan dirinya ke Pesantren. Rara merasa dirinya akan semakin jauh dengan impiannya.

Malam yang sunyi dan angin malam yang dingin seakan akan malam ingin membujuk hati Rara yang panas membara. Sesak, kecewa, sedih, marah, itulah yang dirasakan Rara.

Apakah Rara harus mengubur dalam impiannya itu hanya untuk mengiyakan perkataan abah? Hmm, Rara belum siap.

Malam ini Rara benar-benar sangat rapuh.

_____________

Sayup-sayup adzan subuh  berkumandang. Menyerukan kalimat-kalimat Allah dengan suara yang indah. Menyejukkan hati siapapun yang mendengarnya. Mengajak siapapun umat Islam untuk menunaikan kewajibannya.

Setelah abah sholat subuh bersama umi, abah tidak melihat keberadaan Rara, anaknya. Hingga, kini tiba waktunya pagi dan matahari sedang  bersiap untuk mencurahkan cahayanya.

Umi pun juga merasakan hal yang sama dengan abah. Umi gelisah dan khawatir dengan Rara yang tak kunjung ada bunyi.

Akhirnya umi mengetuk pintu kamar Rara.

Tok tok tok.

"Rara, kamu ada di dalam, kan?" tanya umi berteriak.

Tak ada tanda-tanda akan ada sahutan dari dalam kamar. Hal itu membuat umi risau, dan kembali mengetuk kamar Rara.

Tok tok tok.

"Rara, kamu dengar umi, kan? Rara, buka pintunya!" umi kembali berteriak seraya menggerakkan ganggang pintu. 

Memangil nama anaknya berharap ada respon. Namun nihil, tak ada apapun yang terdengar di dalam kamar.

Melihat umi yang tak ada yang menghiraukan membuat abah juga merasa khawatir. Takut terjadi sesuatu pada Rara. 

Abi membantu umi untuk mengetuk pintu kamar Rara dan terus mencoba membuka pintunya dari arah luar.

Ceklek.

Akhirnya abah berhasil membuka pintunya dan menampakkan isi kamar Rara.

Hal yang pertama dilihat oleh umi dan abah adalah berantakan, bau, kotor, dan tisue yang berhamburan dimana-mana.

"Astaghfirullahalladziim, Rara. Kamu ini apa-apaan, sih! Kamar berantakan kaya gini, kamu apain Ra!" ucap umi dengan terkejut. Bahkan umi berjalan berjinjit untuk menghindari tisue yang berhamburan.

Umi menutup mulut rapat tak menyangka. Jadi selama ini beginikah kamar anaknya, yang tak jauh berbeda dari sarang tikus.

Namun, melihat anaknya hanya terbaring di atas kasur dengan selimut yang menutupi badannya hingga telinga, tanpa bergerak sedikitpun membuat umi bingung. 

Sedangkan abah, dia lebih baik beristighfar sebanyak-banyaknya. supaya menahan emosinya untuk tidak memarahi anaknya. 

Umi berjalan mendekati Rara yang sedang terbaring membelakanginya. Umi Menyibak selimut yang membungkus anaknya, menyentuh bahu Rara untuk memalingkan wajah Rara menghadap umi. 

Umi menutup rapat mulut dengan kedua tangannya saat melihat wajah anaknya dengan mata terpejam.

"Yaampun! Rara!" ucap umi menjerit.

Abah yang mendengar suara umi menjadi terkejut, dan segera berlari memasuki kamar menghampiri umi.

Betapa terkejutnya abah, ketika tiba di samping umi dan refleks menutup rapat mulut dengan kudua telapak tangannya kala melihat wajah anaknya, Rara.

••••••••••

Bersambung...

Hayoloo kepo gak? Kepo gak? Kepo gak? kepo lah masa enggak😱

Silahkan ketikkan tanggapan kalian tentang cerita ini dengan cara komen sebnyaknya ya😇

Bab terkait

  • Cahaya Mutiara   3. Rara Ngambek!

    Gadis itu—Rara yang masih setia menutup rapat kedua matanya. Mata yang sembab, hidung yang memerah, dan suhu badan yang panas.Umi juga masih setia duduk di ranjang tempat Rara berbaring. Umi terus memandangi Rara seraya mengompres dahi Rara menggunakan handuk yang basah. Berusaha untuk menormalkan suhu badan Rara yang panas.Tak lama kemudian, Rara mulai terganggu dengan aktifitas umi, dan perlahan membuka kedua kelopak matanya. Yang pertama dilihat Rara adalah sebuah wajah cantik yang tengah tersenyum kepadanya. Manusia yang melahirkannya. Umi.Umi yang merasa Rara menatapnya segera beranjak memeluk Rara, "Alhamdulillah, Rara. Umi senang kamu akhirnya sadar."Rara tersenyum merasakan dan membalas pelukan hangat umi.Umi menyudahi pelukannya, "Nak, kamu baik-baik aja, kan? Ada yang sakit gak, sayang?" tanya umi seraya meraba-raba tubuh Rara.Rara memegangi tangan umi yang masih bergerak, seraya menggeleng kua

  • Cahaya Mutiara   4. Mogok Makan

    Tut tut tuutt.. Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan suara. "Shhh.." Umi mendesis kesal. Lagi dan lagi operator telepon mengucapkan hal yang sama. "Aduh! Abah kenapa gak angkat panggilan Umi, sih?" keluh umi. Dengan langkah mondar-mandir, umi terus berkomat kamit pada layar ponselnya. "Ditelpon gak dingkat, di SMS gak dibales. Abah gimana sih!" gerutu umi kesal. Hari sudah semakin malam namun belum terlihat batang hidungnya abah, atau terdengar suara mobil pun tak ada. Sudah sejam lamanya umi terus menunggu abah di ruang depan. Andai saja umi tau ini akan terjadi, umi pasti tidak akan membiarkan abah untuk pergi. Akhirnya rasa kegelisahan umi pun terbalaskan dengan adanya suara deru mobil di depan rumah. Umi pun langsung membuka pintu untuk menghampirinya. Ketik melihat seorang lelaki yang turun dari dalam mobil, umi langsung menghmpirinya dan menjabat tang

  • Cahaya Mutiara   5. Kesempatan Buat Rara

    Tok.....tok..... Jari jemari yang hanya bergerak pada atas meja untuk memantulkan bunyi. "Huuuuhhh." Helaan nafas lelah yang sudah terlalu banyak abah lakukan. Entah apa lagi yang harus dilakukan. "Eum..maafin Umi ya, Bah," pinta umi memohon hati-hati dari seberang meja. "Seharusnya Abah yang minta maaf. Kalo waktu itu Abah gak ngebentak Rara, pasti sekarang gak akan begini. Abah minta maaf ya, Mi," tutur Abah. "Dan gak seharusnya juga Umi ikutan ngambek. Umi minta maaf ya, Bah." Umi dan abah saling memandang dari sebrang meja, "iya, udah dimaafin," ucap umi dan abah secara bersamaan. Merasa hal seperti itu jarang terjadi, umi dan abah menjadi terkekeh sendiri menanggapi perlakuan mereka bersamaan. Abah melihat sekelilingnya. "Sekarang apa lagi yang ada. Isi kulkas abis, nasi gak ada, roti gak ada, jajanan gak ada. Sekarang dapur jadi sepi begini," keluh abah ketika melihat rak-rak yang tak berpenghu

  • Cahaya Mutiara   6. Pengajian

    MOBILE LEGEND. Jari jemari mungil Rara terus bergerak pada layar ponselnya. Pandangan matanya terus fokus pada game online yang dimainkannya. "RARA!" Aish..pagi-pagi begini umi sudah teriak saja. Entah apa yg diinginkan umi. "Iya, bentar!" teriak Rara menyahuti. "RARA CEPETAN!" SHUTDOWN. "Yah, kan. Mati kan jadinya!" kesal Rara. Rara memanyunkan bibirnya. Gara-gara umi meneriakinya dia jadi kehilangan kefokusannya. Dengan melangkah malas, Rara menghampiri umi yang berada di dapur. "Iya Umi, ada apa?" "Tuh, cuci piring!" perintah umi. Rara melirik piring kotor yang berada di dalam ember. "Sebanyak itu?" tanya Rara tak percaya. "Makanya, kalo gak mau nyuci banyak itu lepas makan piringnya langsung dicuci, bukan malah dibiarkan saja." omel umi. "Ya, kan itu Rara lagi mager," sahut Rara. "Jadi perempuan, kok' pemalas. Pokoknya kamu cuci piring itu sampai bersih. Dan jang

  • Cahaya Mutiara   7. Teman

    "Selamat pagi semuanya. Maaf mengganggu waktunya sebentar."Pagi hari ini ada yang kedatangan beberapa cowok yang masuk ke kelas yang dihuni oleh Rara."Pagi, Kak," ucap semua orang serentak."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya. Saya Ardhiansyah," ucap seorang cowok memperkenalkan dirinya."Saya Randi Mahesa," lanjut seorang cowok lainnya."Saya Reza.""Hari ini ada pemberitahuan, bahwa dosen yang akan masuk ke kelas kalian di jam pertama tidak jadi masuk, dikarenakan sedang sakit. Jadi, di jam pertama ini kalian boleh ke luar kelas. Terimakasih." ucap Ardhi memberitahu.Setelah selesai berbicara, ketiga cowok itu beranjak pergi dari kelas diiringi dengan banyaknya wanita yang menyorakinya. Mereka saling berdesakkan untuk mengerumuni ketiga lelaki itu, walaupun hanya sekedar berfoto atau pun meminta tanda tangan."Aaaaa! Omaygatt!"Rara menutup rapat kedua telinganya. Ia tak tahan jika harus mendengar teriaka

  • Cahaya Mutiara   8. Berkenalan Dengan Hijab

    Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu

  • Cahaya Mutiara   9. Pasar Malam

    Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a

  • Cahaya Mutiara   10. Harta Abah

    Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu

Bab terbaru

  • Cahaya Mutiara   16. Abah Marah

    🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a

  • Cahaya Mutiara   15. Weekend

    🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang

  • Cahaya Mutiara   14. Materi

    🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"

  • Cahaya Mutiara   13. Kedatangan Profesor

    💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai

  • Cahaya Mutiara   12. Dekat

    🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da

  • Cahaya Mutiara   11. Hiburan

    "Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.

  • Cahaya Mutiara   10. Harta Abah

    Triingg!Liya[Pliis, jangan marah dong.][Gue janji gak bakal gitu lagi.][Uuu, tayang😘😘😘][Gue tau salah, maafin dong.][Maaf.][Maaf.][Maaf.]Rara memandang malas layar ponselnya, pesan whatsapp dari Liya membuat Rara badmood saja pagi ini. Ia takkan mengetikkan apa pun untuk membalas pesan Liya. Dia sungguh muak, sekali dimaafkan seribu kali lagi Liya berbuat hal yang sama.Mengscrol layar ponselnya ke bawah, Rara tercengang kaget, ada pesan dari nomor yang tak dikenali Rara.+62[Good night, Mutiara.]Rara tersenyum memandang layar ponselnya, ia menyadari bahwa itu nomor telepon Jordan. Ya, sepertinya malam tadi Jordan menyapanya.Rara beranjak bangun dari kasurnya, pagi minggu ini terlihat cerah, Rara pikir lari pagi adalah aktivitas pagi yang baik.Saat menuju kamar mandi, Rara tak sengaja melihat abah di kamarnya sedang memegang sebuah kotak kayu

  • Cahaya Mutiara   9. Pasar Malam

    Aamiinn..Rara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebagai tanda berakhirnya shalat maghrib yang Rara kerjakan.Dengan keadaan yang masih menggunakan mukena, Rara ke luar kamar menemui abah yang sedang duduk di ruang depan.Abah menggeser badannya untuk memberikan Rara ruang untuk duduk di sampingnya.Rara duduk pada posisi kaki bersila untuk menghadap abah, "Bah, Rara mau nanya, tapi Abah jawab jujur, ya.""Hmm, oke.""Rara cantik gak?" tanya Rara.Abah tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Cantik, cantik banget!"Rara merapikan mukenanya, "Kalo penampilan Rara sekarang ini cantik, gak?" tanya Rara lagi."Iya, cantik kok'.""Menurut Abah, Rara cantik berhijab atau gak berhijab?" tanya Rara."Kenapa tiba-tiba kamu nanya, gitu?""Abah! Rara nanya, Abah malah balik nanya! Jawab dulu yang jujur!" gerutu Rara kesal.Rara terus memandangi a

  • Cahaya Mutiara   8. Berkenalan Dengan Hijab

    Tringg...tringg..tringg...Suara nyaring alarm yang berada di atas meja berusaha membuyarkan mimpi indah seorang manusia cantik yang masih setia memejamkan matanya.Rara yang tak kunjung sadar ia tetap pada posisinya yang sedang memeluk erat bantal guling empuk miliknya. Sesekali ia merasa terusik dengan suara alarm yang menggema, namun ia tetap memejamkan matanya. Padahal, matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang panas."Rara, bangun yuk! Hari ini kamu kan kuliah."Lelaki paruh baya itu berusaha membangunkan putrinya yang terlelap. Tak segan ia juga menggoyang-goyangkan badan anaknya itu."Eughh! Abah, bentar lagi lah," sahut Rara mengeluh. Rara tak berusaha membuka matanya, ia tetap membiarkan kelopak matanya menyatu."Eh, sudah jam berapa ini. Kamu jangan males-malesan!"Abah menarik paksa pergelangan tangan Rara untuk bangun, alhasil Rara terduduk di kasurnya seraya mengucek-ngucek matanya."Cepetan! Abah tunggu

DMCA.com Protection Status