Beberapa hari telah berlalu. Hari yang dinanti tiba. Sabtu, 5 Maret 2022, adalah hari wisuda kelulusan Syila dan sahabat-sahabatnya. Ia sudah tidak sabar naik ke panggung, menuntaskan pendidikan strata satunya, dan mulai merangkai mimpi besarnya sebagai seorang PNS guru.Pagi itu, mentari mengintip malu-malu dari celah jendela kamar Syila. Sinar keemasan menyapu perlahan meja belajar yang penuh dengan buku catatan dan tumpukan kertas ujian yang kini hanya menjadi kenangan. Syila menguap kecil, lalu beranjak membuka lemari pakaian dengan semangat. Toga yang telah lama tersimpan rapi di dalamnya menunggu untuk dipakai. Namun, saat membuka lemari, sebuah kain biru wardah terjatuh ke lantai.Syila memungut kain itu perlahan, memandanginya dengan tatapan yang berubah sendu. Kain tersebut adalah hadiah dari ibunya saat ulang tahunnya yang ke-20. Sebuah simbol harapan dari sang ibu agar Syila mulai mengenakan kerudung, sesuatu yang telah lama menjadi keinginan ibunya.“Ya Allah, aku udah ban
Beriringan tergelincirnya mentari ke arah barat, rangkaian wisuda UNICILA telah selesai. Secara bergiliran, gerombolan mahasiswa meninggalkan auditorium. Mereka berpencar menuju tujuan masing-masing—berselebrasi, mengabadikan kebahagiaan dengan orang-orang terkasih, atau menyegerakan badan tuk istirahat ke rumah.Di sudut timur halaman kampus, Syila menemui kakak dan ibunya yang sudah keluar mendahuluinya. Dijabat dan diciumnya tangan mereka tanpa bisa menyembunyikan semburat haru. Ia berterima kasih atas dukungan dari keluarga selama ia kuliah di universitas pilihannya. Hatinya cukup puas karena berhasil membuat bangga dengan menjunjung nama keluarga di panggung wisuda. "Ini juga karena usaha kamu, Syil. Kamu selalu tekun belajar. Kamu pantas mendapatkan prestasi ini,” puji Bu Sukma merangkul putrinya."Terima kasih ya, Bu," balas Syila seraya menitikkan air mata. “Kakak bangga sama kamu, Syil!” Hanif turut mengusap bahu adiknya. Gadis itu melepas rangkulan ibunya. Ia beralih memel
Siang ini, Rendi sedang bercermin di kamarnya, merapikan tatanan rambutnya ke samping kanan, sedikit naik. Sabtu ini ia izin cuti dari kantor. Sudah lama ia menunggu tanggal ini untuk libur mengantor. Dalam beberapa pekan terakhir, kehidupan kantor Rendi terasa lebih ringan. Ia tak lagi didera oleh sederet masalah seperti sebelumnya. Di kantor, ia sudah banyak berubah dan benar-benar menunjukkan kinerja terbaiknya untuk perusahaan. Pernah suatu waktu kepala divisinya memberikan pujian padanya. Dia bangga lantaran Rendi telah membuktikan progress yang apik. Produktivitas perusahaan melesat tajam bulan lalu. Semua itu berkat kecermatan Rendi melihat dan mengatur peluang bisnis."Kalau saja performamu di hari-hari awal bekerja seperti sekarang, saya pasti akan lebih bangga," ujar kepala divisi itu minggu lalu saat Rendi menyerahkan laporan bulanan divisinya. Di momen yang sama, Rendi memohon izin untuk cuti hari ini. Sebagai bentuk tanggung jawab, ia berjanji membawa pekerjaan kantor ke
Tepat setengah jam setelah mereka meluncur dari kampus, rombongan Syila telah duduk manis di meja bundar restoran "SERBA ADA." Restoran itu berlokasi strategis, tak jauh dari kantor Rendi. Suasana mulai terasa hidup sejak mereka mengambil tempat duduk. Syila berada di antara Rendi dan Arfan—posisi yang sebenarnya tak pernah ia bayangkan. Di sisi kiri Rendi duduk Alyaa, sementara di kanan Arfan ada Marsya.Awalnya, Syila mengira Alyaa atau Marsya yang akan mengambil kursi di sebelah Rendi. Tapi lelaki itu dengan santainya justru menyerobot kursi kosong di dekatnya, tanpa banyak basa-basi. Gerakannya yang spontan membuat Syila sedikit canggung, tapi ia mencoba menahan ekspresi.Acara makan siang bersama ini berjalan lancar pada mulanya. Setiap orang memesan menu sesuai selera. Sembari menunggu pesanan masing-masing tiba, mereka berlima bercakap-cakap tentang hal umum. Rendi dan Arfan bertukar cerita tentang jenjang karier mereka. Di sini Rendi menaruh kagum pada sosok Arfan yang telah
“Kak? Kak Hanif? Ck!” Syila berdecak kesal usai teleponnya diputus sepihak oleh kakaknya. Ia tak bisa menahan diri. Sikap kakaknya telah menambah kecamuk pikiran dan perasaannya. Pikirannya menerawang pada kondisi ayah, khawatir terjadi hal buruk pada beliau. Bergegas pulang adalah cara terbaik untuk meredakan kecemasannya.Syila hendak kembali ke meja perjamuan sebelum akhirnya sebuah insiden menghadang langkahnya.Bruk!Tubuh tegap dengan dada bidangnya mendadak menghalangi jalannya. Syila menabrak seseorang yang menjadi alasan ketidaknyamanannya. Rendi, lelaki itu baru saja keluar dari toilet dan tiba-tiba bertabrakan dengan Syila yang tengah berbalik badan. Gadis itu nyaris terhuyung jika saja lelaki itu tak sigap menarik tangannya.Lagi-lagi alam mendekatkan tubuh keduanya. Kedua tangan Syila menahan tubuhnya yang hampir menempel ke tubuh Rendi. Manik mata mereka saling beradu. Rendi menautkan kedua alisnya, sedangkan Syila melemparkan tatapan jengah ditambah wajah yang kusut.“I
Perjalanan di dalam mobil terasa sunyi. Tidak ada percakapan antara Alyaa, Syila, ataupun Rendi. Semua tampak kaku untuk memulai percakapan. Rendi fokus pada jalanan yang cukup ramai sore ini. Sedangkan, Syila yang duduk di belakang terus melamun. Ia masih belum bisa melupakan kejadian tadi. Baginya, pekan ini dirinya diterpa berbagai situasi yang sangat tak serasi. Bahkan hari ini pun banyak kejadian tak terduga yang mengguncang hatinya. Pagi tadi ia begitu terharu setelah namanya terdaftar sebagai salah satu wisudawan terbaik tahun ini. Kebahagiaannya bertambah ketika sahabat lelakinya menghadiahkannya kalung cantik. Hadiah yang menurutnya tak sekadar ungkapan selamat. Akan tetapi, semua binar cerianya berubah drastis di acara makan bersama siang ini. Ia harus menerima fakta bahwa Arfan telah begitu akrab dengan Marsya, sahabatnya sendiri. Pikirannya menerawang kemungkinan rasa cemburu yang telah memenuhi hatinya. Hingga ia seolah hilang respek pada Marsya, meski ia tak menunju
Sepanjang perjalanan dari rumah Alyaa, suasana di mobil benar-benar sangat sunyi. Rendi bingung harus memulai percakapan. Syila sedang tak baik-baik saja, itu yang diketahuinya. Namun, ia tak mau terkekang oleh situasi canggung ini. Akhirnya, Rendi memecah keheningan. “Boleh saya bicara jujur?” tanyanya dengan nada hati-hati.Syila melirik sekilas, kemudian menjawab dengan suara datar, “Apa lagi sekarang, Mas?” Jelas sekali, ia sedang tidak ingin diganggu.“Jadi, ada apa sebenarnya?” Rendi malah balik bertanya. Syila memandangnya dengan alis terangkat, sedikit heran. Bukankah tadi dia yang ingin mengatakan sesuatu? Kenapa malah berubah menjadi pertanyaan? Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan?“Saya serius, kamu lebih cantik hari ini,” ucap Rendi, memuji dengan nada lembut.“Apa sih, Mas? Nggak jelas banget!” ketus Syila karena merasa Rendi terdengar aneh.“Kenapa nggak dari dulu aja kamu berkerudung?” Rendi tak bisa berhenti melirik Syila sambil terus fokus berkendara.“Nggak usah
Langit sore di Cilacap memancarkan warna keemasan yang memudar, seiring suara riuh kendaraan di kejauhan yang terdengar samar di tepi taman kota. Di bangku kayu yang sedikit usang, Rendi dan Syila duduk bersebelahan, namun seolah ada jarak tak kasatmata yang memisahkan mereka. Daun-daun berguguran, sesekali terbawa angin kecil yang terasa lembut tetapi menggigit di kulit.Sunyi mengisi celah di antara mereka. Rendi sesekali memandangi taman yang dipenuhi keluarga, pasangan muda, dan anak-anak bermain. Namun, matanya terus melirik Syila di sudut pandangnya. Botol minum di tangan Syila—pemberian Rendi siang tadi—sudah kosong setengah. Gadis itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya menerawang jauh seakan mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan.Rendi menghela napas, memecah kesunyian. “Udah berapa lama kamu simpan rasa cemburu itu?” tanyanya pelan, namun nadanya menusuk seperti belati.Syila tersentak, tapi ia segera menyembunyikan kegelisahannya. Dengan pandangan koson
Sore yang sempat diselipi hawa ketegangan—perlahan mereda oleh obrolan-obrolan receh antara Rendi dan Syila. Keduanya masih duduk bersisian di trotoar persis sebelah rumah Rendi. Mereka bersamaan menghirup udara sore yang menenangkan di tengah lalu lalang kendaraan yang memadati jalan. “Jadi? Masih mau diam atau udah bersedia cerita?” anya Syila pelan, suaranya setenang mungkin, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.Rendi menggeleng, ia tak ingin membahas apa pun yang berkaitan dengan foto di jaket tadi. Syila pun mengangguk, mencoba memakluminya.“Udah semakin sore, kamu mau saya antar pulang?” tawar Rendi mengalihkan pembicaraan.Syila menerawang langit—sedang berpikir. Namun, belum selesai menimbang, sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya seketika tegang lagi. Terpancar raut kegugupan dan ketidaknyamanan di wajahnya.Tak salah lagi, Syila tak keliru mengenali mobil itu. Pengemudi mobil itu menurunkan kaca jendela mobil
Hari ini Syila membantu Lisa mengerjakan PR-PR bahasa Inggrisnya yang lumayan banyak. Ada dua puluh lima soal esai yang harus dikerjakan Lisa. Tapi itu tak jadi masalah baginya selama ada Syila yang menuntunnya mengartikan kata demi kata yang tidak ia mengerti. Syila juga amat santai memberikan tuntunan materi bahasa Inggris kepada gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Sesekali tugas terhenti karena Lisa harus mencari kosakata yang tidak ia ketahui lewat kamus. Selain itu, mereka juga mengisi pembelajaran dengan bercakap-cakap agar suasana tidak jenuh. Tiba-tiba ponsel Syila bergetar di sampingnya. Ia melirik sejenak—nama Arfan tertera di layar. Ia terpaku sesaat, jempolnya nyaris bergerak untuk menerima telepon tersebut. Namun, niatnya diurungkan. Ia hanya mengecilkan volume dering dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.“Maaf, Kak, aku masih perlu sedikit waktu,” batin Syila sebelum melanjutkan pembelajaran. Disela pembelajaran, Syila mengeluarkan buku hasil me
Menjelang sore hari, Syila duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya berkutat dengan ponselnya. Ia sedang mencari berita terbaru terkait tes CPNS yang pendaftarannya dibuka dua minggu lagi. Ia masih menyimpan harapan bisa berangkat ke Solo. Setelah bekerja di rumah Rendi selama satu minggu, ia merasa uang tabungannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya di Solo kelak. Terlebih Rendi membayar jasanya setiap pertemuan yang hanya berlangsung dua jam dengan harga seratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar. Ia pun sempat menolak digaji setinggi itu. Namun, Rendi paham dengan kebutuhan dirinya sehingga dia memberikannya upah sebesar itu. Dikalikan dengan lima hari, uang itu sudah cukup bagi ia bertahan hidup dua hari di Solo. "Pendaftaran dua minggu lagi dibuka. Kira-kira formasi apa aja yang bakal tersedia ya?" pikir Syila mengamati layar ponselnya. "Semoga aja ada formasi yang nggak jauh dari Cilacap," harap Syila. Saat tengah asyik bermain ponsel, Bu Sukma datang menghampiri Syila.
Malam penuh bintang kembali menyapa. Angin malam menyejukkan badan yang penat. Tubuh yang terasa lemah kini lebih bergairah tersebab menatap keramaian langit. Sekarang, Syila baru saja memasuki kamarnya. Ia menata kasurnya sebelum ia tiduri. Sesekali, ia mengembuskan napas panjang, membiarkan pikirannya berkelana bersama gemintang yang berserakan di langit.Saat berbenah kamar, matanya tak sengaja melihat jaket hijau milik Rendi yang tergantung di balik pintu. Jaket itu sudah lumayan lama ada di sana sejak terakhir ia mencucinya. Setelah beberapa waktu, jaket itu berhasil menarik perhatian dan ingatannya. Ia pun meraih jaket itu, mengelus permukaannya sejenak, lalu bergumam lirih, "Besok aku harus kembalikan jaket Mas Rendi. Sekalian sama sapu tangan yang dulu juga."Tangan Syila refleks merogoh saku kanan dan kiri jaket itu. Ia menemukan sebuah foto ukuran 6x8 cm yang sudah lusuh karena terlipat. Dengan alis mengernyit, ia membuka lipatannya dan menatap foto tersebut. Ada seorang an
Perjalanan menuju terminal sore ini cukup bersahabat. Suasana jalanan belum terlalu ramai oleh orang-orang pulang bekerja. Rendi pun menikmati momen bersama Alyaa dengan lebih santai. Keduanya terlibat obrolan yang menyenangkan dan berusaha menghindari topik yang mengundang kesedihan.Rendi baru saja menceritakan kronologi kakinya yang pincang. Ia menyelamatkan Syila dari kecelakaan yang hampir merenggut keselamatan gadis itu. Karena aksinya itu, kakinya terserempet sehingga pincang.Alyaa tertegun mendengar cerita tersebut. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya. Namun, ada perasaan lain yang mendadak timbul di benaknya. Hawa hangat tiba-tiba menjalar ke setiap anggota badannya kala mendengar nama Syila. Cerita Rendi menegaskan bahwa lelaki di sampingnya bertemu Syila Sabtu lalu. Alyaa masih sangat ingat, Syila mendadak pergi dari kedai. Sahabatnya bilang bahwa dirinya diminta pulang. Akan tetapi, hari ini ia mendengar fakta bahwa sahabatnya justru menemui Rendi di kantornya.“Jadi
Beberapa hari berlalu dengan suasana yang lebih baru. Hari ini cuaca cerah, langit membentang biru dengan awan tipis mengambang tenang. Namun, di balik keindahannya, ada nuansa sendu yang menggantung di hati Syila dan Marsya. Hari ini adalah hari keberangkatan Alyaa ke Jakarta, meninggalkan kota kecil tempat mereka bertiga tumbuh bersama.Di selasar rumah Alyaa, Syila dan Marsya duduk berdampingan, bersandar pada tiang kayu sambil menikmati semilir angin sore. Suasana sederhana, jauh dari hingar-bingar pesta perpisahan, namun penuh dengan kehangatan. Mereka berbagi cerita—tentang masa-masa kuliah dan hal-hal random yang pernah mereka lakukan, serta rencana masa depan yang tak mereka tahu apakah bisa dijalani bersama lagi.Sesekali tawa kecil mengiringi percakapan mereka, meskipun di sela-sela itu, ada kesadaran bahwa perpisahan semakin dekat. Syila menyodorkan sebuah bingkisan kecil ke arah Alyaa, matanya berbinar meski bibirnya sedikit gemetar menahan emosi."Kamu baik-baik di sana y
Usai mengantar Syila ke rumahnya, David segera kembali ke kantor. Tak lupa ia mampir ke kedai makan untuk membeli dua porsi ayam geprek—lengkap dengan es teh. Setibanya di halaman kantor, ia melangkah cepat ke ruang kerjanya. Di sana tersisa seorang karyawan yang tak lain ialah Rendi—sahabatnya yang sedang bermain ponsel. “Sepi banget kantor,” ujar David seraya melangkah ke kursi kerjanya. “Iya, masih pada di luar. Baru setengah satu juga,” jawab Rendi. Matanya menggelandang mengikuti gerakan sahabatnya.“Nih!” David meletakkan satu paket makan siangnya di meja Rendi. Sahabatnya itu pun mengulas senyum puas.“Thank you, Dav. Bagaimana? Syila udah sampai rumah?” tanya Rendi sambil menggeletakkan ponselnya di meja.David menggeleng. “Dia minta turun di pertigaan dekat rumahnya. Aku mau antar dia langsung ke rumah, eh, dianya menolak.” Ia menggedikan bahunya lalu duduk manis di kursinya.Rendi menghela napas lalu bergumam, “Kebiasaan.”“Padahal ya, kalau aku bisa tahu rumahnya, aku kan
Satu jam berlalu, tepat pukul 12.00 WIB. Kini Syila sedang duduk bersisian dengan David di mobil Mercedez merah milik Rendi. Ia menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan kaca dingin menyentuh pelipisnya. Sejujurnya, ia berharap bisa pulang sendiri menggunakan angkutan umum atau ojek online. Akan tetapi, ia tak bergairah menanggapi keras kepalanya Rendi. Lagipula baginya, lelaki itu ada benarnya juga. Ia hampir celaka oleh ulah mantan kekasih Rendi. Artinya, tidak menutup kemungkinan Shinta masih mengintainya dari kejauhan. Apalagi dengan kondisi Rendi yang justru menjadi korban paling parah. Tentu saja Shinta berpotensi kian geram dan semakin nekad.“Mas Rendi itu sebenarnya baik, cuma kadang menyebalkan aja,” batin Syila, matanya menerawang kejadian di unit kesehatan kantor tadi. Sekali lagi, Rendi berhasil menyentuh hatinya dengan caranya sendiri.Selama perjalanan, keheningan menghinggapi suasana di mobil. Hanya suara deru mesin dan decitan halus ban yang bersinggungan dengan asp
Sementara itu, di ruangan lain David mendapat kabar dari rekan satu divisinya bahwa Rendi mengalami kecelakaan. “Hah? Rendi kecelakaan?” David spontan berdiri, alisnya bertaut. Anggukan rekannya menyuarkan ketegangan di wajahnya.“Sekarang dia di mana?” tanya David.“Dia di ruang unit kesehatan kantor,” jawab rekannya.David mendesah pelan, gurat kecemasan terpancar jelas di mukanya. Ia pun berlomba dengan waktu menyelesaikan pekerjaannya. Setelah siap, ia bergegas menemui Rendi di unit kesehatan kantor. Setiba di sana, ia menepuk dahi. Ia merasa telah menyambangi sahabatnya di waktu yang salah. “Astaga, salah kamar!” celetuk David seraya menepuk dahi. Ia hampir menarik kakinya dari batas daun pintu. Akan tetapi, Rendi yang terlanjur menoleh ke arah pintu langsung memanggilnya.“Woi! Balik nggak?!” seru Rendi, menatapnya tajam. Sambil meringis, David pun masuk ke ruangan—menyebelahi Rendi. Rendi menyipitkan sebelah matanya dan menampilkan gurat sinis ke arah David. “Nggak ada ist