“Kak? Kak Hanif? Ck!” Syila berdecak kesal usai teleponnya diputus sepihak oleh kakaknya. Ia tak bisa menahan diri. Sikap kakaknya telah menambah kecamuk pikiran dan perasaannya. Pikirannya menerawang pada kondisi ayah, khawatir terjadi hal buruk pada beliau. Bergegas pulang adalah cara terbaik untuk meredakan kecemasannya.Syila hendak kembali ke meja perjamuan sebelum akhirnya sebuah insiden menghadang langkahnya.Bruk!Tubuh tegap dengan dada bidangnya mendadak menghalangi jalannya. Syila menabrak seseorang yang menjadi alasan ketidaknyamanannya. Rendi, lelaki itu baru saja keluar dari toilet dan tiba-tiba bertabrakan dengan Syila yang tengah berbalik badan. Gadis itu nyaris terhuyung jika saja lelaki itu tak sigap menarik tangannya.Lagi-lagi alam mendekatkan tubuh keduanya. Kedua tangan Syila menahan tubuhnya yang hampir menempel ke tubuh Rendi. Manik mata mereka saling beradu. Rendi menautkan kedua alisnya, sedangkan Syila melemparkan tatapan jengah ditambah wajah yang kusut.“I
Perjalanan di dalam mobil terasa sunyi. Tidak ada percakapan antara Alyaa, Syila, ataupun Rendi. Semua tampak kaku untuk memulai percakapan. Rendi fokus pada jalanan yang cukup ramai sore ini. Sedangkan, Syila yang duduk di belakang terus melamun. Ia masih belum bisa melupakan kejadian tadi. Baginya, pekan ini dirinya diterpa berbagai situasi yang sangat tak serasi. Bahkan hari ini pun banyak kejadian tak terduga yang mengguncang hatinya. Pagi tadi ia begitu terharu setelah namanya terdaftar sebagai salah satu wisudawan terbaik tahun ini. Kebahagiaannya bertambah ketika sahabat lelakinya menghadiahkannya kalung cantik. Hadiah yang menurutnya tak sekadar ungkapan selamat. Akan tetapi, semua binar cerianya berubah drastis di acara makan bersama siang ini. Ia harus menerima fakta bahwa Arfan telah begitu akrab dengan Marsya, sahabatnya sendiri. Pikirannya menerawang kemungkinan rasa cemburu yang telah memenuhi hatinya. Hingga ia seolah hilang respek pada Marsya, meski ia tak menunju
Sepanjang perjalanan dari rumah Alyaa, suasana di mobil benar-benar sangat sunyi. Rendi bingung harus memulai percakapan. Syila sedang tak baik-baik saja, itu yang diketahuinya. Namun, ia tak mau terkekang oleh situasi canggung ini. Akhirnya, Rendi memecah keheningan. “Boleh saya bicara jujur?” tanyanya dengan nada hati-hati.Syila melirik sekilas, kemudian menjawab dengan suara datar, “Apa lagi sekarang, Mas?” Jelas sekali, ia sedang tidak ingin diganggu.“Jadi, ada apa sebenarnya?” Rendi malah balik bertanya. Syila memandangnya dengan alis terangkat, sedikit heran. Bukankah tadi dia yang ingin mengatakan sesuatu? Kenapa malah berubah menjadi pertanyaan? Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan?“Saya serius, kamu lebih cantik hari ini,” ucap Rendi, memuji dengan nada lembut.“Apa sih, Mas? Nggak jelas banget!” ketus Syila karena merasa Rendi terdengar aneh.“Kenapa nggak dari dulu aja kamu berkerudung?” Rendi tak bisa berhenti melirik Syila sambil terus fokus berkendara.“Nggak usah
Langit sore di Cilacap memancarkan warna keemasan yang memudar, seiring suara riuh kendaraan di kejauhan yang terdengar samar di tepi taman kota. Di bangku kayu yang sedikit usang, Rendi dan Syila duduk bersebelahan, namun seolah ada jarak tak kasatmata yang memisahkan mereka. Daun-daun berguguran, sesekali terbawa angin kecil yang terasa lembut tetapi menggigit di kulit.Sunyi mengisi celah di antara mereka. Rendi sesekali memandangi taman yang dipenuhi keluarga, pasangan muda, dan anak-anak bermain. Namun, matanya terus melirik Syila di sudut pandangnya. Botol minum di tangan Syila—pemberian Rendi siang tadi—sudah kosong setengah. Gadis itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya menerawang jauh seakan mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan.Rendi menghela napas, memecah kesunyian. “Udah berapa lama kamu simpan rasa cemburu itu?” tanyanya pelan, namun nadanya menusuk seperti belati.Syila tersentak, tapi ia segera menyembunyikan kegelisahannya. Dengan pandangan koson
Langit sore samar-samar mulai menampakkan semburat jingganya. Jarum pendek jam menunjuk angka empat. Artinya, sudah satu jam Rendi dan Syila duduk bersampingan di taman kota. Satu jam pula mereka telah saling meluapkan emosi. Meskipun keduanya sempat bergelut dalam perdebatan menyesakkan. Kini mereka telah tenggelam dalam cerita masing-masing.Akan tetapi, situasi mencekam mendadak dirasakan oleh keduanya, terutama Rendi. Shinta, kekasih Rendi, muncul tanpa aba-aba di hadapan mereka. Sorot matanya mengandung badai—amarah yang tak mungkin disembunyikan.“Rendi!” gertaknya, suaranya memotong udara sore seperti pisau tajam.Rendi terlonjak. Ia berdiri spontan, seolah punggungnya ditarik oleh kawat tak terlihat. “Shinta?!”“Jadi, ini alasan kamu selalu menghindar dariku?” Shinta melontarkan tuduhan, nadanya dingin namun tajam.Syila, yang hingga detik itu hanya menjadi pendengar cerita Rendi, ikut bangkit dengan raut bingung. Tatapannya bergantian antara Shinta dan Rendi, seolah mencari
Di sore yang kian menampakkan sinar jingganya, Rendi masih berupaya menahan risih terus-menerus berada di sisi Shinta. Kekasihnya tak memberi ruang sekecil apa pun untuknya menjauh. Kepulan sesak telah memenuhi rongga dadanya—hampir meledak. Deru napas berangsur diembuskannya secara tak beraturan.Rendi tak tahu, apakah niat dalam hatinya dapat dibenarkan atau tidak? Akan tetapi, ia tak bisa menahan pertanyaan di benaknya lebih lama lagi. “Shin,” Rendi akhirnya memanggil, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Shinta menoleh cepat, matanya berbinar meski Rendi tak dapat menangkap ketulusannya. “Iya, sayang?” sahutnya lembut, namun sikap manjanya tak mampu menyembunyikan rasa ingin tahu.Rendi menggigit bibirnya sejenak, mencari keberanian untuk mengucapkan apa yang selama ini menyesakkan pikirannya. “Apa kamu benar-benar mencintai aku? Atau... kamu cuma ingin memuaskan ego kamu?”Shinta terdiam. Jemarinya perlahan melonggar dari lengan Rendi, seperti tersengat oleh pertanyaan
Sementara itu, Syila telah meninggalkan taman kota sejak lima belas menit yang lalu. Kini ia sudah berada di kompleks perumahannya dan baru saja menyelesaikan transaksi dengan ojek online. Saat motor ojol menjauh, ia menarik napas panjang, lalu mengusap wajah—memastikan tak ada jejak sembab di sekitar matanya. Di teras kecil rumahnya, Syila berhenti sejenak. Ia mengatur napas, mencoba menghapus segala jejak kekesalan dari wajahnya. Ia tidak ingin menimbulkan pertanyaan dari keluarganya. Setelah merasa cukup tenang, ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Assalamualaikum,” suaranya bergetar sedikit.“Waalaikumsalam, masuk, Sayang!” terdengar suara lembut ibunya dari dalam.Syila membuka pintu dengan hati-hati. Namun, begitu pintu terbuka lebar, langkahnya terhenti. Matanya membelalak, terkejut melihat meja tamu yang dihiasi tumpeng nasi kuning mungil dengan lauk-pauk tersusun rapi di sekitarnya. Lilin kecil menyala di tengahnya, menciptakan suasana hangat di ruang tamu."Happy gr
Keesokan harinya, mentari cerah menyelusup di antara sela-sela bingkai jendela kamar Rendi. Lelaki itu sedang merapikan selimut dan bantal tidurnya. Jam dinding kamarnya baru menunjukkan pukul 05.45 WIB. Akan tetapi, ia sudah wangi dengan kaos hitam polos dan celana warna senada melekat di tubuhnya. Rambut yang tersisir rapi menambah kesan tampannya.Slerk!Rendi menyingkap gorden jendela kamar dan mempersilakan cahaya mentari menerangi kamarnya. Tak lupa ia juga membuka jendela agar udara pagi yang menyegarkan menyelinap ke kamarnya.“Hufftt… pagi yang indah,” gumam Rendi sambil menghirup udara dingin yang masih beraroma embun.“Joging pagi enak kali, ya?” pikirnya seraya merentangkan tangan di sisi jendela.Ia mengecek ponsel yang sudah digenggam sejak tadi. Pandangannya tertuju pada salah satu kontak yang semalam dihubunginya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik pesan, [“Selamat pagi.”] Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul.[“Dih!”]Rendi terkekeh pelan membaca respons itu. Ia kem
Pukul 19.45, Arfan masih belum juga muncul di halaman rumah Rendi. Situasi kian mengguncang kesabaran Syila. Baru saja ia melakukan dua panggilan. Namun, benar-benar tak ada jawaban. Sedikit pesan pun tak diterima dari sahabatnya.Mata Syila mulai panas menahan emosi. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pandangannya beralih ke jalan depan rumah Rendi, berharap menemukan siluet Avanza yang dikenalnya. Angin malam berembus menusuk kulit, membawa aroma petrikor yang samar tercium. Jemarinya meremas kuat rok panjangnya, menyalurkan kekesalan yang kian memuncak.“Masih belum datang, Syil?”Suara Rendi membuat Syila menoleh. Lelaki itu baru saja keluar dari rumah setelah memastikan adiknya sudah makan malam. Syila hanya menggeleng pelan, tanda pasrah.Tanpa banyak kata, Rendi menyodorkan sebuah jaket berwarna army kepadanya. "Kamu nggak mau saya antar pulang aja?" tawarnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Syila menatap jaket itu sekilas, lalu mengabaikannya begitu saja
Adzan Maghrib telah berkumandang sejak lima belas menit yang lalu. Gerombolan burung telah terbang kembali ke sarang. Binatang-binatang malam mulai memamerkan suaranya, menyongsong terbitnya bulan. Langit malam ini tampak cerah, walaupun embusan dingin menusuk kulit.Syila masih duduk tenang di ruang tamu rumah Rendi sambil memainkan ponselnya. Baris teratas dari kolom pesannya menunjukkan nama “Kak Arfan || SMP.” Ia baru saja mengabari sahabatnya bahwa pelajaran telah selesai, ia siap dijemput. Balasan pesannya juga memperlihatkan kalau Arfan sudah sedang meluncur ke lokasi.Tak berselang lama, Rendi muncul dari kamarnya. Dia baru selesai melaksanakan shalat Maghrib.Sambil terus berjalan, Rendi menegur, “Arfan udah di jalan?”Syila berdiri—menyambut, “Udah.”Rendi mengangguk. Dia menawarkan agar Syila tetap menunggu penjemputnya di ruang tamu. Akan tetapi, Syila tak berkenan dan lebih nyaman menunggu di bangku teras. “Lagipula, kalau di sana kan saya bisa langsung tahu kalau Kak Ar
Hari mulai menuju senja. Semburat jingga telah melambaikan sinarnya, mengisyaratkan malam segera berlayar. Saat ini, Syila sudah menyelesaikan tugasnya untuk mengajar Lisa. Ia senang bisa mentransfer pengetahuan yang dipelajarinya selama kuliah kepada orang lain. Apalagi Lisa sebenarnya anak yang cerdas. Dia mudah belajar hal-hal baru. Gadis kecil itu hanya kurang pendampingan dari orang-orang di sekitarnya.“Terima kasih ya, Kak. Kak Syila baiiiiikkk banget. Aku suka sama Kakak,” seru Lisa, matanya berbinar saat memeluk erat buku-bukunya.Syila tersenyum, meraih kepala Lisa dan mengusapnya lembut. “Sama-sama. Kakak juga suka. Semangat terus, ya!” pesannya."Kalau begitu Lisa ke kamar dulu ya. Daaah!" Lisa berlari ke kamarnya membawa buku pelajarannya tadi. Syila tersenyum melihat kepergian gadis kecil itu, lalu merapikan beberapa buku di meja. Syila melepas napas ringan, lalu menoleh ke arah Rendi yang duduk di sofa seberang. Sejak tadi, lelaki itu ikut menemani mereka belajar, ses
Pikiran Syila masih berputar perihal menerka gelagat tak biasa dari sahabat laki-lakinya. Bahkan setelah panggilan berakhir pun, logikanya tak dapat menemukan jawaban atas keheranannya. Oleh karena itu, ia memutuskan tak mengambil pusing percakapan tersebut dan fokus pada agendanya saat ini. Namun, alangkah terkejutnya saat dia berbalik badan, Rendi sudah berada di belakangnya."Arfan cemburu ya kamu ke sini?" tanya Rendi dengan ekspresi yang dingin.“Mas Rendi?!” Mata Syila membulat. “Dari tadi menguping?” tuduhnya kesal."Hmm... mungkin," jawab Rendi santai.Syila mendengus pelan, ekspresinya semakin muram."Udah, saya nggak bakal tanya macam-macam. Ayo masuk!" ajak Rendi, setengah menyeret langkahnya.Syila akhirnya menurut.Begitu masuk, Rendi kembali memperkenalkan Syila kepada Lisa. Ia menjelaskan bahwa mulai sekarang, Syila akan menggantikan Alyaa sebagai guru privat Lisa. Alyaa mengangguk membenarkan.Lisa tampak senang. Setidaknya, ia masih bisa belajar di rumah dengan seseor
Waktu seolah bergulir tanpa henti. Siang yang terik menggantikan sejuknya pagi, lalu berangsur meredup menuju sore. Jalanan disesaki kendaraan pribadi yang bergegas pulang dari kantor, sedangkan angkutan umum berdesakan dengan para penumpang yang ingin segera sampai ke tujuan. Hiruk-pikuk kota seolah menjadi irama rutin yang menemani kepulangan banyak orang.Di dalam sebuah taksi yang melaju perlahan di antara padatnya lalu lintas, Syila duduk berdampingan dengan Alyaa. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Rendi, menyelesaikan sebuah urusan yang tak bisa ditunda. Suasana dalam taksi terasa nyaman meski laju kendaraan sesekali tersendat akibat kepadatan jalanan. Untuk mengusir kejenuhan, mereka mulai bercakap-cakap."Aku masih heran, kamu bisa berubah pikiran dan akhirnya terima tawaran aku," ujar Alyaa tiba-tiba, memecah keheningan.Syila menoleh, menatap sahabatnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Aku juga nggak menyangka akan setuju. Tapi ada satu hal yang bikin aku akhirnya
Keesokan harinya, matahari tak malu-malu menampakkan sinar kuningnya di pagi hari. Gerombolan awan menghiasi langit, melukiskan suasana pagi yang lebih sejuk. Kicauan burung bersahutan, menambah syahdu pesona pagi yang perlahan menggeliat dari kantuknya.Di tengah pagi yang cerah itu, Rendi baru saja mengantarkan adiknya ke sekolah. Ia berdiri di sisi kanan gerbang, mengawasi Lisa yang bersiap memasuki area sekolah."Sekolah yang benar! Dengarkan kata Bu Guru," pesan Rendi lembut, memastikan adiknya benar-benar siap menjalani hari."Iya, Kak. Nanti Kakak nggak usah jemput Lisa. Biar Bi Sumi aja yang ke sini. Kakak fokus kerja aja ya," balas Lisa. Ia menyambar lembut tas gendong yang sejak tadi ditenteng kakaknya.Awalnya Rendi tampak ragu. Lisa jarang sekali berkata seperti itu. Namun, tatapan mata bulat adiknya yang penuh keyakinan membuatnya luluh. Dengan senyum tipis, ia akhirnya mengangguk.Lisa pun mencium punggung tangan kakaknya dengan penuh hormat. Sebelum berbaur dengan gerom
Arfan terus mengikuti langkah Syila menuju tempat mobilnya terparkir. Dia tak hanya menemani, tetapi juga memastikan sahabatnya sampai di sisi pintu dengan aman. Sesampainya di sana, dia menyerahkan tas selempang kecil milik Syila.“Terima kasih ya, Kak,” ucap Syila seraya menerima tasnya.“Ayo pulang!” titah Arfan singkat. Ekspresinya dingin, tetapi menyimpan kesan protektif yang hanya bisa diterka oleh Syila.Saat Arfan hendak membuka pintu untuknya, Syila buru-buru menahan gerakan tangannya. “Aku bisa buka sendiri, Kak,” tegur Syila dengan ramah.Arfan tidak memberi jawaban—hanya mengangguk singkat sebelum berbalik menuju sisi kemudinya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat Syila merogoh tas dan mengambil ponselnya. Seketika, gadis itu tersenyum kecil saat membaca pesan di layar.Arfan menyipitkan mata, rasa penasaran berkelebat dalam benaknya. Siapa yang mengirimi Syila pesan sampai membuatnya tersenyum seperti itu?Sementara itu, Syila masih terpaku pada layar ponselnya. Sen
Kini Rendi dan Syila sudah duduk bersisian di bangku taman rumah sakit. Bangku yang baru saja ditempati Syila beberapa saat lalu. Saat ini Rendi duduk di sebelahnya, dengan pandangan kosong yang tak beranjak dari lorong lobi rumah sakit. Ia terlihat gelisah, jemarinya terus mengusap-usap telapak tangannya sendiri, seolah mencari ketenangan dari kegelisahan yang tak terlihat.Syila meliriknya sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu ada yang ingin disampaikan Rendi, tapi lelaki itu tampaknya masih ragu untuk memulai. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi meskipun di kejauhan terdengar sesekali suara langkah orang-orang yang berlalu lalang di lobi.“Saya nggak tahu, Syil,” akhirnya Rendi membuka suara, pelan dan berat. “Apakah langkah saya hari ini sudah bijak atau justru ceroboh.”Syila tak segera menanggapi. Ia memilih diam, membiarkan Rendi mengutarakan apa yang mengganjal di pikirannya tanpa tergesa-gesa.“Saya bertengkar hebat dengan pacar saya siang tadi,” lanjut Rendi, masih d
“Non Shinta kecelakaan.” Suara itu masih menggema di telinga Rendi yang baru saja tiba di teras rumahnya. Kabar itu seolah petasan yang memekakkan telinganya. “Shinta celaka? Hah?” Rendi masih terperangah, tak percaya. Sore ini ia baru saja melepas kepergiannya dengan hati yang dipenuhi amarah, dan kini mendengar kabar bahwa Shinta kecelakaan—sesingkat itu? Sekujur tubuhnya mendadak memanas. Bi Sumi berdiri di hadapannya, wajahnya cemas. “Dia ada di Rumah Sakit Azzahro. Keluarganya bilang, Non Shinta sakit gara-gara Nak Rendi.” Guncangan menghantam dada Rendi, membuatnya terdiam sesaat. "Gara-gara Rendi? Kok bisa?" tanyanya, masih kebingungan. Tangannya otomatis mulai melepas kancing lengan kemeja panjangnya. Bi Sumi menggeleng, matanya tak lepas dari wajah Rendi yang mulai tampak tertekan. “Bibi juga nggak tahu pasti. Mungkin Nak Rendi lebih baik ke rumah sakit sekarang.” Rendi menatap Bi Sumi dengan tajam, berusaha menenangkan dirinya yang bergejolak. Tanpa berkata banyak, ia