Marsya bangun dari atas tempat tidur, dipungutinya pakaian yang berserakan di lantai, kemudian ia pakai. ‘Saya harus bisa meyakinkan Raffa, kalau bayi yang sedang kukandung adalah anaknya. Hidupku akan menjadi nyaman, dengan menikahi Raffa,’ gumam Marsya.
Marsya wanita muda yang baru berusia 22 tahun berasal dari keluarga sederhana. Ia beruntung mendapatkan sahabat sebaik Natsya yang tidak memandang harta dalam berteman. Namun, jauh di dalam hati Marsya merasa iri, karena kekayaan dan kekasih yang dimiliki oleh sahabatnya, Natasya.
Selesai berpakaian Marsya mengeluarkan tempat bedak dari dalam tas. Dibubuhkannya bedak tipis di wajah cantiknya, kemudian ia menggunakan lipstick berwarna merah di bibirnya.
Dengan langkah anggun gaya berjalan yang ditiru Marsya dari Natasya. Ia pun keluar dari kamar hotel tersebut menuju bagian depan hotel.
Sesampainya di depan sudah ada taksi online menunggunya. Marsya langsung masuk dan duduk dengan nyaman. ‘Satu minggu lagi, diriku akan melakukan tes dan memberitahukan hasilnya kepada Raffa,’ batin Marsya.
Senyum culas terbit di bibirnya ia menghilangkan perasaan bersalah kepada sahabatnya, karena ia bosan hidup dalam kemiskinan dan belas kasih Natasya, yang selalu bersedia memberikan bantuan kepadanya dalam hal materi.
Dengan bantuan Natsya jugalah ia diterima bekerja di perusahaan tunangan sahabatnya itu. Dari situlah bermula rasa iri dan suka Marsya kepada Raffa. Pria itu sama baiknya, seperti Natasya dan yang terutama lagi pria itu memiliki uang yang banyak.
“Nona, sudah sampai!” tegur sopir taksi membuyarkan Marsya dari lamunannya.
Marsya dengan cepat membuka pintu mobil, lalu turun. Setelah membayar ongkos taksi ia berjalan menuju rumah sederhana, dengan warna cat yang mulai pudar.
‘Semoga saja Bapak tidak marah-marah lagi,’ gumam Marsya. Ia memutar kenop pintu yang tidak terkunci. Begitu pintu sudah terbuka ia pun melangkah masuk, dengan perasaan heran, karena tidak biasanya rumah begitu lengang.
Marsya berjalan cepat menuju kamarnya, yang terletak di dekat dapur. Namun, baru saja tangannya hendak memutar kenop pintu terdengar suara yang ditakuti Marsya.
“Dari mana saja kamu dan kenapa baru pulang sekarang? Kamu semakin liar saja tidak mau mendengarkan nasihat orang tua dan sekarang kamu semakin berani pulang, dengan bau alkohol yang menyengat,” tegur Bapak Marsya galak.
Marsya membalikkan badan dan tatapannya bertemu dengan mata Bapaknya yang menyala, karena marah. “Maaf, Pak! Marsya janji ini yang terakhir pulang ke rumah terlambat. Marsya juga janji tidak akan minum-minum lagi.” Marsya, kemudian menundukkan kepala, karena ia tidak berani menatap mata Bapaknya lama-lama.
Terdengar suara tarikan napas berat dari Bapak Marsya. “Bapak menegurmu, karena kamu putri Bapak satu-satunya dan Bapak tidak mau kamu terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik.”
Marsya menganggukkan kepala, ia lalu pamit kepada Bapaknya untuk masuk kamar, karena ia harus segera berangkat ke kantor.
Masuk dalam kamarnya Marsya langsung menuju kamar mandi. Di bawah air pancuran Marsya membersihkan badan. Selesai mandi dimatikannya air keran, kemudian ia berjalan keluar kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang ia belitkan di dadanya.
Diambilnya kemeja berwarna biru muda, yang ia padankan dengan rok di atas lutut. Selesai berpakaian Marsya berjalan keluar kamar. Ia akan berangkat kerja, walaupun tahu dirinya sudah terlambat satu jam.
Dengan menaiki motor matic miliknya Marsya menuju kantor tempatnya bekerja, yang terletak di pusat kota. Jalanan yang macet membuat Marsya tidak dapat sampai di kantor dengan cepat.
Sesampainya di perusahaan Raffa’s company Marsya langsung masuk ke ruangan di mana ia bekerja, sebagai salah seorang staf pemasaran. Baru saja ia duduk di kursi kerjanya terdengar suara bernada menyindir.
“Enak ya, kalau kerja di perusahaan teman bisa datang seenaknya dan tidak takut untuk dipecat” sindir salah seorang rekan kerja Marsya.
Marsya hanya memberikan pelototan kepada temannya. ‘Lihat saja nanti, kalau diriku menjadi istri dari Raffael akan saya pecat dia,’ batin Marsya.
Merasa diabaikan oleh Marsya, temannya itu pun berhenti sendiri menyindir Marsya. Sementara Marsya sudah sibuk dengan pekerjaanny.
***
Sesampai di apartemen mewahnya, Raffael berjalan masuk kamar. Dipukulnya dinding kamar, dengan perasaan bersalah. Ia, kemudian duduk di atas ranjang dengan penutup berwarna hitam. Disisirnya rambut menggunakan jari-jarinya, sehingga menjadi berantakkan.
“Kenapa saya menjadi bodoh begini? Argh, sial!” umpat Raffael.
Raffael membaringkan badan di atas ranjang, dengan berbantalkan kedua lengannya. Uang! Marsya pasti bersedia menggugurkan kehamilannya, kalau ia memberikan uang yang banyak. Wanita itu harus mau, karena dirinya tidak mau menikahi wanita itu. Ia hanya mencintai Natasya.
Dengan raut wajah dingin Raffael bangun dari berbaringnya. Ia keluar kamar berjalan menuju dapur. Dibukanya pintu kulkas, ia mengambil satu kaleng minuman beralkohol dan langsung menenggak isinya sampai tandas.
Dilemparnya kaleng kosong bekas minum ke dinding dengan keras, kemudian jatuh ke lantai menimbulkan bunyi nyaring.
Raffael berjalan keluar dapur ia kembali masuk kamarnya. Namun, bukan untuk tidur. Ia menuju kamar mandi, lalu menyalakan pancuran dengan suhu air dingin. Ia, kemudian berdiri di bawah pancuran tersebut dan membiarkan badannya diguyur air dingin.
Selesai mandi Raffael mematikan pancuran. Diambilnya handuk bersih yang berada di gantungan, kemudian ia belitkan di pinggangnya.
Raffael keluar kamar mandi, dengan air yang masih menetes dari rambutnya. Ia duduk di pinggir ranjang, lalu diambilnya ponsel yang tergeletak di atas ranjang.
‘Halo, siapkan mobil! 10 menit lagi saya sudah turun,’ perintah Raffael kepada sopirnya, melalui sambungan telepon.
‘Baik, Tuan!’ sahut sopir Raffael.
Di tutupnya sambungan telepon, ia kemudian melempar ponselnya ke atas ranjang. Bangun dari duduknya, Raffael berjalan menuju walking closet diambilnya kemeja warna putih celana bahan berwarna hitam. Selesai berpakaian Raffael keluar dari apartemennya.
Dalam waktu beberapa menit Raffael sudah sampai di perusahaan miliknya, yang bergerak di bidang property.
“Pagi, Pak!” sapa salah seorang pekerja Raffael.
Raffael terus berjalan dengan langkahnya yang gagah dan wajah dingin. Ia tidak menghiraukan sapaan dari pegawainya.
Pada saat melewati meja kerja sekretarisnya Raffael berhenti sebentar. Membuat sekretarisnya yang serius dengan pekerjaan menjadi terkejut, karena tidak menyadari kehadiran Raffael.
“Batalkan semua janji saya pada hari ini! Dan jangan ada satu orang pun masuk ruangan saya, saya tidak menerima tamu,” perintah Raffael kepada sekretarisnya.
“Baik, Tuan.” Sekretaris Raffael langsung membuka catatan jadwal Raffael. Dalam hatinya ia merasa kesal, karena sekarang dirinya harus dibuat susah mengatur ulang jadwal bosnya itu.
Raffael duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Dilihatnya ada banyak pesan dan panggilan telepon dari tunangannya, yang tidak ia angkat. Ia memang sengaja melakukannya.
Ditaruhnya ponsel itu di atas meja untuk sementara ia akan mengabaikan semua pesan dan panggilan telepon dari tunangannya, sebelum ia mendapatkan kepastian kehamilan Marsya.
***
Dua minggu berlalu semenjak dirinya bangun di kamar hotel yang sama dengan Raffael, Marsya memasukkan hasil tes kehamilan ke tasnya. Dengan bersemangat ia berangkat ke kantor, tetapi bukan untuk bekerja.
Dikendarainya motor maticnya dengan kecepatan tinggi, karena ia sudah tidak sabar untuk melihat reaksi Raffael.
Sesampainya di perusahaan ia berjalan menuju ruang kerja Raffael. Diketuknya pintu ruang kerja Raffael, setelah dipersilakan ia pun masuk.
“Raffa, saya datang membawa hasil tes, seperti apa yang kamu minta. Kamu harus bertanggung jawab dengan menikahiku!” ucap Marsya langsung saja.
Raffael tertegun diambilnya alat tes kehamilan, yang diikuti oleh surat keterang dokter. Raffael menatap kertas yang ada di tangannya, tanpa ekspresi.
“Saya tahu, kalau kamu tidak akan percaya hanya satu tes kehamilan saja, oleh karena itu saya juga ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kehamilan,” terang Marsya.
“Gugurkan! Berapapun uang yang kamu minta akan saya berikan! Saya tidak ingin menikahimu,” ucap Raffael dengan dingin.
“Raffael! Kamu tidak bisa menghamili seorang wanita, kemudian tidak mau bertanggung jawab,” tegur suara feminim yang familiar di telinga Raffael.
“Ibu! Mengapa Ibu tidak mengetuk pintu dahulu, sebelum masuk?” Tanya Raffael dengan nada gusar.Wanita yang dipanggil Ibu oleh Raffael berjalan menuju meja kerja putranya. Ia terlihat terkejut, ketika melihat siapa wanita yang mengaku hamil kepada Raffael. “Bukankah kamu sahabat dari tunangan putraku?” Tanyanya kepada Marsya, dengan kening dikerutkan.Marsya menelan ludah dengan sukar, karena mendadak tenggorokannya terasa kering. Ia tidak mengharapkan akan bertemu dengan Ibu dari Raffael.“Iya, saya memang sahabat dari Natasya,” sahut Marsya.Ibu Raffael mengambil catatan kehamilan yang ada di atas meja. Ia, kemudian melihat ke arah Raffael dan Marsya secara bergantian. Dengan suara yang tegas ia meminta kepada Raffael untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Raffael memejamkan mata, ia tidak suka, kalau Ibunya ikut campur dalam urusan pribadinya. “Saya tidak sengaja tidur dengan Marsya dan sekarang ia hamil.” Raffael bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju jendela kaca di r
Raffael terdiam, ia sama sekali melupakan tentang orang tua Natasya. Dan pertanyaan dari Ayahnya membuat ia tertegun. “Saya belum memikirkannya.”Ayah Raffael menarik napas mendengar jawaban dari putranya itu. “Kau harus memberitahukannya, mereka berhak untuk mengetahui hal itu.”Setelah mengatakan hal itu Ayah Raffael keluar dari ruang kerja putranya. Ia membiarkan Raffael merenungkan apa yang dikatakan olehnya tadi.Begitu pintu sudah di tutup dan Raffael kembali sendiri di ruangannya. Ia duduk dengan punggung bersandar pada sandaran kursi, sambil memejamkan mata.Niatnya untuk makan siang sudah terlupakan, karena perutnya tidak lagi merasa lapar, setelah kunjungan dari Ayahnya.Dirinya tidak mungkin mengatakan rencana pernikahannya, melalui telepon kepada orang tua Natasya, tetapi ia juga tidak tega mengatakan hal itu kepada orang tua Natasya.‘Biarkan mereka mengetahuinya, melalui orang lain dan membenci diriku, karena saya tidak dapat melakukannya langsung,’ gumam Raffael.Raffae
Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dala
Sontak saja kedua pegawai yang sedang menggosip itu membalikan badan melihat kepada Marsya. Dan mereka dapat mengenalinya, karena Raffael pernah beberapa kali membawa Natasya datang ke kantor itu. “Memangnya, Ibu tidak mendapatkan undangan?” Tanya salah seorang dari pegawai itu dengan senyum mengejek di bibirnya.Mereka mengamati wajah Natasya yang terlihat pucat, tetapi keduanya tidak peduli. Ada rasa senang di hati pegawai itu berhasil membuat wanita yang selama ini mereka irikan. Keduanya memang diam-diam juga mennyukai Raffael.Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya mendadak terasa kering. Dibasahinya bibir sebelum menjawab pertanyaa dari pegawai wanita yang dulu menghormatinya. Namun, sekarang mereka memandang remeh dirinya.“Saya hanya ingin mengetahui tempat resepsi itu diadakan kalau kalian tidak bersedia mengatakannya saya bisa bisa bertanya kepada orang lain.” Natasya membalikan badan, ia tidak akan berlama-lama berhadapan dengan kedua wanita yang sudah berlaku ti
dikatakan oleh Natasya bertolak belakang dengan penjelasannya tadi siang. “Sayang, bukannya tadi siang kamu sudah bertemu dengan Raffa?”Natasya melihat ke arah maminya dengan tatapan sendu. Ia memberikan senyum terpaksa kepada wanita yang telah melahirkannya itu. “Aku tidak memberitahukan kedatanganku malam ini kepadanya. Untuk memberikan kejutan spesial.”Walaupun merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Natasya, ia tidak mau memperpanjang lagi menuntut penjelasan. Akan ada waktunya Natasya bercerita.Setelah berpamitan Natasya berjalan keluar rumah dan masuk taksi yang telah menunggunya. Setelah duduk ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Ia menggenggam kedua tangan di atas pangkuan sambil memejamkan mata.‘Aku harus kuat dan siap menghadapi mereka berdua,’ tekad Natasya dalam hati.Tak berselang lama taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah hotel berbintang yang Natasya kenali sebagai salah satu hotel milik Raffael.Setelah membayar ongkos ta
Marsya yang berdiri di samping Raffael menjadi cemburu dan marah. Ia menganggap Raffael dan Natasya mengabaikan kehadirannya. Ia melingkarkan lengan dengan sikap posesif pada perut Raffael. “Sayang! Kalian berdua menarik perhatian tamu undangan yang hadir.”Ia mengalihkan tatapan ke arah Natasya dengan sorot kebencian dan bibir yang dipoles merah menyala itu memerikan senyum mengejek.“Kami sudah menikah, Ca! Jangan kau rebut suamiku pergilah sebelum kau diusir keluar oleh petugas keamanan yang hanya akan membuatmu menjadi malu saja,” desis Marsya.Natasya mengusap air matanya dengan punggung tangan, ia membalas tatapan mata sahabatnya itu dengan tenang. Tidak ada sorot kebencian di matanya, walaupun ia sudah disakiti.“Sepertinya karena kau menikah hasil merebut, maka kau menjadi takut hal yang sama akan terjadi padamu. Ambillah, Raffa untukmu karena ia bukan lelaki yang tepat untukku. Kalian pasangan yang serasi sama-sama pengkhianat,” ucap Natasya.Tangan Marsya terangkat hendak me
“Mam,Bangunlah!” panggil papi Anastasya berulang kali. Namun, istrinya tidak juga bergerak.Dengan ketenangan yang hampir habis karena mengkhawatirikan keadaan wanita yang dicintainya. Papi Natasya mengambil ponsel dari atas meja lalu dihubunginya nomor darurat meminra segera dikirimkan ambulans.Diletakannya kembali ponsel di atas meja ia kemudian berlutut kembali di samping istrinya. Diciumnya pipi wanita yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu. “Bangun, Mam! Kamu harus tetap hidup menemani dan menguatkan Ica melalui cobaan dalam hidupnya.” Bisik Papi Natasya.Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari wanita itu, ia tetap terlihat tenang dalam tidurnya. Papi Natasya memeluk tubuh kaku istrinya dengan air mata yang turun membasahi wajahnya.Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans mendekat kemudian berhenti tepat di depan rumah. Papi Natasya beranjak dari tempatnya. Dibukakannya pintu untuk petugas medis yang datang lalu ia persilakan masuk.“Tolong, selamatkan nyawa istri sa
Raffael tertegun mendengar penuturan Marsya, ia masih belum percaya kalau bayi yang dikandung wanita itu adalah anaknya. “Kalau janin yang kau kandung memang anakku, aku akan memikirkannya lagi tentang sikapku kepadamu.”Raffael mengalihkan pandangannya kembali ke depan, tetapi ia tidak memasang wajah sedingin tadi. Dirinya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan sendiri.Rasa lega menghinggapi dada Raffael ketika pada akhirnya pesta itu berakhir juga dengan satu demi satu tamu undangan meninggalkan tempat. Ia berjalan cepat keluar dari ballroom meninggalkan Marsya jauh tertinggal di belakangnya.Dikeluarkannya kunci dalam bentuk kartu untuk membuka honeymoon suite. Ia masuk kamar dan langsung melepas jas yang dipakainya untuk ia lemparkan begitu saja ke lantai. Dibukanya kulkas mini lalu ia ambil bir kaleng.Ditenggaknya isi dari bir kaleng itu sampai tandas setelahnya ia lemparkan ke dinding kamar. Hal itu ia lakukan untuk melampiaskan kemarahan dan kecewanya.Terdengar suara p
Tidak mau terjadi keributan Natasya bangkit dari duduknya. “Maaf, saya akan makan di dapur.”Dengan anggukan kepala ia berjalan keluar dari ruang makan. Saat melewatii Raffael dan kekasihnya, ia mengangkat kepala. Menatap pasangan itu dengan raut datar. “Akhirnya kau sadar diri juga! Semoga kau tidak berpura-pura amnesia dan kembali makan di ruangan ini,” sindir Ades.Natasya menghentikan langkah, ia menatap wanita itu dengan tajam. “Saya memang pengasuh di rumah ini. Sementara Anda adalah kekasih pemilik rumah ini. Akan tetapi, apakah kau yakin Raffael akan menikahimu? Karena kudengar ia pernah bertunangan lama, tetapi ia justru menikahi sahabat tunangannya.”Raffael menggeram marah. ia memberikan pelototan pada Natasya. Dicekalnya lengan wanita itu setengah menyeret ia membawa wanita itu keluar. Didorongnya dengan kasar, hingga punggung Natasya menempel pada dinding.Tangan Raffael berpindah memegang dagu Natasya dengan kasar. Sampai kuku-kuku jarinya terasa menusuk daging, tetapi
“Kau pengecut! Selalu memilih untuk pergi.” Raffael menatap tajam punggung Natasya.Langkah Natasya terhenti, tetapi ia tidak membalikkan badan untuk melihat Raffael. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Tuan! Anda sudah mengatakannya dengan begitu jelas.”Dilanjutkannya kembali berjalan memasuki rumah. Sesampai di depan pintu kamar Tiara, ia membukanya pelan. Diliatnya kalau gadis cilik itu tidur dengan nyenyaknya.‘Akh, sebaiknya aku pergi keluar saja untuk mencari makan,’ batin Natasya.Ditutupnya kembali pintu kamar Tiara dan berjalan memasuki kamarnya sendiri. Diambilnya tas tangan berisikan dompet, serta ponsel. Setelahnya, ia keluar kamar menuruni tangga. Di bawah anak tangga ia berpapasan dengan Raffael yang akan naik. Sambil menundukkan kepala ia berjalan melewati pria itu.Tiba-tiba saja lengannya ditarik dengan kasar, hingga ia membentur dada Raffael. Suara kesiap karena terkejut lolos dari bibirnya.“Mau pergi kemana kau?” desis Raffael dengan suara tertahan.“Maaf, Tu
Nadi Natasya berdenyut cepat, ia menundukkan kepala tidak sanggup menatap mata Raffael. Agar pria itu tidak melihat kalau kata-katanya kembali melukai Natasya. “Terima kasih, untuk kesekian kali diingatkan. Maaf, saya yang sudah besar kepala.”Natasya berenang mengabaikan Raffael, ia berenang menuju Tiara yang berada dalam pelampungnya. “Apakah kamu mau turun dari tempatmu itu bermain air dengan Nanny?”Senyum cerah terbit di wajah Tiara, ia tidak mengetahui kalau nannynya sedang sedih. Gadis cilik itu merentangkan kedua tangan meminta diangkat dari pelampungnya.Dengan sigap Natasya melakukannya. Ia sengaja membawa Tiara berenang ke bagian yang terjauh dari Raffael. Suara tawa senang gadis cilik itu mampu menghibur Natasya membuatnya melupakan sejenak kata-kata kasar dari majikannya.“Apakah kau sudah lelah berenang? Kita naik ke atas ya karena hari sudah mulai gelap.” Ajak Natasya kepada Tiara.Anggukkan kepala Tiara berikan kepada Natasya. Selain sudah lelah, ia juga merasa mengant
Raffael terdiam, rahangnya mengetat dengan kedua tangan mengepal di samping tubuh. “Mengapa kau berpikir aku masih mencintai Natasya dan berhubungan kembali dengannya? Hubungan kami sudah lama usai. Kalau kau meragukan diriku silakan pergi dari hubungan ini.”Ades tidak puas dengan jawaban dari Raffal, tetapi rasa takutnya diputuskan pria itu jauh lebih besar. Ia harus mengalah kepada kekasihnya itu. Namun, tidak dengan Natasya. Akan diberikannya peringatan keras.“Maaf, Raff! Aku tidak bermaksud untuk meragukanmu. Hanya saja kehadiran wanita itu di rumah ini membuatku cemburu.” Ades memeluk Raffael erat. Untuk menunjukkan kalau dirinya takut kehilangan pria itu.Perlahan Raffael melepaskan pelukan Ades, ia hanya memberikan anggukan kemudian berjalan meninggalkan wanita itu seorang diri saja. Ades memandangi punggung Raffael sampai pria itu menghilang dari pandangan. Tampangnya terlihat cemberut saat ia dengan terpaksa keluar dari rumah itu. Ia harus bisa meyakinkan dirinya sendiri
“Apakah Nanny tahu siapa Om, itu?” Tanya Tiara dengan mata besarnya menatap penuh harap.Natasya mengalihkan tatapannya kepada Raffael. Ia ingin tahu apakah pria itu akan berkata jujur kepada anak kecil yang berdiri di antara mereka berdua.Raffael menegakkan badan dengan suara dingin, ia berkata, “Nannymu akan mengatakannya kalau ia berani.”Dengan suara pelan yang hanya bisa didengar Raffael, Natasya berkata, “Kenapa kau menjadi pengecut, Raff? Mengakui kalau gadis kecil ini adalah putrimu begitu berat.”Posisi Natasya yang berdiri begitu dekat saat berbicara, hingga dari posisi Ades berdiri. Terlihat seolah keduanya sedang berciuman. Dan hal itu jelas memancing rasa cemburunya.“Apa yang kalian berdua lakukan? Tidakkah kalian menghargai diriku dan juga ada anak kecil yang bisa melihat! Dasar pengasuh tidak tahu malu! Aku tahu kalau kau berusaha untuk menaikkan derajatmu menjadi Nyonya di rumah ini!” bentak Ades emosi.Sontak saja Natasya menjadi terkejut, ia langsung menjauhkan bad
“Hahaha! Kau sungguh menggelikan sekali. Mana mungkin kekasihku akan cemburu kepada pengasuh sepertimu. Ia tahu kalau kau bukanlah wanita yang akan menjadi pilihanku. Aku memintamu ke sini untuk mengingatkan agar kau tidak boleh menampakkan dirimu di hadapanku!” tegas Raffael.Hati Natasya terasa sakit mendengar ucapan kasar Raffael. Dirinya tidak dianggap sama sekali, padahal mereka pernah bertunangan. Sebegitu rendahnyakah status sebagai seorang pengasuh putrinya di mata Raffael?“Baik, Tuan! Saya mengerti. Saya akan berusaha agar kita tidak perlu bertemu. Karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan saya permisi.” Natasya bangkit dari duduk berjalan menuju pintu.Raffael juga bangkit dari duduknya, ia meletakkan tangan di atas tangan Natasya mencegah wanita itu membuka pintu. “Siapa yang mengatakan aku sudah selesai berbicara denganmu?”Natasya membalikkan badan hingga berhadapan dengan Raffael. Dan itu merupakan suatu kesalahan karena keduanya berada begitu dekat. Dia melangkah m
Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya terasa kering. Diambilnya gelas berisi air yang langsung ia minum. Setelahnya ia letakkan kembali gelas itu di atas meja.“Saya tidak ingin bertengkar di meja makan dan saya bekerja untuk Nona Tiara anak dari pemilik rumah ini. Yang kehadirannya belum diketahui oleh anak asuh saya.” Natasya melihat ke arah Tiara yang balas menatapnya.“Nanny, kita pergi saja dari sini. Kita makan di luar saja aku takut.” Tiara bangkit dari duduk. Ia menarik tangan Natasya menjauh dari tempat tersebut.Dengan senang hati Natasya memenuhi permintaan anak asuhnya itu. Sebelum keluar ia memberikan anggukan kepala kepada Raffael. Karena biar bagaimanapun juga pria itu adalah majikan yang selama ini tidak dilihatnya.“Siapa yang mengijinkan kalian keluar! Kembali ke tempat kalian kita makan bersama dan tidak ada perdebatan!” seru Raffael dengan nada suara dingin.Natasya menghentikan langkah diikuti oleh Tiara. Melalui genggaman tangan gadis cilik itu terlih
Sontak saja Ades menjadi terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Raffael. “Kau tidak becanda, bukan? Tentu saja aku bersedia.”Mata Ades berbinar senang, ia tidak menghiraukan fakta di depan matanya kalau Raffael tidak terlihat sama antusiasnya. Atau pun senang mendengar ia menyetujui apa yang dikatakan oleh pria itu.Dipeluknya pundak pria itu sambil mengecup pipinya sekilas. “Kuharap kau tidak menyesal dengan apa yang barusan kau katakan, Raff!”Raffael mengambil cawan berisi anggur disesapnya isinya sampai tandas dalam sekali tegug. Kalau berkata jujur kepada Ades tentu saja dirinya akan mengatakan menyesal. Ia tidak terlalu menyukai wanita itu karena bukanlah Natasya.“Bagaimana mungkin aku akan menyesal? Sementara kau adalah wanita cantik, serta mandiri sepertimu. Tentu saja kita berdua akan menjadi pasangan yang berbahagia dan membuat iri orang lain,” ucap Raffael dengan nada datar.Raffael bangkit dari duduknya mengulurkan tangan kepada Ades. Yang langsung disambut oleh wani
“Argh!” erang Raffael. Matanya menatap cincin pernikahan yang melingkar di jari manis Natasya dan itu membuat perasaan Raffael berkecamuk. Ia mengguncang badan Natasya hingga tubuh wanita itu terguncang karenanya. Raffael ingin meluapkan rasa frustrasi dan amarahnya. “Kau begitu senang, bukan melihatku menderita? Kau pasti hanya berpura-pura saja tidak mengetahui kalau Marsya sudah meninggal dan anak kecil itu bukanlah putriku!”Keduanya tidak menyadari kalau pintu kamar itu terbuka. Dan seorang anak kecil yang hendak melangkah masuk langsung berhenti. Ia mendengar dengan jelas pria yang sedang bertengkar dengan nannynya itu.“Apa yang kau lakukan kepada nannyku?” Tiara memukul kaki Raffael karena ia anggap menyakiti nannynya.Raffael tertegun ia tidak bermaksud agar anak kecil itu mendengar atau pun melihat pertengkarannya dengan Natasya. Ia membalikkan badan menatap gadis cilik itu dalam diam. Kemudian ia berjalan keluar begitu saja.Natasya menyimpan umpatannya dalam hati melihat