Share

BAB 2 SANDIWARA MARSYA

Marsya bangun dari atas tempat tidur, dipungutinya pakaian yang berserakan di lantai, kemudian ia pakai. ‘Saya harus bisa meyakinkan Raffa, kalau bayi yang sedang kukandung adalah anaknya. Hidupku akan menjadi nyaman, dengan menikahi Raffa,’ gumam Marsya.

Marsya wanita muda yang baru berusia 22 tahun berasal dari keluarga sederhana. Ia beruntung mendapatkan sahabat sebaik Natsya yang tidak memandang harta dalam berteman. Namun, jauh di dalam hati Marsya merasa iri, karena kekayaan dan kekasih yang dimiliki oleh sahabatnya, Natasya.

Selesai berpakaian Marsya mengeluarkan tempat bedak dari dalam tas. Dibubuhkannya bedak tipis di wajah cantiknya, kemudian ia menggunakan lipstick berwarna merah di bibirnya.

Dengan langkah anggun gaya berjalan yang ditiru Marsya dari Natasya. Ia pun keluar dari kamar hotel tersebut menuju bagian depan hotel.

Sesampainya di depan sudah ada taksi online menunggunya. Marsya langsung masuk dan duduk dengan nyaman. ‘Satu minggu lagi, diriku akan melakukan tes dan memberitahukan hasilnya kepada Raffa,’ batin Marsya.

Senyum culas terbit di bibirnya ia menghilangkan perasaan bersalah kepada sahabatnya, karena ia bosan hidup dalam kemiskinan dan belas kasih Natasya, yang selalu bersedia memberikan bantuan kepadanya dalam hal materi.

Dengan bantuan Natsya jugalah ia diterima bekerja di perusahaan tunangan sahabatnya itu. Dari situlah bermula rasa iri dan suka Marsya kepada Raffa. Pria itu sama baiknya, seperti Natasya dan yang terutama lagi pria itu memiliki uang yang banyak.

“Nona, sudah sampai!” tegur sopir taksi membuyarkan Marsya dari lamunannya.

Marsya dengan cepat membuka pintu mobil, lalu turun. Setelah membayar ongkos taksi ia berjalan menuju rumah sederhana, dengan warna cat yang mulai pudar.

‘Semoga saja Bapak tidak marah-marah lagi,’ gumam Marsya. Ia memutar kenop pintu yang tidak terkunci. Begitu pintu sudah terbuka ia pun melangkah masuk, dengan perasaan heran, karena tidak biasanya rumah begitu lengang.

Marsya berjalan cepat menuju kamarnya, yang terletak di dekat dapur. Namun, baru saja tangannya hendak memutar kenop pintu terdengar suara yang ditakuti Marsya.

“Dari mana saja kamu dan kenapa baru pulang sekarang? Kamu semakin liar saja tidak mau mendengarkan nasihat orang tua dan sekarang kamu semakin berani pulang, dengan bau alkohol yang menyengat,” tegur Bapak Marsya galak.

Marsya membalikkan badan dan tatapannya bertemu dengan mata Bapaknya yang menyala, karena marah. “Maaf, Pak! Marsya janji ini yang terakhir pulang ke rumah terlambat. Marsya juga janji tidak akan minum-minum lagi.” Marsya, kemudian menundukkan kepala, karena ia tidak berani menatap mata Bapaknya lama-lama.

Terdengar suara tarikan napas berat dari Bapak Marsya. “Bapak menegurmu, karena kamu putri Bapak satu-satunya dan Bapak tidak mau kamu terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik.”

Marsya menganggukkan kepala, ia lalu pamit kepada Bapaknya untuk masuk kamar, karena ia harus segera berangkat ke kantor.

Masuk dalam kamarnya Marsya langsung menuju kamar mandi. Di bawah air pancuran Marsya membersihkan badan. Selesai mandi dimatikannya air keran, kemudian ia berjalan keluar kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang ia belitkan di dadanya.

Diambilnya kemeja berwarna biru muda, yang ia padankan dengan rok di atas lutut. Selesai berpakaian Marsya berjalan keluar kamar. Ia akan berangkat kerja, walaupun tahu dirinya sudah terlambat satu jam.

Dengan menaiki motor matic miliknya Marsya menuju kantor tempatnya bekerja, yang terletak di pusat kota. Jalanan yang macet membuat Marsya tidak dapat sampai di kantor dengan cepat.

Sesampainya di perusahaan Raffa’s company Marsya langsung masuk ke ruangan di mana ia bekerja, sebagai salah seorang staf pemasaran. Baru saja ia duduk di kursi kerjanya terdengar suara bernada menyindir.

“Enak ya, kalau kerja di perusahaan teman bisa datang seenaknya dan tidak takut untuk dipecat” sindir salah seorang rekan kerja Marsya.

Marsya hanya memberikan pelototan kepada temannya. ‘Lihat saja nanti, kalau diriku menjadi istri dari Raffael akan saya pecat dia,’ batin Marsya.

Merasa diabaikan oleh Marsya, temannya itu pun berhenti sendiri menyindir Marsya. Sementara Marsya sudah sibuk dengan pekerjaanny.

***

Sesampai di apartemen mewahnya, Raffael berjalan masuk kamar. Dipukulnya dinding kamar, dengan perasaan bersalah. Ia, kemudian duduk di atas ranjang dengan penutup berwarna hitam. Disisirnya rambut menggunakan jari-jarinya, sehingga menjadi berantakkan.

“Kenapa saya menjadi bodoh begini? Argh, sial!” umpat Raffael.

Raffael membaringkan badan di atas ranjang, dengan berbantalkan kedua lengannya. Uang! Marsya pasti bersedia menggugurkan kehamilannya, kalau ia memberikan uang yang banyak. Wanita itu harus mau, karena dirinya tidak mau menikahi wanita itu. Ia hanya mencintai Natasya.

Dengan raut wajah dingin Raffael bangun dari berbaringnya. Ia keluar kamar berjalan menuju dapur. Dibukanya pintu kulkas, ia mengambil satu kaleng minuman beralkohol dan langsung menenggak isinya sampai tandas.

Dilemparnya kaleng kosong bekas minum ke dinding dengan keras, kemudian jatuh ke lantai menimbulkan bunyi nyaring.

Raffael berjalan keluar dapur ia kembali masuk kamarnya. Namun, bukan untuk tidur. Ia menuju kamar mandi, lalu menyalakan pancuran dengan suhu air dingin. Ia, kemudian berdiri di bawah pancuran tersebut dan membiarkan badannya diguyur air dingin.

Selesai mandi Raffael mematikan pancuran. Diambilnya  handuk bersih yang berada di gantungan, kemudian ia belitkan di pinggangnya.

Raffael keluar kamar mandi, dengan air yang masih menetes dari rambutnya. Ia duduk di pinggir ranjang, lalu diambilnya ponsel yang tergeletak di atas ranjang.

‘Halo, siapkan mobil! 10 menit lagi saya sudah turun,’ perintah Raffael kepada sopirnya, melalui sambungan telepon.

‘Baik, Tuan!’ sahut sopir Raffael.

Di tutupnya sambungan telepon, ia kemudian melempar ponselnya ke atas ranjang. Bangun dari duduknya, Raffael berjalan menuju walking closet diambilnya kemeja warna putih celana bahan berwarna hitam. Selesai berpakaian Raffael keluar dari apartemennya.

Dalam waktu beberapa menit Raffael sudah sampai di perusahaan miliknya, yang bergerak di bidang property.

“Pagi, Pak!” sapa salah seorang pekerja Raffael.

Raffael terus berjalan dengan langkahnya yang gagah dan wajah dingin. Ia tidak menghiraukan sapaan dari pegawainya.

Pada saat melewati meja kerja sekretarisnya Raffael berhenti sebentar. Membuat sekretarisnya yang serius dengan pekerjaan menjadi terkejut, karena tidak menyadari kehadiran Raffael.

“Batalkan semua janji saya pada hari ini! Dan jangan ada satu orang pun masuk ruangan saya, saya tidak menerima tamu,” perintah Raffael kepada sekretarisnya.

“Baik, Tuan.” Sekretaris Raffael langsung membuka catatan jadwal Raffael. Dalam hatinya ia merasa kesal, karena sekarang dirinya harus dibuat susah mengatur ulang jadwal bosnya itu.

Raffael duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Dilihatnya ada banyak pesan dan panggilan telepon dari tunangannya, yang tidak ia angkat. Ia memang sengaja melakukannya.

Ditaruhnya ponsel itu di atas meja untuk sementara ia akan mengabaikan semua pesan dan panggilan telepon dari tunangannya, sebelum ia mendapatkan kepastian kehamilan Marsya.

***

Dua minggu berlalu semenjak dirinya bangun di kamar hotel yang sama dengan Raffael, Marsya memasukkan hasil tes kehamilan ke tasnya. Dengan bersemangat ia berangkat ke kantor, tetapi bukan untuk bekerja.

Dikendarainya motor maticnya dengan kecepatan tinggi, karena ia sudah tidak sabar untuk melihat reaksi Raffael.

Sesampainya di perusahaan ia berjalan menuju ruang kerja Raffael. Diketuknya pintu ruang kerja Raffael, setelah dipersilakan ia pun masuk.

“Raffa, saya datang membawa hasil tes, seperti apa yang kamu minta. Kamu harus bertanggung jawab dengan menikahiku!” ucap Marsya langsung saja.

Raffael tertegun diambilnya alat tes kehamilan, yang diikuti oleh surat keterang dokter. Raffael menatap kertas yang ada di tangannya, tanpa ekspresi.

“Saya tahu, kalau kamu tidak akan percaya hanya satu tes kehamilan saja, oleh karena itu saya juga ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kehamilan,” terang Marsya.

“Gugurkan! Berapapun uang yang kamu minta akan saya berikan! Saya tidak ingin menikahimu,” ucap Raffael dengan dingin.

“Raffael! Kamu tidak bisa menghamili seorang wanita, kemudian tidak mau bertanggung jawab,” tegur suara feminim yang familiar di telinga Raffael.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status