"Ayah dan Ibuk nggak perlu repot sama persiapan pernikahanku. Urusin aja persiapan pernikahan David, bukannya dia juga perlu nyiapin uang jujuran buat calon istrinya?" cibir Rara seraya mengusap air matanya. "Obrolan ini udah selesai kan Yah? Aku udah sebutin jujuran yang kuminta," tutupnya. "Saya nggak keberatan dengan nominalnya," sambar Ryu. "Sudah selesai ya Pak?" tanyanya meminta ijin. Pak Darwis tampak berat untuk mengangguk, bingung bagaimana harus bersikap. Di sebelahnya Bu Endah hanya diam, pundaknya saja yang naik-turun tak teratur, masih terlihat emosi dari matanya yang membulat. "Saya tidak bisa berhutang budi terlalu banyak, Pak Ryu, dan saya tidak mau orang-orang menilai jika Rara memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memeras keluarga Pak Ryu seandainya berita mengenai jujuran ini sampai terdengar," ucap Pak Darwis lemah. "Ini bukan hutang budi Pak, ini murni apresiasi saya pada Rara, jangan dipikirkan," kata Ryu bijak. "Pak Darwis sudah sangat mengenal keluarga
"Soal nominal jujuran tadi, saya nggak serius, Pak," ungkap Rara akhirnya angkat bicara. "Kita bahas itu sambil makan, saya laper soalnya tadi kamu nolak pas disuruh makan sama Pak Darwis," sindir Ryu setengah menggoda. Rara ingin segera mendebat, tapi Ryu sudah lebih dulu turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam salah satu rumah makan padang andalannya. Benar, Ryu memang terkesan galak dan kejam, tapi ia sangat detail. Terbukti, bukannya mencari tempat makan yang sesuai seleranya, ia justru membawa Rara ke rumah makan padang favorit perempuan berusia 25 tahun itu. "Pak, soal jujuran itu, saya nggak serius. Saya nggak akan menyebutkan nominal. Tadi itu saya cuma spontan karena saya nggak tahan sama sikap ibu tiri saya," ungkap Rara setelah mengambil makanannya dan duduk menghadapi Ryu. "Makan dulu," ucap Ryu singkat. "Pak," Rara tidak
"Kamu yakin nggak mau pake wedding dress ala-ala princess?" tanya Ryu meyakinkan Rara. Setelah kejadian tidak mengenakkan sore hari tadi, malam harinya Ryu mengajak Rara untuk bertemu dengan vendor gaun pernikahan. Rara justru memilih satu set kebaya simpel berwarna broken white dipadu kain batik kalimantan yang nantinya akan dijahit sesuai ukuran tubuh Rara. "Saya nggak mau terlihat memanfaatkan kesempatan banget Pak." "Kenapa? Kesempatan itu terbuka lebar buat kamu, manfaatkan!" ujar Ryu. Rara menggeleng, "Keluarga Pak Rain dan Bu Mika sudah terlalu baik sama saya. Ngasih saya kerjaan, bantuin ayah saya pensiun dengan nyaman, sekarang ngasih anak sulungnya pula buat nikah sama saya. Saya nggak bisa nerima banyak kebaikan lagi. Pak, Pak Ryu yakin bisa punya perasaan ke saya nantinya kalau kita nikah? Ya saya tau saya ini cantik, tapi lebih cantik cewek-cewek di kota sana," katanya meracau gemas. "
Ucapan Ryu yang terdengar sedikit mencibirnya itu membuat Rara memanyunkan bibirnya. Namun, gadis ini tidak berucap apapun, ia memilih untuk mengalah. Ditatapnya Ryu dari pantulan cermin di depan sana. Ryu memiliki semua yang diidamkan perempuan, wajah tampan, harta, tahta, juga kehidupan yang sempurna. Menjadi pendamping Ryu dan berperan sebagai seorang istri dari lelaki seluar biasa itu tentu bagaikan mimpi bagi Rara. Mimpi yang sebentar lagi akan berubah menjadi kenyataan. Beranikah ia menumbuhkan perasaan? Mungkinkah ikatan pernikahan itu akan bertahan lama jika semua dilakukan atas dasar ego dan rasa kasihan? "Abang mau dibikinin jas aja untuk temen kebaya hitamnya?" tawar Nurma sebelum menyelesaikan ritual pengukurannya. "Ikut Tante gimana bagusnya. Yang penting harus mencolok dan jadi pusat perhatian. Terutama dia!" ucap Ryu mengedikkan dagunya ke arah Rara yang melamun. "Oke, sebentar kita urus tanda jadinya ya," ujar N
"Ibu tiri saya selalu bilang kalau saya ini bakalan susah dapet jodoh. Saya nggak punya temen, jadi bahan gunjingan di kampung, kepala kosong nggak ada isinya," desah Rara lirih. Di sampingnya Ryu duduk sambil menyesap rokok. Suasana Patung Ikan Jelawat sudah mulai lengang. Sudah hampir tengah malam, tapi Ryu masih setia bertahan menemani Rara duduk di kursi taman, memandang beberapa kapal besar yang tengah sandar di dermaga. "Kata dia, syukur-syukur ada yang mau sama saya. Jadi saya nggak dia kasih kesempatan buat kenal sama cowok, dia nyuruh saya kerja aja biar saya lupa sama pacaran," lanjut Rara. "Semenjak Bunda meninggal dan Ayah nikah lagi sama Bu Endah, saya adalah orang lain buat Ayah saya," ceritanya. "Saya nggak tau apa yang ada di Bu Endah sampe Ayah bisa kepelet begitu. Kejadiannya cepet banget, seinget saya dari Bunda meninggal sampe ke Ayah nikah lagi itu jaraknya nggak terlalu jauh."
"Ah, karena gelang yang Bapak pake itu ya Pak? Satu gelang kayu gaharu, satunya gelang hitam. Siapa yang berani bikin Pak Ryu semati rasa ini sampe random banget ngajak nikah saya?" Ryu memalingkan wajahnya, "Ada," jawabnya getir., 'kamu, Azura.' Ia isap lagi dalam-dalam rokoknya, "Jangan nyari tau yang nggak perlu kamu tau," cegahnya. "Semoga lekas sembuh deh buat hatinya Pak Ryu, jadi bisa kali nanti ngelirik ke saya. Seumur hidup itu lama lho, siapa tau tertarik nyobain suka atau cinta ke saya sebagai istrinya," kekeh Rara. Ryu tertawa juga mendengar ucapan Rara, "Seumur hidup juga saya bakalan tahan," katanya yakin. "Tapi kalau ada yang nanyain anak gimana? Kita harus bikin kan?" "Heh! Bikin, bikin, ngawur," hampir Ryu tersesak ludahnya. "Maksudnya, bakalan aneh kalau kita nikah tapi nggak punya anak
Ryu mengangguk lemah, "Ada peristiwa besar yang bikin kamu begini, Azura," katanya memejamkan mata, tidak mau terlihat lemah dan rapuh di depan Rara. Setitik air mata Rara jatuh. Hening yang semula menyelimuti sekitar keduanya, diisi isak Rara yang menyayat. Satu hal yang membuat Rara begitu merasa jatuh ke dasar samudera, ia lupa pada apa yang membuatnya menjadi semenyedihkan ini. Selama ini yang ia yakini sebagai kecelakaan justru tak pernah terjadi. "Apa orang gila yang bikin Pak Ryu mati rasa itu saya?" bisik Rara memberanikan diri. Ia menahan napasnya sendiri, takut dikatai sok percaya diri oleh sang atasan. "Boleh saya sepercaya diri ini dan merasa penting buat orang sehebat Bapak?" Ryu tampak memijat pelipisnya, "Ayo balik hotel, bentar lagi sahur. Kita cari makan buat sahur sekalian," ajaknya tak menjawab pertanyaan Rara. "Pak," Rara meraih pergelangan tan
SMP Harapan Kita, 11 tahun lalu .... "Bang Ryu sering-sering main kebun ya, jengukin Mama Ayang ke sini," ucap Mayang, mengusap lengan Ryu lembut. "Iya Tante," jawab Ryu singkat, seperti biasanya. "Mana mau dia ke sini jengukin Mbak Mayang, kecuali ketemu sama yang itu tuh Mbak," ledek Mika mengedikkan dagunya pada seorang gadis berseragam SMP yang datang dari arah kelasnya. "Rara, Ketua OSIS cantik kita," bisik Mayang takjub. "Anak kamu udah gede ya Mik," gumamnya gemas. "Bentar ya Ma," pamit Ryu sadar bahwa Rara mendekat untuk mendatanginya. "Mas," senyum Rara terkembang, ia ikuti Ryu yang mengajaknya ke taman samping kelas 9C di mana ada beberapa kursi kayu yang diletakkan di sana. "Pulang Jakarta hari ini Mas?" tanyanya. Ryu mengangguk, "Pesawat jam 2 siang," ujarnya lalu duduk di kursi kayu. "Bawa apaan itu?" tunjuknya pada bungkusan di pangkuan Rara. "Kroket
Ryu memang sengaja memilih menunggu di sebuah counter makanan cepat saji. Ia biarkan para perempuan memuaskan hasrat belanjanya sementara ia menikmati berbuka puasa sendirian karena Reiga juga memilih langsung diantar ke hotel. "Minumnya es teh nggak pa-pa?" tanya Ryu. "Nggak pa-pa, makasih Pak," kata Rara senang. "Kamu harus lebih terbiasa manggil saya pake sebutan yang bukan kayak di kantor. Nanti saya dikira menindas kamu," pinta Ryu mengamati perempuan pemilik hatinya itu makan dengan lahap. "Mas Ryu juga harus belajar pake sapaan aku-kamu, bukan saya-kamu kalau kita lagi di luar biar keliatan akrab," ucap Rara. "Itu bisa diatur, kebiasa bilang gitu, susah ngerubahnya." "Nah, saya juga gitu Pak, jadi ngerasa sok akrab kalau saya manggil Mas Ryu," Rara meringis. "Senyamanmu aja," desah Ryu tak terlalu peduli. "Bebebh boleh?" goda Rara iseng. "Bole
"Hei, kita seumuran tauk, jangan curiga gitu ngeliatnya!" tegur Raya menunjuk wajah kakak tampannya. "Terus kalau seumuran kenapa? Rara ada di dunia yang berbeda dari lo," ucap Ryu berkacak pinggang. "Tapi selera drama Korea kita sama kok Pak," sanggah Rara ikut bersuara. "Pak? Mbak, kamu calon istrinya Bang Ryu lho, nggak ada panggilan yang lebih mesra?" sela Raya merasa aneh. "Ini di jam kantor, kami profesional!" sergah Ryu membela calon istrinya. "Halah, halah, ngomong aja lo menindas Mbak Rara kan Bang? Nggak boleh begitu! Nggak di kantor ini, lagi di pusat perbelanjaan dan ini udah buka puasa, udah sore, jam kerja udah abis, jangan diktator amat sama calon istri!" larang Raya galak. "Pak Ryu, maksudku Mas Ryu baik kok," bela Rara. "Dahlah, kalian berdua emang cocok." Raya beranjak, "Ayok Mbak, kita cari kebutuhan seserahannya dulu," ajaknya. Rara i
"Sudah pernah makan daging rusa sebelumnya, Pak?" tanya Rara penasaran. "Sudah, tapi nggak diolah begini," jawab Ryu. "Enak nggak Pak masakan saya?" "Hem?" Ryu sibuk mengunyah. "Enak enggak?" "Rasa rendang." Rara berdecak, "Ambigu artinya." "Saya nggak mungkin bilang rasa soto kan?" gumam Ryu gengsi, padahal ia sudah hampir menuntaskan isi piringnya tanpa sisa. "Ngolah daging rusa itu tricky sih Pak, makanya saya takut nggak sesuai sama lidah mewah Pak Ryu." "Lidah mewah?" dahi Ryu berkerut, ia dorong piring kosongnya ke tengah meja, "daging rusa itu hidangan mewah, Azura," tandasnya. Jadi nggak terkira harganya karena kamu yang masak. "Kroket kentangnya, saya mau lagi," tambahnya menunjuk dua buah kroket kentang yang tersisa. "Cuci mulut?" Rara sigap mengambilkan piring kroketnya untuk Ryu. "Pengganti rokok," ungkap Ry
"Makasih Pak," ucap Rara menyempatkan diri untuk berbalik. "Bapak jadi harus repot nganter saya," katanya jauh lebih tenang dari sebelumnya. "Kamu udah lebih baik?" tanya Ryu sambil duduk di ruang tamu rumah dinas Rara. "Jauh lebih baik. Pak Ryu mau saya bikinkan es kopi?" tawar Rara. "Boleh." Rara mengangguk, bergegas ke dapur untuk membuatkan Ryu minuman. Tak sempat menikmati makanan berat untuk berbuka puasa, Ryu lebih dulu mengantar Rara pulang ke rumahnya. Ia tahu Rara berusaha keras untuk tidak terlihat rapuh, tapi gadis ini pasti syok karena pernyataan ibu tirinya. Apalagi perkataan Bu Endah benar-benar tidak terprediksi. Beruntung Rara tidak kalut dan histeris karena syok. "Silahkan Pak," Rara kembali dari dapur dengan segelas es kopi kesukaan Ryu. Ada satu toples kue sagu keju melengkapi jamuannya. "Makasih," balas Ryu segera mengambil gelas yang Rara ulurkan. "Pencuri nggak neror lagi ka
"Kamu juga minum," ucap Ryu datang dari dapur seraya membawa satu nampan es teh untuknya dan Rara. Di jemari kirinya ia menenteng kroket buatan Rara, kroket yang sangat dirindukannya. "Bapak nggak buka puasa dulu bareng adek-adek?" tanya Rara. "Abis perjalanan jauh juga, Pak." "Saya biasa ngemil doang, nanti setelah salat tarawih baru makan berat," jawab Ryu. "Kamu ke sini cuma mau nganter makanan? Nggak ada hal laen? Urusan kerjaan?" tanya Ryu curiga. "Saya denger Bapak mau dateng bareng Mbak Raya dan Mas Reiga, makanya saya sengaja masak rendang daging rusa," jawab Rara. "Saya bareng Mas Jaka aja Pak," pamitnya berdiri buru-buru karena ia melihat Jaka sudah masuk ke dalam mobil, "Permisi ya Pak," ujarnya. "Hei," sigap, Ryu lagi-lagi menahan pergelangan tangan Rara. "Ada apa? Kamu ada yang mau disampein?" tanyanya sangat peka. Rara terdiam, ditatapnya Ryu sebentar, bibirnya bergetar, air mata itu akhirnya tu
"Bang! Bang Ryu!" Reiga, anak bungsu dari pasangan Mika dan Rain, si tampan tengil yang mewarisi kepribadian ibunya ini mengguncang pundak sang kakak sulung kencang. "Apaan?" Ryu mengangkat kepalanya malas-malas. "Lo tinggal di hutan begini? Betah?" gumam Reiga mengitarkan pandangan, "ih, gue ogah nerima warisan kebun, lo aja," tukasnya. "Makanya, biar lo betah, lo belajar tinggal di sini," ujar Raya, si cantik anak kedua. "Lo aja Kak, gue yang pegang udud," gumam Reiga nyengir. "Gue lahir duluan, menang milih ya! Dan gue milih pabrik rokok! Nggak bisa diganggu!" sengal Raya tak terima. "Mau berdebat apa mau turun kalian?" tanya Ryu bangun dari posisi setengah berbaringnya. "Mas Jaka jangan langsung pulang, saya udah minta Mbak Susi nyiapin makan," ujarnya pada sang sopir. "Bang, udah mau maghrib emang sehoror ini rumah lo?" tanya Reiga b
SMP Harapan Kita, 11 tahun lalu .... "Bang Ryu sering-sering main kebun ya, jengukin Mama Ayang ke sini," ucap Mayang, mengusap lengan Ryu lembut. "Iya Tante," jawab Ryu singkat, seperti biasanya. "Mana mau dia ke sini jengukin Mbak Mayang, kecuali ketemu sama yang itu tuh Mbak," ledek Mika mengedikkan dagunya pada seorang gadis berseragam SMP yang datang dari arah kelasnya. "Rara, Ketua OSIS cantik kita," bisik Mayang takjub. "Anak kamu udah gede ya Mik," gumamnya gemas. "Bentar ya Ma," pamit Ryu sadar bahwa Rara mendekat untuk mendatanginya. "Mas," senyum Rara terkembang, ia ikuti Ryu yang mengajaknya ke taman samping kelas 9C di mana ada beberapa kursi kayu yang diletakkan di sana. "Pulang Jakarta hari ini Mas?" tanyanya. Ryu mengangguk, "Pesawat jam 2 siang," ujarnya lalu duduk di kursi kayu. "Bawa apaan itu?" tunjuknya pada bungkusan di pangkuan Rara. "Kroket
Ryu mengangguk lemah, "Ada peristiwa besar yang bikin kamu begini, Azura," katanya memejamkan mata, tidak mau terlihat lemah dan rapuh di depan Rara. Setitik air mata Rara jatuh. Hening yang semula menyelimuti sekitar keduanya, diisi isak Rara yang menyayat. Satu hal yang membuat Rara begitu merasa jatuh ke dasar samudera, ia lupa pada apa yang membuatnya menjadi semenyedihkan ini. Selama ini yang ia yakini sebagai kecelakaan justru tak pernah terjadi. "Apa orang gila yang bikin Pak Ryu mati rasa itu saya?" bisik Rara memberanikan diri. Ia menahan napasnya sendiri, takut dikatai sok percaya diri oleh sang atasan. "Boleh saya sepercaya diri ini dan merasa penting buat orang sehebat Bapak?" Ryu tampak memijat pelipisnya, "Ayo balik hotel, bentar lagi sahur. Kita cari makan buat sahur sekalian," ajaknya tak menjawab pertanyaan Rara. "Pak," Rara meraih pergelangan tan
"Ah, karena gelang yang Bapak pake itu ya Pak? Satu gelang kayu gaharu, satunya gelang hitam. Siapa yang berani bikin Pak Ryu semati rasa ini sampe random banget ngajak nikah saya?" Ryu memalingkan wajahnya, "Ada," jawabnya getir., 'kamu, Azura.' Ia isap lagi dalam-dalam rokoknya, "Jangan nyari tau yang nggak perlu kamu tau," cegahnya. "Semoga lekas sembuh deh buat hatinya Pak Ryu, jadi bisa kali nanti ngelirik ke saya. Seumur hidup itu lama lho, siapa tau tertarik nyobain suka atau cinta ke saya sebagai istrinya," kekeh Rara. Ryu tertawa juga mendengar ucapan Rara, "Seumur hidup juga saya bakalan tahan," katanya yakin. "Tapi kalau ada yang nanyain anak gimana? Kita harus bikin kan?" "Heh! Bikin, bikin, ngawur," hampir Ryu tersesak ludahnya. "Maksudnya, bakalan aneh kalau kita nikah tapi nggak punya anak