Niken merasa lega melihat teman-temannya sudah kembali ke perkemahan. Mereka dibawa mobil polhut setelah petugas melakukan pencarian keesokan harinya.
Melihat Rama turun dari kendaraan, Niken langsung menghampirinya. Raut muka cowok itu terlihat sedih. Dia tak bicara apa-apa. Di dalam kendaraan mobil itu, Niken tidak melihat Tedy dan Bando. Niken penasaran, lalu menuju sebuah kendaraan lainnya yang berada di paling belakang. Namun dia juga tidak melihat kedua cowok itu.
"Tim SAR masih melakukan pencarian. Kita memang berada di tempat yang terpisah," kata salah seorang petugas. Dia menatap Niken yang masih diselimuti perasaan panik.
Niken lalu kembali. Ia menuju ke dalam tenda, dimana teman-temannya berada disitu. Di dalam tenda itu, Rama beserta ke empat teman lainnya terlihat lemas. Mereka tak ada yang bicara. Wajah-wajah mereka seperti diselimuti rasa takut yang luar biasa.
"Apa sebenarnya yang terjadi Rama?" tanya Niken setelah kondisinya mulai tenang.
Cowok itu menghela napas. Dadanya naik turun. Dia seolah mengingat sesuatu yang ada dalam pikirannya.
"Kejadiannya begitu cepat," katanya. Sejenak dia menghentikan kalimatnya, sebelum kemudian bibir Rama kembali bergetar.
"Kita tidak menyangka sebelumnya akan terjadi cuaca buruk," kata Rama mulai bercerita.
Ya, saat mendaki Bukit Tanjakan Cinta itu tiba-tiba kabut turun. Mendung tiba-tiba menjadi pekat menghitam. Melihat cuaca itu, mereka tetap melanjutkan pendakiannya. Hingga kemudian datang angin puting beliung.
Melihat kejadian itu Rama dan teman-temannya mencari tempat berlindung. Banyak pohon-pohon yang tumbang. Mereka mencari selamat sendiri-sendiri.
"Lalu?" tanya Niken penasaran.
"Semuanya tiba-tiba jadi gelap, Niken," sahut Rama. "Aku tidak melihat teman-teman yang lain kemana. Karena kita sibuk mencari selamat sendiri-sendiri."
Sesaat cerita Rama berhenti. Ia melihat Lastri yang turut mendengarkannya. Cewek itu lebih banyak diam.
"Kata Feri tubuh Tedy dan Bando terlempar saat kejadian itu."
"Terlempar?" kata Niken mengernyitkan kedua alisnya.
"Ya. Kita sempat mencarinya. Namun usaha itu gagal. Lalu kita memutuskan untuk kembali ke perkemahan, namun sia-sia. Kita kesasar tidak tahu arah. Ditambah lagi hujan begitu lebatnya sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa."
*****
Pencarian terhadap Tedy dan Bando tidak dilanjutkan. Tim SAR tidak berani melakukan pencarian di tengah kabut tebal. Terlalu berisiko. Apalagi tingkat kemiringan bukit itu hingga mencapai 45 derajat. Bukit itu memang menjadi salah satu jalur menuju Oro-Oro Ombo, Kalimati, Arcopodo dan puncak Mahameru.
Malam itu, memang tidak seperti biasanya. Selain hawanya dingin, kabut semakin tebal. Membuat keindahan alam puncak Mahameru itu hilang dari pandangan.
Rama terlihat membakar api unggun. Beberapa temannya sudah tertidur pulas sedari tadi. Cowok itu duduk menyendiri. Ada perasaan menyesal dalam bathinnya. Seandainya dia tidak memaksa memilih camping di tempat ini, mungkin peristiwa ini tidak akan pernah terjadi. Perasaan bersalah itu seperti terus menghantui dirinya.
Lamat-lamat telinga Rama mendengar suara langkah. Dia membiarkan langkah itu semakin mendekat. "Kau masih belum tidur, Niken?" suara Rama memecah kebisuannya sendiri.
"Belum. Aku kepikiran dengan Tedy dan Bando," sahut Niken. Cewek itu memilih duduk di samping Rama.
"Semoga saja besuk cuacanya tidak seburuk malam ini. Sehingga tim SAR bisa melanjutkan pencariannya," sahut cowok itu.
"Sebelum berangkat aku memang sempat ingin menunda pendakian itu. Tetapi Tedy terus memaksa..." katanya lagi.
"Jangan menyesali sesuatu yang sudah terjadi, Rama. Kita percayakan semuanya pada petugas agar mereka bisa menemukan keberadaan Tedy dan Bando," sahut Niken. Ia menatap cowok itu yang masih terlihat sedih. Niken merasa trenyuh melihatnya.
Obrolan mereka terus mengalir. Hingga keduanya tidak merasa jika malam semakin larut. Niken terlihat kedinginan, meskipun dirinya sudah mendekat ke tungku perapian.
"Pakailah ini Niken," Rama menyodorkan jaket kulitnya. Cewek itu terdiam. Ia terkejut melihat sikap cowok itu yang tiba-tiba begitu perhatian. Hati Niken tersentuh. Ada sesuatu yang lembut yang dia rasakan. Sesuatu itu begitu dalam sekali.
Terjadinya cuaca buruk yang tidak menentu membuat Rama dan kawan-kawannya terpaksa diungsikan. Mereka diungsikan ke kantor balai desa. Bahkan pencarian terhadap dua orang mahasiswa yang hilang itu dihentikan sementara. Karena dengan cuaca buruk yang tak menentu itu, badai pasir bisa terjadi setiap saat. Dengan alasan itulah Tim SAR tidak berani melakukan pendakian."Kita harus mematuhi imbauan pusat Vulkanologi. Meskipun badai pasir ini merupakan fenomena yang sudah lazim terjadi," ujar salah seorang Tim SAR saat menemui Rama dan teman-temannya."Lalu sampai kapan ini terjadi, Pak?" tanya Rama menyela."Kita tidak bisa memastikan sampai kapan. Yang jelas, aku minta pada kalian jangan ada yang melakukan pendakian sebelum ada pemberitahuan," kata petugas itu lagi. Pria itu kemudian pergi meninggalkan rombongan Rama dan kawan-kawannya.Mendengar jawaban petugas itu, mereka terdia
Berhari-hari tinggal di posko perasaan jenuh itu mulai terasa. Niken tidak tahu harus kemana. Ia tidak bisa tinggal diam menunggu sesuatu yang tidak ada kepastian.Siang itu, entah mengapa cewek itu punya keinginan untuk bermain di ruang pustaka desa. Meski literaturnya tidak selengkap di kampusnya, setidaknya dengan membaca buku bisa mengusir perasaan jenuhnya."Niken, aku ikut ya?" Suara Lastri mengejarnya.Niken menoleh ke belakang. Ia hanya menyahutnya dengan sebuah anggukan kepala.Di ruang pustaka, cewek itu melihat-lihat rak yang terpajang bermacam-macam judul buku. Dia hanya melewatinya. Dilihat dari judulnya saja, Niken sudah malas untuk membacanya.Tiba-tiba mata Niken tertuju pada sebuah buku. Buku novel itu tergeletak di atas meja. Sampul bukunya sudah agak kusam. Rupanya buku itu sudah berganti-ganti pembaca. Meski agak kotor, namun nama
Niken dan Lastri terlihat semakin panik. Di tengah kerumunan orang-orang itu, Niken mengintipnya dari balik kaca mobil ambulan. Ia ingin memastikan siapa jenasah yang terbujur kaku di dalam mobil itu."Minggir...minggir," kata seorang petugas menghalaunya. Petugas itu lalu berbincang-bincang sebentar dengan Pak Kades. Entah apa yang mereka bicarakan. Niken berusaha untuk mengupingnya, namun petugas itu keburu pergi. Dia akan membawa jenasah itu ke rumah sakit."Tunggu," Niken mencegatnya. Pria itu menatap Niken yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya."Ada apa?" tanyanya."Boleh aku melihat jenasah itu, Pak?""Anda siapa? Apa anda saudaranya?" tanya petugas itu.Mendapat tanya itu, Niken terlihat kebingungan. Ia tak segera menjawab pertanyaan petugas itu. Sesaat mobil ambulan itu kemudian pergi. Bunyi sirenenya meraung-raung hin
Rama meninggalkan posko pengungsian. Entah mengapa cowok itu ingin menyendiri. Kata-kata Andi, salah seorang Tim SAR seolah memenuhi seluruh isi otaknya. Bagaimana tidak, seorang pendaki tidak akan selamat jika sudah terlempar ke dalam jurang itu.Rama terus melangkah menyusuri jalan desa. Hujan semalam membuat jalan berlubang itu tergenang oleh air. Dia tidak tahu harus kemana. Dari kaki lereng bukit itu, Rama memandangi puncak Mahameru. Betapa indahnya. Namun dibalik fenomena keindahannya itu menyimpan bahaya yang setiap saat mengancam."Jangan berpikir sendiri, Rama. Tapi ini sudah menjadi tanggungjawab kita bersama. Hilangnya Tedy dan Bando bukan karena semata-mata kesalahanmu. Namun kesalahan kita semua," Suara Niken tiba-tiba mengejutkannya. Cewek itu menemani Rama yang duduk sendirian di tepian danau.Rama masih terdiam. Pandangan matanya nanar menatap air danau yang nampak berkilau. "Aku tidak bisa me
Tekat Rama sudah bulat. Dia akan melakukan pencarian sendiri terhadap Tedy dan Bando yang hingga saat ini belum diketahui keberadaannya. Dia tidak bisa menunggu petugas yang terlalu lama menunda proses pencariannya."Aku ikut, Rama," ujar Niken. Rama tidak bisa menolaknya.Pagi itu, dia melakukan pendakian bersama Niken. Pendakian itu dilakukan secara diam-diam tanpa mengindahkan imbauan petugas. Melalui jalan setapak, keduanya menuju Bukit Tanjakan Cinta. Entah berapa kali mereka berhenti. Keluar masuk hutan belantara. Namun mereka tidak juga sampai ke bukit itu. Meskipun perjalanan mereka sudah cukup jauh."Dimana ini, Rama?" tanya Niken. Tenaganya sudah mulai terkuras habis, setelah melakukan perjalanan ratusan kilo meter.Rama juga mengaku tidak tahu sekarang berada dimana. Ia berusaha untuk mengingatnya. Padahal saat melakukan pendakian dengan kawan-kawannya, Rama tidak p
Sore itu, langit mulai gelap. Rama dan Niken mulai kebingungan. Mereka tidak tahu harus kemana berada di tengah hutan belantara. Kembali ke posko pengungsian? Hal itu tidak mungkin dilakukan karena perjalanan mereka sudah cukup jauh."Kita lanjutkan pencarian ini besuk pagi, Niken," kata Rama. Tubuhnya menyandar pada sebuah batang pohon besar."Tapi kita tidak mungkin tinggal di alam terbuka seperti ini. Setidaknya kita mencari tempat untuk berlindung."Ya, Niken benar. Tinggal di tengah hutan belantara itu sangat berbahaya. Bisa-bisa mereka menjadi santapan hewan buas. Untungnya, langit di atas awan tidak sekelam hari-hari kemarin. Bintang mulai bertaburan di langit angkasa. Puncak Mahameru benar-benar menyimpan sebuah keindahan yang eksotis.Kedua mahasiswa itu kemudian melanjutkan perjalanannya. Mereka tidak tahu arah. Mereka hanya mengikuti langkah kakinya yang terus menyusuri k
Mereka terpaksa tinggal di bangunan gubuk itu. Melihat kondisinya, gubuk itu sepertinya memang sudah lama tidak dipakai. Di dalam, Rama tidak menemukan apa-apa. Yang ada hanya dedaunan kering yang berserakan dimana-mana. Bahkan di dalam ruangan itu dipenuhi kotoran debu yang sudah tebal.Di luar malam semakin larut. Hutan belantara mulai gelap gulita. Hawa dingin mulai terasa."Apa kita yakin dengan upaya pencarian ini, Rama?" tiba-tiba Niken bertanya. Ia menatap Rama yang sedang membakar tungku kecil untuk mengusir rasa dinginnya."Kenapa kau bertanya seperti itu, Niken?" sahutnya pendek. Ia mengumpulkan sisa-sisa ranting kecil."Aku merasa ada yang aneh.""Maksudmu?""Seharian kita melakukan pencarian. Namun semakin jauh kita berjalan, kita semakin tidak menemukan arah."Niken benar. Rama juga merasakan seperti itu. Na
Keesokan paginya Rama kembali melanjutkan pencariannya. Dari atas tebing itu, dia dapat melihat sunrise matahari puncak Mahameru. Sebuah keindahan alam yang memukau.Dari atas tebing itu, Rama juga melihat dua buah jembatan jauh di seberang sana. Orang bilang jembatan itu bernama jembatan Janik dan jembatan Watu Rejeng. Melihat dua jembatan itu, Rama teringat dengan sesuatu. Ya, bukankah dia melintasi jembatan itu saat melakukan pendakian bersama Tedy dan Bando? Bahkan, di bawah jembatan Watu Rejeng itu terdapat sebuah sumber mata air."Kau mau kemana Bando?" tanya Tedy saat itu.Cowok itu berlarian. Melewati jalan setapak dan menuruni jurang kecil. Bando kemudian mengisi botol yang dibawanya dengan air itu.Ya, kejadian itu terekam jelas di otaknya. Cowok itu mendesah. Lamunannya berkelana kemana-mana, sehingga lupa terhadap Niken yang masih berada di gubuk itu.