"Mungkin bagi orang lain tidak penting. Tapi bagiku barang ini sangat berharga," ujar cewek itu.
Rama menatap cewek itu yang menunjukkan sebuah resep dokter. Dia terkejut. Begitu pentingkah selembar kertas itu sehingga dia harus mempertaruhkan nyawanya.?
"Oh ya aku Rama,"
"Anita," katanya menyodorkan tangannya.
Rama menatap cewek itu. Sekilas wajahnya seperti mirip dengan seseorang. Entah dengan siapa.
"Aku harus pergi menebus resep obat ini," katanya melangkah pergi. Namun kakinya terhenti saat Rama kembali bertanya.
Entahlah, tiba-tiba Rama penasaran dengan cewek itu. Rasa penasarannya bukan karena soal resep itu, melainkan kemiripan wajahnya dengan seseorang.
"Siapa yang sakit?" Tiba-tiba Rama menanyakannya. Kalimat itu seperti keluar dengan sendirinya.
Cewek itu terdiam. Raut mukanya
Di depan rumah sakit itu, entah mengapa langkah kaki Rama terasa berat. Ia merasa ragu untuk memasuki ruang ICU. Bau obat di sekelilingnya membuatnya seperti sesak napas.Rama melihat langkah Anita semakin jauh. Ia memasuki sebuah ruang di sebelah ujung sana. Rama mengejarnya. Namun langkah cewek itu semakin cepat.Di depan ruang ICU itu, Rama menghentikan langkahnya. Dia tidak langsung masuk. Dari balik tirai jendela itu, dia melihat sebuah monitor hemodinamik. Sebuah alat untuk mengetahui denyut jantung pasien.Di sebelahnya, seorang wanita terbaring lemas tak berdaya.Duh, Gusti, benarkah apa yang dilihatnya? Jantung Rama tiba-tiba berdebar kencang. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia seperti orang bermimpi. Rama kembali memastikan pandangannya. Benarkah dia...."Rama, kenapa kau berdiri disitu?" Sebuah tangan menepuk pundaknya. Anita. Cewek itu tiba-tiba berdiri di samping
Perlahan-lahan Niken membuka matanya. Cewek itu mulai tersadar, namun tubuhnya masih terlihat lemas. Ia melihat Rama berdiri di sampingnya. Namun dia tak berkata apa-apa. Bibirnya nampak pucat."Syukurlah kau sudah sadar," kata Rama. Suaranya terdengar lembut.Cewek itu masih tak bergeming. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar. Lalu perlahan mata bening itu menitikkan airmata. Niken menangis. Rama sedih melihatnya. Dia melihat bening itu terus membasahi pipinya. Sesaat kedua bola matanya yang sembab itu melirik ke arah Rama. Seolah tatapan itu mengharapkan sebuah pertolongan."Kau harus segera sembuh, Niken," Hanya itu kalimat yang bisa Rama ucapkan. Sesaat Rama kemudian terdiam. Ruangan itu jadi hening. Tak ada yang bicara.Tiba-tiba suasana hening itu dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Seorang dokter masuk. Dokter itu kemudian menyuruh Rama dan Anita keluar. D
Rama penasaran. Ia mengejar Anita menuju sebuah taman di sebelah ruangan paviliun rumah sakit. Anita tahu, cowok itu pasti akan menanyakan siapa orangnya.Di taman itu, Anita melihat seorang bocah sedang bermain mengejar kupu-kupu. Dia ditemani seorang pria. Betapa bahagianya anak itu. Anita merasa iri melihatnya. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Kedua orangtuanya bercerai. Itulah sebabnya dia merasa bertanggungjawab terhadap keluarganya. Lebih-lebih ketika Niken mendadak mengidap serangan jantung."Kau masih belum menjawab pertanyaanku," kata Rama mengejutkan lamunannya."Aku kira kau sudah tahu siapa orangnya, Rama," sahut Anita. "Sebelum aku mengenalmu, Niken sering bercerita banyak tentang dirimu."Rama hanya menatap cewek itu. Semakin tidak mengerti arah pembicaraannya. Sesekali dia menghela napas."Seharusnya kau
Di depan ruang ICU itu Rama terkejut. Dia melihat beberapa teman kuliahnya ada disana. Termasuk juga Lastri. Mereka terlihat sibuk. Ada apa dengan Niken? Rama membuang pikiran buruknya jauh-jauh. Dia tak ingin terjadi sesuatu dengan cewek itu."Happy Birthday to You, Happy Birthday to You, Happy Birthday Dear.... Happy Birthday to You...."Lantunan lagu itu terdengar menggema. Rama terkejut. Dia melihat Niken masih terbaring disana. Siapa yang berulang tahun? Rama menghentikan langkahnya, berdiri di ambang pintu.Dari balik tirai jendela ruangan itu, Rama melihat cewek itu tersenyum. Tiba-tiba Rama terkejut, sebuah tangan menarik pundaknya. Lastri. "Masuklah, dia menunggumu," katanya.Rama diam, merasa tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Perlahan dia kemudian melangkahkan kakinya. Sambil memegang kue tar, Rama mendekati Niken yang sedang terbaring. Sementara lagu Happy Birthday to You  
Siang itu tidak seperti biasanya. Cuaca panas membuat Nyonya Marni merasa gerah. Dia melihat sepeda motor Rama masih terparkir di garasinya. Entah mengapa hari ini dia tidak masuk kuliah. Perempuan setengah baya itu mencarinya di kamar. Namun Nyoya Marni tidak menemukan siapa-siapa. Dia hanya melihat kamar Rama yang acak-acakan.Perempuan itu kemudian keluar. Menuju ke samping rumah. Disana, Nyonya Marni melihat Rama sedang duduk di tepi kolam."Rama..."Cowok itu hanya menoleh. Seraya menabur sentrat, cowok itu tidak menggubris kedatangan mamanya. "Hari ini kau tidak kuliah kenapa?" tanya Mamanya."Tidak apa-apa, Ma. Hanya malas saja," sahutnya.Mendengar jawaban itu, Nyonya Marni hanya memandangi anak semata wayangnya. Tidak biasanya dia menjadi anak pemurung. Sejak sepeninggal ayahnya, Rama menjadi anak yang manja. Apalagi dia hanya anak satu-satunya.Nyonya Mar
Rama hanya menggeliat saat mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Ia sudah tahu siapa yang mengetuknya. Mama. Ya, dia pasti Mamanya. Cowok itu tak menggubrisnya. Dia membungkus kembali tubuhnya dengan kain selimut. Lalu kembali mendengkur."Rama, buka pintunya," suara Mamanya kembali berteriak dari luar kamar. Namun panggilan itu tak mendapatkan jawaban. "Ini sudah jam delapan. Kau pasti akan terlambat jika tak segera bangun,"Mendengar teriakan itu, Rama tersentak. Sudah jam delapan. Lamat-lamat telinganya mendengar kalimat itu. Matanya lalu melirik jam weker di atas meja. Benar saja. Jarum pendeknya menunjuk angka delapan kurang sepuluh menit. Cowok itu kemudian beranjak dan meloncat dari atas springbednya. Dia sadar jam delapan Rama harus berada di kampusnya."Ya, Ma," sahut cowok itu langsung menyambar kain handuk di rak stainless. Tidak kurang dari lima menit, dia kemudian keluar dari kamar mandi. Lalu
Langkah Rama terhenti ketika ada seseorang yang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Feri sedang berlarian menghampirinya. "Gimana Rama, jadi dengan rencana kita?" tanyanya. Napasnya sedikit ngos-ngosan."Rancana yang mana?" tanya Rama balik tanya.Rama dan teman-temannya memang mempunyai rencana untuk melakukan camping di gunung Semeru. Rencana itu memang sudah lama. Namun selalu gagal karena banyak kegiatan di kampusnya. "Apa tidak berbahaya kita memilih tempat itu," kata Feri.Bukit Tanjakan Cinta memang cukup menantang. Namun tempat itu sudah disepakati bersama. Mereka tidak bisa merubah dengan menggantikan lokasi lainnya tanpa melalui kesepakatan bersama.Ya, Bukit Tanjakan Cinta, sebuah bukit yang berada di dekat Ranu Kumbolo dan Oro-Oro Ombo. Konon, untuk menuju bukit itu, mereka harus melalui sebuah jalan setapak. Saat mendaki bukit itu, mereka dilarang menoleh ke be
Rama terkejut begitu mendengar suara teriakan. Begitu juga dengan Tedy, Bando dan Feri. Suara teriakan itu berasal dari tenda sebelah. Mereka saling pandang. Sementara jam sudah menunjuk angka delapan. Malam di luar gelap gulita. Hujan deras baru saja reda.Begitu mendengar teriakan itu Rama langsung meloncat. Ia ingin memastikan suara teriakan itu apa benar dari tenda sebelah. Melihat Rama keluar tenda, yang lain pun turut mengikutinya dari belakang.Di dalam tenda itu, Rama melihat Lastri sedang menangis. Gadis itu duduk sambil memeluk kedua lututnya. Sedangkan mahasiswa lainnya masih tertidur pulas. Rupanya mereka kecapaian akibat menempuh perjalanan yang cukup jauh. Sehingga tidak mendengar suara jeritan Lastri."Ada apa, Lastri?" suara Rama terdengar panik. Dia langsung menghampiri gadis itu yang masih terisak menangis.Lastri terdiam. Ia terlihat seperti orang ketakutan.