Semalaman Riska menangis. Dia masih belum percaya bahwa Roy tega mengakhiri hubungan mereka. Dia menangis sampai sesunggukan. Akhirnya dia tertidur karena sudah lelah menangis.
Keesokan paginya, dia terbangun. Dia langsung bercermin melihat wajahnya. Matanya bengkak. Pasti karena menangis semalaman. Dia merasa tidak bergairah untuk bekerja. Dia melihat jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dia berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dicermin. Tiba-tiba dia mendengar pintu apartemennya diketuk.
Tok-tok-tok.
Riska bingung. Dia tahu itu pasti Simon. Dia malu kalau Simon tahu dia telah menangis semalaman. Dia juga malu dan tidak ingin Simon tahu bahwa semalam dia bertengkar, hingga putus bersama Roy karena Roy cemburu pada Simon. Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Akhirnya Riska memberikan diri untuk membukany.
“Aku enggak masuk kerja hari ini, Mon.” ucap Riska dengan wajah menunduk.
“Ris, kok mata kamu bengkak? Kamu kenapa?” tanya Simon dengan terkejut.
“Enggak apa-apa kok. Aku baik-baik aja.” Jawab Riska.
“Baik-baik dari mana? Mata kamu bengkak gitu. Kamu nangis semalaman, ya? Kamu kenapa?” tanya Simon mulai khawatir.
Riska diam saja. Dia bimbang. Apakah dia harus memberitahu Simon bahwa dia dan Roy sudah putus. Namun, dia merasa malu untuk menceritakan hal itu. Akhirnya dia memilih untuk diam saja. Simon yang melihat ekspresi wajah Riska, akhirnya memutuskan tidak bertanya lagi. Dia tidak mau membuat Riska jadi merasa tidak nyaman.
“Yaudah, kalau gitu kamu istirahat aja, ya. Aku berangkat kerja dulu. Nanti aku bawain kamu makanan kesukaan kamu kalau aku udah pulang. Kamu baik-baik, ya.” Kata Simon.
Lalu Simon pergi meninggalkan Riska. Riska langsung cepat-cepat masuk ke dalam apartemennya dan menutup pintu. Dia merasa sangat malu. Ini untuk pertama kalinya Simon melihatnya menangis. Kini dia kembali terisak kembali. Dia masih tidak menyangka, hubungannya dengan Roy kini kandas. Sudah 2 tahun dia jalani bersama Roy. Tentu saat mereka kini telah berjalan sendiri-sendiri, pasti ada sesuatu yang beda.
Saat sampai di tempat dia bekerja, Simon langsung masuk ke area bar. Dia langsung bersiap untuk melakukan pekerjaannya. Namun, dilihatnya pemilik cafe itu datang menghampirinya. Ya, dia adalah Pak Hugo. Berperawakan tinggi dan berwibawa. Umurnya 30 tahun.
“Pagi, Simon. Riska mana?” tanya Pak Hugo.
“Pagi, Pak. Hari ini Riska izin tidak masuk kerja, Pak. Soalnya Riska sedang sakit, Pak.” Kata Simon.
“Sakit? Sakit apa? Bukannya kemarin dia baik-baik aja, ya?” tanya Pak Hugo.
“Iya, Pak. Semalam sehabis pulang, dia muntah-muntah dan pingsan. Katanya perutnya sakit. Bisa jadi dia masuk angin, Pak.” Jawab Simon dengan wajah yang dibuat semeyakinkan mungkin. Sebab, Simon sedang berbohong.
“Wah, parah juga, ya. Yaudah, nanti kamu kalau mau pulang temui saya, ya. Saya ada bingkisan buat Riska, kebetulan juga dia lagi sakit, jadi nanti kasihkan aja buat dia, sekalian bilang semoga dia cepat sembuh.” kata Pak Hugo.
Simon mengangguk. Pak Hugo pergi dari sana untuk mengecek hal lainnya. Simon memperhatikan Pak Hugo dengan seksama dari jauh, sepeninggal bosnya itu.
“Kayaknya Pak Hugo naksir sama Riska, nih.” gumam Simon dengan pelan.
Setelah itu Simon kembali sibuk dengan pekerjaannya. Saat jam menunjukkan pukul 5 sore dan Simon sedang sibuk menyiapkan berbagai macam pesanan minuman pelanggan, tiba-tiba Pak Hugo datang menghampiri Simon. Dia hendak mempersilahkan Simon untuk pulang lebih awal hari ini. Pak Hugo sangat menyukai kinerja Simon. Dia cekatan dan ramah kepada tamu. Jadi, tidak ada salahnya dia memberikan Simon keistimewaan hari ini, lagi pula itu sengaja ia lakukan agar dia bisa tenang. Sebab dia menaruh hati kepada Riska. Dia ingin Simon bisa menjaga Riska. Dia tahu bahwa mereka teman dekat. Apa lagi Simon dan Riska satu apartemen, mereka bersebelahan. Pasti kalau ada apa-apa Riska memerlukan bantuan Simon.
“Simon, kamu udah boleh pulang.” kata Pak Hugo.
“Hah, pulang? Ini kan belum waktunya jam pulang, Pak.” ucap Simon kebingungan.
“Tenang, saya bukan ngusir kamu. Hari ini kamu boleh pulang lebih awal karena saya tahu Riska lagi sakit. Pasti dia setidaknya butuh kamu kalau ada apa-apa. Kamu kan temannya. Sekalian nih kamu kasih bingkisan ini untuk dia, sudah saya siapkan.” ucap Pak Hugo sambil menyodorkan bingkisan kepada Simon.
“Wah, bapak baik banget. Baru kali ini loh saya temui bos yang baik begini sama pekerjanya. Makasih ya, Pak. Nanti saya kasih sama Riska, Pak.” ucap Simon sambil mengambil bingkisan itu dari tangan Pak Hugo.
“Iya, itu juga karena kalian pekerja saya yang baik dan kinerjanya bagus juga, jadi tidak ada salahnya saya kasih kalian keistimewaan sesekali, kan.” ucap Pak Hugo.
“Baik kalau gitu, makasih ya, Pak.” kata Simon sambil menganggukkan kepalanya tanda menghormati dan berterima kasih.
“Sama-sama.” Jawab Pak Hugo.
Sependapat Pak Hugo, Simon bersiap-siap hendak pulang. Hatinya senang karena bisa pulang lebih awal. Itu tandanya dia bisa istirahat lebih awal. Kebetulan ini adalah hari Sabtu. Itu artinya malam Minggu. Sudah lama dia tidak merasakan weekend di rumah. Biasanya dia lalui dengan bekerja lembur. Saat dia sedang bersiap-siap, dia melihat ada perempuan yang masuk cafe itu. Perempuan itu. Perempuan yang selalu diperhitungkannya dan ditungu setiap sore.
“Niki.” gumamnya pelan.
Dilihatnya perempuan itu kali ini memilih duduk sangat dekat sekali dengan bar. Hari ini dia menggunakan sepatu flat. Bajunya juga santai. Mungkin karena ini weekend. Rambutnya kali ini diikat kuda. Dia cantik sekali, pikir Simon. Perempuan itu semakin mendekat. Dia melihat Simon dan tersenyum.
“Aku pesan seperti biasa, ya.” ucap perempuan itu kepada Simon.
Simon yang hendak pulang menjadi bingung. Akhirnya barista lain yang ada di sana mengambil alih pekerjaan Simon.
“Udah kamu pulang saja, Mon. Biar aku aja yang layani.” kata barista lain yang ada di sana.
Barista di sana memang ada dua. Pelayan di cafe itu juga ada beberpa. Bukan hanya Simon dan Riska saja. Kebetulan saja Simon dan Riska dekat dengan pemilik cafe itu, pak Hugo. Sebab, mereka orang-orang kepercayaannya dan yang disukai pak Hugo karena kinerjanya. Akhirnya Simon mengikuti kata temannya itu. Namun, hatinya agak sedikit tidak terima. Dia ingin melayani perempuan yang ditaksirnya. Namun, dia harus bergegas pulang.
Simon keluar dari dalam bar itu lalu pergi melewati perempuan itu. Dia sempat melihat perempuan itu dan melemparkan senyum, tapi perempuan itu tidak melihat Simon. Dia sibuk dengan laptopnya. Simon berjalan keparkiran mobilnya. Dia membuka pintu mobil lalu masuk dan menghidupkan mesin. Setelah itu dia menyetir mobilnya dengan laju yang kuat.
Saat sampai di apartemennya. Dia memarkirkan mobilnya lalu masuk kedalam gedung itu. Dia naik lift untuk menuju apartemennya yang ada dilantai atas nomor 24 bersebelahan dengan apartemen Riska. Dia keluar dari dalam lift langsung menuju apartemen Riska. Dia mengetuk pintu apartemen Riska sambil menenteng bingkisan yang diberikan oleh pak Hugo kepadanya tadi. Pintu apartemen itu terbuka. Riska yang melihat Simon, kaget.
“Simon, kok kamu udah pulang?” tanya Riska bingung.
“Iya, nih. Pak Hugo nyuruh aku pulang lebih awal dan nitip ini juga buat dikasih sama kamu. Nih,” ucap Simon sambil menyodorkan bingkisan yang dibawanya kepada Riska.
“Pak Hugo? Kok, dia baik banget. Aku jadi enggak enak, nih.” kata Riska merasa aneh.
“Kayaknya pak Hugo ada rasa deh sama kamu.” kata Simon.
“Gila! Yang benar aja. Enggak mungkinlah.” jawab Riska sambil masuk kedalam apartemen yang diikuti Simon.
“Benar, Ris. Dia perhatian banget. Buktinya sampai ngasih bingkisan segala. Apa coba namanya kalau bukan naksir?” ucap Simon.
“Palingan ini juga bentuk rasa peduli dia sama karyawan. Kamu enggak usah berlebihan gitu, deh.” kata Riska.
“Terserah kamu, deh.” kata Simon.
Riska membuka bingkisan yang di bawa Simon. Ternyata makanan. Ada juga beberapa Snack untuk cemilan. Ada coklat. Riska terbelalak dibuatnya.
“Ya, ampun. Ini banyak banget.” Mata Riska membesar dan bersinar melihat semua itu. Dia senang.
“Aku mau dong.” Simon mengambil salah satu snack dan lamgsung membukanya.
“Pak Hugo baik banget, ya.” kata Riska.
“Namanya juga lagi naksir, ya pasti baiklah.” jawab Simon.
Buk! Riska menimpuk Simon dengan snack yang dipegangnya.
“Jangan sembarangan ngomong kamu, ya. Enak aja.” ucap Riska dengan merengut.
“Memang benar, kan? Cuma sama kamu aja pak Hugo begini. Lagian, tadi pas aku bilang kamu sakit dia kelihatan khawatir gitu. Oh iya, pak Hugo juga bilang semoga kamu cepat sembuh.” kata Simon memberitahukan.
“Pak Hugo emang baik. Bukan karena ada sesuatu.” kata Riska.
“Iya deh, terserah kamu.” jawab Simon.
Saat Riska sedang menyimpang sebagai snack untuk dimakan nanti, Simon memperhatikannya. Dilihatnya mata Riska mulai mengecil. Tidak sebengkak tadi pagi. Wajahnya juga tidak sesembab tadi pagi. Simon masih menerka-nerka apa sebenarnya yang terjadi pada Riska. Dia hendak bertanya tapi tidak berani. Akhirnya dia memilih dia saja dan melanjutkan memakan snack sambil mengambil remot televisi dan menghidupkannya.
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska
"Mbak, saya pesan teh manis dinginnya satu, ya." kata seorang perempuan, sambil membenarkan letak tasnya yang semula dibelakang, kini ia pindahkan kedepan.Perempuan dengan tas selempang yang ia kenakan, beserta rambut sebahunya yang tertiup kipas angin didalam cafe itu, menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Ia baru saja pulang dari kantor tempat ia bekerja. Jam menunjukkan pukul 5 sore tepat saat dia berada di cafe itu. Setelah ia berkata demikian, pelayan tersebut pergi untuk menyiapkan pesanannya. Saat pelayan pergi, ia membuka laptop yang sudah disiapkannya di atas meja itu. Dia mengecek kembali pekerjaan-pekerjaannya. Saat itu ia menggunakan baju putih yang dipadukan dengan blazer warna hitam serta celana bahan yang membuatnya kelihatan sangat formal, ditambah dengan sepatu heels berwarna hitam yang sangat cocok dengan kakinya, sehingga terlihat sangat jenjang. Kira-kira wanita itu mempunyai tinggi sekitar 65-67 cm.Dia biasa mampir di cafe itu setiap sore sebelu
Saat kejadian itu, Simon suka sekali memperhatikan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa dirinya telah diperhatikan oleh seorang lelaki sudah mulai dari tiga bulan lalu. Saat ini, Simon menimang-nimang dalam hatinya untuk memberanikan diri menyapa perempuan itu. Dia merasa sudah cukup menjadi pengagum rahasia perempuan itu. Dia sudah menyusun rencana. Biasanya saat hendak pulang, pasti perempuan itu memesan coklat panas untuk dibawa pulang beserta cake yang dipesan juga untuk dibungkus dan dibawa pulang.Simon sama sekali tidak tahu untuk apa cake dan coklat panas itu. Mungkin saja untuk ia makan malam hari nanti atau sekedar cemilan dia saja. Biasanya perempuan itu yang akan mengambil sendiri dari meja bar minuman yang ia pesan beserta cake itu. Dan selalu saja Simon yang memberikannya. Sengaja Simon meminta hal tersebut kepada pelayan perempuan itu yang tak lain adalah teman kerjanya sendiri. Dan temannya itu sudah hafal sekali trik Simon. Hal itu sema
"Yuk, Ris. Udah larut, nih. Lama banget sih kamu. Mau sampai jam berapa lagi kita keapartemen?" kata Simon sambil menyilangkan tangannya didepan dada. "Sabar dong, Mon. Ini aku udah siap, kok." jawab Riska sambil memakai tas selempangnya. Riska segera menghampiri Simon yang sudah ada di dalam mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan masuk. "Yuk, tancap gas!" kata Riska. "Dasar kamu!" Simon geleng-geleng kepala. "Kenapa sih , Mon. Kayaknya kamu sewot terus deh lihat aku. Heran deh. Sekali-sekali kamu itu senang dong lihat aku. Ini malah ngumpat terus. Enggak asik ah kamu, Mon." kata Riska dengan wajah manyun. "Habis wajah kamu ngeselin, Ris. Hahahaha." Simon tertawa sambil menghidupkan mesin mobil, lalu mereka melaju dari sana. "Sialan kamu!" Riska meninju bahu Simon pelan. Sepanjang jalan mereka bernyanyi dengan musik yang melantun dari mobil. Selera musik mereka sama. Sudah tiga bulan lamanya semenjak mereka b
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska
Semalaman Riska menangis. Dia masih belum percaya bahwa Roy tega mengakhiri hubungan mereka. Dia menangis sampai sesunggukan. Akhirnya dia tertidur karena sudah lelah menangis. Keesokan paginya, dia terbangun. Dia langsung bercermin melihat wajahnya. Matanya bengkak. Pasti karena menangis semalaman. Dia merasa tidak bergairah untuk bekerja. Dia melihat jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dia berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dicermin. Tiba-tiba dia mendengar pintu apartemennya diketuk. Tok-tok-tok. Riska bingung. Dia tahu itu pasti Simon. Dia malu kalau Simon tahu dia telah menangis semalaman. Dia juga malu dan tidak ingin Simon tahu bahwa semalam dia bertengkar, hingga putus bersama Roy karena Roy cemburu pada Simon. Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Akhirnya Riska memberikan diri untuk membukany. “Aku enggak masuk kerja hari ini, Mon.” ucap Riska dengan wajah menunduk. “Ris, kok mata kamu bengkak? Kamu
"Yuk, Ris. Udah larut, nih. Lama banget sih kamu. Mau sampai jam berapa lagi kita keapartemen?" kata Simon sambil menyilangkan tangannya didepan dada. "Sabar dong, Mon. Ini aku udah siap, kok." jawab Riska sambil memakai tas selempangnya. Riska segera menghampiri Simon yang sudah ada di dalam mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan masuk. "Yuk, tancap gas!" kata Riska. "Dasar kamu!" Simon geleng-geleng kepala. "Kenapa sih , Mon. Kayaknya kamu sewot terus deh lihat aku. Heran deh. Sekali-sekali kamu itu senang dong lihat aku. Ini malah ngumpat terus. Enggak asik ah kamu, Mon." kata Riska dengan wajah manyun. "Habis wajah kamu ngeselin, Ris. Hahahaha." Simon tertawa sambil menghidupkan mesin mobil, lalu mereka melaju dari sana. "Sialan kamu!" Riska meninju bahu Simon pelan. Sepanjang jalan mereka bernyanyi dengan musik yang melantun dari mobil. Selera musik mereka sama. Sudah tiga bulan lamanya semenjak mereka b
Saat kejadian itu, Simon suka sekali memperhatikan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa dirinya telah diperhatikan oleh seorang lelaki sudah mulai dari tiga bulan lalu. Saat ini, Simon menimang-nimang dalam hatinya untuk memberanikan diri menyapa perempuan itu. Dia merasa sudah cukup menjadi pengagum rahasia perempuan itu. Dia sudah menyusun rencana. Biasanya saat hendak pulang, pasti perempuan itu memesan coklat panas untuk dibawa pulang beserta cake yang dipesan juga untuk dibungkus dan dibawa pulang.Simon sama sekali tidak tahu untuk apa cake dan coklat panas itu. Mungkin saja untuk ia makan malam hari nanti atau sekedar cemilan dia saja. Biasanya perempuan itu yang akan mengambil sendiri dari meja bar minuman yang ia pesan beserta cake itu. Dan selalu saja Simon yang memberikannya. Sengaja Simon meminta hal tersebut kepada pelayan perempuan itu yang tak lain adalah teman kerjanya sendiri. Dan temannya itu sudah hafal sekali trik Simon. Hal itu sema
"Mbak, saya pesan teh manis dinginnya satu, ya." kata seorang perempuan, sambil membenarkan letak tasnya yang semula dibelakang, kini ia pindahkan kedepan.Perempuan dengan tas selempang yang ia kenakan, beserta rambut sebahunya yang tertiup kipas angin didalam cafe itu, menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Ia baru saja pulang dari kantor tempat ia bekerja. Jam menunjukkan pukul 5 sore tepat saat dia berada di cafe itu. Setelah ia berkata demikian, pelayan tersebut pergi untuk menyiapkan pesanannya. Saat pelayan pergi, ia membuka laptop yang sudah disiapkannya di atas meja itu. Dia mengecek kembali pekerjaan-pekerjaannya. Saat itu ia menggunakan baju putih yang dipadukan dengan blazer warna hitam serta celana bahan yang membuatnya kelihatan sangat formal, ditambah dengan sepatu heels berwarna hitam yang sangat cocok dengan kakinya, sehingga terlihat sangat jenjang. Kira-kira wanita itu mempunyai tinggi sekitar 65-67 cm.Dia biasa mampir di cafe itu setiap sore sebelu