"Mbak, saya pesan teh manis dinginnya satu, ya." kata seorang perempuan, sambil membenarkan letak tasnya yang semula dibelakang, kini ia pindahkan kedepan.
Perempuan dengan tas selempang yang ia kenakan, beserta rambut sebahunya yang tertiup kipas angin didalam cafe itu, menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Ia baru saja pulang dari kantor tempat ia bekerja. Jam menunjukkan pukul 5 sore tepat saat dia berada di cafe itu. Setelah ia berkata demikian, pelayan tersebut pergi untuk menyiapkan pesanannya. Saat pelayan pergi, ia membuka laptop yang sudah disiapkannya di atas meja itu. Dia mengecek kembali pekerjaan-pekerjaannya. Saat itu ia menggunakan baju putih yang dipadukan dengan blazer warna hitam serta celana bahan yang membuatnya kelihatan sangat formal, ditambah dengan sepatu heels berwarna hitam yang sangat cocok dengan kakinya, sehingga terlihat sangat jenjang. Kira-kira wanita itu mempunyai tinggi sekitar 65-67 cm.
Dia biasa mampir di cafe itu setiap sore sebelum ia kembali ke apartemennya. Tidak ada teman yang datang bersamanya. Dia selalu sendiri. Dan dia selalu terlihat serius. Pernah sesekali ada tamu yang dengan sopan dan ramah menyapanya, tapi dia tak bergeming. Pasti setiap orang yang mendapat perlakuan seperti itu langsung menganggapnya orang yang sombong.
Perempuan itu tengah sibuk mengecek pekerjaannya. Sementara di sana, ada seorang lelaki yang memperhatikannya dengan seksama sambil membuat minuman yang perempuan itu pesan. Ya, dia adalah barista di cafe itu. Barista tersebut sudah sering melihat perempuan itu, bahkan dia sudah hafal pesanan perempuan tersebut. Setiap hari biasa, wanita itu akan memesan teh manis dingin. Namun, saat hari weekend pasti perempuan itu memesan coklat panas.
Barista tersebut sudah menyiapkan minuman yang diminta oleh perempuan itu. Pelayan pun mengantarkan kemeja perempuan itu. Saat pelayan memberikan pesanannya, perempuan itu berterima kasih sambil memperlihatkan senyum tipis kepada pelayan itu.
"Makasih ya, Mbak," ucapnya sambil memandang pelayan itu dan kembali fokus kepada laptopnya
Pelayan itu membalas dengan anggukan dan senyum manis. Sepeninggal pelayanan itu, dia sibuk dengan pekerjaannya. Barista yang memandangnya sedari tadi, kini masih saja memandang dia. Kebetulan saat itu pengunjung di cafe itu agak sepi, sehingga dia mempunyai banyak waktu untuk memandang perempuan itu dengan seksama. Perempuan yang dari tadi dipandang itu, tidak menyadarinya.
Tiba-tiba pelayan yang mengantarkan pesanan perempuan itu, menghampiri barista yang tengah memperhatikan perempuan itu.
"Kamu itu, ya. Nanti kalau ketahuan kamu suka memperhatikan dia, bisa barabe loh urusannya. Kalau dia merasa risih, gimana?" ujar pelayan itu dengan menatap tajam mata lelaki itu sambil menyilangkan kedua tangannya.
"Ya, jangan sampe dia tahu dong kalau aku lagi memperhatikan dia. Ya, semoga aja dia enggak risih." jawab lelaki itu sambil tetap memperhatikan Perempuan itu dan senyum manis menghiasi bibirnya.
"Dasar kamu itu, tinggal ajak kenalan aja kok susah, sih. Pengecut kamu! Udah dari berapa bulan yang lalu coba kamu hanya berani memperhatikan dia dari jauh gini?" tanya pelayan itu lagi dengan wajah serius.
"Ya, namanya juga masih awal. Enggak mungkin dong aku main pepet aja. Justru nanti hal itu yang buat dia jadi risih. Biar aku lancarkan aksi pelan-pelan aja, deh." Laki-laki itu membetulkan posisi ia berdiri.
"Ayolah, Mon. Masa udah selama ini kamu masih enggak berani juga ngajak dia kenalan." Pelayan itu mendesak lelaki itu sambil melotot.
"Yaelah, sabar dong. Ini bukan hal yang mudah, mengingat dia juga orang yang sangat serius. Aku harus menyiapkan dengan matang dong, walau hanya untuk perkenalan doang," ucap lelaki itu sambil memainkan alis matanya naik turun untuk meminta persetujuan.
"Iyadeh. Udah kamu buatin lagi tuh pesanan pelanggan yang baru, jangan mandangi dia terus. Kerja-kerja-kerja!" kata pelayan itu dengan wajah yang dibuat sinis.
Lalu pelayan perempuan itu pergi meninggalkan Simon dari sana. Ia kembali melakukan pekerjaannya. Simon masih memandangi perempuan itu. Ya, Simon adalah barista yang ada di cafe itu. Cafe itu bernama Cafe Senandika. Di sanalah Simon bekerja, sudah 3 bulan lamanya ia bekerja disana. Simon berasal dari kota Bandung. Ia merantau di Jakarta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sudah 3 bulan ini Simon memperhatikan perempuan itu. Mulai dari 3 bulan lalu awal perempuan itu berkunjung di cafe tempat ia bekerja. Saat pertama kali melihat perempuan itu, dia terpukau. Saat itu Simon sedang menyiapkan coklat panas untuk tamu yang ada di cafe itu. Kebetulan saat itu sedang gerimis. Tiba-tiba pintu cafe itu terbuka dan masuklah seorang perempuan dengan rambut sebahu yang agak lepek karena basah sehabis dari luar terkena gerimis. Namun, perempuan itu tetap terlihat memukau dimata Simon. Perempuan itu mengibaskan rambutnya yang basah, lalu ia memandang sekeliling cafe itu. Matanya beradu dengan mata Simon yang memandangnya. Sepersekian detik dia langsung mengalihkan pandangannya ke sudut meja yang ia pilih. Dia bergerak kearah meja itu dan duduk di sana.
Perempuan itu mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. Pelayan datang menghampiri perempuan itu dan menyodorkan menu kepadanya sambil berkata;
"Silahkan, mau pesan apa, Mbak?" kata pelayan itu dengan sopan dan ramah, senyum lebar menghiasi bibirnya.
"Mbak, saya pesan coklat panas, ya. Soalnya dari luar habis kena hujan. Dingin." kata perempuan itu sambil mendekap tangannya sendiri.
"Hanya itu saja, Mbak?" tanya pelayan itu untuk meyakinkan pesanan perempuan itu.
"Iya Mbak. Nanti kalau saya mau pesan lagi, saya pasti panggil Mbak." ucapnya dengan tatapan mata yang tajam.
Pelayan itu akhirnya pamit untuk menyiapkan pesanan perempuan itu. Perempuan itu menanggapi dengan anggukan kepala dan senyum yang sangat tipis, sehingga tidak terlalu kentara.
Saat kejadian itu, Simon suka sekali memperhatikan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa dirinya telah diperhatikan oleh seorang lelaki sudah mulai dari tiga bulan lalu. Saat ini, Simon menimang-nimang dalam hatinya untuk memberanikan diri menyapa perempuan itu. Dia merasa sudah cukup menjadi pengagum rahasia perempuan itu. Dia sudah menyusun rencana. Biasanya saat hendak pulang, pasti perempuan itu memesan coklat panas untuk dibawa pulang beserta cake yang dipesan juga untuk dibungkus dan dibawa pulang.Simon sama sekali tidak tahu untuk apa cake dan coklat panas itu. Mungkin saja untuk ia makan malam hari nanti atau sekedar cemilan dia saja. Biasanya perempuan itu yang akan mengambil sendiri dari meja bar minuman yang ia pesan beserta cake itu. Dan selalu saja Simon yang memberikannya. Sengaja Simon meminta hal tersebut kepada pelayan perempuan itu yang tak lain adalah teman kerjanya sendiri. Dan temannya itu sudah hafal sekali trik Simon. Hal itu sema
"Yuk, Ris. Udah larut, nih. Lama banget sih kamu. Mau sampai jam berapa lagi kita keapartemen?" kata Simon sambil menyilangkan tangannya didepan dada. "Sabar dong, Mon. Ini aku udah siap, kok." jawab Riska sambil memakai tas selempangnya. Riska segera menghampiri Simon yang sudah ada di dalam mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan masuk. "Yuk, tancap gas!" kata Riska. "Dasar kamu!" Simon geleng-geleng kepala. "Kenapa sih , Mon. Kayaknya kamu sewot terus deh lihat aku. Heran deh. Sekali-sekali kamu itu senang dong lihat aku. Ini malah ngumpat terus. Enggak asik ah kamu, Mon." kata Riska dengan wajah manyun. "Habis wajah kamu ngeselin, Ris. Hahahaha." Simon tertawa sambil menghidupkan mesin mobil, lalu mereka melaju dari sana. "Sialan kamu!" Riska meninju bahu Simon pelan. Sepanjang jalan mereka bernyanyi dengan musik yang melantun dari mobil. Selera musik mereka sama. Sudah tiga bulan lamanya semenjak mereka b
Semalaman Riska menangis. Dia masih belum percaya bahwa Roy tega mengakhiri hubungan mereka. Dia menangis sampai sesunggukan. Akhirnya dia tertidur karena sudah lelah menangis. Keesokan paginya, dia terbangun. Dia langsung bercermin melihat wajahnya. Matanya bengkak. Pasti karena menangis semalaman. Dia merasa tidak bergairah untuk bekerja. Dia melihat jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dia berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dicermin. Tiba-tiba dia mendengar pintu apartemennya diketuk. Tok-tok-tok. Riska bingung. Dia tahu itu pasti Simon. Dia malu kalau Simon tahu dia telah menangis semalaman. Dia juga malu dan tidak ingin Simon tahu bahwa semalam dia bertengkar, hingga putus bersama Roy karena Roy cemburu pada Simon. Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Akhirnya Riska memberikan diri untuk membukany. “Aku enggak masuk kerja hari ini, Mon.” ucap Riska dengan wajah menunduk. “Ris, kok mata kamu bengkak? Kamu
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska
Semalaman Riska menangis. Dia masih belum percaya bahwa Roy tega mengakhiri hubungan mereka. Dia menangis sampai sesunggukan. Akhirnya dia tertidur karena sudah lelah menangis. Keesokan paginya, dia terbangun. Dia langsung bercermin melihat wajahnya. Matanya bengkak. Pasti karena menangis semalaman. Dia merasa tidak bergairah untuk bekerja. Dia melihat jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dia berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dicermin. Tiba-tiba dia mendengar pintu apartemennya diketuk. Tok-tok-tok. Riska bingung. Dia tahu itu pasti Simon. Dia malu kalau Simon tahu dia telah menangis semalaman. Dia juga malu dan tidak ingin Simon tahu bahwa semalam dia bertengkar, hingga putus bersama Roy karena Roy cemburu pada Simon. Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Akhirnya Riska memberikan diri untuk membukany. “Aku enggak masuk kerja hari ini, Mon.” ucap Riska dengan wajah menunduk. “Ris, kok mata kamu bengkak? Kamu
"Yuk, Ris. Udah larut, nih. Lama banget sih kamu. Mau sampai jam berapa lagi kita keapartemen?" kata Simon sambil menyilangkan tangannya didepan dada. "Sabar dong, Mon. Ini aku udah siap, kok." jawab Riska sambil memakai tas selempangnya. Riska segera menghampiri Simon yang sudah ada di dalam mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan masuk. "Yuk, tancap gas!" kata Riska. "Dasar kamu!" Simon geleng-geleng kepala. "Kenapa sih , Mon. Kayaknya kamu sewot terus deh lihat aku. Heran deh. Sekali-sekali kamu itu senang dong lihat aku. Ini malah ngumpat terus. Enggak asik ah kamu, Mon." kata Riska dengan wajah manyun. "Habis wajah kamu ngeselin, Ris. Hahahaha." Simon tertawa sambil menghidupkan mesin mobil, lalu mereka melaju dari sana. "Sialan kamu!" Riska meninju bahu Simon pelan. Sepanjang jalan mereka bernyanyi dengan musik yang melantun dari mobil. Selera musik mereka sama. Sudah tiga bulan lamanya semenjak mereka b
Saat kejadian itu, Simon suka sekali memperhatikan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa dirinya telah diperhatikan oleh seorang lelaki sudah mulai dari tiga bulan lalu. Saat ini, Simon menimang-nimang dalam hatinya untuk memberanikan diri menyapa perempuan itu. Dia merasa sudah cukup menjadi pengagum rahasia perempuan itu. Dia sudah menyusun rencana. Biasanya saat hendak pulang, pasti perempuan itu memesan coklat panas untuk dibawa pulang beserta cake yang dipesan juga untuk dibungkus dan dibawa pulang.Simon sama sekali tidak tahu untuk apa cake dan coklat panas itu. Mungkin saja untuk ia makan malam hari nanti atau sekedar cemilan dia saja. Biasanya perempuan itu yang akan mengambil sendiri dari meja bar minuman yang ia pesan beserta cake itu. Dan selalu saja Simon yang memberikannya. Sengaja Simon meminta hal tersebut kepada pelayan perempuan itu yang tak lain adalah teman kerjanya sendiri. Dan temannya itu sudah hafal sekali trik Simon. Hal itu sema
"Mbak, saya pesan teh manis dinginnya satu, ya." kata seorang perempuan, sambil membenarkan letak tasnya yang semula dibelakang, kini ia pindahkan kedepan.Perempuan dengan tas selempang yang ia kenakan, beserta rambut sebahunya yang tertiup kipas angin didalam cafe itu, menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Ia baru saja pulang dari kantor tempat ia bekerja. Jam menunjukkan pukul 5 sore tepat saat dia berada di cafe itu. Setelah ia berkata demikian, pelayan tersebut pergi untuk menyiapkan pesanannya. Saat pelayan pergi, ia membuka laptop yang sudah disiapkannya di atas meja itu. Dia mengecek kembali pekerjaan-pekerjaannya. Saat itu ia menggunakan baju putih yang dipadukan dengan blazer warna hitam serta celana bahan yang membuatnya kelihatan sangat formal, ditambah dengan sepatu heels berwarna hitam yang sangat cocok dengan kakinya, sehingga terlihat sangat jenjang. Kira-kira wanita itu mempunyai tinggi sekitar 65-67 cm.Dia biasa mampir di cafe itu setiap sore sebelu