"Yuk, Ris. Udah larut, nih. Lama banget sih kamu. Mau sampai jam berapa lagi kita keapartemen?" kata Simon sambil menyilangkan tangannya didepan dada.
"Sabar dong, Mon. Ini aku udah siap, kok." jawab Riska sambil memakai tas selempangnya.
Riska segera menghampiri Simon yang sudah ada di dalam mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan masuk.
"Yuk, tancap gas!" kata Riska.
"Dasar kamu!" Simon geleng-geleng kepala.
"Kenapa sih , Mon. Kayaknya kamu sewot terus deh lihat aku. Heran deh. Sekali-sekali kamu itu senang dong lihat aku. Ini malah ngumpat terus. Enggak asik ah kamu, Mon." kata Riska dengan wajah manyun.
"Habis wajah kamu ngeselin, Ris. Hahahaha." Simon tertawa sambil menghidupkan mesin mobil, lalu mereka melaju dari sana.
"Sialan kamu!" Riska meninju bahu Simon pelan.
Sepanjang jalan mereka bernyanyi dengan musik yang melantun dari mobil. Selera musik mereka sama. Sudah tiga bulan lamanya semenjak mereka bekerja di cafe itu membuat mereka sangat akrab. Riska sudah seperti adiknya sendiri. Ditambah apartemen mereka bersebelahan. Simon sering kali berada di apartemen Riska untuk makan bersama atau sekedar numpang mandi. Padahal ia punya apartemen sendiri. Awalnya Riska tidak habis pikir dengan Simon, bisa-bisanya dia mandi di apartemen miliknya, padahal Simon punya apartemen sendiri. Dan apartemen mereka juga berdekatan. Riska tahu bahwa Simon kekurangan perhatian. Sehingga saat bersama Riska, Simon begitu nyaman karena Riska sudah seperti adiknya sendiri. Simon anak tunggal, dimana kedua orang tuanya sangat sibuk bekerja. Dan itu membuat Simon tumbuh tanpa adanya perhatian dan kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan. Kedua orang tuanya lebih mementingkan mencari materi untuk keperluan dan masa depan Simon, tapi bukan itu yang Simon inginkan. Hingga suatu hari dia memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan memilih bekerja apa saja untuk memulai dari awal. Dia tidak berkuliah. Padahal orang tuanya menyuruhnya kuliah dan termasuk keluarga yang berada. Namun, karena Simon tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka, jadi ia memilih menjalani hidupnya sendiri. Dia ingin mandiri.
Riska menjadi satu-satunya orang tempat Simon menumpahkan segala cerita hidupnya. Hingga terkadang kekasih Riska cemburu kepada Simon. Sering kali Simon meminta maaf karena membuat hubungan Riska dan kekasihnya bertengkar karena keberadaannya. Namun, Riska selalu memberikan penjelasan dan keyakinan bahwa ia dan Simon hanya teman biasa saja. Tidak lebih. Lagi pula saat ini Simon sudah menyukai perempuan lain, sehingga tidak ada lagi yang perlu disalah pahami. Mereka murni berteman biasa.
"Kamu enggak mau beli makan malam, Mon?" tanya Riska.
"Lah, bukannya tadi kita udah makan? Ini udah jam 10, masih mau makan lagi?" tanya Simon dengan wajah heran.
"Aku laper lagi nih, Mon. Kamu beliin dong sana. Aku males banget nih kebawah," ujar Riska dengan manja.
"Dih, kamu diet aja deh. Males juga aku kebawah buat beli. Udah ya aku balik nih, mau tidur." Simon pergi meninggalkan Riska. Sebenarnya itu hanyalah alasan Simon saja, karena dia tidak mau disuruh Riska.
"Sialan banget sih kamu, Mon. Dimintai tolong malah pergi. Dasar teman enggak bisa diandalkan kamu." kata Riska dengan sinis.
Simon tertawa terbahak-bahak sambil pergi dari apartemen Riska. Riska tahu bahwa Simon hanya alasan saja, dia tahu sebenarnya Simon belum mau tidur, tapi karena Simon males dimintai tolong akhirnya dia berkata seperti itu. Saat Simon pergi, tiba-tiba pintu apartemen Riska ada yang ngetuk. Riska membukakan pintu. Dia kaget melihat siapa yang datang.
"Sayang," ujar Riska dengan kaget. Dia bingung, ada apa gerangan kekasihnya datang sudah jam segini?
"Hai, kamu habis pulang kerja, ya?" tanya lelaki itu dengan wajah serius.
"Iya, aku baru aja pulang bareng Simon." kata Riska sambil menatap kekasihnya itu.
"Oh, gitu ya. Terus Simon mana? Biasanya pasti nangkring dulu di apartemen kamu." jawab laki-laki itu.
"Baru aja dia balik, terus kamu datang." ujar Riska sambil menatap lelaki itu dengan menyelidik.
"Oh, jadi aku terlambat, ya." kata lelaki itu dengan raut wajah yang mengeras.
"Hah, maksud kamu?" Riska bingung.
"Iya, jadi kedatangan aku kesini sebenarnya untuk bilang sama kamu, kalau kita sampai sini aja, ya." kata lelaki itu dengan serius.
"Maksud kamu apa sih sayang?" Riska semakin heran dan kebingungan.
"Apa kurang jelas? Aku bilang hubungan kita sampai sini aja, ya. Aku benar-benar enggak bisa lagi jalani hubungan ini sama kamu. Aku benar-benar merasa bahwa kamu sama Simon itu ada apa-apanya," ucap laki-laki itu dengan amarah yang ditahan.
"Sayang, kamu kok ngomong gitu sih. Kalau Simon dengar, nanti enggak enak tahu enggak." Riska merasa tidak nyaman.
"Tuh, kan. Kamu lebih menjaga perasaan dia dari pada aku. Kamu sadar enggak sih, sebenarnya kamu sama Simon itu saling suka, tapi kalian sembunyi dibalik pertemanan kalian." Lelaki itu meninggikan suaranya.
"Kamu apa-apaan sih, Roy. Aku sama Simon enggak pernah saling suka. Lagi pula, Simon itu punya perempuan yang dia taksir sendiri. Kamu jangan terlalu cemburu gitu, dong." Riska mulai terpancing.
"Siapa sih yang enggak cemburu lihat pacarnya sering pulang bareng sama laki-laki lain. Sering makan bareng sama laki-laki lain. Sering berduan di apartemen. Sering ngekor kamu, kemana pun kamu pergi. Apa namanya coba kalau enggak ada perasaan, hah?" Lelaki itu menatap Riska dengan tatapan tajam.
"Pikiran kamu jauh banget, Roy. Kami murni cuma teman aja. Itu juga karena kita satu kerjaan dan apartemen kita bersebelahan, jadi buat kita semakin akrab. Kalau kamu enggak suka dan itu buat kamu cemburu, aku minta maaf. Mulai saat ini aku bakalan jaga jarak sama Simon. Aku enggak mau kamu jadi marah terus. Aku sayang sama kamu." Riska melunak.
"Enggak bisa! Selama tiga bulan ini aku udah bersabar. Semenjak ada dia, aku merasa kamu berbeda. Keputusan aku udah bulat. Kita sampai di sini aja, ya. Aku pamit, Ris." Lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan Riska.
"Sayang, kamu apa-apaan sih. Kamu enggak bisa gini, dong." Riska mencoba menahan lelaki itu, tapi nihil.
Riska mulai sedih, matanya mulai berkaca-kaca. Dia sangat mencintai Roy. Sudah 2 tahun dia berpacaran dengan Roy. Dia tidak percaya bahwa kedekatannya dengan Simon membuat Roy sebegitu cemburunya. Dia sangat menyayangkan hal itu dan merasa bersalah. Dia menangis, memohon agar Roy mempertimbangkan sekali lagi. Riska tidak mau putus dengan Roy. Sayangnya keputusan Roy sudah bulat. Roy pergi meninggalkan Riska yang menangis di sana. Bahkan dia sama sekali tidak menoleh untuk melihat Riska yang memohon untuk mempertahankan hubungan mereka. Bayangan Roy yang semakin menjauh dan perlahan menghilang, membuat dada Riska terasa sesak. Riska benar-benar tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi. Baginya Roy adalah sosok lelaki yang baik. Roy tidak pernah memarahinya. Tidak pernah membohonginya. Bahkan Roy tidak pernah macem-macem. Dia merasa kehilangan Roy adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Dia tidak bisa membendung tangisnya. Sambil masuk kedalam apartemennya dan menutup pintu, dia terduduk memeluk kakinya sambil terisak. Rasa laper yang melandanya tadi kini hilang seketika.
Semalaman Riska menangis. Dia masih belum percaya bahwa Roy tega mengakhiri hubungan mereka. Dia menangis sampai sesunggukan. Akhirnya dia tertidur karena sudah lelah menangis. Keesokan paginya, dia terbangun. Dia langsung bercermin melihat wajahnya. Matanya bengkak. Pasti karena menangis semalaman. Dia merasa tidak bergairah untuk bekerja. Dia melihat jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dia berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dicermin. Tiba-tiba dia mendengar pintu apartemennya diketuk. Tok-tok-tok. Riska bingung. Dia tahu itu pasti Simon. Dia malu kalau Simon tahu dia telah menangis semalaman. Dia juga malu dan tidak ingin Simon tahu bahwa semalam dia bertengkar, hingga putus bersama Roy karena Roy cemburu pada Simon. Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Akhirnya Riska memberikan diri untuk membukany. “Aku enggak masuk kerja hari ini, Mon.” ucap Riska dengan wajah menunduk. “Ris, kok mata kamu bengkak? Kamu
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska
"Mbak, saya pesan teh manis dinginnya satu, ya." kata seorang perempuan, sambil membenarkan letak tasnya yang semula dibelakang, kini ia pindahkan kedepan.Perempuan dengan tas selempang yang ia kenakan, beserta rambut sebahunya yang tertiup kipas angin didalam cafe itu, menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Ia baru saja pulang dari kantor tempat ia bekerja. Jam menunjukkan pukul 5 sore tepat saat dia berada di cafe itu. Setelah ia berkata demikian, pelayan tersebut pergi untuk menyiapkan pesanannya. Saat pelayan pergi, ia membuka laptop yang sudah disiapkannya di atas meja itu. Dia mengecek kembali pekerjaan-pekerjaannya. Saat itu ia menggunakan baju putih yang dipadukan dengan blazer warna hitam serta celana bahan yang membuatnya kelihatan sangat formal, ditambah dengan sepatu heels berwarna hitam yang sangat cocok dengan kakinya, sehingga terlihat sangat jenjang. Kira-kira wanita itu mempunyai tinggi sekitar 65-67 cm.Dia biasa mampir di cafe itu setiap sore sebelu
Saat kejadian itu, Simon suka sekali memperhatikan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa dirinya telah diperhatikan oleh seorang lelaki sudah mulai dari tiga bulan lalu. Saat ini, Simon menimang-nimang dalam hatinya untuk memberanikan diri menyapa perempuan itu. Dia merasa sudah cukup menjadi pengagum rahasia perempuan itu. Dia sudah menyusun rencana. Biasanya saat hendak pulang, pasti perempuan itu memesan coklat panas untuk dibawa pulang beserta cake yang dipesan juga untuk dibungkus dan dibawa pulang.Simon sama sekali tidak tahu untuk apa cake dan coklat panas itu. Mungkin saja untuk ia makan malam hari nanti atau sekedar cemilan dia saja. Biasanya perempuan itu yang akan mengambil sendiri dari meja bar minuman yang ia pesan beserta cake itu. Dan selalu saja Simon yang memberikannya. Sengaja Simon meminta hal tersebut kepada pelayan perempuan itu yang tak lain adalah teman kerjanya sendiri. Dan temannya itu sudah hafal sekali trik Simon. Hal itu sema
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska
Semalaman Riska menangis. Dia masih belum percaya bahwa Roy tega mengakhiri hubungan mereka. Dia menangis sampai sesunggukan. Akhirnya dia tertidur karena sudah lelah menangis. Keesokan paginya, dia terbangun. Dia langsung bercermin melihat wajahnya. Matanya bengkak. Pasti karena menangis semalaman. Dia merasa tidak bergairah untuk bekerja. Dia melihat jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dia berdiam diri memperhatikan dirinya sendiri dicermin. Tiba-tiba dia mendengar pintu apartemennya diketuk. Tok-tok-tok. Riska bingung. Dia tahu itu pasti Simon. Dia malu kalau Simon tahu dia telah menangis semalaman. Dia juga malu dan tidak ingin Simon tahu bahwa semalam dia bertengkar, hingga putus bersama Roy karena Roy cemburu pada Simon. Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Akhirnya Riska memberikan diri untuk membukany. “Aku enggak masuk kerja hari ini, Mon.” ucap Riska dengan wajah menunduk. “Ris, kok mata kamu bengkak? Kamu
"Yuk, Ris. Udah larut, nih. Lama banget sih kamu. Mau sampai jam berapa lagi kita keapartemen?" kata Simon sambil menyilangkan tangannya didepan dada. "Sabar dong, Mon. Ini aku udah siap, kok." jawab Riska sambil memakai tas selempangnya. Riska segera menghampiri Simon yang sudah ada di dalam mobilnya. Dia membuka pintu mobil dan masuk. "Yuk, tancap gas!" kata Riska. "Dasar kamu!" Simon geleng-geleng kepala. "Kenapa sih , Mon. Kayaknya kamu sewot terus deh lihat aku. Heran deh. Sekali-sekali kamu itu senang dong lihat aku. Ini malah ngumpat terus. Enggak asik ah kamu, Mon." kata Riska dengan wajah manyun. "Habis wajah kamu ngeselin, Ris. Hahahaha." Simon tertawa sambil menghidupkan mesin mobil, lalu mereka melaju dari sana. "Sialan kamu!" Riska meninju bahu Simon pelan. Sepanjang jalan mereka bernyanyi dengan musik yang melantun dari mobil. Selera musik mereka sama. Sudah tiga bulan lamanya semenjak mereka b
Saat kejadian itu, Simon suka sekali memperhatikan perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa dirinya telah diperhatikan oleh seorang lelaki sudah mulai dari tiga bulan lalu. Saat ini, Simon menimang-nimang dalam hatinya untuk memberanikan diri menyapa perempuan itu. Dia merasa sudah cukup menjadi pengagum rahasia perempuan itu. Dia sudah menyusun rencana. Biasanya saat hendak pulang, pasti perempuan itu memesan coklat panas untuk dibawa pulang beserta cake yang dipesan juga untuk dibungkus dan dibawa pulang.Simon sama sekali tidak tahu untuk apa cake dan coklat panas itu. Mungkin saja untuk ia makan malam hari nanti atau sekedar cemilan dia saja. Biasanya perempuan itu yang akan mengambil sendiri dari meja bar minuman yang ia pesan beserta cake itu. Dan selalu saja Simon yang memberikannya. Sengaja Simon meminta hal tersebut kepada pelayan perempuan itu yang tak lain adalah teman kerjanya sendiri. Dan temannya itu sudah hafal sekali trik Simon. Hal itu sema
"Mbak, saya pesan teh manis dinginnya satu, ya." kata seorang perempuan, sambil membenarkan letak tasnya yang semula dibelakang, kini ia pindahkan kedepan.Perempuan dengan tas selempang yang ia kenakan, beserta rambut sebahunya yang tertiup kipas angin didalam cafe itu, menyebutkan pesanannya kepada pelayan. Ia baru saja pulang dari kantor tempat ia bekerja. Jam menunjukkan pukul 5 sore tepat saat dia berada di cafe itu. Setelah ia berkata demikian, pelayan tersebut pergi untuk menyiapkan pesanannya. Saat pelayan pergi, ia membuka laptop yang sudah disiapkannya di atas meja itu. Dia mengecek kembali pekerjaan-pekerjaannya. Saat itu ia menggunakan baju putih yang dipadukan dengan blazer warna hitam serta celana bahan yang membuatnya kelihatan sangat formal, ditambah dengan sepatu heels berwarna hitam yang sangat cocok dengan kakinya, sehingga terlihat sangat jenjang. Kira-kira wanita itu mempunyai tinggi sekitar 65-67 cm.Dia biasa mampir di cafe itu setiap sore sebelu