"Aku mohon! Ini tidak benar!" Gadis itu mulai menangis ketika Amar Mea Malawi melakukan penjelajahannya.
"Kau sangat cantik, aku menginginkan dirimu! Aku tidak rela bila Adam Mizeaz atau tunanganmu memiliki dirimu," bisikan-bisikan Amar Mea Malawi membuat Mary Aram sangat ketakutan."Aku mohon, pulangkan aku! Ini tidak benar," penjelajahan itu semakin merambah ke area terlarang, Mary Aram diliputi rasa malu dan geram merasa terhina.Terlebih ketika Amar Mea melepas mantel dan piyamanya, rasa ketakutan itu semakin memacu jantung Mary Aram, menambah rasa pening kepala."Aku mohon jangan! Ini tidak benar!" Tubuh hangat Amar Mea melekat bagai selimut menguasai tubuh Mary Aram. Sesuatu menggeliat mengetuk pintu istana misteri."Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa melepaskan dirimu begitu saja. Duniaku akan menjadi milikmu sepenuhnya, dan duniamu akan menyatu dalam duniaku sepenuhnya," dalam geraman kegagahan Amar Mea mendesak masuk ke dalam diri Mary Aram.Gadis itu tersentak! Rasa sakit dalam desakan melebihi rasa sakit pada luka tubuhnya, memacu teriakan amarah Mary Aram. 'Malu! Terhina! Terjajah! Putus asa!' Bercampur menjadi satu membentuk luapan api amarah.Desakan kuat itu menikam, menembus masuk hingga menyentuh dinding. Membuat Mary Aram terpekik dan napasnya berhenti sejenak."Sangat keterlaluan kau!" Mari Aram menangis di sela-sela napasnya yang nyaris putus. Jemari tangannya mencengkram pinggang polos Amar Mea Malawi. Kukunya yang tajam menggores pinggang kokoh itu.Dalam kegagahan seorang pria, Amar Mea Malawi menuntaskan penjelajahan api cintanya bersimbah peluh."Keterlaluan! Sangat keterlaluan! Kau merampasku dalam keadaan tidak berdaya," Mary Aram menangis putus asa."Kau sepenuhnya menjadi milikku! Tidak akan ada pria lain yang dapat memilikimu, termasuk tunanganmu!" bisik Amar Mea mengecup bibir merah Mary Aram. "Aku berjanji menghormati dan mengasihi ayahmu hingga masa tuanya."Amar Mea Malawi menyeka bukti kegadisan Mary Aram dengan sapu tangan putih beraroma bunga mawar.Dalam luapan cintanya, Amar Mea Malawi berkunjung untuk kedua kalinya, kunjungan kali ini sangat lembut penuh perasaan. Namun bagi Mary Aram merupakan penyiksaan yang tidak kunjung berakhir.'Aku tidak mengenalnya, bagaimana bisa ia berkuasa atas diriku?' Mary Aram terus menangis dalam pelukan berkuasa Amar Mea.Menjelang waktu makan malam, Amar Mea bangkit untuk membersihkan diri, hatinya diliputi kebahagiaan. Dengan penuh rasa sayang ia menyelimuti tubuh Mary Aram dengan selimut, serta mengecup keningnya."Kau sangat cantik dan anggun, aku tidak ingin kau menjadi milik orang lain," pria itu beranjak menuju kamar mandi. Tubuh gagahnya membaur dengan kesegaran aliran air, dengan memiliki Mary Aram, kini hidupnya merasa sempurna.Sebenarnya Amar Mea M²alawi telah sering berjumpa dengan Mary Aram, gadis itu sering melakukan kerja sosial di perkampungan sekitar sungai induk.Amar Mea Malawi sering menjumpainya mengajar anak-anak suku Mua Mua, senyumnya, tawanya, sangat menawan ketika bercanda dengan anak-anak.Ketika membaur memasak di dapur adat sungai induk, sepertinya para wanita Mua Mua sangat menyayanginya. Tindak tanduk Mary Aram sangat sopan dan hormat terhadap para manula. Sungguh wanita yang langka di zaman sekarang.Amar Mea Malawi sangat terkesan dengan sosok Mary Aram. Siapa sangka jika hari ini dirinya benar-benar berinteraksi dengan 'Dewi' sungai induk.Jika 'Sang Dewi' sudah berada di tangan, untuk apa membuang waktu? Segera menikahinya adalah langkah yang terbaik.Mary Aram terus menangis di atas tempat tidur. Ia memalingkan wajah ketika tuan muda Amar Mea Malawi keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk.Tubuhnya tua muda Amar Mea Malawi memang ideal menawan, namun bagi Mary Aram tidak ubahnya sebagai sosok yang menakutkan. Pria itu mengobati luka di pinggangnya bekas cengkeraman kuku tajam Mary Aram.Tepat pukul tujuh malam, pintu kamar diketuk. Patrice sang pelayan bersama seorang pelayan lain datang membawa makan malam dan obat."Mandikan nyonya muda, dan ganti alas tempat tidur dengan yang baru. Malam ini aku tidur di sini," tuan muda Amar Mea Malawi mengambil segelas anggur, dan berjalan menuju balkon."Baik Tuan Muda Mea Malawi," kedua pelayan itu segera membasuh diri Mary Aram, dan mengganti alas tempat tidur dengan yang baru.Mary Aram hanya bisa menghela napas lalu memejamkan mata, tatkala melihat noda merah pada alas tidur. 'Secepat itukah keadaan berubah? Beberapa waktu lalu dirinya masih seorang Nona Besar Aram, kini berubah kedudukan menjadi Nyonya Muda Mea Malawi.''Ayah! Maafkan aku!' Mary Aram terisak, menyesali diri.Seiring suara tangis sendu Mary Aram mewarnai ruangan kamar, sayup-sayup terdengar gumam-gumam lembut Nona Patrice sang pelayan berusaha menghibur dan menentramkan hati gadis itu.Amat Mea Malawi duduk bersantai di balkon, ia memejamkan mata menikmati anggur sambil mengenang kembali momen indahnya bersama Mary Aram di atas tempat tidur. Sesekali pria itu tersenyum hanyut dalam fantasinya."Nona Patrice memang bisa diandalkan," Amar Mea Malawi menajamkan telinga ingin tahu apa saja yang di perbincangkan.["Nyonya Muda sangat beruntung, tuan muda Mea Malawi menjatuhkan pilihannya kepada Nyonya Muda. Banyak sekali wanita cantik datang ke rumah ini mencari perhatian tuan muda, namun majikan Patrice itu tidak pernah menemui mereka."]["Beruntung apanya? Kau tidak tahu bagaimana rasanya ketika senjata tajam majikanmu yang besar, panjang, dan keras itu menusuk diriku? Sangat sakit! Membuat napasku nyaris putus."]["Nyonya Muda, yang terpenting cinta tuan muda sangat besar pada Nyonya Muda."]Mary Aram kembali menangis tersedu-sedu, hingga terbatuk.["Rasa sakit itu masih terasa ngilu dan kaku sampai saat ini."]"Oh kasihan sekali! Sebesar dan sepanjang apakah senjata tajam ku?" Amar Mea Malawi menutup matanya dengan telapak tangan.["Nyonya Muda, mungkin untuk pertama kali memang sakit, seiring berjalannya waktu tentu akan terbiasa. Bahkan Nyonya Muda akan merindukan tuan muda
"Bisakah kau mencintai diriku?" Amar Mea Malawi memeluk tubuh halus Mary Aram, sambil bermain kismis di puncak bukit bidadari dengan jari telunjuknya."Entahlah," Mary Aram memejamkan mata, mengusir gundah. Ia membiarkan Amar Mea Malawi bermain kismis.'Keterlaluan! Sangat keterlaluan! Apakah diriku akan terjebak dalam kehidupan yang tidak aku inginkan seumur hidup?' Mary Aram menyesali keputusannya bersekolah di St Martin.Andai dirinya menurut apa kata ayah untuk bersekolah di kota Fontana yang lebih dekat dari Muara Mua, tentunya hal buruk ini tidak ia alami.Malam itu adalah malam yang panjang bagi Mary Aram. Meski senjata tajam Amar Mea Malawi tidak melakukan kunjungan mesra, namun tuan muda itu mengagumi tubuh Mary Aram sepanjang waktu.Penjelajahan pagutan tidak kunjung berhenti, menjelajah di setiap jengkal diri Mary Aram. Gumam-gumam lembut terus berdengung sepanjang malam disertai aroma anggur hangat terhembus.Bagai sebuah boneka pajangan di etalase toko, pria itu bermain t
"Mary Aram, maafkan aku. Aku sangat mencintai dirimu," Amar Mea Malawi memeluk Mary Aram. "Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Apa yang harus kukatakan pada tunanganku? Keterlaluan Kau!" Mary Aram memukuli Amar Mea Malawi melampiaskan kesal."Mary Aram! Kendalikan dirimu," Amar Mea Malawi menggenggam kedua tangan Mary Aram. Pria itu terus mengecup kening Mary Aram berusaha menenangkan. "Hari ini aku akan ke Muara Mua menjemput ayahmu.""Menjemput ayahku? Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Tentunya ayahku akan sangat malu di hadapan calon besannya," Mary Aram kembali membenturkan kepalanya pada dinding.Amar Mea Malawi segera mendekap Mary Aram agar tidak menyakiti diri sendiri. "Kita telah menjadi satu tubuh, aku bertanggung sepenuhnya atas dirimu."Pria itu membalut tubuh Mary Aram dengan handuk, lalu mengangkatnya kembali ke pembaringan."Aku cinta padamu! Sangat cinta padamu, hingga kehilangan akal sehat," Amar Mea Malawi berbaring memeluk Mary Aram. "Bisakah kita berdama
Perjalanan ke Muara Mua memakan waktu 4 jam, sebenarnya Mary Aram sangat takut akan ayahnya.Jika mengetahui dirinya sudah tidak gadis, bisa jadi ayah akan menghajar habis dirinya. Namun lebih baik dirinya habis dihajar ayah, dari pada ayah terkena serangan jantung.Menatap Amar Mea yang tenang dan elegan membaca surat kabar pagi, Mary Aram menjadi sangat kesal. 'Bagaimana bisa ia setenang itu tanpa merasa berdosa?' Sedangkan dirinya saat ini cemas dan sangat takut menghadapi pukulan rotan dari ayah."Hah!" Mary Aram menghela napas berusaha menahan tangis menyembunyikan ketakutan. Kekesalan itu semakin meluap, menyesakkan hati. "Kau keterlaluan! Kau tidak merasa bersalah atas perbuatanmu?" Mary Aram memukuli lengan Amar Mea Malawi dengan kesal. "Hatiku serasa handak meledak menahan rasa ketakutan akan rotan ayahku! Dan kau? Kau bersantai tanpa beban dan tanpa rasa bersalah!"Amar Mea Malawi meletakkan surat kabar, dipandangnya Mary Aram yang tampak kacau melampiaskan kekesalan tanpa
"Ayah maafkanlah pria ini, bukankah ia tidak lari dari tanggung jawab. Kedepannya Mary Aram akan menjadi istri yang baik dan menjadi dokter kebanggaan Ayah," Mary Aram berusaha mendamaikan tuan besar Felix Aram dengan Amar Mea Malawi."Panggil Ayahmu sekarang! Ia harus tahu jika ada seorang menantu di rumahnya!" Perintah tuan besar Felix Aram."Baik Ayah!" Amar Mea Malawi bangkit untuk menghubungi ayahnya sendiri.Mendapati kemarahan tuan besar Felix Aram mereda, Mary Aram membawa ayahnya menjauh dari Amar Mea Malawi."Pukul berapa Ayah datang? Mengapa tidak membangunkan Mary Aram?" Mary Aram membuatkan teh bunga Rosella untuk ayahnya. Kemudian dengan penuh rasa sayang memijat bahu ayahnya seperti yang selalu ia lakukan ketika di Muara Mua."Ayah tiba satu jam yang lalu," tuan besar Felix Aram menepuk punggung tangan anaknya. "Mendengar kau akan menikah sore ini, Ayah merasakan ada sesuatu yang tidak beres denganmu.""Ayah tidak perlu cemas. Bukankah masalah sudah terselesaikan?" Mary
"Dokter Felix Aram jangan cemas, aku akan memperlakukan anak perempuanmu dengan sangat baik," tuan besar Sahu Mea Malawi sangat lega mendapati menantunya adalah marga Aram berlatar belakang sangat baik, bukan wanita marga Aram yang digosipkan teman-temannya."Kita segera mengikat hubungan keluarga, tinggal lah di paviliun ini jika Dokter Felix Aram berkunjung mengurus Balai Pengobatan di St Martin," Sahu Mea Malawi menuangkan teh pada cangkir tuan besar Felix Aram sebagai tanda hormat.Hari menjelang petang, para pelayan keluarga Mea Malawi sangat sibuk mempersiapkan ruangan ritual pernikahan adat.Mary Aram memeluk tuan besar Felix Aram, hatinya merasa bersalah telah membuat ayahnya bersedih. "Ayah, maafkan Mary Aram tidak menjaga diri sendiri," Mary Aram menangis."Nak, bukan salahmu. Amar Mea Malawi lah yang keterlaluan," tuan besar Felix Aram mendekap anak perempuannya. "Jika kelak Amar Mea Malawi tidak memperlakukanmu dengan baik, pulanglah ke Muara Mua. Ayah akan tenang melihat k
Dengan perasaan penuh rasa penyesalan, Mary Aram memutuskan kembali ke kediaman Mea Malawi. Tampak di kejauhan Amar Mea Malawi keluar dari rumah induk, berjalan menuju ke arah jembatan. Mary Aram mempercepat larinya kembali ke paviliun. "Nyonya Muda, ke mana saja?" Nona Patrice menarik napas lega mendapati Mary Aram muncul dari arah sungai."Nona Patrice, aku ingin mandi!" Mary Aram segera melempar alas kaki dan kerudung begitu saja ke lantai. Dengan seenaknya juga ia melepas jubah pengantinnya sambil berlari menuju kamar mandi."Nyonya Muda! Tuan Muda Amar Mea sudah datang!" Nona Patrice panik memungut jubah pengantin, yang berserakan di lantai. Wajah nona Patrice pucat pasi mendapati majikannya sudah berada di dalam paviliun."Mengapa jubah pengantin berserakan di lantai?" Amar Mea Malawi tertegun mengerutkan kening."Nyonya Muda sangat nakal! Ia mencari bunga hingga lupa waktu," dengan cepat nona Patrice memutar otak mencari alasan, sambil menunjuk sekeranjang bunga tulip di atas m
Pengantin pria membawa pengantin wanita berlutut di depan altar. Menyimak wejangan pendeta adat, mereka memulai menjalankan ritual pernikahan adat.Sang pendeta Adat mengucapkan doa-doa berkat, dan memercikkan air suci pada kedua pengantin. Kemudian memotong sedikit rambut Amar Mea Malawi dan Mary Aram lalu memasukkan ke dalam toples kaca yang telah berisi sapu tangan putih bernoda merah bukti kegadisan Mary Aram. Hal itu sebagai tanda sahnya pernikahan mereka.Amar Mea Malawi menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Mary Aram, serta seuntai kalung pada leher istrinya itu. Demikian pula sebaliknya, Mary Aram juga menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Amar Mea Malawi, serta gelang dari tali berhias batu giok pada pergelangan tangan suaminya.Pendeta adat memercik air suci dan mengasapi pengantin dengan dupa wangi, pada akhir ritual pernikahan.Pada pengesahan pernikahan secara hukum negara, kedua mempelai menandatangani surat pernikahan. Petugas negara mencatat semua bekal