"Mary Aram, maafkan aku. Aku sangat mencintai dirimu," Amar Mea Malawi memeluk Mary Aram.
"Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Apa yang harus kukatakan pada tunanganku? Keterlaluan Kau!" Mary Aram memukuli Amar Mea Malawi melampiaskan kesal. "Mary Aram! Kendalikan dirimu," Amar Mea Malawi menggenggam kedua tangan Mary Aram. Pria itu terus mengecup kening Mary Aram berusaha menenangkan. "Hari ini aku akan ke Muara Mua menjemput ayahmu." "Menjemput ayahku? Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Tentunya ayahku akan sangat malu di hadapan calon besannya," Mary Aram kembali membenturkan kepalanya pada dinding. Amar Mea Malawi segera mendekap Mary Aram agar tidak menyakiti diri sendiri. "Kita telah menjadi satu tubuh, aku bertanggung sepenuhnya atas dirimu."Pria itu membalut tubuh Mary Aram dengan handuk, lalu mengangkatnya kembali ke pembaringan."Aku cinta padamu! Sangat cinta padamu, hingga kehilangan akal sehat," Amar Mea Malawi berbaring memeluk Mary Aram. "Bisakah kita berdamai? Kita membina rumah tangga bersama.""Kau sangat mengerikan! Aku tidak nyaman bersamamu!" Mary Aram terus menangis kesal, memukuli dirinya sendiri.Amar Mea Malawi menghela napas panjang, lalu bangkit memakai mantel tidurnya. Kemudian menghubungi nona Patrice."Nona Patrice, waktunya Nyonya Muda sarapan pagi. Hari ini kami akan ke Muara Mua, bantu ia bersiap-siap. Kau juga ikut kami ke Muara Mua," perintah Amar Mea Malawi.["Baik Tuan Muda, Patrice segera datang."]Tepat pukul tujuh, Amar Mea Malawi sudah berada di meja makan bersiap untuk sarapan. Hatinya gundah memikirkan bagaimana cara menaklukkan hati Mary Aram."Paman Sanif, aku ingin dinding pemisah kamar di lantai dua dibongkar. Bisakah pengerjaan membongkar dinding dapat selesai satu hari?" Amar Mea Malawi berbincang dengan kepala rumah tangga kediaman Mea Malawi."Jika hanya membongkar dinding dan memindah posisi pintu, dapat selesai hanya satu hari," paman Sanif menuang minuman ke dalam gelas Amar Mea Malawi."Baik, aku akan ke Muara Mua, menjemput ayah istriku. Tolong juga siapkan paviliun seberang sungai untuk mertuaku tinggal. Serta empat orang pelayan untuk mengurus mertuaku di sana," dengan tenang Amar Mea Malawi memulai sarapannya."Tuan muda," terdengar suara nona Patrice memutus pembicaraan. "Nyonya muda hendak sarapan bersama,"Amar Mea Malawi tersentak mendapati Mary Aram menuruni tangga dengan anggun bersama nona Patrice. Pria itu segera bangkit menyongsong kedatangan Mary Aram."Terima kasih Nona Patrice!" Amar Mea Malawi meraih tangan Mary Aram, dan membimbingnya ke meja makan."Kau menghendaki sarapan bersama?" ucapan lembut Amar Mea Malawi, dibalas dengan senyuman sekilas oleh Mary Aram.Kemudian Mary Aram mengangguk sopan kepada paman Sanif, "Paman Sanif, teh buah Lou Han hangat sangat baik untuk kesehatan lambung. Mulai besok, sajikan di dalam poci tanah liat untuk tuan muda.""Baik Nyonya Muda," paman Sanif terkekeh senang, melihat jodoh majikan mudanya yang lemah lembut dan ramah. "Mary Aram, kini kau adalah nyonya rumah ini, sebaiknya urusan rumah tangga kau yang mengatur. Bisakah kau membantuku mengurus keuangan rumah tangga?" Amar Mea Malawi terpana menatap kecantikan Mary Aram di pagi hari."Baik," Mary Aram berusaha untuk kembali tersenyum, tangannya cekatan mengatur makanan ke dalam piring Amar Mea Malawi.Walau hanya senyuman sekilas, bagi Amar Mea Malawi sudah suatu keajaiban besar. Dengan tatapan penuh rasa sayang, ia mengelus pipi lembut Mary Aram.Daripada mengikuti perasaan menyesal berlarut-larut, Mary Aram memutuskan berdamai dengan keadaan. Ia mengulurkan sesuap sarapan pagi ke dalam mulut Amar Mea Malawi.Wajah serta hembusan napas Amar Mea Malawi, begitu dekat menyentuh wajahnya, membuat Mary canggung."Apa yang ayahmu suka, kita membelinya untuk buah tangan," Amar Mea Malawi mengecup pipi lembut Mary Aram."Ayahku menyukai buah plum, tidak ada buah plum di Muara Mua," sekali lagi Mary Aram menyuapkan makanan ke dalam mulut Amar Mea Malawi, dan mengusap makanan di sudut mulut pria itu."Baiklah, kita ke St Moliana terlebih dahulu untuk membeli buah Plum," bisik Amar Mea Malawi."Tuan Muda, buah plum dan buah persik di kebun belakang sudah masak. Tukang kebun akan memanennya untuk dibawa ke Muara Mua," paman Sanif segera menghubungi tukang kebun melalui pengeras suara."Terima kasih Paman Sanif," sekali lagi Mary Aram tersenyum.Walau sebenarnya di dalam hati berkecamuk kemarahan dan kesedihan, Mary Aram belajar menguasai hati untuk menerima Amar Mea Malawi."Mary Aram… terima kasih," bisikan lembut Amar Mea Malawi, membuat mata Mary Ara berkaca-kaca. "Bisakah kita berdamai?""Hah! Aku akan mencobanya," Mary Aram bibir bergetar berusaha mengendalikan emosi."Sekali lagi terimakasih Mary Aram," Amar Mea Malawi mengecup pipi Mary Aram, dan menghapus air di sudut mata wanita itu.Tenggelam dalam benci dan dendam, entah bagaimana kedepannya?Perjalanan ke Muara Mua memakan waktu 4 jam, sebenarnya Mary Aram sangat takut akan ayahnya.Jika mengetahui dirinya sudah tidak gadis, bisa jadi ayah akan menghajar habis dirinya. Namun lebih baik dirinya habis dihajar ayah, dari pada ayah terkena serangan jantung.Menatap Amar Mea yang tenang dan elegan membaca surat kabar pagi, Mary Aram menjadi sangat kesal. 'Bagaimana bisa ia setenang itu tanpa merasa berdosa?' Sedangkan dirinya saat ini cemas dan sangat takut menghadapi pukulan rotan dari ayah."Hah!" Mary Aram menghela napas berusaha menahan tangis menyembunyikan ketakutan. Kekesalan itu semakin meluap, menyesakkan hati. "Kau keterlaluan! Kau tidak merasa bersalah atas perbuatanmu?" Mary Aram memukuli lengan Amar Mea Malawi dengan kesal. "Hatiku serasa handak meledak menahan rasa ketakutan akan rotan ayahku! Dan kau? Kau bersantai tanpa beban dan tanpa rasa bersalah!"Amar Mea Malawi meletakkan surat kabar, dipandangnya Mary Aram yang tampak kacau melampiaskan kekesalan tanpa
"Ayah maafkanlah pria ini, bukankah ia tidak lari dari tanggung jawab. Kedepannya Mary Aram akan menjadi istri yang baik dan menjadi dokter kebanggaan Ayah," Mary Aram berusaha mendamaikan tuan besar Felix Aram dengan Amar Mea Malawi."Panggil Ayahmu sekarang! Ia harus tahu jika ada seorang menantu di rumahnya!" Perintah tuan besar Felix Aram."Baik Ayah!" Amar Mea Malawi bangkit untuk menghubungi ayahnya sendiri.Mendapati kemarahan tuan besar Felix Aram mereda, Mary Aram membawa ayahnya menjauh dari Amar Mea Malawi."Pukul berapa Ayah datang? Mengapa tidak membangunkan Mary Aram?" Mary Aram membuatkan teh bunga Rosella untuk ayahnya. Kemudian dengan penuh rasa sayang memijat bahu ayahnya seperti yang selalu ia lakukan ketika di Muara Mua."Ayah tiba satu jam yang lalu," tuan besar Felix Aram menepuk punggung tangan anaknya. "Mendengar kau akan menikah sore ini, Ayah merasakan ada sesuatu yang tidak beres denganmu.""Ayah tidak perlu cemas. Bukankah masalah sudah terselesaikan?" Mary
"Dokter Felix Aram jangan cemas, aku akan memperlakukan anak perempuanmu dengan sangat baik," tuan besar Sahu Mea Malawi sangat lega mendapati menantunya adalah marga Aram berlatar belakang sangat baik, bukan wanita marga Aram yang digosipkan teman-temannya."Kita segera mengikat hubungan keluarga, tinggal lah di paviliun ini jika Dokter Felix Aram berkunjung mengurus Balai Pengobatan di St Martin," Sahu Mea Malawi menuangkan teh pada cangkir tuan besar Felix Aram sebagai tanda hormat.Hari menjelang petang, para pelayan keluarga Mea Malawi sangat sibuk mempersiapkan ruangan ritual pernikahan adat.Mary Aram memeluk tuan besar Felix Aram, hatinya merasa bersalah telah membuat ayahnya bersedih. "Ayah, maafkan Mary Aram tidak menjaga diri sendiri," Mary Aram menangis."Nak, bukan salahmu. Amar Mea Malawi lah yang keterlaluan," tuan besar Felix Aram mendekap anak perempuannya. "Jika kelak Amar Mea Malawi tidak memperlakukanmu dengan baik, pulanglah ke Muara Mua. Ayah akan tenang melihat k
Dengan perasaan penuh rasa penyesalan, Mary Aram memutuskan kembali ke kediaman Mea Malawi. Tampak di kejauhan Amar Mea Malawi keluar dari rumah induk, berjalan menuju ke arah jembatan. Mary Aram mempercepat larinya kembali ke paviliun. "Nyonya Muda, ke mana saja?" Nona Patrice menarik napas lega mendapati Mary Aram muncul dari arah sungai."Nona Patrice, aku ingin mandi!" Mary Aram segera melempar alas kaki dan kerudung begitu saja ke lantai. Dengan seenaknya juga ia melepas jubah pengantinnya sambil berlari menuju kamar mandi."Nyonya Muda! Tuan Muda Amar Mea sudah datang!" Nona Patrice panik memungut jubah pengantin, yang berserakan di lantai. Wajah nona Patrice pucat pasi mendapati majikannya sudah berada di dalam paviliun."Mengapa jubah pengantin berserakan di lantai?" Amar Mea Malawi tertegun mengerutkan kening."Nyonya Muda sangat nakal! Ia mencari bunga hingga lupa waktu," dengan cepat nona Patrice memutar otak mencari alasan, sambil menunjuk sekeranjang bunga tulip di atas m
Pengantin pria membawa pengantin wanita berlutut di depan altar. Menyimak wejangan pendeta adat, mereka memulai menjalankan ritual pernikahan adat.Sang pendeta Adat mengucapkan doa-doa berkat, dan memercikkan air suci pada kedua pengantin. Kemudian memotong sedikit rambut Amar Mea Malawi dan Mary Aram lalu memasukkan ke dalam toples kaca yang telah berisi sapu tangan putih bernoda merah bukti kegadisan Mary Aram. Hal itu sebagai tanda sahnya pernikahan mereka.Amar Mea Malawi menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Mary Aram, serta seuntai kalung pada leher istrinya itu. Demikian pula sebaliknya, Mary Aram juga menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Amar Mea Malawi, serta gelang dari tali berhias batu giok pada pergelangan tangan suaminya.Pendeta adat memercik air suci dan mengasapi pengantin dengan dupa wangi, pada akhir ritual pernikahan.Pada pengesahan pernikahan secara hukum negara, kedua mempelai menandatangani surat pernikahan. Petugas negara mencatat semua bekal
"Kau pria dewasa yang sangat mengerikan!" Wanita cantik itu menoleh menatap tajam langsung ke mata Amar Mea. Tangannya menunjuk wallpaper pada salah satu dinding yang berhadapan dengan tempat tidur suaminya."Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa gambar diriku yang sedang mandi menjadi wallpaper di kamar ini?" Mary Aram membatalkan niatnya masuk ke dalam kamar."Ini kamar pengantin kita," Amar Mea Malawi menarik masuk Mary Aram ke dalam kamar."Tidak! Tidak! Kau membuatku takut," Mary Aram menjauh dari Amar Mea Malawi. Tanpa sengaja tangannya menyenggol setumpuk gambar di atas meja kerja hingga jatuh berhamburan ke lantai.Betapa gusarnya Mary Aram ketika mendapati begitu banyak gambar dirinya berserakan di lantai dan meja kerja Amar Mea.Jantungnya seakan melompat keluar dari tubuhnya, "Keterlaluan! Rupanya kau telah mengincar diriku sejak lama!" Mary Aram gemetar menahan amarah, ia jatuh terduduk lemas di atas tempat tidur Amar Mea."Tamat sudah! Diriku jatuh ke tangan orang sakit jiwa
Tuan besar Sahu Mea Malawi sedang duduk di teras kamar sambil membaca koran, betapa senangnya ia mendapat kunjungan menantunya di pagi hari."Nak, kau seorang anak perempuan yang mengesankan," tuan besar Sahu Mea Malawi terkekeh mendapat sepoci teh buah Lou Han hangat.Ia meletakkan surat kabar di meja teras, lalu masuk ke dalam kamar, tidak lama kemudian ia keluar membawa sebuah amplop lebar."Nak, ini untuk kebutuhanmu selama satu bulan. Beli apa saja yang kau ingin beli," tuan besar Sahu Mea Malawi tersenyum mengulurkan amplop di tangannya."Apakah semua ini untuk Mary Aram?" Mary Aram tersentak melihat isinya, "Ayah Besar, ini sangat banyak.""Itu memang hakmu Nak, kau telah menjadi anak perempuan kami," tuan besar Sahu Mea Malawi meminum teh buah Lou Han dengan nikmatnya."Terima kasih Ayah Besar, Mary Aram akan menabungnya untuk keperluan bayi kami kelak," Mary Aram mengupaskan cangkang telur untuk ayah mertuanya. Mendengar kata 'bayi', tuan besar semakin tertawa senang."Ya,
"Suamiku, ini terlalu banyak. Aku sudah mendapat uang dari Ayah Besar," Mary Aram menggeser amplop besar pemberian mertuanya ke tengah tempat tidur."Ya simpan saja, pakai ketika kau membutuhkan," Amar Mea Malawi melangkah ke kamar mandi.Mary Aram mempelajari buku keuangan rumah tangga, ia mengambil kebijakan menaikkan gaji seluruh karyawan rumah tangga. Baik rumah tangga kediaman suaminya, maupun kediaman ayah mertuanya di puncak bukit."Istriku kau sangat cantik, ketika sedang berpikir," Amar Mea Malawi tiba-tiba mengecup bibir indah Mary Aram, "Bisakah kau menggosok punggungku?"Mary Aram tersentak! Sejenak ia terpaku menatap tubuh polos suaminya dengan ling-lung."Ah tidak! Tidak!" Mary Aram kembali dilanda kecemasan. Ia segera beranjak dari tempat tidur menyiapkan pakaian kerja suaminya."Bantu suamimu menggosok punggung," Amar Mea Malawi terus menempel pada punggung Mary Aram, dengan manja ia terus mengecup leher istrinya."Suamiku hentikan!" Mary Aram berusaha menghindar. Wani