Share

Bab 6. Berdamai Dengan Keadaan

"Mary Aram, maafkan aku. Aku sangat mencintai dirimu," Amar Mea Malawi memeluk Mary Aram. 

"Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Apa yang harus kukatakan pada tunanganku? Keterlaluan Kau!" Mary Aram memukuli Amar Mea Malawi melampiaskan kesal.

 

"Mary Aram! Kendalikan dirimu," Amar Mea Malawi menggenggam kedua tangan Mary Aram. Pria itu terus mengecup kening Mary Aram berusaha menenangkan. "Hari ini aku akan ke Muara Mua menjemput ayahmu."

 

"Menjemput ayahku? Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Tentunya ayahku akan sangat malu di hadapan calon besannya," Mary Aram kembali membenturkan kepalanya pada dinding.

 

Amar Mea Malawi segera mendekap Mary Aram agar tidak menyakiti diri sendiri. "Kita telah menjadi satu tubuh,  aku bertanggung sepenuhnya atas dirimu."

Pria itu membalut tubuh Mary Aram dengan handuk, lalu mengangkatnya kembali ke pembaringan.

"Aku cinta padamu! Sangat cinta padamu, hingga kehilangan akal sehat," Amar Mea Malawi berbaring memeluk Mary Aram. "Bisakah kita berdamai? Kita membina rumah tangga bersama."

"Kau sangat mengerikan! Aku tidak nyaman bersamamu!" Mary Aram terus menangis kesal, memukuli dirinya sendiri.

Amar Mea Malawi menghela napas panjang, lalu bangkit memakai mantel tidurnya. Kemudian menghubungi nona Patrice.

"Nona Patrice, waktunya Nyonya Muda sarapan pagi. Hari ini kami akan ke Muara Mua, bantu ia bersiap-siap. Kau juga ikut kami ke Muara Mua," perintah Amar Mea Malawi.

["Baik Tuan Muda, Patrice segera datang."]

Tepat pukul tujuh, Amar Mea Malawi sudah berada di meja makan bersiap untuk sarapan. Hatinya gundah memikirkan bagaimana cara menaklukkan hati Mary Aram.

"Paman Sanif, aku ingin dinding pemisah kamar di lantai dua dibongkar. Bisakah pengerjaan membongkar dinding dapat selesai satu hari?" Amar Mea Malawi berbincang dengan kepala rumah tangga kediaman Mea Malawi.

"Jika hanya membongkar dinding dan memindah posisi pintu, dapat selesai hanya satu hari," paman Sanif menuang minuman ke dalam gelas Amar Mea Malawi.

"Baik, aku akan ke Muara Mua, menjemput ayah istriku. Tolong juga siapkan paviliun seberang sungai untuk mertuaku tinggal. Serta empat orang pelayan untuk mengurus mertuaku di sana," dengan tenang Amar Mea Malawi memulai sarapannya.

"Tuan muda," terdengar suara nona Patrice memutus pembicaraan. "Nyonya muda hendak sarapan bersama,"

Amar Mea Malawi tersentak mendapati Mary Aram menuruni tangga dengan anggun bersama nona Patrice. Pria itu segera bangkit menyongsong kedatangan Mary Aram.

"Terima kasih Nona Patrice!" Amar Mea Malawi meraih tangan Mary Aram, dan membimbingnya ke meja makan.

"Kau menghendaki sarapan bersama?" ucapan lembut Amar Mea Malawi, dibalas dengan senyuman sekilas oleh Mary Aram.

Kemudian Mary Aram mengangguk sopan kepada paman Sanif, "Paman Sanif, teh buah Lou Han hangat sangat baik untuk kesehatan lambung. Mulai besok, sajikan di dalam poci tanah liat untuk tuan muda."

"Baik Nyonya Muda," paman Sanif terkekeh senang, melihat jodoh majikan mudanya yang lemah lembut dan ramah.

 

"Mary Aram, kini kau adalah nyonya rumah ini, sebaiknya urusan rumah tangga kau yang mengatur. Bisakah kau membantuku mengurus keuangan rumah tangga?" Amar Mea Malawi terpana menatap kecantikan Mary Aram di pagi hari.

"Baik," Mary Aram berusaha untuk kembali tersenyum, tangannya cekatan mengatur makanan ke dalam piring Amar Mea Malawi.

Walau hanya senyuman sekilas, bagi Amar Mea Malawi sudah suatu keajaiban besar. Dengan tatapan penuh rasa sayang, ia mengelus pipi lembut Mary Aram.

Daripada mengikuti perasaan menyesal berlarut-larut, Mary Aram memutuskan berdamai dengan keadaan. Ia mengulurkan sesuap sarapan pagi ke dalam mulut Amar Mea Malawi.

Wajah serta hembusan napas Amar Mea Malawi, begitu dekat menyentuh wajahnya, membuat Mary canggung.

"Apa yang ayahmu suka, kita membelinya untuk buah tangan," Amar Mea Malawi mengecup pipi lembut Mary Aram.

"Ayahku menyukai buah plum, tidak ada buah plum di Muara Mua," sekali lagi Mary Aram menyuapkan makanan ke dalam mulut Amar Mea Malawi, dan mengusap makanan di sudut mulut pria itu.

"Baiklah, kita ke St Moliana terlebih dahulu untuk membeli buah Plum," bisik Amar Mea Malawi.

"Tuan Muda, buah plum dan buah persik di kebun belakang sudah masak. Tukang kebun akan memanennya untuk dibawa ke Muara Mua," paman Sanif segera menghubungi tukang kebun melalui pengeras suara.

"Terima kasih Paman Sanif," sekali lagi Mary Aram tersenyum.

Walau sebenarnya di dalam hati berkecamuk kemarahan dan kesedihan, Mary Aram belajar menguasai hati untuk menerima Amar Mea Malawi.

"Mary Aram… terima kasih," bisikan lembut Amar Mea Malawi, membuat mata Mary Ara berkaca-kaca. "Bisakah kita berdamai?"

"Hah! Aku akan mencobanya," Mary Aram bibir bergetar berusaha mengendalikan emosi.

"Sekali lagi terimakasih Mary Aram," Amar Mea Malawi mengecup pipi Mary Aram, dan menghapus air di sudut mata wanita itu.

Tenggelam dalam benci dan dendam, entah bagaimana kedepannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status