"Bisakah kau mencintai diriku?" Amar Mea Malawi memeluk tubuh halus Mary Aram, sambil bermain kismis di puncak bukit bidadari dengan jari telunjuknya.
"Entahlah," Mary Aram memejamkan mata, mengusir gundah. Ia membiarkan Amar Mea Malawi bermain kismis.'Keterlaluan! Sangat keterlaluan! Apakah diriku akan terjebak dalam kehidupan yang tidak aku inginkan seumur hidup?' Mary Aram menyesali keputusannya bersekolah di St Martin.Andai dirinya menurut apa kata ayah untuk bersekolah di kota Fontana yang lebih dekat dari Muara Mua, tentunya hal buruk ini tidak ia alami.Malam itu adalah malam yang panjang bagi Mary Aram. Meski senjata tajam Amar Mea Malawi tidak melakukan kunjungan mesra, namun tuan muda itu mengagumi tubuh Mary Aram sepanjang waktu.Penjelajahan pagutan tidak kunjung berhenti, menjelajah di setiap jengkal diri Mary Aram. Gumam-gumam lembut terus berdengung sepanjang malam disertai aroma anggur hangat terhembus.Bagai sebuah boneka pajangan di etalase toko, pria itu bermain tubuh Mary Aram sesuka hatinya. Jika hal itu setiap hari terjadi, alangkah jenuhnya kehidupan Mary Aram di masa mendatang.'Ayah maafkan aku! Abee Bong Moja maafkan aku!' Teringat senyum bangga ayahnya mendapati dirinya beranjak dewasa, Mary Aram menangis. Tangis penyesalan yang menyayat di dalam hati.Gelak tawa menggema di sepanjang sungai Muara Mua, "Abee Bong Moja! Jika ingin menjadi pedagang, mengapa harus belajar jauh-jauh hingga ke Macau? Bukankah kota Jakarta atau kota Surabaya lebih dekat?" Mary Aram memeluk manja leher Abee Bong Moja, hidungnya menggelitik jakun kekasihnya."Selain belajar, Abee Bong hendak menjalin relasi disana. Orang-orang Macao pandai dalam strategi berdagang, ada baiknya menimba ilmu dari mereka," Abee Bong Moja mengecup kening Mary Aram, "Maukah Mary Aram menunggu Abee Bong barang beberapa tahun?""Tentu saja! Bukankah kita selalu bersama sejak kanak-kanak? Berpisah beberapa tahun bukanlah masalah bagi Mary Aram," Mary Aram menghujani Abee Bong Moja dengan kecupan sayang."Baik! Aku Abee Bong Moja akan belajar giat, dan membangun masa depan!"'Abee Bong Moja, maafkan aku!' Mary Aram berusaha menggeser tubuhnya dari dekapan Amar Mea Malawi, tubuhnya terasa tidak nyaman karena lengket.Mendapati kembali ada darah di kakinya serta alas tidur, Mary Aram hanya bisa menghela napas memejamkan mata. Hatinya sangat sakit. 'Sungguh terlalu!' Mary Aram sekuat tenaga beringsut untuk bangkit. Meski tubuhnya masih terasa kaku, ia berusaha bangun membersihkan diri. Sedangkan Amar Mea Malawi tertidur pulas, setelah puas melakukan penjelajahan semalaman.Sebenarnya tubuh polos Amar Mea Malawi sangatlah mengesankan. Kokoh, padat, bentuknya ideal, wajahnya juga tampan. 'Apakah sebelumnya pria ini memiliki kekasih?'Mary Aram menyelimuti tubuh polos Amar Mea Malawi, ia tidak nyaman melihat pria tidur tanpa busana, kemudian menutup rapat kelambu."Apakah pria ini sudah menjadi suamiku? Ia telah merampas kehormatanku, mempermainkan aku semalaman," Mary Aram mendengus penuh amarah. Kemudian tertawa sinis, menertawakan dirinya sendiri."Nyonya Muda, apakah Patrice boleh masuk? Sudah waktunya membersihkan diri," suara Patrice terdengar dari pengeras suara."Ah! Kembalilah satu jam lagi, tuan muda masih tidur," Mary Aram tersentak dari lamunan. Tubuhnya pegal dan kaku, Mary Aram berusaha berjalan ke kamar mandi."Baik Nyonya Muda," suara langkah kaki sayup-sayup terdengar menjauh."Ah kamar ini sangat luas, sungguh melelahkan berjalan di dalam kamar sendiri," karena lelah berjalan, akhirnya Mary Aram merangkak mendekati kamar mandi.Melihat bayangan dirinya tampak kacau di depan cermin, Mary Aram berusaha membersihkan diri sendiri. Namun seberapa pun ia bertekad membersihkan diri, tetaplah kesuciannya tidak akan kembali."Apa yang harus aku katakan kepada ayahku, dan Abee Bong Moja? Bagaimana aku harus mengembalikan martabat ayahku?" Mary Aram sangat kesal, ia membenturkan kepala pada dinding. "Apakah aku harus mengemis pengampunan pada Abee Bong Moja?""Hah!" Mary Aram berteriak kesal sambil melempar cermin dengan botol sabun cair. Untung cermin itu tidak pecah, andaikan pecah berantakan tentunya serpihan cermin akan melukai wajahnya."Apa yang harus aku lakukan? Aku menjadi wanita yang tidak bermartabat. Menjadi pelampiasan hasrat di kediaman pria yang tidak dikenal," Mary Aram menangis meringkuk di sudut kamar mandi."Apa yang kau lakukan Mary Aram? Kau akan masuk angin jika berbaring di lantai kamar mandi," Amar Mea Malawi mengangkat tubuh Mary Aram."Lepaskan aku!" Mary Aram menepis tangan Amar Mea Malawi. "Jauh-jauh aku datang ke St Martin, untuk belajar. Masyarakat Muara Mua membutuhkan seorang dokter.""Dan Kau?" Mary Aram menatap Amar Mea Malawi dengan sorot mata penuh kemarahan. "Kau menyandera diriku untuk menjadi boneka pelepas hasrat! Keterlaluan kau menghina diriku."Mary Aram histeris dan kalut. Bagai dijatuhkan dari puncak menara, ia merasa telah kehilangan martabat!'Bagaimana memulihkan martabat? Terbelenggu dalam pernikahan tidak diinginkan? Ataukah mati secara terhormat? Toh keduanya merupakan kesengsaraan tidak berujung.'"Mary Aram, maafkan aku. Aku sangat mencintai dirimu," Amar Mea Malawi memeluk Mary Aram. "Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Apa yang harus kukatakan pada tunanganku? Keterlaluan Kau!" Mary Aram memukuli Amar Mea Malawi melampiaskan kesal."Mary Aram! Kendalikan dirimu," Amar Mea Malawi menggenggam kedua tangan Mary Aram. Pria itu terus mengecup kening Mary Aram berusaha menenangkan. "Hari ini aku akan ke Muara Mua menjemput ayahmu.""Menjemput ayahku? Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Tentunya ayahku akan sangat malu di hadapan calon besannya," Mary Aram kembali membenturkan kepalanya pada dinding.Amar Mea Malawi segera mendekap Mary Aram agar tidak menyakiti diri sendiri. "Kita telah menjadi satu tubuh, aku bertanggung sepenuhnya atas dirimu."Pria itu membalut tubuh Mary Aram dengan handuk, lalu mengangkatnya kembali ke pembaringan."Aku cinta padamu! Sangat cinta padamu, hingga kehilangan akal sehat," Amar Mea Malawi berbaring memeluk Mary Aram. "Bisakah kita berdama
Perjalanan ke Muara Mua memakan waktu 4 jam, sebenarnya Mary Aram sangat takut akan ayahnya.Jika mengetahui dirinya sudah tidak gadis, bisa jadi ayah akan menghajar habis dirinya. Namun lebih baik dirinya habis dihajar ayah, dari pada ayah terkena serangan jantung.Menatap Amar Mea yang tenang dan elegan membaca surat kabar pagi, Mary Aram menjadi sangat kesal. 'Bagaimana bisa ia setenang itu tanpa merasa berdosa?' Sedangkan dirinya saat ini cemas dan sangat takut menghadapi pukulan rotan dari ayah."Hah!" Mary Aram menghela napas berusaha menahan tangis menyembunyikan ketakutan. Kekesalan itu semakin meluap, menyesakkan hati. "Kau keterlaluan! Kau tidak merasa bersalah atas perbuatanmu?" Mary Aram memukuli lengan Amar Mea Malawi dengan kesal. "Hatiku serasa handak meledak menahan rasa ketakutan akan rotan ayahku! Dan kau? Kau bersantai tanpa beban dan tanpa rasa bersalah!"Amar Mea Malawi meletakkan surat kabar, dipandangnya Mary Aram yang tampak kacau melampiaskan kekesalan tanpa
"Ayah maafkanlah pria ini, bukankah ia tidak lari dari tanggung jawab. Kedepannya Mary Aram akan menjadi istri yang baik dan menjadi dokter kebanggaan Ayah," Mary Aram berusaha mendamaikan tuan besar Felix Aram dengan Amar Mea Malawi."Panggil Ayahmu sekarang! Ia harus tahu jika ada seorang menantu di rumahnya!" Perintah tuan besar Felix Aram."Baik Ayah!" Amar Mea Malawi bangkit untuk menghubungi ayahnya sendiri.Mendapati kemarahan tuan besar Felix Aram mereda, Mary Aram membawa ayahnya menjauh dari Amar Mea Malawi."Pukul berapa Ayah datang? Mengapa tidak membangunkan Mary Aram?" Mary Aram membuatkan teh bunga Rosella untuk ayahnya. Kemudian dengan penuh rasa sayang memijat bahu ayahnya seperti yang selalu ia lakukan ketika di Muara Mua."Ayah tiba satu jam yang lalu," tuan besar Felix Aram menepuk punggung tangan anaknya. "Mendengar kau akan menikah sore ini, Ayah merasakan ada sesuatu yang tidak beres denganmu.""Ayah tidak perlu cemas. Bukankah masalah sudah terselesaikan?" Mary
"Dokter Felix Aram jangan cemas, aku akan memperlakukan anak perempuanmu dengan sangat baik," tuan besar Sahu Mea Malawi sangat lega mendapati menantunya adalah marga Aram berlatar belakang sangat baik, bukan wanita marga Aram yang digosipkan teman-temannya."Kita segera mengikat hubungan keluarga, tinggal lah di paviliun ini jika Dokter Felix Aram berkunjung mengurus Balai Pengobatan di St Martin," Sahu Mea Malawi menuangkan teh pada cangkir tuan besar Felix Aram sebagai tanda hormat.Hari menjelang petang, para pelayan keluarga Mea Malawi sangat sibuk mempersiapkan ruangan ritual pernikahan adat.Mary Aram memeluk tuan besar Felix Aram, hatinya merasa bersalah telah membuat ayahnya bersedih. "Ayah, maafkan Mary Aram tidak menjaga diri sendiri," Mary Aram menangis."Nak, bukan salahmu. Amar Mea Malawi lah yang keterlaluan," tuan besar Felix Aram mendekap anak perempuannya. "Jika kelak Amar Mea Malawi tidak memperlakukanmu dengan baik, pulanglah ke Muara Mua. Ayah akan tenang melihat k
Dengan perasaan penuh rasa penyesalan, Mary Aram memutuskan kembali ke kediaman Mea Malawi. Tampak di kejauhan Amar Mea Malawi keluar dari rumah induk, berjalan menuju ke arah jembatan. Mary Aram mempercepat larinya kembali ke paviliun. "Nyonya Muda, ke mana saja?" Nona Patrice menarik napas lega mendapati Mary Aram muncul dari arah sungai."Nona Patrice, aku ingin mandi!" Mary Aram segera melempar alas kaki dan kerudung begitu saja ke lantai. Dengan seenaknya juga ia melepas jubah pengantinnya sambil berlari menuju kamar mandi."Nyonya Muda! Tuan Muda Amar Mea sudah datang!" Nona Patrice panik memungut jubah pengantin, yang berserakan di lantai. Wajah nona Patrice pucat pasi mendapati majikannya sudah berada di dalam paviliun."Mengapa jubah pengantin berserakan di lantai?" Amar Mea Malawi tertegun mengerutkan kening."Nyonya Muda sangat nakal! Ia mencari bunga hingga lupa waktu," dengan cepat nona Patrice memutar otak mencari alasan, sambil menunjuk sekeranjang bunga tulip di atas m
Pengantin pria membawa pengantin wanita berlutut di depan altar. Menyimak wejangan pendeta adat, mereka memulai menjalankan ritual pernikahan adat.Sang pendeta Adat mengucapkan doa-doa berkat, dan memercikkan air suci pada kedua pengantin. Kemudian memotong sedikit rambut Amar Mea Malawi dan Mary Aram lalu memasukkan ke dalam toples kaca yang telah berisi sapu tangan putih bernoda merah bukti kegadisan Mary Aram. Hal itu sebagai tanda sahnya pernikahan mereka.Amar Mea Malawi menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Mary Aram, serta seuntai kalung pada leher istrinya itu. Demikian pula sebaliknya, Mary Aram juga menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Amar Mea Malawi, serta gelang dari tali berhias batu giok pada pergelangan tangan suaminya.Pendeta adat memercik air suci dan mengasapi pengantin dengan dupa wangi, pada akhir ritual pernikahan.Pada pengesahan pernikahan secara hukum negara, kedua mempelai menandatangani surat pernikahan. Petugas negara mencatat semua bekal
"Kau pria dewasa yang sangat mengerikan!" Wanita cantik itu menoleh menatap tajam langsung ke mata Amar Mea. Tangannya menunjuk wallpaper pada salah satu dinding yang berhadapan dengan tempat tidur suaminya."Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa gambar diriku yang sedang mandi menjadi wallpaper di kamar ini?" Mary Aram membatalkan niatnya masuk ke dalam kamar."Ini kamar pengantin kita," Amar Mea Malawi menarik masuk Mary Aram ke dalam kamar."Tidak! Tidak! Kau membuatku takut," Mary Aram menjauh dari Amar Mea Malawi. Tanpa sengaja tangannya menyenggol setumpuk gambar di atas meja kerja hingga jatuh berhamburan ke lantai.Betapa gusarnya Mary Aram ketika mendapati begitu banyak gambar dirinya berserakan di lantai dan meja kerja Amar Mea.Jantungnya seakan melompat keluar dari tubuhnya, "Keterlaluan! Rupanya kau telah mengincar diriku sejak lama!" Mary Aram gemetar menahan amarah, ia jatuh terduduk lemas di atas tempat tidur Amar Mea."Tamat sudah! Diriku jatuh ke tangan orang sakit jiwa
Tuan besar Sahu Mea Malawi sedang duduk di teras kamar sambil membaca koran, betapa senangnya ia mendapat kunjungan menantunya di pagi hari."Nak, kau seorang anak perempuan yang mengesankan," tuan besar Sahu Mea Malawi terkekeh mendapat sepoci teh buah Lou Han hangat.Ia meletakkan surat kabar di meja teras, lalu masuk ke dalam kamar, tidak lama kemudian ia keluar membawa sebuah amplop lebar."Nak, ini untuk kebutuhanmu selama satu bulan. Beli apa saja yang kau ingin beli," tuan besar Sahu Mea Malawi tersenyum mengulurkan amplop di tangannya."Apakah semua ini untuk Mary Aram?" Mary Aram tersentak melihat isinya, "Ayah Besar, ini sangat banyak.""Itu memang hakmu Nak, kau telah menjadi anak perempuan kami," tuan besar Sahu Mea Malawi meminum teh buah Lou Han dengan nikmatnya."Terima kasih Ayah Besar, Mary Aram akan menabungnya untuk keperluan bayi kami kelak," Mary Aram mengupaskan cangkang telur untuk ayah mertuanya. Mendengar kata 'bayi', tuan besar semakin tertawa senang."Ya,