"Nona Patrice memang bisa diandalkan," Amar Mea Malawi menajamkan telinga ingin tahu apa saja yang di perbincangkan.
["Nyonya Muda sangat beruntung, tuan muda Mea Malawi menjatuhkan pilihannya kepada Nyonya Muda. Banyak sekali wanita cantik datang ke rumah ini mencari perhatian tuan muda, namun majikan Patrice itu tidak pernah menemui mereka."]["Beruntung apanya? Kau tidak tahu bagaimana rasanya ketika senjata tajam majikanmu yang besar, panjang, dan keras itu menusuk diriku? Sangat sakit! Membuat napasku nyaris putus."]["Nyonya Muda, yang terpenting cinta tuan muda sangat besar pada Nyonya Muda."]Mary Aram kembali menangis tersedu-sedu, hingga terbatuk.["Rasa sakit itu masih terasa ngilu dan kaku sampai saat ini."]"Oh kasihan sekali! Sebesar dan sepanjang apakah senjata tajam ku?" Amar Mea Malawi menutup matanya dengan telapak tangan.["Nyonya Muda, mungkin untuk pertama kali memang sakit, seiring berjalannya waktu tentu akan terbiasa. Bahkan Nyonya Muda akan merindukan tuan muda."]["Bagaimana bisa merindukan majikanmu? Pria itu sangat berat dan geramannya sangat berisik."]Amar Mea Malawi terbahak mendengarnya, ia menikmati anggurnya sambil memandang gemerlap lampu kota St Martin yang indah bagai permata."Tuan Muda, nyonya muda siap untuk makan malam," terdengar nona Patrice memanggil."Ah Nona Patrice terimakasih," Amar Mea Malawi tersentak dari lamunannya.Pria itu kembali masuk ke dalam kamar, ia mendapati Mary Aram duduk di atas pembaringan sambil menunduk. Gadis itu terus menangis memukul-mukul dirinya sendiri."Terlalu! Sungguh terlalu! Aku tidak dapat menjaga diri sendiri," isak tangis kemarahan memecah keheningan kamar."Kita telah menjadi satu tubuh. Diriku adalah dirimu, dan dirimu adalah diriku," Amar Mea Malawi mengangkat dagu Mary Aram, "Jadi tidak ada gunanya kau mempertahankan amarahmu."Amar Mea Malawi mengangkat dan memindahkan tubuh Mary Aram ke permadani di sudut kamar, di sana sudah tertata rapi makan malam serta anggur untuk ritual makan bersama.Amar Mea Malawi meneguk sedikit anggur, kemudian memindahkan anggur yang tersisa di mulutnya ke dalam mulut Mary Aram sebagai tanda memulai ritual makan bersama. Lalu mengulanginya sekali lagi."Kita telah menjadi satu tubuh, sebagai suami aku berjanji mencintaimu seumur hidupku. Dari mulutku aku melimpahkan kasih sayang, serta makanan dari hasil jerih payahku secara halal.""Apakah kau bersedia menjalani hidup baru bersamaku?" Amar Mea Malawi menatap mata Mary Aram dengan bersungguh-sungguh.Mendapati Mary Aram diam tidak bergeming, Amar Mea Malawi mengulangi meneguk anggur dan memindahkannya kembali ke mulut Mary Aram."Kau bersedia menjalani hidup baru bersamaku?" Amar Mea Malawi mendekatkan mulutnya pada lubang telinga Mary Aram.Mary Aram menangis menunduk, menghindari tatapan Amar Mea Malawi, "Mary Aram belum siap menikah.""Baik," sekali lagi pria itu memindahkan anggur dari mulutnya ke mulut Mary Aram."Amar Mea Malawi sangat mencintai Mary Aram. Apakah Mary Aram bersedia menjalani hidup baru bersama Amar Mea Malawi?"Anggur itu membuat wajah Mary Aram merona memerah, hawa panas anggur mulai menguasai dirinya. Dengan kesal Mary Aram akhirnya menjawab, "Mary Aram bersedia!""Terimakasih Mary Aram," Amar Mea Malawi mengecup kening Mary Aram, "Aku berjanji mencurahkan kasih sayang padamu dan anak-anakmu, serta menjamin hidupmu berkelimpahan susu dan madu."Amar Mea Malawi memindahkan makanan dari mulutnya ke dalam mulut Mary Aram, sebagai bentuk ungkapan kasih sayang kepada belahan jiwanya.Dalam tradisi masyarakat Mua Mua, ritual makan bersama sangatlah penting untuk menjalin keharmonisan dan keintiman pernikahan.Amar Mea Malawi mengagumi kecantikan belahan jiwanya, yang mulai membalas menyuapkan makanan dengan mulutnya.Acara ritual makan bersama itu berjalan dengan mengesankan. Amar Mea Malawi mengakhiri ritual makan bersama itu dengan saling berpagut anggur."Apakah tusukan senjata tajam milikku sangat menyakitkan?" Amar Mea Malawi berbisik lembut membelai telinga Mary Aram."Sangat menyakitkan," Mary Aram menjawab dengan canggung."Baik! Aku akan memberi penawarnya," Amar Mea Malawi membaringkan Mary Aram di permadani, kemudian menyingkap kain dan mulai menjelajah dengan pagutan pada ambang pintu istana misteri."Tuan Muda hentikan!" Rasa itu menguasai diri Mary Aram menciptakan getaran. "Tuan Muda kumohon hentikan."Pagutan itu berganti dengan kunjungan mesra. Dalam gerak selaras dengan detak jantung, Amar Mea Malawi berkarya menciptakan denyut."Kau menyukainya? Mintalah kapan saja jika kau ingin," Amar Mea Malawi berbisik sangat lembut. Dalam suasana lampu yang temaram, pekik dan tangis sendu Mary Aram mewarnai suasana."Tuan Muda hentikan," kesenduan itu begitu mengesankan bagi Amar Mea Malawi. Belahan jiwanya itu terlihat sangat cantik! Sangat memukau!Di bawah kekuasaan mata bajak Amar Mea Malawi, Mary Aram kembali terikat dalam penyatuan. Benih-benih cinta tercurah bertaburan di lahan subur, mengantar keduanya ke puncak getaran kasih sayang."Bisakah kau mencintai diriku?" Amar Mea Malawi memeluk tubuh halus Mary Aram, sambil bermain kismis di puncak bukit bidadari dengan jari telunjuknya."Entahlah," Mary Aram memejamkan mata, mengusir gundah. Ia membiarkan Amar Mea Malawi bermain kismis.'Keterlaluan! Sangat keterlaluan! Apakah diriku akan terjebak dalam kehidupan yang tidak aku inginkan seumur hidup?' Mary Aram menyesali keputusannya bersekolah di St Martin.Andai dirinya menurut apa kata ayah untuk bersekolah di kota Fontana yang lebih dekat dari Muara Mua, tentunya hal buruk ini tidak ia alami.Malam itu adalah malam yang panjang bagi Mary Aram. Meski senjata tajam Amar Mea Malawi tidak melakukan kunjungan mesra, namun tuan muda itu mengagumi tubuh Mary Aram sepanjang waktu.Penjelajahan pagutan tidak kunjung berhenti, menjelajah di setiap jengkal diri Mary Aram. Gumam-gumam lembut terus berdengung sepanjang malam disertai aroma anggur hangat terhembus.Bagai sebuah boneka pajangan di etalase toko, pria itu bermain t
"Mary Aram, maafkan aku. Aku sangat mencintai dirimu," Amar Mea Malawi memeluk Mary Aram. "Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Apa yang harus kukatakan pada tunanganku? Keterlaluan Kau!" Mary Aram memukuli Amar Mea Malawi melampiaskan kesal."Mary Aram! Kendalikan dirimu," Amar Mea Malawi menggenggam kedua tangan Mary Aram. Pria itu terus mengecup kening Mary Aram berusaha menenangkan. "Hari ini aku akan ke Muara Mua menjemput ayahmu.""Menjemput ayahku? Apa yang harus kukatakan kepada Ayahku? Tentunya ayahku akan sangat malu di hadapan calon besannya," Mary Aram kembali membenturkan kepalanya pada dinding.Amar Mea Malawi segera mendekap Mary Aram agar tidak menyakiti diri sendiri. "Kita telah menjadi satu tubuh, aku bertanggung sepenuhnya atas dirimu."Pria itu membalut tubuh Mary Aram dengan handuk, lalu mengangkatnya kembali ke pembaringan."Aku cinta padamu! Sangat cinta padamu, hingga kehilangan akal sehat," Amar Mea Malawi berbaring memeluk Mary Aram. "Bisakah kita berdama
Perjalanan ke Muara Mua memakan waktu 4 jam, sebenarnya Mary Aram sangat takut akan ayahnya.Jika mengetahui dirinya sudah tidak gadis, bisa jadi ayah akan menghajar habis dirinya. Namun lebih baik dirinya habis dihajar ayah, dari pada ayah terkena serangan jantung.Menatap Amar Mea yang tenang dan elegan membaca surat kabar pagi, Mary Aram menjadi sangat kesal. 'Bagaimana bisa ia setenang itu tanpa merasa berdosa?' Sedangkan dirinya saat ini cemas dan sangat takut menghadapi pukulan rotan dari ayah."Hah!" Mary Aram menghela napas berusaha menahan tangis menyembunyikan ketakutan. Kekesalan itu semakin meluap, menyesakkan hati. "Kau keterlaluan! Kau tidak merasa bersalah atas perbuatanmu?" Mary Aram memukuli lengan Amar Mea Malawi dengan kesal. "Hatiku serasa handak meledak menahan rasa ketakutan akan rotan ayahku! Dan kau? Kau bersantai tanpa beban dan tanpa rasa bersalah!"Amar Mea Malawi meletakkan surat kabar, dipandangnya Mary Aram yang tampak kacau melampiaskan kekesalan tanpa
"Ayah maafkanlah pria ini, bukankah ia tidak lari dari tanggung jawab. Kedepannya Mary Aram akan menjadi istri yang baik dan menjadi dokter kebanggaan Ayah," Mary Aram berusaha mendamaikan tuan besar Felix Aram dengan Amar Mea Malawi."Panggil Ayahmu sekarang! Ia harus tahu jika ada seorang menantu di rumahnya!" Perintah tuan besar Felix Aram."Baik Ayah!" Amar Mea Malawi bangkit untuk menghubungi ayahnya sendiri.Mendapati kemarahan tuan besar Felix Aram mereda, Mary Aram membawa ayahnya menjauh dari Amar Mea Malawi."Pukul berapa Ayah datang? Mengapa tidak membangunkan Mary Aram?" Mary Aram membuatkan teh bunga Rosella untuk ayahnya. Kemudian dengan penuh rasa sayang memijat bahu ayahnya seperti yang selalu ia lakukan ketika di Muara Mua."Ayah tiba satu jam yang lalu," tuan besar Felix Aram menepuk punggung tangan anaknya. "Mendengar kau akan menikah sore ini, Ayah merasakan ada sesuatu yang tidak beres denganmu.""Ayah tidak perlu cemas. Bukankah masalah sudah terselesaikan?" Mary
"Dokter Felix Aram jangan cemas, aku akan memperlakukan anak perempuanmu dengan sangat baik," tuan besar Sahu Mea Malawi sangat lega mendapati menantunya adalah marga Aram berlatar belakang sangat baik, bukan wanita marga Aram yang digosipkan teman-temannya."Kita segera mengikat hubungan keluarga, tinggal lah di paviliun ini jika Dokter Felix Aram berkunjung mengurus Balai Pengobatan di St Martin," Sahu Mea Malawi menuangkan teh pada cangkir tuan besar Felix Aram sebagai tanda hormat.Hari menjelang petang, para pelayan keluarga Mea Malawi sangat sibuk mempersiapkan ruangan ritual pernikahan adat.Mary Aram memeluk tuan besar Felix Aram, hatinya merasa bersalah telah membuat ayahnya bersedih. "Ayah, maafkan Mary Aram tidak menjaga diri sendiri," Mary Aram menangis."Nak, bukan salahmu. Amar Mea Malawi lah yang keterlaluan," tuan besar Felix Aram mendekap anak perempuannya. "Jika kelak Amar Mea Malawi tidak memperlakukanmu dengan baik, pulanglah ke Muara Mua. Ayah akan tenang melihat k
Dengan perasaan penuh rasa penyesalan, Mary Aram memutuskan kembali ke kediaman Mea Malawi. Tampak di kejauhan Amar Mea Malawi keluar dari rumah induk, berjalan menuju ke arah jembatan. Mary Aram mempercepat larinya kembali ke paviliun. "Nyonya Muda, ke mana saja?" Nona Patrice menarik napas lega mendapati Mary Aram muncul dari arah sungai."Nona Patrice, aku ingin mandi!" Mary Aram segera melempar alas kaki dan kerudung begitu saja ke lantai. Dengan seenaknya juga ia melepas jubah pengantinnya sambil berlari menuju kamar mandi."Nyonya Muda! Tuan Muda Amar Mea sudah datang!" Nona Patrice panik memungut jubah pengantin, yang berserakan di lantai. Wajah nona Patrice pucat pasi mendapati majikannya sudah berada di dalam paviliun."Mengapa jubah pengantin berserakan di lantai?" Amar Mea Malawi tertegun mengerutkan kening."Nyonya Muda sangat nakal! Ia mencari bunga hingga lupa waktu," dengan cepat nona Patrice memutar otak mencari alasan, sambil menunjuk sekeranjang bunga tulip di atas m
Pengantin pria membawa pengantin wanita berlutut di depan altar. Menyimak wejangan pendeta adat, mereka memulai menjalankan ritual pernikahan adat.Sang pendeta Adat mengucapkan doa-doa berkat, dan memercikkan air suci pada kedua pengantin. Kemudian memotong sedikit rambut Amar Mea Malawi dan Mary Aram lalu memasukkan ke dalam toples kaca yang telah berisi sapu tangan putih bernoda merah bukti kegadisan Mary Aram. Hal itu sebagai tanda sahnya pernikahan mereka.Amar Mea Malawi menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Mary Aram, serta seuntai kalung pada leher istrinya itu. Demikian pula sebaliknya, Mary Aram juga menyematkan cincin pernikahan pada jari manis Amar Mea Malawi, serta gelang dari tali berhias batu giok pada pergelangan tangan suaminya.Pendeta adat memercik air suci dan mengasapi pengantin dengan dupa wangi, pada akhir ritual pernikahan.Pada pengesahan pernikahan secara hukum negara, kedua mempelai menandatangani surat pernikahan. Petugas negara mencatat semua bekal
"Kau pria dewasa yang sangat mengerikan!" Wanita cantik itu menoleh menatap tajam langsung ke mata Amar Mea. Tangannya menunjuk wallpaper pada salah satu dinding yang berhadapan dengan tempat tidur suaminya."Apa maksudnya ini? Bagaimana bisa gambar diriku yang sedang mandi menjadi wallpaper di kamar ini?" Mary Aram membatalkan niatnya masuk ke dalam kamar."Ini kamar pengantin kita," Amar Mea Malawi menarik masuk Mary Aram ke dalam kamar."Tidak! Tidak! Kau membuatku takut," Mary Aram menjauh dari Amar Mea Malawi. Tanpa sengaja tangannya menyenggol setumpuk gambar di atas meja kerja hingga jatuh berhamburan ke lantai.Betapa gusarnya Mary Aram ketika mendapati begitu banyak gambar dirinya berserakan di lantai dan meja kerja Amar Mea.Jantungnya seakan melompat keluar dari tubuhnya, "Keterlaluan! Rupanya kau telah mengincar diriku sejak lama!" Mary Aram gemetar menahan amarah, ia jatuh terduduk lemas di atas tempat tidur Amar Mea."Tamat sudah! Diriku jatuh ke tangan orang sakit jiwa